Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَوۡ
dan kalau
أَنَّهُمۡ
sesungguhnya mereka
ءَامَنُواْ
beriman
وَٱتَّقَوۡاْ
dan mereka bertakwa
لَمَثُوبَةٞ
sungguh pahala
مِّنۡ
dari
عِندِ
sisi
ٱللَّهِ
Allah
خَيۡرٞۚ
lebih baik
لَّوۡ
kalau
كَانُواْ
adalah mereka
يَعۡلَمُونَ
mereka mengetahui
وَلَوۡ
dan kalau
أَنَّهُمۡ
sesungguhnya mereka
ءَامَنُواْ
beriman
وَٱتَّقَوۡاْ
dan mereka bertakwa
لَمَثُوبَةٞ
sungguh pahala
مِّنۡ
dari
عِندِ
sisi
ٱللَّهِ
Allah
خَيۡرٞۚ
lebih baik
لَّوۡ
kalau
كَانُواْ
adalah mereka
يَعۡلَمُونَ
mereka mengetahui
Terjemahan
Seandainya mereka benar-benar beriman dan bertakwa, pahala dari Allah pasti lebih baik, seandainya mereka mengetahui(-nya).
Tafsir
(Dan seandainya mereka) orang-orang Yahudi (beriman) terhadap Nabi dan Al-Qur'an (dan menjaga diri mereka) dari siksa Allah dengan meninggalkan maksiat, seperti sihir. Jawaban dari 'lau' ini dibuang. Atau tentulah mereka akan diberi pahala. Hal ini ditunjukkan oleh (maka sesungguhnya pahala) 'matsuubatun' menjadi mubtada, sedangkan 'lam' menunjukkan sumpah (di sisi Allah itu lebih baik) 'khairun' menjadi khabar, artinya 'lebih baik' yakni lebih baik dari hasil penjualan diri mereka itu (seandainya mereka mengetahuinya) seandainya mereka tahu bahwa pahala itu lebih baik, tentulah mereka tak akan mementingkan yang lain darinya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 99-103
Dan sungguh Kami benar-benar telah menurunkan ayat-ayat yang jelas kepadamu (Muhammad), dan tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang fasik.
Mengapa setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melanggarnya? Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman.
Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul (Nabi Muhammad) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, sebagian orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah itu ke belakang punggung mereka (tidak menggubrisnya) seolah-olah mereka tidak tahu (bahwa itu adalah kitab Allah).
Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu melakukan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak melakukan sihir), tetapi setan-setan itulah yang kafir (melakukan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut; Padahal keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu). Karena itu, janganlah kamu kafir." Mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak akan dapat mencelakakan seorang pun dengan sihirnya, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat; dan sungguh amat buruklah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir itu, seandainya mereka tahu.
Seandainya mereka beriman dan bertakwa (niscaya mereka akan mendapat pahala); dan sungguh pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, seandainya mereka tahu.
Ayat 99
Imam Abu Ja'far mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan sungguh Kami benar-benar telah menurunkan ayat-ayat yang jelas”, hingga akhir ayat (Al-Baqarah: 99). Yakni sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Muhammad tanda-tanda yang jelas yang menunjukkan akan kenabianmu. Tanda-tanda tersebut adalah terkandung di dalam Kitabullah (Al-Qur'an) menyangkut rahasia ilmu-ilmu Yahudi dan rahasia-rahasia berita mereka yang disimpan rapi oleh mereka. Juga mengandung berita kakek moyang mereka, berita tentang apa yang terkandung di dalam kitab-kitab mereka yang hanya diketahui oleh para rahib dan ulama mereka saja, dan hal-hal yang telah diubah oleh para pendahulu dan generasi penerus mereka yang berani mengubah hukum-hukum yang ada di dalam kitab Tauratnya. Maka Allah ﷻ memperlihatkan hal tersebut kepada Nabi-Nya, yakni Nabi Muhammad ﷺ melalui kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadanya.
Maka sesungguhnya hal tersebut seharusnya merupakan tanda-tanda yang jelas bagi orang yang menyadari keadaan dirinya dan tidak membiarkan dirinya termakan oleh rasa dengki dan kesombongan yang membinasakannya. Mengingat setiap orang yang memiliki fitrah yang sehat niscaya membenarkan apa yang didatangkan oleh Nabi Muhammad ﷺ, yaitu berupa ayat-ayat yang jelas. Bukti-bukti tersebut mempunyai ciri khas dihasilkan oleh beliau ﷺ tanpa melalui proses belajar yang dituntutnya dari seorang manusia; tidak pula mengambil sesuatu dari manusia, seperti yang disebutkan oleh Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan sungguh Kami benar-benar telah menurunkan ayat-ayat yang jelas” (Al-Baqarah: 99). Allah ﷻ berfirman bahwa engkau membacakannya (Al-Qur'an) kepada mereka dan memberitahukannya kepada mereka di setiap pagi dan petang dan di waktu antara keduanya, sedangkan di kalangan mereka engkau diketahui sebagai orang yang ummi (buta huruf), tetapi engkau memberitahukan kepada mereka semua hal yang ada di kalangan mereka sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Allah ﷻ berfirman kepada mereka yang di dalamnya terkandung pelajaran dan penjelasan, tetapi sekaligus menjadi hujah (argumentasi) terhadap mereka, seandainya mereka mengetahui.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Ibnu Suria Al-Qatwaini berkata kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Muhammad, engkau tidak mendatangkan kepada kami sesuatu yang kami kenal, dan Allah tidak menurunkan kepadamu suatu ayat pun yang jelas yang menyebabkan kami mengikutimu." Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Dan sungguh Kami benar-benar telah menurunkan ayat-ayat yang jelas kepadamu (Muhammad), dan tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang fasik”. (Al-Baqarah: 99).
Malik ibnu Saif (seorang Yahudi) mengatakan ketika Rasulullah ﷺ telah menjadi utusan Allah dan memperingatkan kepada mereka perjanjian yang diambil oleh Allah atas diri mereka dan apa yang dijanjikan Allah ﷻ kepada mereka sehubungan dengan perkara Nabi Muhammad ﷺ, "Allah tidak menjanjikan kepada kami tentang Muhammad, dan Dia tidak mengambil janji apa pun atas diri kami."
Ayat 100
Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “(Pantaskah mereka mengingkari ayat-ayat Allah) Mengapa setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melanggarnya?” (Al-Baqarah: 100). Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman” (Al-Baqarah: 100). Memang benar, tiada suatu perjanjian pun di muka bumi ini yang mereka lakukan melainkan mereka pasti melanggar dan merusaknya. Mereka mengadakan perjanjian di hari ini, dan besoknya mereka pasti merusaknya.
Menurut As-Suddi, makna la yu'minuna ialah 'mereka tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ.'
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Nabadza fariqum minhum" bahwa perjanjian itu dirusak oleh segolongan orang dari kalangan mereka.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal makna an-nabadz ialah membuang dan melemparkan. Karena itu anak yang hilang disebut manbuz, yakni diambil dari kata an-nabaz ini, dan disebut pula nabidz bagi buah kurma serta buah anggur yang dimasukkan (dilemparkan) ke dalam air. Sehubungan dengan pengertian ini Abul Aswad Ad-Du-ali mengatakan dalam syairnya: “Ketika aku melihat alamat (tempat tinggal)nya, maka aku langsung membuang (melemparkan)nya (jauh-jauh) sebagaimana engkau lemparkan salah satu dari terompahmu yang sudah rusak.” Kaum yang disebut dalam ayat ini dicela oleh Allah ﷻ karena mereka merusak perjanjian mereka dengan Allah yang telah disebut sebelumnya, yaitu mereka bersedia memegangnya dan mengamalkannya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Lebih ironisnya lagi mereka mengiringi hal tersebut dengan kedustaan terhadap Rasul ﷺ yang diutus kepada mereka, juga kepada seluruh umat manusia, padahal perihal Rasul tersebut telah termaktub di dalam kitab mereka sifat-sifat dan ciri-ciri khasnya serta berita-beritanya; dan mereka diperintahkan di dalamnya agar mengikuti Rasul itu, mendukung, dan menolongnya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka,” hingga akhir ayat, (Al-A'raf: 157). Sedangkan dalam surat ini disebutkan: “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul (Nabi Muhammad) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka,” hingga akhir ayat (Al-Baqarah: 101). Yakni segolongan dari kalangan mereka melemparkan kitab yang ada di tangan mereka yang di dalamnya terkandung berita gembira kedatangan Nabi Muhammad ﷺ. Di dalam ayat ini disebutkan wara-a zuhurihim, di belakang punggung mereka, yakni mereka meninggalkannya seakan-akan mereka tidak mengetahui apa isinya.
Sebagai gantinya mereka memusatkan perhatiannya untuk mempelajari sihir serta menjadi pengikutnya. Karena itu, mereka bermaksud mencelakakan Rasulullah ﷺ. Lalu mereka menyihirnya melalui sisir, buntelan secarik kain, dan ketandan kering pohon kurma yang disimpan di bawah batu di pinggir sumur Arwan. Orang yang melakukan hal ini dari kalangan mereka adalah seorang lelaki yang dikenal dengan nama Labid ibnul A'sam, semoga laknat Allah menimpa dirinya, dan semoga Allah menjelekkannya. Maka Allah memperlihatkan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Dan menyembuhkannya serta menyelamatkannya dari sihir tersebut, seperti yang dinyatakan di dalam kitab Shahihain secara panjang lebar dari Siti Aisyah Ummul Muminin, yang haditsnya akan diketengahkan kemudian.
Ayat 101
As-Suddi mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul (Nabi Muhammad) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka” (Al-Baqarah: 101).
Ketika Nabi Muhammad ﷺ datang kepada mereka, mereka menentangnya dengan kitab Taurat dan mendebatnya, tetapi pada akhirnya kitab Taurat sepaham dengan Al-Qur'an. Lalu mereka meninggalkan kitab Taurat dan mengambil kitab Asif serta sihir Harut dan Marut, karena tidak setuju dengan Al-Qur'an. Karena itu, pada akhir ayat disebutkan: “Seolah-olah mereka tidak tahu (bahwa itu adalah kitab Allah).” (Al-Baqarah: 101)
Qatadah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: “Seolah-olah mereka tidak tahu” (Al-Baqarah: 101). Sesungguhnya kaum yang bersangkutan adalah orang-orang yang mengetahui (bahwa Al-Qur'an itu adalah kitab Allah), tetapi mereka menjauhi pengetahuan mereka dan menyembunyikannya serta mengingkarinya.
Ayat 102
Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan” (Al-Baqarah: 102).
