Ayat
Terjemahan Per Kata
كَلَّاۚ
sekali-kali tidak
سَنَكۡتُبُ
Kami akan menulis
مَا
apa
يَقُولُ
mereka katakan
وَنَمُدُّ
dan Kami akan memperpanjang
لَهُۥ
baginya
مِنَ
dari
ٱلۡعَذَابِ
azab
مَدّٗا
panjang/waktu yang lama
كَلَّاۚ
sekali-kali tidak
سَنَكۡتُبُ
Kami akan menulis
مَا
apa
يَقُولُ
mereka katakan
وَنَمُدُّ
dan Kami akan memperpanjang
لَهُۥ
baginya
مِنَ
dari
ٱلۡعَذَابِ
azab
مَدّٗا
panjang/waktu yang lama
Terjemahan
Sama sekali tidak! Kami akan menulis apa yang dia katakan dan Kami akan memperpanjang azab untuknya secara sempurna.
Tafsir
(Sekali-kali tidak) hal itu tidak akan diberikan kepadanya (Kami akan menulis) Kami memerintahkan untuk menuliskan (apa yang ia katakan itu dan benar-benar Kami akan memperpanjang azab baginya) Kami akan menambahkan kepada azab kekafirannya azab yang lain, karena perkataannya itu.
Tafsir Surat Maryam: 77-80
Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan ia mengatakan, "Pasti aku akan diberi harta dan anak. Adakah ia melihat yang gaib atau ia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah? Sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang ia katakan, dan benar-benar Kami akan memperpanjang azab untuknya, dan Kami akan mewarisi apa yang ia katakan itu dan ia akan datang kepada Kami dengan seorang diri.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Muslim, dari Masruq, dari Khabbab ibnul Art yang mengatakan bahwa ia adalah seorang pandai besi, dan ia mengutangkan sesuatu kepada Al-As ibnu Wa-il. Lalu ia datang untuk menagihnya, tetapi Al-As berkata, "Demi Tuhan, aku tidak akan membayarmu sebelum kamu kafir kepada Muhammad." Maka Khabbab berkata,"Tidak, demi Allah, aku tidak akan kafir kepada Muhammad sampai kamu mati pun, kemudian kamu dibangkitkan." Al-As ibnu Wa-il mengatakan, "Kalau demikian, biarlah saya mati, lalu saya dibangkitkan dan kamu datang kepadaku, karena saat itu aku mempunyai harta dan anak, dan aku akan membayarmu." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan ia mengatakan, "Pasti aku akan diberi harta dan anak. (Maryam: 77) Sampai dengan firman-Nya: dan ia akan datang kepada Kami dengan seorang diri. (Maryam: 80) Imam Bukhari dan Imam Muslim serta lain-lainnya mengetengahkan hadis ini melalui berbagai jalur dari Al-A'masy dengan sanad yang sama.
Menurut lafaz hadis yang ada pada Imam Bukhari, ia adalah seorang pandai besi di Mekkah. Lalu ia membuat sebilah pedang pesanan Al-As ibnu Wa-il. Setelah selesai, ia datang untuk menagihnya, hingga akhir hadis. Di dalamnya disebutkan firman Allah ﷻ: atau ia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah? (Maryam: 78) Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Al-A'masy, dari Abud-Duha, dari Masruq yang mengatakan, Khabbab ibnul Art pernah mengatakan bahwa ia dahulu adalah seorang pandai besi di Mekah.
