Ayat
Terjemahan Per Kata
وَأَمَّا
dan adapun
ٱلۡجِدَارُ
dinding/tembok
فَكَانَ
maka adalah
لِغُلَٰمَيۡنِ
milik kedua anak muda
يَتِيمَيۡنِ
keduanya yatim
فِي
dalam
ٱلۡمَدِينَةِ
kota
وَكَانَ
dan adalah
تَحۡتَهُۥ
dibawahnya
كَنزٞ
harta simpanan
لَّهُمَا
bagi keduanya
وَكَانَ
dan adalah
أَبُوهُمَا
ayah keduanya
صَٰلِحٗا
orang saleh
فَأَرَادَ
maka menghendaki
رَبُّكَ
Tuhanmu
أَن
agar
يَبۡلُغَآ
keduanya sampai
أَشُدَّهُمَا
dewasa keduanya
وَيَسۡتَخۡرِجَا
dan keduanya akan mengeluarkan
كَنزَهُمَا
harta simpanan keduanya
رَحۡمَةٗ
rahmat
مِّن
dari
رَّبِّكَۚ
Tuhanmu
وَمَا
dan tidak
فَعَلۡتُهُۥ
aku melakukannya
عَنۡ
dari
أَمۡرِيۚ
urusanku/kemauanku
ذَٰلِكَ
demikian itu
تَأۡوِيلُ
ta'wil/maksud kejadian
مَا
apa
لَمۡ
tidak
تَسۡطِع
kamu dapat
عَّلَيۡهِ
atasnya
صَبۡرٗا
bersabar
وَأَمَّا
dan adapun
ٱلۡجِدَارُ
dinding/tembok
فَكَانَ
maka adalah
لِغُلَٰمَيۡنِ
milik kedua anak muda
يَتِيمَيۡنِ
keduanya yatim
فِي
dalam
ٱلۡمَدِينَةِ
kota
وَكَانَ
dan adalah
تَحۡتَهُۥ
dibawahnya
كَنزٞ
harta simpanan
لَّهُمَا
bagi keduanya
وَكَانَ
dan adalah
أَبُوهُمَا
ayah keduanya
صَٰلِحٗا
orang saleh
فَأَرَادَ
maka menghendaki
رَبُّكَ
Tuhanmu
أَن
agar
يَبۡلُغَآ
keduanya sampai
أَشُدَّهُمَا
dewasa keduanya
وَيَسۡتَخۡرِجَا
dan keduanya akan mengeluarkan
كَنزَهُمَا
harta simpanan keduanya
رَحۡمَةٗ
rahmat
مِّن
dari
رَّبِّكَۚ
Tuhanmu
وَمَا
dan tidak
فَعَلۡتُهُۥ
aku melakukannya
عَنۡ
dari
أَمۡرِيۚ
urusanku/kemauanku
ذَٰلِكَ
demikian itu
تَأۡوِيلُ
ta'wil/maksud kejadian
مَا
apa
لَمۡ
tidak
تَسۡطِع
kamu dapat
عَّلَيۡهِ
atasnya
صَبۡرٗا
bersabar
Terjemahan
Adapun dinding (rumah) itu adalah milik dua anak yatim di kota itu dan di bawahnya tersimpan harta milik mereka berdua, sedangkan ayah mereka adalah orang saleh. Maka, Tuhanmu menghendaki agar keduanya mencapai usia dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Aku tidak melakukannya berdasarkan kemauanku (sendiri). Itulah makna sesuatu yang engkau tidak mampu bersabar terhadapnya.”