Tersebutlah bahwa ketika kerajaan Nabi Sulaiman terlepas dari tangannya, maka murtadlah segolongan jin dan manusia; mereka mengikuti hawa nafsu mereka. Setelah mengembalikan kerajaan kepada Sulaiman, maka orang-orang pun berjalan sesuai dengan hukum agama seperti semula. Sesungguhnya Sulaiman dapat menemukan kitab-kitab mereka, lalu menguburnya di bawah singgasananya; tidak lama kemudian Nabi Sulaiman a.s. meninggal dunia. Akan tetapi, manusia dan jin dapat menemukan kitab-kitab tersebut kembali setelah Nabi Sulaiman wafat. Lalu mereka berkata, "Kitab inilah yang diturunkan oleh Allah kepada Sulaiman, tetapi Sulaiman menyembunyikannya." Maka mereka mengambil kitab tersebut dan menjadikannya sebagai agama. Lalu turunlah firman Allah ﷻ: “Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka” (Al-Baqarah: 101) hingga akhir ayat. Maka mereka mengikuti kemauan hawa nafsu mereka yang dibacakan oleh setan-setan, yaitu alat-alat musik dan permainan serta segala sesuatu yang melalaikan berzikir kepada Allah ﷻ.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Asif adalah juru tulis Nabi Sulaiman. Dia adalah orang yang mengetahui Ismul A'zam (Nama Allah Yang Agung), dan mencatat segala sesuatu atas izin Nabi Sulaiman, lalu Nabi Sulaiman mengubur catatan tersebut di bawah singgasananya. Ketika Nabi Sulaiman wafat, catatan tersebut dikeluarkan oleh setan-setan, lalu mereka menyisipkan catatan mengenai sihir dan kekufuran di antara tiap dua barisnya. Mereka mengatakan, inilah yang dahulu diamalkan oleh Sulaiman.
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ada keterangan dari setan, maka orang-orang yang tidak mengerti mengkafirkan Sulaiman dan mencaci makinya, tetapi para ulama dari kalangan mereka hanya diam. Orang-orang bodoh dari kalangan mereka terus-menerus mencaci maki Nabi Sulaiman, hingga Allah ﷻ menurunkan ayat berikut kepada Nabi Muhammad ﷺ, yaitu: “Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir)” (Al-Baqarah: 102).
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Abus Sa'ib Salimah ibnu Junadah As-Sawa-i menceritakan, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan riwayat berikut: Tersebutlah bahwa Nabi Sulaiman apabila hendak memasuki kamar mandi atau menggauli salah seorang istrinya, terlebih dahulu ia menyerahkan cincinnya kepada pembantu pribadinya, yaitu seorang wanita.
Ketika Allah hendak menguji Nabi Sulaiman a.s. dengan ujian yang dikehendaki-Nya, maka di suatu hari Sulaiman menyerahkan cincinnya kepada pembantunya. Lalu datanglah setan dalam rupa Sulaiman dan berkata kepada pembantu Sulaiman, "Serahkanlah cincinku." Si pembantu menyerahkan cincin itu kepadanya, dan ia segera memakainya. Ketika setan memakainya, maka tunduklah semua setan, jin, dan manusia kepadanya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Sulaiman datang kepada pembantunya itu dan berkata kepadanya, "Berikanlah cincinku kepadaku." Si pembantu berkata, "Engkau dusta, engkau bukan Sulaiman." Maka sejak saat itu Nabi Sulaiman mengetahui bahwa hal ini merupakan ujian yang ditimpakan kepada dirinya.
Ibnu Abbas berkata bahwa di hari-hari (kekuasaannya itu) setan-setan menulis berbagai macam kitab yang di dalamnya terkandung sihir dan kekufuran, lalu mereka menguburnya di bawah singgasana Raja Sulaiman. (Setelah Sulaiman wafat) mereka mengeluarkan kitab-kitab itu dan membacakannya di hadapan semua orang, lalu mereka berkata, "Sesungguhnya dahulu Sulaiman dapat berkuasa atas manusia melalui kitab-kitab ini." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu semua orang berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh Sulaiman dan mengkafirkannya. Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺ, maka diturunkan-Nyalah ayat berikut, yakni firman-Nya: “Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak melakukan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (melakukan sihir)” (Al-Baqarah: 102).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Imran (yaitu Al-Haris) yang menceritakan: Ketika kami berada di rumah Ibnu Abbas , tiba-tiba datanglah seorang lelaki, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadanya, "Dari manakah kamu?" Lelaki itu menjawab, "Dari negeri Irak." Ibnu Abbas bertanya, "Dari bagian mana?" Lelaki menjawab, "Kufah." Ibnu Abbas bertanya, "Bagaimanakah kabar beritanya Kufah?" Lelaki menjawab, "Ketika aku meninggalkan mereka, mereka sedang hangat membicarakan bahwa Ali berangkat menuju ke arah mereka (untuk memerangi mereka)." Maka Ibnu Abbas merasa kaget dan mengatakan, "Tidak pantas kamu katakan demikian, hanya orang yang tak berayah yang mengatakan demikian. Seandainya kami percaya (dengan apa yang diberitakannya itu), pasti kami tidak mau menikahi wanita-wanitanya, tidak pula membagikan harta warisannya. Ingatlah, sesungguhnya aku akan menceritakan kepada kalian tentang jawaban yang sebenarnya. Bahwa dahulu setan-setan mencuri-curi pendengaran di langit, lalu seseorang dari mereka datang membawa kebenaran yang telah didengarnya; tetapi ketika ia sampaikan, maka ia mencampurinya dengan tujuh puluh (banyak) kedustaan." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa kalimat-kalimat tersebut sempat memperoleh perhatian banyak orang hingga meresap ke dalam hati mereka. Maka Allah memperlihatkan hal tersebut kepada Nabi Sulaiman a.s., lalu Nabi Sulaiman mengubur (catatan-catatan itu) di bawah kursi singgasananya.
Tetapi setelah Nabi Sulaiman wafat, setan jalanan bangkit, lalu berkata, "Maukah kalian aku tunjukkan simpanan terlarang yang tiada simpanan seperti simpanan itu? Ia berada di bawah kursi singgasananya." Lalu mereka mengeluarkannya, dan setan itu berkata, "Ini ilmu sihir." Maka orang-orang menggandakan catatan-catatan tersebut dari generasi ke generasi, hingga sisanya adalah yang sekarang hangat dibicarakan oleh penduduk Irak. Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu melakukan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak melakukan sihir), tetapi setan-setan itulah yang kafir (melakukan sihir),” hingga akhir ayat. (Al-Baqarah: 102) Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abu Zakaria Al-Anbari, dari Muhammad ibnu Abdus Salam, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Jarir dengan lafal yang sama.
As-Suddi mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman” (Al-Baqarah: 102). Yang dimaksud dengan Mulki Sulaiman ialah di masa kerajaan Nabi Sulaiman.
Tersebutlah bahwa setan-setan sering naik ke langit, lalu sampai pada suatu kedudukan dimana mereka dapat mencuri pendengaran. Lalu mereka mencuri sebagian dari perkataan para malaikat tentang apa yang bakal terjadi di bumi menyangkut perkara kematian, atau hal yang gaib atau suatu kejadian. Kemudian setan-setan itu menyampaikan hal tersebut kepada peramal-peramal, lalu para peramal itu menceritakan kepada manusia hal tersebut, dan ternyata kejadiannya mereka jumpai seperti apa yang dikatakan oleh para peramal itu.
Setelah para peramal percaya kepada setan-setan tersebut, maka setan-setan itu mulai berdusta kepada mereka dan memasukkan hal-hal yang lain ke dalam berita yang dibawanya; mereka menambah tujuh puluh kalimat pada setiap kalimatnya. Lalu orang-orang mencatat omongan itu ke dalam buku-buku hingga tersiarlah di kalangan Bani Israil bahwa jin mengetahui hal yang gaib. Kemudian Nabi Sulaiman mengirimkan utusannya kepada semua orang untuk menyita buku-buku itu. Setelah terkumpul, semua buku dimasukkan ke dalam peti, lalu peti itu dikuburnya di bawah kursi singgasananya. Tiada suatu setan pun yang berani mendekat ke kursi tersebut melainkan ia pasti terbakar. Nabi Sulaiman berkata, "Tidak sekali-kali aku mendengar seseorang mengatakan bahwa setan-setan itu mengetahui hal yang gaib melainkan aku pasti menebas batang lehernya (sebagai hukumannya)."
Setelah Nabi Sulaiman meninggal dunia dan semua ulama yang mengetahui tentang Nabi Sulaiman itu telah tiada, lalu mereka diganti oleh generasi sesudahnya, maka datanglah setan dalam bentuk seorang manusia. Setan itu mendatangi segolongan kaum Bani Israil dan berkata kepada mereka, "Maukah kalian aku tunjukkan suatu perbendaharaan yang tidak akan habis kalian makan untuk selama-lamanya?" Mereka menjawab, "Tentu saja kami mau." Setan berkata, "Galilah tanah di bawah kursi singgasananya." Setan pergi bersama mereka dan memperlihatkan tempat tersebut kepada mereka, sedangkan dia sendiri berdiri di salah satu tempat yang agak jauh dari tempat tersebut. Mereka berkata, "Mendekatlah kamu ke sini." Setan menjawab, "Tidak, aku hanya di sini saja dekat dengan kalian. Tetapi jika kalian tidak menemukannya, kalian boleh membunuhku." Mereka menggali tempat tersebut dan akhirnya mereka menemukan kitab-kitab itu. Ketika mereka mengeluarkannya, setan berkata kepada mereka: "Sesungguhnya Sulaiman dapat menguasai dan mengatur manusia, setan-setan, dan burung-burung melalui ilmu sihir ini." Setelah itu setan tersebut terbang dan pergi.
Maka mulailah tersiar di kalangan manusia bahwa Sulaiman adalah ahli sihir, dan orang-orang Bani Israil mengambil kitab-kitab itu. Ketika Nabi Muhammad ﷺ diutus oleh Allah, mereka mendebatnya dengan kitab-kitab tersebut, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya: “Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir)” (Al-Baqarah: 102).