Ia mengerjakan sesuatu milik Al-As ibnu Wa-il. Setelah pekerjaan selesai dan ongkosnya masih kurang sejumlah banyak uang dirham, maka ia datang untuk menagihnya. Tetapi Al-As ibnu Wa-il mengatakan kepadanya, "Aku tidak mau membayarmu sebelum kamu mau kafir kepada Muhammad." Maka ia menjawab, "Aku tidak akan kafir kepada Muhammad sampai kamu mati pun, lalu dibangkitkan kembali." Al-As ibnu Wa-il berkata, "Apabila aku dibangkitkan lagi, aku pasti beroleh harta dan anak." Khabbab ibnul Art menceritakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ Maka Allah menurunkan firman-Nya: Maka apakah kamu telah melihat orang kafir kepada ayat-ayat Kami. (Maryam: 77), hingga beberapa ayat berikutnya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya ada sejumlah sahabat Rasulullah ﷺ yang menagih utang kepada Al-As ibnu Wa-il As-Sahmi. Mereka datang kepadanya untuk menagihnya, maka Al-As berkata, "Bukankah kalian percaya bahwa di dalam surga terdapat emas dan perak, kain sutra, dan segala macam buah-buahan?" Mereka menjawab, "Memang benar." Al-As berkata, "Maka sesungguhnya janji untuk membayar kalian nanti di akhirat. Demi Tuhan, aku benar-benar akan diberi harta dan anak, dan aku benar-benar akan diberi seperti kitab yang ada pada kalian." Maka Allah menjawabnya melalui firman-Nya: Maka apakah kamu telah melihat orang kafir kepada ayat-ayat Kami. (Maryam: 77) sampai dengan firman-Nya: dan ia akan datang kepada Kami dengan seorang diri. (Maryam: 80) Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan Qatadah serta lain-lainnya, bahwa sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-As ibnu Wa-il.
Firman Allah ﷻ: Pasti aku akan diberi harta dan anak. (Maryam: 77) Sebagian ulama qiraat membacanya waladan, sedangkan sebagian lainnya membacanya dengan wuldan, tetapi kedua lafaz mempunyai makna yang sama, Ru'bah seorang penyair mengatakan dalam salah satu bait syairnya: ... Segala puji bagi Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Esa, Dia tidak beranak. Al-Haris ibnu Halzah mengatakan dalam salah satu bait syairnya: ...
Sesungguhnya aku telah menyaksikan banyak orang yang mempunyai harta dan anak yang sangat banyak. Seorang penyair lainnya mengatakan: ... Aduhai, sekiranya si Fulan tetap berada di dalam perut ibunya. Aduhai, seandainya si Fulan adalah anak keledai. Menurut pendapat yang lain, wuldan adalah bentuk jamak; sedangkan kalau dibaca waladun adalah bentuk tunggal, hal ini menurut dialek Bani Qais.
Firman Allah ﷻ: Adakah ia melihat yang gaib. (Maryam: 78) Kalimat ayat ini merupakan bantahan terhadap orang yang mengatakan apa yang disitir oleh firman-Nya: Pasti aku akan diberi harta dan anak. (Maryam: 77) Yakni kelak di hari kiamat. Dia memberitahukan apa yang bakal diperolehnya di hari akhirat nanti, menurut dakwaan sendiri, sehingga ia berani bersumpah menyatakan hal tersebut dan menganggapnya sebagai suatu kepastian. atau ia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah? (Maryam: 78) Yaitu apakah dia telah membuat suatu janji dengan Allah, bahwa Allah pasti akan memberinya hal tersebut? Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan melalui hadis Imam Bukhari, bahwa yang dimaksud dengan ahdan ialah janji.
Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Adakah ia melihat yang gaib atau ia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah? (Maryam: 78) Bahwa yang dimaksud ialah kalimat, "Tidak ada Tuhan selain Allah," yang karenanya maka ia berharap akan mendapat hal tersebut. Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah. (Maryam: 87) Bahwa yang dimaksud ialah persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, lalu Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi membacakan firman-Nya: kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah. (Maryam: 87) Adapun firman Allah ﷻ: sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang ia katakan. (Maryam: 79) Kalla, lafaz yang menunjukkan makna tolakan terhadap kalimat sebelumnya dan sekaligus mengukuhkan kalimat yang sesudahnya.
Yakni orang yang meminta demikian dan memastikan bagi dirinya apa yang diangan-angankannya itu, sedangkan ia ingkar kepada Allah Yang Maha-agung. dan benar-benar Kami akan memperpanjang azab untuknya. (Maryam: 79) Yakni kelak di hari akhirat atas ucapannya itu dan keingkarannya terhadap Allah ﷻ ketika di dunia. dan Kami akan mewarisi apa yang ia katakan itu. (Maryam: 80) Maksudnya, harta benda dan anak-anaknya akan Kami rampas; kebalikan dari apa yang telah ia katakan, bahwa dirinya akan mendapat harta dan anak kelak di akhirat selain dari apa yang diperolehnya saat di dunia.