Tafsir
(Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di kota ini, dan di bawahnya ada harta benda simpanan) yakni harta yang terpendam berupa emas dan perak (bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh) maka dengan kesalehannya itu ia dapat memelihara kedua anaknya dan harta benda bagi keduanya (maka Rabbmu menghendaki agar mereka berdua sampai kepada kedewasaannya) sampai kepada usia dewasa (dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu). Lafal Rahmatan menjadi Maf'ul Lah, sedangkan 'Amilnya adalah lafal Araada (dan bukanlah aku melakukannya itu) yaitu semua hal yang telah disebutkan tadi, yakni melubangi perahu, membunuh anak muda dan mendirikan tembok yang hampir roboh (menurut kemauanku sendiri) berdasarkan keinginanku sendiri, tetapi hal itu kulakukan berdasarkan perintah dan ilham dari Allah. (Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya)" lafal Tasthi' menurut pendapat lain dibaca Isthaa'a dan Istathas'a artinya mampu. Di dalam ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya terdapat berbagai macam ungkapan, yaitu terkadang memakai istilah Aradtu (aku menghendaki); terkadang memakai istilah Aradnaa (kami menghendaki), dan terkadang memakai istilah Araada Rabbuka (Rabbmu menghendaki). Hal ini dinamakan Jam'un Bainal Lughataini atau penganekaragaman ungkapan.
Tafsir Surat Al-Kahfi: 82
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar ketika mereka sudah dewasa mereka dapat mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan aku tidak melakukan itu menurut kemauanku sendiri. Demikianlah maksud perbuatan-perbuatan yang kamu tidak sanggup sabar terhadapnya.
Di dalam ayat ini terkandung suatu dalil yang menunjukkan bahwa kata qaryah (kampung) dapat diartikan dengan madinah (kota), karena dalam ayat yang sebelumnya disebutkan: "Hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu kampung." (Al-Kahfi: 77) Dan dalam ayat ini disebutkan: "Dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu." (Al-Kahfi: 82) Masalah ini sama dengan apa yang disebutkan di dalam dua firmanNya berikut ini: "Dan betapa banyak negeri-negeri yang (penduduknya) lebih kuat daripada (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu." (Muhammad: 13) Dan mereka berkata, "Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Taif) ini?" (Az-Zukhruf: 31) Makna ayat, yaitu dinding rumah ini sengaja aku perbaiki karena ia merupakan milik dua orang anak yatim penduduk kota ini, di bawah rumahnya ini terdapat harta benda simpanan bagi keduanya.
Ikrimah, Qatadah, dan lain-lainnya, tidak hanya seorang, mengatakan bahwa di bawah rumah tersebut terdapat harta yang terpendam bagi kedua anak yatim itu. Demikianlah menurut makna lahiriah dari ayat, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa di bawah rumah itu terdapat perbendaharaan ilmu yang terpendam. Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair.
Mujahid mengatakan bahwa yang terpendam itu berupa lembaran-lembaran yang bertuliskan ilmu pengetahuan. Di dalam sebuah hadits berpredikat marfu' disebutkan hal yang menguatkan pendapat ini. Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Amr ibnu Abdul Khaliq Al-Bazzar telah mengatakan di dalam kitab musnadnya yang terkenal, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'id Al-Jauhari, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Munzir, telah menceritakan kepada kami Al-Haris ibnu Abdullah Al-Yahsubi, dari Iyasy ibnu Abbas Al-Gassani, dari Abu Hujairah, dari Abu Zar yang me-rafa '-kannya bahwa sesungguhnya harta terpendam yang disebutkan oleh Allah ﷻ di dalam Kitab-Nya adalah berupa lempengan-lempengan emas yang padanya tertulis kalimat berikut: "Aku merasa heran terhadap orang yang mengakui dirinya beriman kepada takdir, mengapa dia bersusah payah. Dan aku heran terhadap orang yang ingat akan neraka, mengapa dia tertawa. Dan aku merasa heran kepada orang yang ingat akan mati, mengapa ia lalai. Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah." Bisyr ibnul Munzir yang disebutkan dalam sanad ini adalah seorang qadi di Al-Masisah. Menurut Al-Hafiz Abu Ja'far Al-Uqaili, hadis yang diriwayatkannya mengandung kelemahan.
Sehubungan dengan hal ini telah diriwayatkan oleh banyak atsar yang bersumber dari ulama Salaf, antara lain Ibnu Jarir yang mengatakan di dalam kitab tafsirnya bahwa telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Habib ibnun Nudbah, telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Na'im Al-Anbari, salah seorang murid Al-Hasan; ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan Al-Basri menafsirkan makna firman-Nya: "Dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua." (Al-Kahfi: 82) Simpanan itu berupa lempengan emas yang padanya termaktub kalimat berikut:
"Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Aku merasa heran kepada orang yang beriman kepada takdir, mengapa dia bersedih hati. Dan aku merasa heran terhadap orang yang beriman kepada kematian, mengapa dia bersenang hati. Dan aku heran terhadap orang yang mengenal dunia dan silih bergantinya penghuninya, mengapa dia merasa nyaman dengannya. Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah."