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan, sesungguhnya orang-orang Yahudi pernah bertanya kepada Nabi Muhammad ﷺ di suatu masa mengenai hal-hal yang terkandung di dalam kitab Taurat. Tiada suatu pertanyaan pun yang mereka ajukan melainkan Allah ﷻ menurunkan wahyu kepada beliau apa yang dijadikan senjata oleh beliau untuk membantah mereka. Setelah mereka melihat jawaban tersebut, mereka berkata, "Orang ini lebih mengetahui daripada kami tentang apa yang diturunkan oleh Allah kepada kami." Sesungguhnya mereka menanyakan kepada Nabi ﷺ tentang ilmu sihir serta mendebatnya dengan ilmu tersebut. Maka Allah ﷻmenurunkan firman-Nya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia” (Al-Baqarah: 102). Sesungguhnya setan-setan itu dengan sengaja membuat suatu kitab, lalu mereka mencatat didalamnya tentang sihir dan ramalan serta hal-hal yang dikehendaki oleh Allah ﷻ dari hal tersebut. Lalu mereka menguburnya di bawah kursi singgasana Nabi Sulaiman, sedangkan Nabi Sulaiman sendiri tidak mengetahui hal yang gaib. Setelah Nabi Sulaiman wafat, lalu mereka (atas petunjuk setan) mengeluarkan buku sihir itu dan memperdaya manusia dengan kitab itu. Mereka mengatakan, "Kitab inilah yang dahulu disembunyikan oleh Sulaiman, ia menggunakannya untuk melampiaskan dengkinya terhadap manusia." Maka Nabi ﷺ menceritakan kisah yang sesungguhnya, dan mereka (orang-orang Yahudi itu) kembali ke tempat tinggalnya dari sisi beliau ﷺ dalam keadaan tak berdaya karena hujah mereka dipatahkan oleh wahyu Allah ﷻ.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman” (Al-Baqarah: 102). Dahulu setan-setan sering mencuri-curi pendengaran dari wahyu, maka tidak sekali-kali mereka mendengar suatu kalimat pun dari wahyu itu melainkan mereka menambahkan kepadanya dua ratus kali lipat hal yang serupa dari diri mereka sendiri. Kemudian Nabi Sulaiman a.s.. mengirimkan utusannya untuk mencatat hal tersebut. Setelah Nabi Sulaiman wafat, maka setan-setan menemukan catatan itu (yaitu ilmu sihir), lalu mereka mengajarkannya kepada manusia.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, dahulu Nabi Sulaiman merampas semua ilmu sihir yang ada di tangan setan, kemudian ia kubur ilmu tersebut di bawah kursi singgasananya, yakni di dalam gudangnya, hingga setan-setan tidak dapat mencapainya. Kemudian setan mendekati manusia dan berkata kepada mereka, "Tahukah kalian ilmu apakah yang dipakai oleh Sulaiman untuk menundukkan setan-setan dan angin serta lain-lainnya?" Mereka menyetujui pendapat setan, lalu setan berkata kepada mereka, "Sesungguhnya kitab itu ada di dalam gudang rumahnya, tepatnya di bawah kursi singgasananya." Setan membujuk manusia untuk mengeluarkannya, lalu mengamalkannya. Orang-orang Hijaz mengatakan bahwa dahulu Sulaiman mengerjakan ilmu sihir tersebut. Maka Allah ﷻmenurunkan kepada Nabi-Nya wahyu yang membersihkan nama Nabi Sulaiman a.s. dari sihir tersebut. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir)” (Al-Baqarah: 102).
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yatsar mengatakan bahwa setelah setan-setan mengetahui kewafatan Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud a.s., maka dengan sengaja mereka menulis berbagai macam ilmu sihir. Di dalamnya dicatatkan bahwa barang siapa yang ingin mencapai anu dan anu, hendaklah ia melakukan ini dan itu. Setelah semuanya terhimpun, lalu mereka mencatatkannya ke dalam sebuah buku, lalu mereka cap dengan memakai cap seperti cap Nabi Sulaiman. Mereka mencatat judulnya dengan kalimat sebagai berikut: "Inilah semua yang dicatat oleh Asif ibnu Barkhia, teman dekat Nabi Sulaiman ibnu Daud; di dalamnya terkandung perbendaharaan berbagai ilmu yang langka. Kemudian mereka mengubur buku tersebut di bawah kursi singgasana bekas Nabi Sulaiman. Tidak lama kemudian buku tersebut digali oleh sisa-sisa Bani Israil. Setelah menemukannya, mereka berkata, "Demi Allah, kerajaan Sulaiman bisa tegak kokoh hanya karena ilmu ini." Lalu mereka menyebarkan ilmu sihir di kalangan manusia, mempelajarinya, juga mengajarkannya. Maka tiada sesuatu pun dari ilmu sihir itu dimiliki oleh seseorang melainkan orang-orang Yahudi jauh lebih banyak darinya. Semoga laknat Allah menimpa mereka.
Ketika Rasulullah ﷺ menyebutkan di antara wahyu yang diturunkan kepadanya dari Allah ﷻ mengenai diri Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud dan menyebutnya sebagai salah seorang dari kalangan rasul-rasul Allah, maka orang-orang Yahudi yang ada di Madinah mengatakan, "Tidakkah kalian heran dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad ini. Dia mengira bahwa Sulaiman ibnu Daud adalah seorang nabi. Demi Allah, tiada lain Sulaiman itu hanyalah seorang ahli sihir." Maka sehubungan dengan hal tersebut Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir),” (Al-Baqarah: 102). hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Hajjaj, dari Abu Bakar, dari Syahr ibnu Hausyab yang menceritakan bahwa ketika kerajaan Nabi Sulaiman dirampas dari tangannya, maka selama Nabi Sulaiman absen setan-setan mencatat ilmu sihir. Setan-setan tersebut mencatat bahwa barang siapa yang ingin mendapatkan anu dan anu, hendaklah ia menghadap ke arah matahari dan mengucapkan mantera ini dan itu. Barang siapa yang hendak melakukan anu dan anu, hendaklah ia membelakangi matahari dan mengucapkan mantera ini dan itu. Setan-setan itu mencatat semuanya dan menamakan catatannya itu dengan suatu judul, yaitu "Inilah yang telah dicatat oleh Asif ibnu Barkhia buat Raja Sulaiman ibnu Daud, mengandung perbendaharaan-perbendaharaan rahasia ilmu yang terpendam. Ketika Nabi Sulaiman mengetahui kitab catatan itu, maka ia menguburnya di bawah kursi singgasananya.
Setelah Nabi Sulaiman meninggal dunia, iblis berdiri, lalu berkhutbah dengan mengatakan, "Wahai manusia, sesungguhnya Sulaiman itu bukanlah seorang nabi, melainkan seorang penyihir. Maka carilah ilmu sihirnya itu di antara barang-barang miliknya dan rumah-rumahnya." Kemudian iblis menunjukkan kepada mereka tempat Nabi Sulaiman mengubur kitab tersebut. Maka mereka berkata, "Demi Allah, sesungguhnya Sulaiman adalah seorang penyihir. Inilah sihirnya. Dengan sihir ini kita diperbudak, dan dengan sihir ini kita dikalahkan." Orang-orang yang beriman mengatakan, "Tidak, bahkan dia adalah seorang nabi lagi mukmin."
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺ dan beliau ﷺ menceritakan perihal Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, maka orang-orang Yahudi mengatakan, "Lihatlah oleh kalian Muhammad ini, dia mencampuradukkan antara yang benar dengan yang batil. Dia menyebut Sulaiman bersama para nabi, padahal sesungguhnya Sulaiman hanyalah tukang sihir yang dapat menaiki angin." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir),” hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 102).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Ala As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imran ibnu Jarir mengatakan dari Abul Mijlaz, bahwa Nabi Sulaiman mengikat tiap-tiap ekor kuda dengan sebuah janji. Untuk itu apabila seorang lelaki memperolehnya (dalam perang), lalu Nabi Sulaiman memintanya, maka ia harus menyerahkannya. Maka orang-orang menambah sajak dan sihir, lalu mereka berkata, "Inilah yang diamalkan oleh Sulaiman ibnu Daud." Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia” (Al-Baqarah: 102).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, dari Ziad maula Mus'ab, dari Al-Hasan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan” (Al-Baqarah: 102). Bahwa sepertiganya berisikan syair, sepertiganya lagi berisikan sihir, sedangkan sepertiga yang terakhir berisikan ramalan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar Al-Wasiti, telah menceritakan kepadaku Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman” (Al-Baqarah: 102). Artinya, orang-orang Yahudi mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan itu di masa kerajaan Nabi Sulaiman.
Sebelum itu ilmu sihir memang telah ada di muka bumi ini, tetapi baru diikuti hanya pada masa kerajaan Nabi Sulaiman. Demikianlah sekilas dari pendapat para imam terdahulu sehubungan dengan makna ayat ini. Tetapi pada garis besarnya tidak samar lagi, semuanya dapat digabungkan menjadi suatu kesimpulan, dan pada hakikatnya di antara pendapat-pendapat tersebut tidak ada pertentangan, menurut pandangan orang-orang yang mempunyai pemahaman yang mendalam.
Firman Allah ﷻ: “Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman” (Al-Baqarah: 102). Yang dimaksud dengan mereka ialah orang-orang Yahudi yang telah diberi Al-kitab (Taurat). Hal ini terjadi setelah mereka berpaling dari ajaran Kitabullah (Taurat) yang ada di tangan mereka dan setelah mereka menentang Rasulullah ﷺ. Sesudah semuanya itu mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan. Yang dimaksud dengan bacaan setan ialah riwayat, berita, dan kisah yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. Dalam ungkapan ini fi'il tatlu ber-muta'addi dengan huruf 'ala karena di dalamnya terkandung pengertian membaca secara dusta.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa huruf 'ala dalam ayat ini mengandung makna sama dengan huruf fi, yakni tatlu fi mulki Sulaiman, artinya: “Yang dibacakan oleh setan-setan dalam kerajaan Sulaiman.” Ibnu Jarir mengutip pendapat ini dari Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq. Menurut kami, makna tadammun (yang mengandung pengertian membaca dan berdusta) adalah lebih baik dan lebih utama. Mengenai pendapat Al-Hasan Al-Basri yang mengatakan bahwa dahulu sebelum masa Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud sihir itu telah ada, pendapat ini memang benar dan tidak diragukan lagi, mengingat tukang-tukang sihir banyak didapat di masa Nabi Musa a.s., sedangkan zaman Sulaiman ibnu Daud adalah sesudah itu, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa,” hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 246). Kemudian dalam kisah selanjutnya disebutkan melalui firman-Nya: “Dan (dalam peperangan ini) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) kerajaan dan hikmah” (Al-Baqarah: 251). Kaum Nabi Saleh yang ada sebelum Nabi Ibrahim a.s. berkata kepada Nabi mereka (yaitu Nabi Saleh), seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya: “Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang terkena sihir” (Asy-Syu'ara: 153). Menurut pendapat yang masyhur, lafal mashur artinya orang yang terkena sihir.