Maka di akhirat kelak semuanya itu akan dirampas darinya, di samping ia akan mendapat tuntutan dari orang yang memberikan utang kepadanya saat di dunia. Karena itulah Allah ﷻ berfirman dalam firman selanjutnya: dan ia akan datang kepada Kami dengan seorang diri. (Maryam: 80) Yaitu tanpa membawa harta dan anak. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Kami akan mewarisi apa yang ia katakan itu. (Maryam: 80) Yaitu Kami akan mewarisinya. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Kami akan mewarisi apa yang ia katakan itu. (Maryam: 80) Yakni, harta benda dan anak-anaknya.
Orang yang dimaksud adalah Al-As ibnu Wa-il. Abdur-Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Kami akan mewarisi apa yang ia katakan itu. (Maryam: 80) Yakni akan mengambil semua yang menjadi miliknya, yaitu yang disebutkan di dalam firman-Nya: Pasti aku akan diberi harta dan anak. (Maryam: 77) Menurut qiraat Ibnu Mas'ud disebutkan ". Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan ia akan datang kepada Kami dengan seorang diri. (Maryam: 80) Yaitu ia datang dengan tidak membawa harta dan anak.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Kami akan mewarisi apa yang ia katakan itu. (Maryam: 80) Yakni semua yang ia himpunkan selama di dunia dan semua yang ia amalkan. Selanjutnya disebutkan oleh firman-Nya: dan ia akan datang kepada Kami dengan seorang diri. (Maryam: 80) Artinya, sendirian tanpa hal yang ia dakwakan itu, baik sedikit ataupun banyak."
79-80. Sama sekali tidak! Dia tidak mengetahui hal gaib, apalagi membuat perjanjian dengan Allah. Jika dia tidak menghentikan kebohongannya, Kami akan menulis dan meminta pertanggungjawaban atas apa yang dia katakan dan Kami akan memperpanjang azab untuknya secara sempurna sampai batas tertentu, dan Kami akan mewarisi serta membinasakan apa yang dia katakan dan banggakan itu, berupa harta dan keturunan, dan dia akan datang kepada Kami seorang diri setelah kematiannya tanpa ditemani harta atau anaknya. 79-80. Sama sekali tidak! Dia tidak mengetahui hal gaib, apalagi membuat perjanjian dengan Allah. Jika dia tidak menghentikan kebohongannya, Kami akan menulis dan meminta pertanggungjawaban atas apa yang dia katakan dan Kami akan memperpanjang azab untuknya secara sempurna sampai batas tertentu, dan Kami akan mewarisi serta membinasakan apa yang dia katakan dan banggakan itu, berupa harta dan keturunan, dan dia akan datang kepada Kami seorang diri setelah kematiannya tanpa ditemani harta atau anaknya.
Pada ayat ini Allah mengancam mereka dengan ancaman yang keras karena kelancangannya menisbahkan sesuatu terhadap Allah tanpa ilmu dan tanpa dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Allah akan mengambil semua harta mereka sebagai balasan yang setimpal dengan keingkaran dan kedurhakaannya dan menyiksanya dengan siksaan yang tiada putus-putusnya. Allah akan mengambil semua harta dan anak-anaknya yang ditinggalkannya ketika dia mati sehingga di akhirat nanti dia datang menghadap Allah sendirian, tidak ada yang akan membela dan menolongnya. Memang pada hari itu tak ada sesuatu pun yang dapat menolong manusia kecuali iman dan amal perbuatannya sesuai dengan firman Allah:
(yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (asy- Syu`ara/26: 88-89)
Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. (Allah berfirman), "Sesungguhnya kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakan kamu pada pertama kali; bahkan kamu menganggap bahwa Kami tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (berbangkit untuk memenuhi) perjanjian." (al-Kahf/18: 48)
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
BEBERAPA GAMBARAN DARI KEHIDUPAN YANG KUFUR
Ayat 73
“Dan apabila dibacakan kepada mereka itu ayat-ayat Kami, yang cukup penjelasan"
Yang dimaksud dengan ayat-ayat di sini ialah ayat-ayat Al-Qur'an, tegasnya wahyu yang turun kepada Nabi ﷺ buat disampaikan kepada umat manusia. Yang cukup penjelasannya: artinya beliau ﷺ terangkan maksud dan tujuan ayat itu satu demi satu, sehingga jelas sejelas-jelasnya. Misalnya ada ayat yang menerangkan bahwa orang yang taat kepada Allah itu akan bahagia hidupnya dan yang durhaka akan ditimpa oleh sengsara. Penjelasan yang demikian tidak diterima oleh orang kafir.