Dan telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas, dari Umar maula (bekas budak) Gafrah yang mengatakan bahwa sesungguhnya harta terpendam yang disebutkan oleh Allah di dalam surat yang padanya diceritakan tentang para pemuda penghuni gua (Al-Kahfi), yaitu firman-Nya: "Dan di bawahnya ada harta simpanan bagi mereka berdua." (Al-Kahfi: 82) berupa sebuah lempengan emas yang padanya tertulis kalimat berikut:
"Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, mengherankan orang yang percaya dengan adanya neraka, namun ia dapat tertawa. Mengherankan orang yang percaya dengan takdir, lalu ia bersusah payah. Mengherankan orang yang meyakini kematian, lalu ia merasa aman (darinya). Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya."
Telah menceritakan pula kepadaku Ahmad ibnu Hazim Al-Gifari, telah menceritakan kepada kami Hunadah binti Malik Asy-Syaibaniyyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar teman (suami)nya (yaitu Hammad ibnul Walid As-Saqafi) mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ja'far ibnu Muhammad mengatakan sehubungan dengan makna firmanNya: "Dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua." (Al-Kahfi: 82) Bahwa hal itu merupakan prasasti yang terdiri atas dua baris setengah, baris yang ketiganya tidak lengkap.
Padanya disebutkan: "Aku heran kepada orang yang beriman kepada (pembagian) rezeki, mengapa dia bersusah payah. Dan aku heran kepada orang yang beriman dengan hari hisab (perhitungan amal perbuatan), mengapa dia lalai (terhadapnya). Dan aku heran kepada orang yang percaya dengan kematian, mengapa dia bergembira ria." Allah ﷻ telah berfirman : "Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan." (Al-Anbiya: 47)
Selanjutnya Hunadah mengatakan bahwa kedua anak itu dalam keadaan terpelihara berkat kesalihan kedua orang tuanya, tetapi tidak ada yang menyebutkan bahwa keduanya berlaku saleh. Disebutkan pula bahwa jarak antara keduanya dengan ayahnya yang menyebabkan keduanya terpelihara adalah tujuh turunan. Dan ayah mereka adalah seorang ahli menulis. Apa yang disebutkan oleh para imam dan apa yang disebutkan oleh hadits di atas pada hakikatnya tidaklah bertentangan dengan pendapat Ikrimah. Ikrimah menyebutkan, sesungguhnya yang terpendam itu adalah harta. Dikatakan demikian karena mereka menyebutkan bahwa harta peninggalan yang terpendam itu berupa lempengan emas yang disertai dengan harta yang cukup berlimpah. Terlebih lagi padanya tertulis ilmu yang berupa kata-kata bijaksana dan nasihat-nasihat yang baik. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Firman Allah ﷻ: "Sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh." (Al-Kahfi: 82) Dari pengertian ayat ini dapat disimpulkan bahwa seorang lelaki yang saleh dapat menyebabkan keturunannya terpelihara, dan berkah ibadah yang dilakukannya menaungi mereka di dunia dan akhirat. Yaitu dengan memperoleh syafaat darinya, dan derajat mereka ditinggikan ke tingkat yang tertinggi di dalam surga berkat orang tua mereka, agar orang tua mereka senang dengan kebersamaan mereka di dalam surga. Hal ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an, juga di dalam sunnah. Said ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa kedua anak itu terpelihara berkat kesalehan kedua orang tuanya, tetapi tidak ada kisah yang menyebutkan bahwa keduanya berlaku saleh. Dalam keterangan terdahulu disebutkan bahwa orang tua tersebut adalah kakek ketujuhnya. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Firman Allah ﷻ: "Maka Tuhanmu berkehendak agar ketika mereka sudah dewasa mereka dapat mengeluarkan simpanannya itu." (Al-Kahfi:82) Dalam ayat ini disebutkan bahwa iradah atau kehendak dinisbatkan kepada Allah ﷻ karena pada usia balig keduanya tidak mampu berbuat apapun terhadap harta terpendam itu kecuali dengan pertolongan Allah. Hal yang sama disebutkan dalam kisah anak muda yang dibunuh, yaitu firman-Nya: "Dan kami berkehendak agar Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang kesuciannya lebih baik daripada anaknya itu." (Al-Kahfi: 81) Dan dalam kisah perahu disebutkan dalam firman-Nya: "Dan aku bermaksud merusak perahu itu." (Al-Kahfi: 79) Adapun firman Allah ﷻ: "Sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan aku tidak melakukan itu menuruti kemauanku sendiri." (Al-Kahfi: 82) Artinya apa yang aku lakukan dalam ketiga peristiwa tadi tiada lain merupakan rahmat Allah kepada para pemilik perahu, orang tua si anak dan kedua anak lelaki yang saleh.