Firman Allah ﷻ: Dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya ujian (bagimu). Karena itu, janganlah kamu kafir." Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya” (Al-Baqarah: 102).
Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan takwil ayat ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa huruf ma adalah nafiyah, yakni huruf ma yang terdapat di dalam firman-Nya, "Wa ma unzila 'alal malakaini." Al-Qurthubi mengatakan bahwa ma adalah nafiyah, ia di-'ataf-kan kepada firman-Nya, "Wa ma kafara Sulaimanu." Selanjutnya dalam ayat berikut disebutkan: “Hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat” (Al-Baqarah: 102). Karena dahulu orang-orang Yahudi mengira bahwa ilmu sihir tersebut diturunkan oleh Malaikat Jibril dan Mikail. Maka Allah ﷻ membantah kedustaan mereka itu melalui firman-Nya: “yaitu Harut dan Marut” (Al-Baqarah: 102). Kedudukan kedua lafal ini menjadi badal dari lafal syayatin. Selanjutnya Al-Qurthubi mengatakan, hal seperti ini dinilai sah, mengingat adakalanya jamak itu disebut dengan lafal yang menunjukkan pengertian dua, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: “jika yang meninggal itu mempunyai beberapa orang saudara” (An-Nisa: 11). Atau karena keduanya mempunyai banyak pengikut, atau keduanya diprioritaskan dalam sebutan di antara mereka karena keduanya sangat jahat. Bentuk kalimat secara lengkap menurut Al-Qurthubi ialah seperti berikut: "Mereka mengajarkan sihir kepada manusia di Babil, yakni Harut dan Marut." Kemudian Al-Qurthubi mengatakan, "Takwil inilah yang menurut pendapatku merupakan takwil yang paling utama dan paling sahih pada ayat ini, sedangkan yang lainnya tidak perlu diperhatikan lagi."
Ibnu Jarir meriwayatkan berikut sanadnya melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan tafsir firman-Nya: “Dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil” hingga akhir ayat. (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah ﷻ tidak menurunkan sihir. Menurut riwayat lain berikut sanadnya Ibnu Jarir mengemukakan pula melalui Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa Allah ﷻ menurunkan ilmu sihir kepada keduanya. Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa takwil ayat ini seperti berikut: "Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman, yaitu berupa ilmu sihir, padahal Sulaiman tidak mengerjakan sihir dan Allah pun tidak pernah menurunkan ilmu sihir kepada dua malaikat, hanya setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan ilmu sihir pada manusia di Babil, yakni Harut dan Marut." Dengan demikian, berarti lafal bibabila haruta wa maruta termasuk lafal yang diakhirkan, tetapi maknanya didahulukan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa seandainya ada seseorang bertanya, "Apakah alasan yang membolehkan taqdim (pendahuluan) tersebut?" Sebagai jawabannya ialah dikemukakan bahwa takwil ayat seperti berikut: "Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman, yakni berupa ilmu sihir, padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), tidak pula Allah menurunkan ilmu sihir kepada dua malaikat, hanya setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan ilmu sihir kepada manusia di Babil, yaitu Harut dan Marut." Lafal malakaini dimaksudkan adalah Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail, karena para ahli sihir orang-orang Yahudi menurut berita yang tersiar di kalangan mereka mengira bahwa Allah ﷻ telah menurunkan ilmu sihir melalui lisan Jibril dan Mikail yang disampaikan kepada Sulaiman ibnu Daud. Maka Allah membantah tuduhan yang mereka lancarkan itu, dan memberitahukan kepada Nabi-Nya (Nabi Muhammad ﷺ) bahwa Jibril dan Mikail sama sekali tidak pernah menurunkan ilmu sihir. Dan Allah ﷻ membersihkan diri Nabi Sulaiman a.s. dari tuduhan mempraktekkan sihir yang mereka lancarkan itu. Sekaligus Allah memberitahukan kepada mereka (orang-orang Yahudi) bahwa sihir itu merupakan perbuatan setan. Setan-setanlah yang mengajarkannya kepada manusia di Babil. Orang-orang yang mengajarkan sihir kepada mereka adalah dua orang lelaki, salah seorangnya bernama Harut, sedangkan yang lain adalah Marut. Berdasarkan takwil ini berarti Harut dan Marut adalah nama manusia, sekaligus sebagai bantahan terhadap apa yang mereka tuduhkan terhadap kedua malaikat (Jibril dan Mikail). Demikianlah kutipan dari Ibnu Jarir secara harfiah.
Sesungguhnya Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ia pernah menceritakan riwayat berikut dari Ubaidillah ibnu Musa yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Marzuq, dari Atiyyah sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Wa ma unzila 'alal malakaini," bahwa Allah sama sekali tidak menurunkan ilmu sihir kepada Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Al-Fadl ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Yala (yakni Ibnu Asad), telah menceritakan kepada kami Bakr (yakni Ibnu Mus'ab), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Abu Ja'far, bahwa Abdur Rahman ibnu Abza selalu membaca ayat berikut dengan bacaan: “Wa ma unzila 'alal malakaini Dawuda wa Sulaimana.” Abul Aliyah mengatakan bahwa Allah tidak menurunkan ilmu sihir kepada keduanya (Daud dan Sulaiman). Keduanya mengajarkan tentang iman dan memperingatkan terhadap kekufuran, sedangkan sihir termasuk perbuatan kafir. Keduanya selalu melarang perbuatan kufur dengan larangan yang sangat keras. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Kemudian Ibnu Jarir melanjutkan kata-katanya sehubungan dengan bantahannya terhadap pendapat Al-Qurthubi tadi, bahwa huruf ma dalam ayat ini bermakna al-lazi; lalu ia membahasnya dengan pembahasan yang panjang lebar. Ia mengira bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat yang diturunkan ke bumi oleh Allah ﷻ. Allah mengizinkan keduanya untuk mengajarkan ilmu sihir sebagai cobaan buat hamba-hamba-Nya, sekaligus sebagai ujian, sesudah Allah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan rasul-rasul-Nya bahwa melakukan sihir itu merupakan perbuatan terlarang. Ibnu Jarir menduga pula bahwa Harut dan Marut dalam mengajarkan ilmu sihir tersebut dianggap sebagai malaikat yang taat, mengingat keduanya dalam rangka melaksanakan perintah Allah. Pendapat yang dianut oleh Ibnu Jarir ini sangat gharib (aneh). Tetapi ada pendapat yang lebih gharib lagi dari itu, yaitu pendapat orang yang mengatakan bahwa Harut dan Marut adalah dua kabilah dari kalangan makhluk jin, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hazm.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan berikut sanadnya melalui Adh-Dhahhak ibnu Muzahim, bahwa ia pernah membacakan wama unzila 'alal malakaini, lalu ia mengatakan bahwa keduanya adalah dua orang kafir dari kalangan penduduk negeri Babil. Alasan yang dipegang oleh orang-orang yang berpendapat demikian ialah bahwa al-inzal di sini bermakna menciptakan, bukan menurunkan; seperti pengertian yang terkandung di dalarn firman Allah ﷻ lainnya, yaitu: “Dia ciptakan bagi kalian delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak” (Az-Zumar: 6). “Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat” (Al-Hadid: 25). “Dan Dia menciptakan untuk kalian rezeki dari langit” (Al-Mumin: 13). Di dalam sebuah hadits disebutkan seperti berikut: "Tidak sekali-kali Allah menciptakan penyakit melainkan Dia menciptakan pula obat penawarnya. Sebagaimana dikatakan dalam suatu pepatah, ‘Allah menciptakan kebaikan dan keburukan’."
Al-Qurthubi meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, Ibnu Abza, dan Al-Hasan Al-Basri, bahwa mereka membaca ayat ini seperti berikut: Wama unzila 'alal malikaini, dengan huruf lam yang di-kasrah-kan. Ibnu Abza mengatakan, yang dimaksud dengan al-malikaini adalah Daud dan Sulaiman. Imam Qurtubi mengatakan bahwa dengan bacaan ini berarti huruf ma adalah nafiyah. Ulama lainnya berpendapat mewaqafkan pada firman-Nya, "Yu'allimunan nasas sihra," sedangkan huruf ma adalah nafiyah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Al-Al-Laits, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim ibnu Muhammad ketika ditanya mengenai takwil firman-Nya oleh seorang lelaki, yaitu: “Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut” (Al-Baqarah: 102). Bahwa keduanya adalah dua orang lelaki, mereka mengajarkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada keduanya.
Menurut yang lain, keduanya mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diturunkan kepada keduanya. Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan, "Aku tidak pedulikan lagi mana yang dimaksud di antara keduanya." Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Yunus, dari Anas ibnu Iyad, dari sebagian teman-temannya, bahwa Al-Qasim ibnu Muhammad sehubungan dengan kisah ini mengatakan, "Aku tidak mempedulikan mana yang dimaksud di antaranya, pada prinsipnya aku tetap beriman kepadanya."
Kebanyakan ulama Salaf berpendapat bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat dari langit, dan bahwa keduanya diturunkan ke bumi, kemudian terjadilah apa yang dialami oleh keduanya. Kisah keduanya itu disebutkan di dalam hadits marfu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnadnya, seperti yang akan kami kemukakan nanti, insya Allah. Berdatsarkan pengertian ini, berarti dari penggabungan antara pendapat ini dengan dalil-dalil yang menyatakan bahwa para malaikat itu terpelihara dari kesalahan dapat disimpulkan bahwa peristiwa yang dialami oleh kedua malaikat ini sejak zaman azali telah diketahui oleh ilmu Allah.
Dengan demikian, berarti peristiwa ini merupakan kekhususan bagi keduanya; maka tidak ada pertentangan pada kedua dalilnya, seperti juga yang telah diketahui oleh ilmu Allah mengenai perkara iblis dalam keterangan terdahulu. Tidak bertentangan pula dengan pendapat yang mengatakan bahwa pada awalnya iblis merupakan segolongan dari malaikat, sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan’.” (Al-Baqarah: 34). Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan makna tersebut. Tetapi perlu diingat bahwa apa yang dilakukan oleh Harut dan Marut bila ditinjau dari kisah keduanya jauh lebih ringan daripada apa yang dialami oleh iblis yang dilaknat Allah. Hal ini diriwayatkan oleh Al-Qurthubi, dari Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ka'b Al-Ahbar, As-Suddi, dan Al-Kalbi.