“Benkalalah orang-orang kafh itu kepada orang-orang yang telah beiUtum, “Manakah di antara kedua belah pihak yang lebih baik kedudukan dan peitemuan?"
Kedudukan adalah pandangan orang yang menghormati, karena pangkat atau harta. Bahasa asing tentang kedudukan itu telah umum terpakai dalam bahasa Indonesia, yaitu posisi. Jika disebut nama si anu, jika dituliskan dalam Kartu Pengenal atau dalam Paspor yang akan dibawa keluar negeri; namun posisi mesti ditulis, atau disebut juga occupation: Apa pangkat, apa kerja, menterikah, jendralkah, Big Boss (Tuan Besar) dari satu perusahaan besarkah? Sampai berapa gaji sebulan, berapa penghasilan setahun kira-kira berapa uang simpanan dalam bank dan berapa tumpukkah sawah ladang yang beliau punyai.
Pertemuan adalah sebagai arti dari nadiyyan adalah sejalan dengan kedudukan juga. Orang yang berkedudukan tinggi niscaya pertemuannya pun dengan yang sama-sama tinggi kedudukan pula, karena menjaga martabat dan gengsi. Manakah mau orang yang berkedudukan tinggi duduk berhadapan dan mengadakan pertemuan dengan orang yang kedudukannya terpandang rendah? Bukankah pertemuan-pertemuan orang besar-besar itu khusus hanya dihadiri oleh sesama orang besar saja? Bukankah mereka mengadakan pertemuan sendiri, perjodohan sendiri, permainan sendiri, menyisih dari orang yang kedudukannya di bawah? Bukankah menjadi pepatah syiir orang Arab,
“Janganlah ditanyai siapa seseorang itu, tetapi tanyailak siapa temannya. Karena teman sescnna teman, adalah tirurmeniru."
Inilah yang dijadikan soal pada segala zaman oleh orang yang tidak mau percaya.
Telah terbiasa bahwa golongan yang berjuang karena menegakkan agama Allah, pengikut jalan Nabi-nabi, kedudukan mereka tidak sama dengan kedudukan golongan yang sedang me-nguasai masyarakat. Seumpama yang terjadi di zaman kita sekarang ini. Biasanya pihak kaum Muslimin yang memegang pendirian teguh dan berjuang menegakkan cita-cita agamanya di tengah-tengah masyarakat yang telah condong keluar dari cita-cita agama, kedudukan ekonomi mereka tidak kuat, mereka tidak memegang pangkat-pangkat yang tinggi-tinggi. Karena orang yang hidup dengan cita-cita tidaklah mementingkan harta benda. Tetapi mereka yakin bahwa mereka berdiri di pihak yang benar. Di waktu itulah timbul pertanyaan: “Mana yang lebih kukuh kedudukan di antara kedua belah pihak? Mana yang lebih tinggi pergaulannya dan pertemuannya?
Sebab orang yang telah menjuruskan hidupnya kepada benda, mengukur seseorang dengan benda itu pula. Mereka tidak mengenal cita-cita orang, buah pikiran dan perjuangan. Pemimpin-pemimpin masyarakat yang mempunyai cita-cita tinggi untuk kejayaan bangsanya, biasanya hidup mereka miskin. Inilah yang dibanding-bandingkan oleh si kafir budak benda itu? Mana kedudukan kita yang baik? Berapa uang si anu, berapa simpanannya? Bagaimana merek mobilnya dan model yang keluar tahun berapa.
Maka datanglah ayat selanjutnya,
Ayat 74
“Dan berapa banyaknya sebelum mereka telah Kami binasakan dari umat-umat."
Artinya bahwa tidaklah terhitung lagi umat-umat yang terdahulu, generasi dan generasi, datang dan pergi silih berganti. Banyak di antara mereka telah Kami hancurkan.