Aku melakukannya bukan atas kemauanku sendiri, melainkan aku diperintahkan untuk melakukannya dan aku mengerjakannya sesuai dengan apa yang diperintahkan. Berangkat dari pengertian ayat inilah maka ada orang-orang yang berpendapat bahwa Khidir adalah seorang nabi. Dalil lainnya adalah firman Allah ﷻ yang lalu, yaitu: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (Al-Kahfi: 65). Ulama lain mengatakan bahwa Khidir adalah seorang rasul. Bahkan pendapat lain lagi mengatakan bahwa Khidir adalah malaikat, sebagaimana dinukil oleh Al-Mawardi di dalam kitab tafsirnya. Tetapi kebanyakan ulama mengatakan bahwa Khidir bukanlah seorang nabi, melainkan seorang wali. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Ibnu Qutaibah mengatakan di dalam kitab Al-Ma'arif, bahwa nama Khidir adalah Balya ibnu Mulkan ibnu Faligh ibnu Abir ibnu Syalikh ibnu Arfukhsyad bin Sam bin Nuh a.s. Mereka mengatakan bahwa nama julukannya adalah Abul Abbas, sedangkan nama panggilannya adalah Khidir; dia adalah anak seorang raja. Demikianlah menurut keterangan yang disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab Tahzibul Asma-nya. Dia dan juga yang lain meriwayatkan bahwa Khidir masih tetap hidup sampai sekarang, sampai hari kiamat nanti; ada dua pendapat mengenai ini. Tetapi An-Nawawi dan Ibnu Salah cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa Khidir masih tetap hidup sampai sekarang.
Mereka yang mengatakan bahwa dia masih hidup menyebutkan berbagai kisah dan atsar dari ulama salaf dan lain-lainnya. Dan Khidir pernah disebutkan pula dalam beberapa hadits, tetapi tidak ada satu pun di antaranya yang sahih. Yang paling terkenal adalah hadits mengenai ta'ziyah atau ucapan belasungkawanya saat Nabi ﷺ wafat, tetapi sanadnya daif. Ulama lainnya dari kalangan ahli hadits dan lain-lain menguatkan pendapat yang bertentangan dengan pendapat di atas. Mereka berpegang kepada firman Allah ﷻ yang menyebutkan: "Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu." (Al-Anbiya: 34) Dan sabda Nabi ﷺ dalam doanya saat menjelang Perang Badar: "Ya Allah, jika golongan (kaum muslim) ini binasa, Engkau tidak akan disembah lagi di bumi ini."