Hadits yang menceritakan tentang Harut dan Marut.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan di dalam kitab Musnad-nya, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Muhammad, dari Musa ibnu Jubair, dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar, bahwa ia mendengar Nabi ﷺ bersabda: Sesungguhnya Adam a.s. ketika diturunkan oleh Allah ke bumi, para malaikat berkata, "Wahai Tuhan, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." Mereka bermaksud, "Wahai Tuhan kami, kami lebih taat kepada-Mu daripada Bani Adam." Allah berfirman kepada para malaikat, "Datangkanlah dua malaikat oleh kalian untuk Kami turunkan ke bumi, lalu Kami lihat apa yang akan dikerjakan oleh keduanya." Mereka berkata, "Wahai Tuhan kami, Harut dan Marut."
Kemudian keduanya diturunkan ke bumi, dan diciptakan bagi keduanya Zahrah, yaitu seorang wanita yang paling cantik di masanya. Lalu Zahrah datang kepada keduanya, maka keduanya meminta agar Zahrah menyerahkan diri kepadanya. Zahrah menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua mengucapkan kalimat-kalimat ini (yang mengandung makna kemusyrikan)." Kedua malaikat itu menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak mau menyekutukan Allah dengan sesuatu pun untuk selama-lamanya." Zahrah pergi dari keduanya, lalu kembali lagi dengan membawa seorang bayi laki-laki yang digendongnya. Kedua malaikat itu meminta Zahrah agar menyerahkan diri kepada keduanya, maka Zahrah menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua membunuh bayi kecil ini." Keduanya menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak akan membunuhnya selama-lamanya."
Zahrah pergi meninggalkan keduanya, lalu kembali lagi dengan membawa sebuah wadah yang berisikan khamr (minuman keras). Ketika keduanya meminta agar ia menyerahkan diri kepada keduanya, maka ia menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua meminum khamr ini." Keduanya meminum khamr itu hingga mabuk, dan akhirnya keduanya menggauli Zahrah, lalu membunuh anak kecil itu. Ketika keduanya sadar, si wanita itu (yakni Zahrah) berkata kepada keduanya, "Demi Allah, tiada sesuatu pun yang pada mulanya kamu berdua menolakku, tidak mau melakukannya, melainkan sekarang kamu telah melakukannya di saat kamu berdua mabuk." Akhirnya kedua malaikat itu disuruh memilih antara azab di dunia dan azab di akhirat sebagai hukuman terhadap kesalahannya, maka keduanya memilih azab di dunia.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Hatim ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui Al-Hasan, dari Sufyan, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yahya ibnu Bukair. Hadits ini berpredikat gharib (aneh) ditinjau dari sanad ini; semua perawinya berpredikat tsiqah (terpercaya), semuanya dari kalangan para perawi kitab Shahihain, kecuali Musa ibnu Jubair. Dia adalah seorang dari Anshar, dari kabilah As-Sulami; maula mereka adalah Al-Madini Al-Hazza. Musa ibnu Jubair ini meriwayatkan haditsnya dari Ibnu Abbas, Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif, Nafi', dan Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik. Orang-orang yang telah mengambil hadits darinya ialah anak lelakinya sendiri (yaitu Abdus Salam), Bakr ibnu Mudar, Zuhair ibnu Muhammad, Sa'id ibnu Salamah, Abdullah ibnu Luhai'ah, Amr ibnul Haris, dan Yahya ibnu Ayyub. Orang-orang yang meriwayatkan haditsnya ialah Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Al-Jarhu wat Ta'dil menyebutkannya, tetapi dia tidak sedikit pun menceritakan tentang pribadinya, baik yang menyangkut hadits ini atau pun yang lainnya. Kesimpulannya adalah dia adalah perawi yang keadaannya tidak diketahui. Sesungguhnya dia menyendiri dengan hadits ini, dari Nafi' maula Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ.
Tetapi menurut Ibnu Mardawaih, ada seorang mutabi yang meriwayatkan hadits ini melalui Nafi' dari jalur lain, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ali ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abdulah ibnu Raja', telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Sarjis, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda mengatakan hadits ini. Lalu ia menyebut hadits ini secara panjang lebar.
Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada Al-Husain (yakni Sunaid ibnu Daud, penulis kitab tafsir), telah menceritakan kepada kami Al-Faraj ibnu Fudalah, dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Nafi'. Nafi' menceritakan bahwa ia pernah bepergian bersama Ibnu Umar. Ketika malam hari sampai pada penghujung waktunya, Ibnu Umar berkata, "Wahai Nafi', lihatlah apakah bintang merah telah terbit?" Aku menjawab, "Belum," sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian aku katakan, "Ia telah terbit." Ibnu Umar menjawab, "Tiada selamat terbit dan tiada selamat datang baginya." Aku berkata, "Subhanallah (Mahasuci Allah), bintang itu diciptakan dalam keadaan tunduk dan taat (kepada perintah Allah)." Ia menjawab bahwa tidak sekali-kali ia mengatakan demikian melainkan setelah ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya menceritakan kisah berikut, yaitu: Sesungguhnya para malaikat pernah berkata, "Wahai Tuhan, bagaimanakah Engkau sabar terhadap Bani Adam yang gemar melakukan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa itu?" Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku memberikan ujian kepada mereka, sedangkan kalian Kubebaskan dari ujian." Mereka berkata, "Seandainya kami menggantikan mereka, niscaya kami tidak akan durhaka kepada-Mu." Allah ﷻ berfirman, "Pilihlah oleh kalian dua malaikat dari kalangan kalian." Maka mereka mengerahkan segala kemampuannya untuk melakukan pilihan, akhirnya mereka memilih Harut dan Marut.
Riwayat ini pun sangat gharib (aneh). Yang lebih dekat kepada kebenaran dalam hal ini ialah yang bersumber dari riwayat Abdullah ibnu Umar, dari Ka'b Al-Ahbar, tetapi bukan dari Nabi ﷺ. Seperti yang dikatakan oleh Abdur Razzaq di dalam kitab tafsirnya, dari Ats-Tsauri, dari Musa ibnu Uqbah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Ka'b Al-Ahbar yang menceritakan riwayat berikut: Para malaikat membicarakan tentang amal perbuatan anak-anak Adam dan dosa-dosa yang dilakukan mereka. Maka dikatakan kepada para malaikat, "Pilihlah dua malaikat dari kalangan kalian." Lalu mereka memilih Harut dan Marut, dan Allah ﷻ berfirman kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku akan mengirimkan para rasul kepada Bani Adam, tetapi antara Aku dan kamu berdua tidak ada rasul. Turunlah kamu berdua (ke bumi); janganlah kamu sekutukan Aku dengan sesuatu pun, jangan berzina, dan jangan minum khamr." Ka'b melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, tidak sekali-kali keduanya mengalami sore hari pada hari mereka diturunkan ke bumi, melainkan keduanya telah rampung mengerjakan semua hal yang keduanya dilarang melakukannya." Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui dua jalur periwayatan dari Abdur Razzaq dengan lafal yang sama.
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ahmad ibnu Isham, dari Muammal, dari Sufyan Ats-Tsauri dengan lafal yang sama. Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-MAla (yaitu Ibnu Asad), telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnul Mukhtar, dari Musa ibnu Uqbah, telah menceritakan kepadaku Salim, bahwa ia pernah mendengar Abdullah menceritakan riwayat berikut dari Ka'b ibnul Ahbar, lalu ia mengetengahkannya. Riwayat terakhir ini lebih sahih dan lebih kuat sanadnya (sandarannya) sampai kepada Abdullah ibnu Umar daripada kedua sanad sebelumnya. Salim lebih kuat predikatnya bila dinisbatkan kepada ayahnya sendiri ketimbang kepada maulanya, Nafi'. Hadits ini merujuk dan berpangkal kepada kutipan Ka'b Al-Ahbar yang ia ambil dari kitab-kitab Bani Israil.
Atsar yang menceritakan tentang Harut, Marut dan Zahrah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Khalid Al-Hazza, dari Umair ibnu Sa'id yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Ali menceritakan atsar berikut: “Zahrah adalah seorang wanita cantik dari kalangan penduduk negeri Persia. Sesungguhnya ia pernah mengadukan suatu perkara kepada dua malaikat, yaitu Harut dan Marut. Akan tetapi, Harut dan Marut merayunya agar mau menyerahkan diri kepada keduanya. Ia menolak ajakan tersebut, kecuali bila keduanya mengajarkan kepadanya suatu mantera yang bila dibacakan oleh seseorang, maka ia dapat terbang naik ke langit. Lalu keduanya mengajarkan mantera itu kepadanya, dan ia segera merapalkannya. Maka naiklah ia ke langit, tetapi setelah itu ia dikutuk (oleh Allah ﷻ) menjadi sebuah bintang (yaitu bintang Zahrah atau Venus).” Sanad riwayat ini semua perawinya berpredikat tsiqah (terpercaya), tetapi dinilai sangat gharib (aneh).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari Abu Khalid, dari Umair ibnu Sa'id, dari Ali yang mengatakan bahwa keduanya adalah malaikat dari langit. Yang dimaksud ialah takwil yang terkandung di dalam firman-Nya: “Dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat” (Al-Baqarah: 102). Atsar ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih di dalam kitab tafsirnya berikut sanadnya melalui Mugis, dari maulanya (yaitu Ja'far ibnu Muhammad), dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ali secara marfu'. Hal ini pun tidak dapat menguatkan sanad hanya dari segi ini. Kemudian Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkannya pula melalui dua jalur yang lain, dari Jabir, dari Abut Tufail, dari Ali yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Semoga Allah melaknat Zahrah, karena sesungguhnya dialah yang memfitnah dua malaikat, yaitu Harut dan Marut.” Hadits ini pun tidak sahih, bahkan berpredikat sangat munkar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, bahwa keduanya pernah menceritakan atsar berikut:
Ketika Bani Adam bertambah banyak jumlahnya dan mereka sering melakukan maksiat, maka para malaikat, bumi, dan gunung-gunung mendoakan kebinasaan bagi mereka, "Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau beri tangguh mereka." Maka Allah ﷻ berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya telah Aku lenyapkan dari hati kalian nafsu berahi dan setan, sedangkan di dalam hati mereka Aku jadikan nafsu berahi dan setan. Seandainya kalian menduduki tempat mereka, niscaya kalian pun akan melakukan hal yang sama." Maka dalam hati para malaikat terbesit kata-kata yang mengatakan, "Seandainya mereka dicoba, niscaya mereka akan berteguh hati." Maka Allah berfirman kepada mereka, "Pilihlah dua malaikat dari kalangan malaikat yang paling utama dari kalian." Lalu mereka memilih Harut dan Marut, kemudian keduanya diturunkan ke bumi.