“Sedang mereka itu lebih bagus hiasan rumah tangganya dan indah dipandang mata."
Menghiasi rumah tangga dengan berbagai barang mewah, rupanya telah terdapat sejak zaman purbakala, sampai kepada zaman kita sekarang ini. Keperluan manusia di dalam hidup dibagi orang kepada tiga tingkat:
1. Hajiyaat, artinya barang-barang yang sangat perlu. Misalnya sepuluh orang penghuni rumah memerlukan sepuluh buah tempat duduk, dan keperluan lain di dapur dan di bilik-bilik.
2. Kamaliyaat, berarti penyempurnaan. Misalnya disediakan kursi berlebih, karena untuk menerima tetamu. Cawan pinggan berlebih dari yang perlu, supaya lebih sempurna.
3. Tahsiniyaat, artinya untuk berindah-indah, berukir-ukir penarik hati. Maka apabila orang telah merasa kehidupan berlebih dari cukup, telah banyaklah tahsiniyaat, yang disebut barang-barang luks, yang tidak mau ketinggalan zaman.
Melihat kepada bekas-bekas runtuhan negara-negara purbakala, seperti di Athena (Yunani Kuno), Parsepolis (Iran Kuno), Mesir Kuno, Mohenjo Daro di Pakistan dan lain-lain, atau di bekas runtuhan kota Pompey yang ditimbun oleh letusan Gunung Merapi, didapati bahwa Kamaliyaat dan Tahsiniyaat itu di zaman purbakala telah lebih dari cukup sebagai zaman sekarang juga.
Di dalam ayat ini diperingatkanlah kepada orang Quraisy yang membanggakan diri, membandingkan mana yang lebih baik kedudukan dan pertemuan di antara mereka dengan orang-orang yang beriman itu, bahwa kelebihan harta benda, indah-indahnya perhiasan rumah tangga, kemewahan hidup janganlah dijadikan ukuran. Telah banyak sekali kurun atau umat zaman dahulu yang hidup mereka lebih mewah, perhiasan rumah tangga lebih banyak dan lebih indah di pandang mata, sekarang hanya tinggal bekas saja. Orangnya sudah punah dan musnah, harta bendanya kocar-kacir. Barang perhiasan telah menjadi kepunyaan orang lain.
Bahkan ada kebiasaan pada beberapa negeri menguburkan seseorang yang telah meninggal bersama-sama dengan barang perhiasannya. Lama-lama, walaupun sesudah beribu tahun, kuburan itu dibongkar orang dan harta peninggalan itu dicuri orang, atau setelah maju pengetahuan tentang purbakala (arkeologi) dimasukkan orang ke dalam museum untuk jadi tontonan.
Oleh sebab itu amat salahlah persangkaan orang yang menyangka bahwa orang yang kaya dan hidupnya mewah dan rumahnya banyak perhiasan, itulah orang yang berharga dan patut dihormati, bukan orang yang beriman kepada Allah tetapi miskin.
Ayat 75
“Katakanlah, Barangsiapa yang beiada dalam kesesatan, biarlah Allah Pengasih memperpanjang tempo baginya sedemikian panjang."
Artinya, bahwa ayat ini memberi ingat kepada manusia agar sadar, baik manusia yang sesat itu sendiri atau pun manusia beriman, bahwa biasanya orang yang merasa dirinya berkedudukan kuat itu, yang menghiasi rumah tangganya dengan berbagai perhiasan, yang memusnahkan harta bendanya untuk pelepaskan keinginan-keinginannya yang tidak berbatas, biasanya orang seperti itu diberi tempo oleh Allah, Diberi dia kesempatan yang panjang, sampai dia lupa daratan. Tetapi apakah itu akan kekal? Sehingga mana benarkah tempo yang panjang itu? Panjang sedemikian panjang; panjang berapa? Bukankah panjang itu mesti berujung dan luas itu mesti bertepi? Kalau misalnya seseorang menjadi kaya raya, berkedudukan tinggi, bahkan kekayaannya itu didapatnya ialah karena kedudukannya yang tinggi, sehingga dapat dia berleluasa memakai harta benda umat yang dia kuasai; tidakkah suatu waktu kelak rahasianya terbuka dan dia ditangkap, lalu dipindahkan daripada rumahnya yang mewah itu ke dalam penjara yang sempit? Dan oleh karena dia hanya memperturutkan nafsu makan saja berpanjang waktu, melepaskan selera, tidakkah dipikirkannya bahwa suatu waktu kesehatannya akan terganggu karena terlalu banyak makan? Sehingga akhirnya tabib atau dokter yang merawatnya memberinya nasihat supaya menahan selera itu dan mengadakan diet?