Lalu Zahrah diturunkan dalam rupa seorang wanita cantik dari kalangan penduduk negeri Persia yang dikenal oleh mereka dengan sebutan Baizakhat. Akhirnya kedua malaikat itu terjerumus ke dalam perbuatan dosa. Pada mulanya malaikat selalu memohonkan ampunan buat orang-orang yang beriman saja (seraya mengucapkan): “Wahai Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu,” hingga akhir ayat, (Al-Mumin: 7). “Akan tetapi, setelah kedua malaikat tersebut terjerumus ke dalam perbuatan dosa, maka mereka memohonkan ampun buat semua orang yang berada di muka bumi (seraya mengucapkan): “Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Asy-Syura: 5). Lalu keduanya disuruh memilih antara azab di dunia dan azab di akhirat sebagai hukuman atas kesalahan mereka, maka keduanya memilih azab di dunia.
Ibnu Abu Hatim menceritakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far Ar-Ruqi, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Amr), dari Zaid ibnu Abu Anisah, dari Al-Minhal ibnu Amr dan Yunus ibnu Khabbab, dari Mujahid yang menceritakan atsar berikut:
Aku turun istirahat di rumah Abdullah ibnu Amr dalam suatu perjalananku. Ketika datang suatu malam, ia berkata kepada pelayannya, "Lihatlah apakah bintang Hamra terbit? Tiada selamat datang dan tiada selamat terbit buatnya, dan semoga Allah tidak menghidupkannya lagi; dia adalah teman wanita dari dua malaikat." Ibnu Umar melanjutkan kisahnya bahwa pada mulanya para malaikat berkata, "Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau biarkan saja orang-orang durhaka dari kalangan Bani Adam itu? Mereka gemar mengalirkan darah secara haram, mengerjakan hal-hal yang diharamkan oleh-Mu, dan membuat kerusakan di muka bumi." Allah ﷻ berfirman, "Sesungguhnya Aku menguji mereka. Mungkin jika Aku berikan kepada kalian ujian yang sama seperti ujian yang Kuberikan kepada mereka, maka kalian pun akan mengerjakan seperti apa yang dilakukan mereka itu." Mereka menjawab, "Tidak mungkin." Allah ﷻ berfirman, "Pilihlah oleh kalian dua malaikat yang terkemuka dari kalian." Maka mereka memilih Harut dan Marut. Allah ﷻ berfirman kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku akan menurunkan kamu berdua ke bumi dan mengadakan perjanjian dengan kamu, bahwa kamu tidak boleh musyrik, tidak boleh berzina, dan tidak boleh khianat."
Kedua malaikat itu diturunkan ke bumi dan Allah memberinya nafsu syahwat, lalu Allah pun menurunkan Zahrah bersama keduanya dalam rupa seorang wanita yang paling cantik. Zahrah menampakkan diri kepada keduanya, maka keduanya merayu Zahrah agar menyerahkan diri kepada keduanya. Tetapi Zahrah berkata, "Sesungguhnya aku adalah pemeluk suatu agama yang melarang seseorang mendatangiku kecuali jika orang itu seagama denganku," Keduanya bertanya, "Apakah agamamu?" Zahrah menjawab, "Majusi." Keduanya berkata, "Agama musyrik. Ini adalah agama yang sama sekali tidak kami akui." Maka Zahrah pergi meninggalkan keduanya selama masa yang dikehendaki oleh Allah ﷻ. Kemudian Zahrah menampakkan diri lagi kepada keduanya, lalu keduanya merayunya agar menyerahkan diri kepada keduanya, tetapi Zahrah menjawab, "Aku mau menuruti kehendakmu berdua, hanya saja aku mempunyai suami dan aku tidak suka bila suamiku nanti mengetahui perbuatanku yang akibatnya rahasiaku akan terbongkar. Akan tetapi, jika kamu berdua berjanji kepadaku mau masuk agamaku dan mengajarkan kepadaku cara naik ke langit, niscaya aku akan memenuhi kemauanmu." Keduanya memasuki agama wanita itu dan mendatanginya seperti apa yang dikehendaki oleh keduanya. Setelah itu keduanya membawa Zahrah naik ke langit. Tetapi setelah mereka sampai di langit, wanita itu diculik dari tangan keduanya, dan sayap keduanya dipotong hingga akhirnya keduanya terjatuh ke bumi dalam keadaan takut, menyesal, dan menangisi perbuatannya.
Pada masa itu di bumi terdapat seorang nabi yang selalu memanjatkan doa di antara dua Jumat; apabila datang hari Jumat berikutnya, maka doanya diperkenankan. Keduanya berkata "Sebaiknya kita datang kepada si Fulan (nabi tersebut), lalu kita meminta kepadanya agar sudi memohonkan tobat buat kita." Keduanya datang kepada nabi itu, lalu si nabi berkata, "Semoga Allah mengasihani kamu berdua, mana mungkin penduduk bumi memohonkan tobat buat penduduk langit?" Keduanya berkata, "Sesungguhnya kami telah tertimpa musibah." Nabi berkata, "Kalau demikian, datanglah kamu berdua pada hari Jumat." Pada hari Jumat keduanya datang kepada nabi itu, dan nabi berkata, "Aku masih belum dikabulkan barang sedikit pun buat kamu berdua.Sebaiknya kamu datang lagi kepadaku pada hari Jumat berikutnya." Maka keduanya datang kepadanya pada Jumat berikutnya. Nabi itu berkata, "Kamu berdua harus memilih, karena sesungguhnya kamu disuruh memilih salah satu di antara dua alternatif (sebagai hukuman terhadap kesalahanmu). Kamu boleh memilih selamat di dunia dan azab di akhirat. Atau jika kamu suka, boleh memilih azab di dunia, sedangkan di akhirat urusan kamu berdua berada di tangan kekuasaan Allah." Salah satu dari keduanya berkata, "Sesungguhnya masa yang dilalui oleh dunia baru sebentar." Yang lain mengatakan, "Celakalah kamu, sesungguhnya aku pada mulanya mau menuruti kemauanmu, sekarang kamu harus mau menuruti kemauanku. Sesungguhnya azab yang fana (azab di dunia) tidaklah seperti azab yang kekal (azab di akhirat)." Malaikat pertama berkata, "Sesungguhnya kita di hari kiamat nanti berada dalam tangan kekuasaan Allah, maka aku merasa takut bila Dia mengazab kita nantinya." Malaikat yang kedua menjawab, "Tidak, sesungguhnya aku berharap Allah pasti mengetahui bahwa kita telah memilih azab di dunia karena takut azab akhirat, semoga saja Dia tidak menggabungkan keduanya pada kita." Keduanya sepakat memilih azab di dunia, maka keduanya dijungkirkan dalam keadaan terikat oleh rantai besi ke dalam sebuah lubang yang bagian atas dan bagian bawahnya dipenuhi oleh api.
Sanad riwayat ini berpredikat jayyid (baik) sampai kepada Abdullah ibnu Umar. Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan predikat marfu' pada riwayat Ibnu Jarir melalui hadits Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Nafi'. Akan tetapi, sanad riwayat ini lebih kuat dan lebih sahih. Kemudian perlu diketahui bahwa riwayat Ibnu Umar bersumber dari Ka'b, seperti yang diterangkan dahulu pada riwayat Salim, dari ayahnya. Bagian hadits yang mengatakan bahwa sesungguhnya Zahrah diturunkan dalam rupa seorang wanita yang cantik. Demikianlah menurut riwayat dari Ali, di dalamnya terkandung hal yang sangat aneh.
Atsar paling dekat kepada kebenaran sehubungan dengan masalah ini ialah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Qais ibnu Abbad, dari Ibnu Abbas yang menceritakan kisah berikut:
Ketika manusia sesudah masa Nabi Adam a.s. terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan maksiat dan kufur kepada Allah, maka para malaikat yang ada di langit berkata, "Wahai Tuhan, makhluk yang telah Engkau ciptakan hanya untuk beribadah dan taat kepada-Mu kini telah terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang membinasakan. Mereka mengerjakan kekufuran, membunuh jiwa, memakan harta haram, zina, mencuri, dan minum khamr." Lalu para malaikat mengutuk perbuatan mereka dan tidak memaafkan mereka. Ketika dikatakan kepada para malaikat bahwa mereka dalam keadaan tidak sadar, maka para malaikat tetap pada sikapnya. Dikatakan kepada mereka (para malaikat), "Pilihlah oleh kalian dua malaikat yang paling utama di antara kalian, Aku akan membebankan perintah dan larangan kepadanya." Lalu mereka memilih Harut dan Marut, keduanya diturunkan ke bumi, dan dibekalkan kepada keduanya berbagai macam hawa nafsu seperti Bani Adam (manusia).
Allah memerintahkan kepada keduanya agar menyembah-Nya dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Allah melarangnya membunuh jiwa yang diharamkan dan memakan harta yang haram, serta melarangnya berzina, mencuri, dan minum khamr. Keduanya tinggal di bumi seraya memutuskan hukum di antara manusia dengan benar selama beberapa waktu. Hal ini terjadi di masa Nabi Idris a.s.. Di zaman itu terdapat seorang wanita yang kecantikannya di antara wanita-wanita lainnya sama dengan kecantikan bintang Zahrah (Venus) di antara bintang-bintang lainnya.
Kedua malaikat itu sering datang kepadanya, dan akhirnya keduanya menuruti apa yang dikatakan oleh wanita itu. Keduanya menginginkan diri wanita itu, tetapi si wanita menolak kecuali jika keduanya menuruti apa yang dikatakannya dan memasuki agamanya. Keduanya bertanya kepada si wanita tentang agama yang dipeluknya, lalu si wanita mengeluarkan sebuah berhala untuk keduanya dan berkata, "Sembahlah ini!" Kedua malaikat menjawab, "Kami tidak perlu menyembah berhala ini." Lalu keduanya pergi dan tidak datang lagi selama masa yang dikehendaki oleh Allah. Keduanya datang lagi kepada wanita itu dan menginginkan diri wanita tersebut, sedangkan si wanita melakukan hal yang sama, lalu keduanya pergi meninggalkannya. Akan tetapi, setelah itu keduanya datang lagi dan menginginkan diri si wanita itu. Ketika si wanita melihat bahwa keduanya tetap menolak tidak mau menyembah berhala maka berkatalah ia, "Pilihlah olehmu salah satu di antara ketiga perkara ini, yaitu apakah kamu berdua menyembah berhala ini, atau kamu berdua membunuh jiwa ini, atau kamu berdua meminum khamr ini." Keduanya mengatakan, "Semuanya tidak pantas dilakukan, tetapi yang paling ringan dari kesemuanya ialah meminum khamr."
Maka keduanya meminum khamr itu hingga mabuk. Akhirnya mereka berdua menggauli wanita itu tanpa sadar; dan karena rasa takut perbuatan keduanya akan diceritakan kepada orang lain, maka keduanya membunuh wanita tersebut. Ketika rasa mabuk telah lenyap dari keduanya dan keduanya menyadari perbuatan dosa yang telah dilakukannya, maka keduanya bermaksud naik ke langit; tetapi tidak bisa, seakan-akan keduanya dihalangi hingga tidak dapat terbang. Tersingkaplah penutup antara keduanya dan semua malaikat penduduk langit. Maka para malaikat melihat apa yang telah dilakukan oleh keduanya hingga mereka semua merasa sangat heran. Akhirnya mereka mengetahui bahwa orang yang dalam keadaan tidak sadar, rasa takutnya berkurang. Sejak itu para malaikat memohonkan ampun buat penduduk bumi.”
Sehubungan dengan kisah tersebut diturunkanlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi” (Asy-Syura: 5).
Lalu dikatakan kepada keduanya, "Pilihlah oleh kamu berdua azab dunia atau azab akhirat." Keduanya berkata, "Adapun azab dunia, sesungguhnya ia ada masa akhirnya dan berhenti, sedangkan azab akhirat tidak ada putus-putusnya." Keduanya memilih azab di dunia, lalu keduanya diazab di negeri Babil sebagai hukuman atas kesalahan mereka.
Atsar ini diriwayatkan pula secara panjang lebar oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui Abu Zakaria Al-Anbari, dari Muhammad ibnu Abdus Salam, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari Hakkam ibnu Salam Ar-Razi (dia seorang yang tsiqah), dari Abu Ja'far Ar-Razi dengan lafal yang sama. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini sahih sanadnya, hanya keduanya (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya. Atsar ini merupakan riwayat yang lebih dekat kepada kebenaran dalam masalah Zahrah ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnul Fadl Al-Hazza'i, telah menceritakan kepada kami Yazid (yakni Al-Farisi), dari Ibnu Abbas yang menceritakan atsar berikut:
Bahwa penduduk langit dunia memandang kepada penduduk bumi, maka penduduk langit (para malaikat) melihat mereka sering mengerjakan kemaksiatan-kemaksiatan. Lalu para malaikat berkata, "Wahai Tuhan ka
Dan jika mereka beriman dan bertakwa, takut kepada azab Allah, pahala dari Allah pasti lebih baik daripada sihir yang menyibukkan mereka, sekiranya mereka tahuWahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu katakan, Ra''ina',2 yang berarti, Peliharalah dan jagalah kami, kepada Rasulullah karena kata itu akan dimanfaatkan oleh orang-orang Yahudi untuk berolokolok yang menyerupai kata ra'unah, yang berarti bebal dan sangat bodoh, tetapi katakanlah, Undhurna' (Perhatikanlah kami), dalam mempelajari agama dan dengarkanlah serta taatilah perintah-perintah Allah kepadamu dan janganlah kamu menyerupai orang-orang Yahudi yang berkata, Kami mendengar dan kami ingkar. Dan orang-orang kafir dari kaum Yahudi itu akan mendapat azab yang pedih akibat olokolok mereka kepada Rasulullah.
Allah ﷻ menerangkan bahwa jika orang-orang Yahudi percaya kepada Kitab mereka dan bertakwa, tentulah mereka akan mendapat pahala yang besar. Selanjutnya Allah menerangkan bahwa mereka itu dalam setiap perbuatan dan kepercayaan tidak didasarkan pada ilmu pengetahuan yang benar, karena kalau mereka mendasarkan kepercayaan dan perbuatannya itu pada ilmu pengetahuan, tentulah mereka percaya pada Nabi Muhammad saw, dan mengikutinya, dan tentulah mereka tergolong pada orang-orang yang berbahagia. Tetapi kenyataannya mereka itu hanya mengikuti dugaan dan bertaklid semata. Sebenarnya di antara perbuatan mereka yang keterlaluan ialah mereka menyalahi isi kitab Taurat itu, dan mereka bergerak di bawah kekuasaan hawa nafsu dan kemauan mereka, sehingga mereka jatuh dalam kesesatan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 102-103
Tersebut di dalam Perjanjian Lama, dalam Kitab Raja-Raja 1, pasal 11 dari ayat 1 sampai 10 bahwa Nabi kita Sulaiman ‘alaihis salam di hari tuanya telah menyembah berhala, untuk menuruti kehendak istri-istri baginda yang banyak itu. Di situlah tersebut bahwa istri Baginda Sulaiman 700 dan gundiknya 300. Dikatakan pada ayat 3 bahwa segala istrinya itu menyesatkan baginda sehingga baginda dirikan beberapa rumah penyembahan berhala dan turut baginda pergi menyembah berhala itu, sehingga Tuhan Allah murka kepadanya dan menyatakan bahwa setelah dia mangkat kerajaannya akan mundur, tidak semegah di zaman ayahnya Nabi Dawud lagi. Kitab Raja-Raja yang menuliskan cerita Nabi Sulaiman murtad itu menurut kepercayaan orang Yahudi adalah termasuk dalam gabungan kitab Taurat juga. Dengan demikian, orang Yahudi pun percaya bahwa Nabi Sulaiman telah kafir. Inilah yang dibantah keras oleh ayat ini.
Ayat 102
“Dan mereka ikut apa yang diceritakan oleh setan-setan tentang kerajaan Sulaiman, padahal tidaklah kafir Sulaiman, akan tetapi setan-setan itulah yang kafir."
Siapakah setan-setan itu? Bukan saja Iblis halus yang setan, manusia kasar itu pun kalau telah membuat berbagai ragam dusta, terutama terhadap kesucian nabi Allah, adalah setan pula. Mereka itulah yang setan dan mereka itulah yang kafir. Selain dari menuduh bahwa Nabi Sulaiman di hari tuanya telah murtad, meninggalkan Allah dan menyembah dewa-dewa dan berhala-berhala, karena tertarik oleh istri-istrinya, mereka katakan pula bahwa Nabi Sulaiman itu banyak sihirnya. Kerajaan dipelihara atas kekuatan sihir."Mereka ajarkan kepada manusia sihir, dan apa yang diturunkan kepada kedua Malak di Babil, Harut dan Marut." Setan-setan itu juga, yaitu manusia-manusia setan mengajarkan sihir kepada orang dan mengatakan pula bahwa sihir itu adalah pusaka dari Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman menyimpan berbagai ragam sihir di bawah mahligai kerajaannya. inilah cerita setan-setan pembuat bohong yang diterima mereka turun-temurun, sampai menuduh Nabi Sulaiman telah murtad. Dicantumkan pula dalam kitab yang dinamai pula Taurat. Cerita yang tidak masuk akal terhadap seorang nabi Allah ini diikuti pula oleh Bani Israil di zaman Rasulullah ﷺ, bahkan mereka ceritakan pula kepada orang Islam yang ada masa itu. Tidak!—kata Tuhan—Sulaiman tidak kafir. Yang kafir ialah setan-setan itu. Sebab itu, apa yang dicatat dalam “kitab" yang dikatakan suci itu, bukanlah wahyu Ilahi, melainkan wahyu setan. Di samping mengajarkan sihir, tersebut pula cerita tentang dua orang Malak di negeri Babil, namanya yang seorang Harut dan yang seorang lagi Marut.
Di dalam qiraat yang umum bagi Al-Qur'an disebut malakaini, tetapi ada lagi qiraat Ibnu Abbas dan Abu Aswad dan lain, yaitu malikaini; yang pertama malak, artinya malaikat. Yang kedua malik, artinya raja. Jadi, menurut yang pertama, keduanya itu adalah malaikat adanya.
Ada ahli tafsir menuruti bunyi qiraat yang pertama malakaini, dua orang malaikat, menafsirkan bahwa memang dua malaikat turun dari langit buat membawa fitnah, tetapi mereka peringatkan kepada setiap orang yang hendak datang belajar sihir kepada mereka bahwa kalau kami ajarkan sihir ini jangan kamu pakai untuk yang buruk sebab kami ini datang hanya semata-mata sebagai percobaan atau ujian bagi kamu. Itulah yang disebut di lanjutan ayat, “Padahal mereka berdua tidaklah mengajar seorang melainkan sesudah keduanya berkata, ‘Kami ini tidak lain hanyalah suatu percobaan, maka janganlah kamu kafir.' Tetapi mereka pelajari daripada keduanya apa yang menceraikan di antara seseorang dengan istrinya."
Walaupun banyak ahli tafsir memakai tafsir ini atau penafsir-penafsir yang kemudian ikut menjalin cerita tafsir ini dengan tidak memakai timbangannya sendiri, namun kita tidaklah puas dengan tafsir begini. Dua malaikat turun dari langit. Sengaja mengajarkan sihir kepada orang. Kepada tiap orang yang belajar mereka katakan bahwa mereka datang hanyalah sebagai fitnah, percobaan atau ujian Tuhan bagi mereka. Kemudian diajarkannya juga sihir itu, yakni sihir yang berbahaya, yaitu ilmu bagaimana supaya suami-istri berkasih-kasihan bercerai karena pengaruh ilmu itu. Cobatah saudara-saudara pikirkan! Cara mengajarkan sihir demikian itu bukanlah kayak perbuatan malaikat, tetapi perbuatan penipu. Tentu maksud malakaini, dua malaikat di sini adalah lain. Ahli-ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa ada dua orang yang dipandang orang sebagai orang saleh di negeri Babil itu, namanya Harut dan Marut, sehingga lantaran terkenal salehnya disebut orang mereka malaikat. Sebagai pendusta-pendusta digelari setan-setan.
Menurut ahli tafsir yang berpendapat begini, kedua orang itu, Harut dan Marut, karena dia orang baik-baik sampai dikatakan orang seperti malaikat. Macam-macam ilmu yang mereka ajarkan. Ada juga yang meminta diajarkan sihir, mereka pun tahu ilmu itu, tetapi siapa yang hendak belajar diberinya nasihat terlebih dahulu supaya jangan dipergunakan kepada yang buruk. Yang belajar itu berjanji di hadapan keduanya tidak akan mempergunakan kepada yang buruk, tetapi setelah mereka keluar dari tempat gurunya itu, mereka pergunakanlah kepada yang buruk sehingga dapat menceraikan suami dengan istrinya. Ada lagi ahli tafsir menceritakan bahwa tiap orang yang akan belajar disuruhnya dahulu pergi buang air kecil. Setelah orang itu kembali lalu ditanyai oleh Harut dan Marut itu, adakah yang keluar? Kalau hanya air kencing saja yang keluar, belumlah mereka mau mengajar. Tetapi setelah ada yang mengatakan ada sesuatu yang keluar dari farajnya, langsung terbang ke langit, barulah orang itu diajarkan. Karena iman orang itu telah keluar dari dalam dirinya karena yang terbang itu ialah imannya. Maka kafirlah dia dan bisalah masuk pelajaran sihir kepadanya.