“Sehingga ketak apabila telah mereka lihat apa yang telah dijanjikan itu, adakalanya siksaan dan ada adakalanya Kiamat, maka segera akan tahulah mereka siapakah dia yang lebih jelek kedudukannya dan siapakah yang lebih lemah tentaranya."
Tempo buat mereka diperpanjang. Kesempatan diperluas pada lahirnya kesempatan, pada batinnya “mempertinggi tempat jatuh", namun mereka tidak mau sadar. Akhirnya apa yang dijanjikan itu terjadi, “Yang benar menang, yang salah dan jelek hancur lebur," adakalanya yang datang itu ialah siksaan, sebagai siksaan kekalahan yang diderita musyrikin Mekah dalam Perang Badar. Adakalanya Kiamat.
Kiamat dapat diartikan dua macam.
1. Hancurnya segala rencana yang telah di-tegakkian dan gagalnya segala yang dimaksud bermula. Lain yang dituju lain yang bertemu, yaitu di dunia ini.
2. Sa'at dengan arti Kiamat besar. Pada waktu itulah baru mereka ketahui, baru mereka lihat sendiri, siapa yang lebih jelek kedudukannya, apakah orang yang sejak semula telah beriman kepada Allah, atau orang yang bermegah dengan pangkat dengan harta dan perhiasan rumah yang dimegahkan itu. Baru mereka lihat sendiri pula, siapa sebenarnya yang lebih lemah tentaranya.
Karena biasanya orang-orang yang megah dengan harta benda dan kemewahan itu mempunyai pengawal pribadi, atau tentara untuk mempertahankan kedaulatan mereka. Cukup alat senjatanya. Sehingga dengan alat senjata yang lengkap dan jumlah tentara yang besar itu mereka dapat menutup mulut orang yang berani menantang sikap yang tidak adil. Mereka diberi kesempatan agak panjang oleh Allah bermegah dengan kekuasaan dan kedudukan itu. Tetapi setelah tindakan Allah berlangsung, kocar-kacirlah segala pertahanan itu sehingga akhirnya yang benar jugalah yang menang, yang beriman jugalah yang dapat menegakkan mukanya.
Pertanyaan di ujung ayat ini adalah tim-balan dari pertanyaan yang dikemukakan oleh orang yang kafir itu pada ayat 73 di atas."Manakah di antara kedua belah pihak yang lebih baik kedudukan dan pertemuan?"
Sekarang datang pertanyaan, “Siapakah yang lebih jelek kedudukan dan siapakah yang lebih lemah tentaranya?"
Ayat 76
“Dan akan menambah Allah atas orang-orang yang telah mendapat petunjuk dengan petunjuk lagi."
Artinya, bahwasanya seseorang yang sekali telah diberi petunjuk oleh Allah, asalkan dia tetap memelihara hubungannya dengan Allah, petunjuk itu akan ditambah lagi, terus menerus, sehingga kian lama kian sucilah batinnya, timbullah Nur atau cahaya yang kian terang di dalam kalbunya lantaran imannya.
"Dan amalan yang kekal lagi saleh, lebih baik di sisi Tuhan engkau pahalanya dan lebih baik pula tempat kembali."
Amalan yang kekal lagi ialah perbuatan-perbuatan yang baik yang terpuji di sisi Allah dan selamanya tidak akan terlupa. Dari sesama manusia mendapat syukur terima kasih dan dari Allah mendapat pahala yang mulia.
Amalan yang kekal lagi saleh telah bertemu pula pada ayat 46 dari surah ai-Kahf (Juz 15). Karena amalan yang kekal lagi saleh itu disertai dengan ucapan-ucapan atau dzikir yang membuat diri seorang Mukmin bertambah dekat kepada Allah.