Ada pula satu riwayat lain yang lebih dahsyat. Dalam memberikan riwayat ini dibawa-bawa pula nama sahabat Rasulullah ﷺ yang saleh, yaitu Sayyidina Abdullah bin Umar. Kononnya malaikat-malaikat di langit mengomel-ngomel mengapa terlalu banyak anak Adam yang durhaka kepada Tuhan. Lalu Tuhan menjawab, “Kalau kamu sekalian bertempat di tempat anak Adam itu, kamu pun akan mendurhakai Aku." Malaikat menjawab, “Bagaimana kami akan durhaka, padahal kami siang dan malam hanya bertasbih memuji Engkau dan menyucikan Engkau." Tuhan menjawab, “Sekarang, cobalah pilih dua di antara kamu dan suruhlah mereka keduanya pergi ke dunia supaya kamu ketahui betapa sulitnya kedudukan anak Adam itu di dunia." Maka dipilih dua di antara malaikat-malaikat itu, yaitu Harut dan Marut, diutus ke dunia. Rupanya sesampai di dunia, benar saja mereka kena uji dengan ujian yang hebat. Mereka bertemu dengan seorang perempuan yang amat cantik. Mereka pun jatuh hati dan timbul syahwat sehingga mereka pun berbuat zinalah dengan perempuan itu dan telah mulai pula meminum minuman keras. Maka murkalah Tuhan kepada kedua malaikat itu. Mereka disuruh memilih adzab duniakah yang akan mereka terima atau adzab akhirat. Mereka pilihlah adzab dunia, biar sampai Kiamat. Maka diadzab Tuhanlah kedua malaikat itu, tergantung sekarang ini di antara langit dan bumi. Adapun perempuan yang telah menyebabkan mereka jatuh itu namanya Zuhrah, dikutuk Tuhan berganti menjadi bintang. Maka terbanglah dia ke langit sebelah timur. Itulah dia bintang Zuhrah yang terbit pagi itu (Bintang Timur).
Setengah ahli tafsir, sebagaimana as-Sayuthi dalam ad-Durrul Mantsur menyalinkan juga riwayat ini dengan tidak ada syarah (komentar) apa-apa. Ibnu Katsir menyalinkan juga sebagian. Tetapi penafsir al-Qurthubi membantah keras riwayat ini, mengatakan tidak mungkin riwayat ini dari sahabat yang mulia, Ibnu Umar. Setelah diselidiki, bertemu lagi sumber berita, yaitu dari Ka'ab al-Ahbar lagi, pendeta Yahudi yang masuk Islam itu, yang dalam kehidupannya sehari-hari adalah seorang Islam yang saleh, tetapi dia suka sekali mendongeng-dongeng seperti ini. Dialah sumber dari banyak penafsiran yang dinamai Israiliyat. Ibnu Katsir meskipun menyalinnya, dia dengan tegas menolak semua ini. Kata beliau, “Kesimpulannya ialah bahwa semuanya ini kembali kepada cerita-cerita Bani Israil sebab tidak ada dari hadits yang marfu' dan shahih yang ada rantai hubungannya dengan Nabi kita ash-Shadiq al-Mashduq (yang benar lagi dibenarkan), lagi ma'shum, yang apabila beliau bercakap tidaklah keluar dari kehendaknya sendiri. Dalam Al-Qur'an, kisah itu nyata, tidak panjang lebar seperti itu. Dan kita hanya beriman kepada yang tersebut dalam Al-Qur'an, menurut apa yang dikehendaki Allah." Demikian Ibnu Katsir.
Orang Islam yang bebas berpikir, yang semata-mata berpegang kepada Al-Qur'an dan hadits yang shahih, tidaklah tertarik memercayai cerita ini. Ini adalah cerita yang dikarang-karangkan saja oleh orang Yahudi. Campur aduk di antara dongeng-dongeng Yunani Kuno, yang mengatakan bahwa bintang Seroja atau bintang Tsuraiya yang oleh orang Yunani dinamai bintang Venus. Bintang Venus menurut mitologi orang Yunani adalah Dewi Kecantikan. Patung Venus Milo yang telah hilang tangannya, di zaman sekarang tersimpan di museum Kota Paris. Dongeng Harut dan Marut dengan bintang Zuhrah atau Tsuraiya sebagai jelmaan dari perempuan cantik yang dikatakan berbuat jahat dengan kedua malaikat itu ada terdapat dalam Talmud, dalam kitab Madrasa Yadkut, pasal 33. Inilah yang disalin begitu saja oleh orang-orang Islam yang ketagihan dongeng, mereka masukkan ke dalam tafsir Al-Qur'an, Ar-Razi menegaskan dalam tafsirnya bahwa kisah ini adalah dongeng yang tak dapat diterima akal.
Keterangan yang kalut tentang Harut dan Marut ini banyak. Rupanya ketika Al-Qur'an membantah dongeng setan-setan tentang kerajaan Nabi Sulaiman, telah timbul lagi dongeng lain yang tidak kurang lucunya.
Akan tetapi, penafsir Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan wa ma unzila (dan apa yang diturunkan kepada dua Malak), huruf ma mempunyai dua arti. Kadang-kadang ma berarti apa dan kadang-kadang berarti tidak. Maka menurut penafsiran beliau ialah, “Dan tidaklah diturunkan kepada kedua Malak Harut dan Marut',' sebagai lanjutan dari frase “dan tidaklah kafir Sulaiman", sebagai membantah cerita setan yang diikut-ikut oleh orang Yahudi itu, dan tidak pula ada yang diturunkan kepada kedua Malak Harut dan Marut di negeri Babil itu. Sebab selain dari mereka yang mengikut cerita setan-setan bahwa di negeri Babil ada dua orang Malak, diturunkan kepada keduanya ilham tentang sihir. Maka tidaklah mereka berdua mengajarkan sihir dan tidaklah mereka berdua memberi orang nasihat terlebih dahulu karena mereka datang adalah sebagai percobaan belaka supaya mereka jangan kafir. Sama sekali itu tidak ada! Demikian tafsir Ibnu Jarir. Sama sekali itu hanya cerita setan-setan penipu yang mereka ikut-ikut saja.
Dari kesimpulan ayat ini maka teranglah bahwa selain ikut menuduh Nabi Sulaiman telah kafir dan menuduh beliau banyak sihir, demikian juga dua Malak guru sihir di negeri Babil, selain dari soal-soal itu, di Madinah di waktu itu orang-orang Yahudi juga banyakyang asyik dengan sihir. Tetapi siapa yang dapat ter-pengaruh oleh sihir? Ialah orang yang lemah jiwanya atau yang percaya bahwa ada lagi sesuatu yang memberi mudharat di luar kehendak Allah. Sebab itu, tersebutlah di lanjutan ayat dengan tegas, “Dan tidaklah mereka dapat membahayakan seseorang dengan dia, melainkan dengan izin Allah" Artinya orang yang tidak diperlindungi Allah jualah yang dapat kena sihir, yaitu orang-orang yang terlebih dahulu jiwanya telah lemah."Dan mereka pelajari apa yang memberi mudharat kepada mereka, dan tidak memberi manfaat kepada mereka." Di sinilah dibuka kejahatan belajar sihir. Belajar sihir tidak ada dengan maksud baik, melainkan akan membawa bahaya saja bagi diri yang mempelajarinya. Sebab segala sihir ialah hendak menganiaya orang lain atau hendak menentang peraturan Allah yang telah berlaku atas alam; hendak menceraikan orang dengan bininya (kebenci), hendak menawan hati seorang perempuan (pekasih), hendak menuju menganiaya orang lain, sebagai gayung, tinggam, teluh, tuju, pitunduk, dan se-bagainya. Makbul permintaan yang jahat itu atau tidak makbul, namun tukang sihir tidak ada yang selamat hidupnya sebab dasar niatnya telah jahat.
Benar juga sebagian dongeng ahli tafsir itu, yaitu terbang iman dari dalam diri terlebih dahulu, baru ilmu sihir itu bisa masuk."Dan sesungguhnya mereka pun telah tahu bahwa orang yang membelinya tidaklah ada untuk mereka bagian di akhirat." Sebab di atas dunia mereka telah menyediakan hidup untuk menganiaya orang lain, niscaya di akhirat bagian mereka tidak lain dari neraka. Oleh sebab itu, di dalam hadits yang shahih tersebut sabda Rasulullah ﷺ bahwa sihir adalah salah satu dari tujuh dosa besar: 1. Syirik, 2. mendurhaka ibu dan bapak, 3. memercayai tukang tenung, 4. Berzina, 5. bersumpah palsu, 6. Sihir, dan 7. lari dari medan perang.
“Dan amAllah buruknya satu harga yang dengan itu Mereka menjual diri Mereka, jikalau Mereka tahu."
Niscaya teranglah betapa hinanya menjual diri mereka. Mereka telah menjual dan mereka pertukarkan dengan sihir. Tegasnya mereka beli sihir, bukan dengan uang, tetapi dengan iman. Mereka sangka mereka mendapat laba karena mengetahui sihir, padahal kerugianlah yang didapat. Tetapi mereka tidak tahu itu, yang membawa mereka sengsara. Lantaran hati telah busuk, muka pun selalu keruh dan kesat Bayangan hati dicerminkan oleh muka.
Ayat 103
“Padahal jikalau sekiranya Mereka beriman dan bertakwa, sesungguhnya pahala dari sisi Allah-lah yang lebih baik, jikalau adalah Mereka mengetahui."
Artinya, kalaulah mereka langsung saja percaya kepada kebenaran yang dibawa oleh Nabi dan hidup dengan bertakwa, tidak hanya berkeras kepala dan asyik dengan sihir, bahagia jualah yang akan mereka rasai karena pahala dari Tuhan. Bukankah pahala dari Tuhan itu lebih baik? Lebih membawa keberuntungan daripada hanya sihir dan khayat yang tak menentu? Sampai memercayai bahwa Nabi mereka sendiri, Nabi Sulaiman a.s., telah kafir. Akan tetapi, mereka tidak mau tahu itu! Mereka masih berkeras pada hawa nafsu dan mempertahankan ajaran-ajaran pendeta-pendeta mereka yang telah banyak memutar-mutar hukum menurut kemauan mereka sendiri.