Itulah dia maqam atau kedudukan yang dikejar oleh seorang Mukmin. Bukan meng-gantungkan pengharapan kepada benda lalu menyembah dan memuja benda, lalu melagak bermewah-mewah di dunia dengan persangkaan bahwa dunia itu akan lama didiami.
(77) Apakah pernah engkau lihat orang yang tidak percaya kepada ayat-ayat Kami dan dia berkata: Sungguh, saya akan diberi harta dan anak.
(78) Apakah dia pernah menampak yang gaib? Atau adakah dia telah mengambil sesuatu janji di sisi Allah Pengasih?
(79) Sekali-kali tidak! Bahkan akan Kami tuliskan apa yang dia katakan itu; dan akan Kami perpanjang untuknya sebagian dari adzab, demikian panjangnya.
(80) Dan akan Kami wariskan apa yang dia katakan itu; dan dia akan datang kepada Kami seorang diri.
Kemudian datang pulalah ayat 77 menggambarkan lagi pendirian kekufuran yang lain. Allah berfirmah.
Ayat 77
“Apakah pernah engkau lihat orang yang tidak percaya kepada ayat-ayat Kami, dan dia berkata, “Sungguh saya akan diberi harta dan anak!"
Ini pun suatu angan-angan dari semacam lagi orang yang tidak mau menuruti jalan Allah.
Sebab turunnya ayat ini adalah mengenai seorang pencemooh dari kalangan kaum musyrikin bernama al-Ash bin Wail. Seorang sahabat Nabi ﷺ yang bernama Khabbab bin al-Aratti pernah membuka sebuah hapar besi di Mekah. Al-Ash bin Wail datang menempahkan sebuah pedang akan pakaiannya kepada Khabbab si Pandai Besi tersebut. Setelah pedang selesai dikerjakan utangnya belum segera dibayarnya dan dia berjanji akan membayarnya di hari lain. Se-telah agak lama dia berutang datanglah Khabbab menagih piutangnya itu, namun belum juga segera dibayarnya. Untuk melepaskan dirinya pernahlah dia berkata, “Hai Khabbab, bukankah kamu (Pengikut Muhammad) mengatakan bahwa di dalam surga itu kelak akan ada emas, dan Perak dan berbagai macam kain sutra dan berbagai macam pula buah-buahan?"
Khabbab menjawab, “Memang begitu!" Lalu al-Ash bin Wail menjawab sambil mencemooh, “Utangku itu akan aku bayar saja di akhirat nanti. Demi Allah, di akhirat aku akan diberi harta benda dan anak, dan aku akan diberi Allah apa yang tersebut di dalam kitab kamu itu."
Ada beberapa hadits yang sama maksudnya menceritakan tentang cemooh al-Ash bin Wail itu. Ada yang dirawikan oleh Imam Ahmad, dan ada yang dirawikan oleh Bukhari. Bahkan dalam riwayat yang lain tersebut bahwa al-Ash bin Wail itu berkata dengan lantangnya, “Utang itu tidak akan saya bayar, sebelum engkau menyatakan kafir dan tidak lagi jadi pengikut Muhammad." Khabbab menjawab, “Tidak, demi Allah, saya tidak akan kafir terhadap Muhammad, sampai engkau sendiri mampus dan dibangkitkan pada hari Kiamat buat membayar utangmu itu."
Kelakuan buruk, tidak mau membayar utang, lalu mengatakan akan membayar di akhirat kalau dia masuk surga menerima harta benda dan anak dan Allah, disertai emas perak dan sutra dan buah-buahan; itulah yang dijadikan perumpamaan oleh Allah di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini. Al-‘Ash mencemooh atau memandang entang saja pasal masuk ke dalam surga, menerima anugerah Allah harta benda dan anak-anak, padahal, dia tidak percaya kepada risalah yang dibawa oleh Muhammad. Itulah sindiran Allah, “Apakah pernah engkau lihat orang-orang yang tidak percaya kepada ayat-ayat Kami, dan dia berkata, “.Sungguh saya akan diberi harta dan anak?"
Orang semacam itukah yang akan diberi harta dan anak? Yang akan membawanya selamat di akhirat? Sedangkan orang yang telah percaya kepada Muhammad ﷺ bisa saja harta bendanya dan anak-anaknya menghambat jalannya akan masuk surga, apatah orang yang tidak percaya sama sekali. Atau orang yang mempercakapkan itu dengan main-main.
Lalu datanglah pertanyaan Allah sebagai tantangan.
Ayat 78
“Apakah dia pernah menampak yang gaib."
Apakah yang gaib itu? Ialah janji Allah bagi manusia apabila manusia itu telah berpulang ke alam lain. Adakah orang sebagai al-Ash bin Wail atau yang seumpamanya itu dapat mengetahui bahwa mereka akan diberi harta benda emas perak dan sutra dan buah-buahan. Artinya akan masuk surga? Adakah orang yang tidak membulatkan kepercayaannya kepada Allah dan tidak pula meneguhi janjinya dengan sesamanya manusia akan layak ditempatkan dalam surga itu."Atau adakah dia telah mengambil suatu janji di sisi Allah Pengasih?"
Apakah janji yang telah diikatnya dengan Allah? Apakah sebagai yang ditafsirkan oleh Qatadah dan Sufyan ats-Tsauri, yaitu beramal saleh? Dapatkah masuk ke dalam surga ke-nikmatan Ilahi dengan tidak ada pembuka pintunya, yaitu amal saleh? Atau sebagai ditafsirkan oleh al-Kalbi, “Adakah dia telah berjanji dengan Allah bahwa dia akan dimasukkan Allah ke dalam surga, padahal hubungan imannya dengan Allah dan Rasul tidak ada?"
Tafsir al-Kalbi ini lebih dekat dengan jiwa ayat.
Kemudian ketahuilah pula bahwasanya memang sekalian kita ini bila telah menyatakan iman, kita pun mengikat janji. Menurut sahabat Nabi ﷺ Muhammad bin Ka'ab, “Ucapan kita Laa llaha lUallah itulah janji kita yang pertama dengan Allah."
Bilamana telah kita ucapkan Laa llaha lllallah, tidak ada Tuhan melainkan Allah, sejak itu terikatlah janji di antara diri kita sendiri dengan Tuhan, bahwa karena yang Tuhan hanya Dia, maka perintah yang akan kita ikut hanyalah perintah-Nya, larangan yang akan kita hentikan hanyalah larangan-Nya. Yang akan kita sembah, kita puja, kita mengabdikan diri, hanya kepada-Nya saja, tidak sekali-kali tidak kepada yang lain. Karena yang lain itu pada hakikatnya sama saja dengan kita. Sama dijadikan oleh Allah dari tidak ada, lalu ada, dan kemudian akan lenyap.
Ayat 79
“Kattaa: Sekali-kali tidak!"
Segala dakwanya itu, baik dia menilik yang gaib, atau dia telah mengikat janji dengan Allah, atau utangnya kepada Khabbab bin al-Aratti kelak akan dibayarnya di akhirat saja, bila kelak Allah telah memberinya kehormatan dengan harta benda dan anak; semuanya itu adalah kata omong kosong."Bahkan akan Kami tuliskan apa yang dia katakan itu." Artinya bahwa percakapannya memperolok-olokkan agama itu tidaklah akan terlepas dan catatan Allah, yang akan dipertanggungjawabkannya di akhirat esok.
“Dan akan Kami perpanjang untuknya sebagian dari adzab, demikian panjangnya."
Artinya penderitaan yang kelak akan dideritanya karena kufurnya, akan diperpanjang oleh Allah atas perkataannya itu dan oleh karena kufurnya dan olok-oloknya.
Ayat 80
“Dan akan Kami wariskan apa yang dia katakan itu."
Apakah tadi yang diharapkannya? Bukankah harta benda dan anak keturunan? Itu semuanya tidak akan didapatnya. Dia tetap akan melarat, tidak berharta benda dan tidak beranak bercucu. Semuanya Allah yang punya, semuanya Allah yang mewarisinya, bukan si kafir itu.
Abdullah bin Mas'ud memberi tafsir, “Dan akan Kami wariskan apa yang dia katakan itu" ialah kami warisi apa yang ada dipunyainya.
"Dan dia akan datang kepada Kami seorang diri."