Tidak ada suatu riwayat pun yang menukil bahwa Khidir datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ, tidak menemuinya, serta tidak pula berperang bersamanya. Seandainya Khidir benar masih hidup, tentulah dia termasuk pengikut Nabi Muhammad ﷺ dan sebagai salah seorang sahabatnya; karena Nabi ﷺ diutus kepada semua makhluk, baik manusia maupun jin. Dan Nabi ﷺ pernah bersabda: "Seandainya Musa dan Isa masih hidup, tentulah keduanya mengikutiku." [Barangkali hal ini merupakan salah satu dari kekeliruan yang dilakukan oleh Penulis, atau ditambahkan oleh seorang zindiq ke dalam tafsirnya. Karena sesungguhnya pendapat ini bertentangan dengan hadis mutawatir yang menyatakan, bahwa Isa kelak di akhir zaman akan turun. Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk ke kitab aslinya (Tafsir Ibnu Katsir), mengenai penjelasan ayat 80-81 surat Ali-Imran]
Sebelum Nabi ﷺ meninggal dunia beliau pernah bersabda bahwa tidak akan ada lagi seorangpun yang bersamanya di malam itu hidup di muka bumi setelah lewat seratus tahun. Dan masih banyak dalil-dalil lainnya yang semakna. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Ma'mar, dari Hammam ibnu Munabbih, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi ﷺ sehubungan dengan Khidir Nabi ﷺ bersabda: "Sesungguhnya dia diberi nama Khidir karena bila ia duduk di atas rumput yang kering, maka rumput yang ada di bawahnya berubah warnanya menjadi hijau (segar kembali)."
Hal yang sama telah diriwayatkannya pula melalui Abdur Razzaq. Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan melalui Hammam, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya dia dinamakan Khidir karena bila dia duduk di atas rumput kering, maka dengan serta merta rumput yang didudukinya itu berubah menjadi hijau." Yang dimaksud dengan farwah dalam hadits ini adalah rumput kering dan semak-semak yang telah mati. Demikianlah menurut Abdur Razzaq. Menurut pendapat lain, yang dimaksud adalah tanah yang didudukinya.
Firman Allah ﷻ: "Demikianlah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak sanggup sabar terhadapnya." (Al-Kahfi: 82) Yakni demikianlah takwil dari hal-hal yang kamu tidak mengerti dan tidak dapat menahan diri terhadapnya sebelum kuterangkan kepadamu penjelasannya. Setelah Khidir menjelaskan kepada Musa tujuan semua perbuatannya sehingga hilanglah kesulitan Musa untuk memahaminya, ia berucap memakai kata tasti’. Sedangkan sebelumnya diungkapkan dengan kata tastati’ yang menunjukkan bahwa kesulitan untuk memahami lebih besar, yaitu firman-Nya: "Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak sanggup sabar terhadapnya." (Al-Kahfi:78) Maka hal yang berat diungkapkan dengan kata yang bernada berat, sedangkan hal yang ringan diungkapkan dengan kata yang ringan pula. Keadaannya sama dengan pengertian yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu: "Maka mereka tidak dapat mendakinya." (Al-Kahfi: 97) Yang dimaksudkan dengan yazharuhu ialah naik ke puncaknya. Dan dalam ayat selanjutnya disebutkan: "Dan mereka tidak dapat (pula) melubanginya." (Al-Kahfi: 97) Yakni lebih berat lagi untuk melubanginya, maka diungkapkanlah masing-masing dari kedua keadaan tersebut dengan kata yang sesuai, lafaz dan maknanya. Hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.
Apabila ditanyakan mengapa murid Nabi Musa di awal kisah disebut-sebut, kemudian dalam kisah selanjutnya tidak disebut-sebut? Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa tujuan dari konteks kisah ini hanya menyangkut Musa bersama Khidir dan kejadian-kejadian yang dialami oleh keduanya, sedangkan murid Nabi Musa selalu mengikutinya. Dalam hadits-hadits yang telah disebutkan di dalam kitab-kitab sahih dikatakan bahwa dia adalah Yusya' Bin Nun. Dialah yang menggantikan Musa a.s. sebagai nabi kaum Bani Israil sesudah Musa tiada. Hal tersebut menunjukkan kelemahan dari apa yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah, telah menceritakan kepadaku Ibnu Ishaq, dari Al-Hasan ibnu Imarah, dari ayahnya, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa pernah dikatakan kepada Ibnu Abbas, "Kami belum pernah mendengar suatu keterangan pun dalam hadits yang menceritakan tentang murid Nabi Musa, padahal dia bersamanya." Ibnu Abbas menjawab, antara lain disebutkan bahwa si murid minum dari air telaga itu sehingga ia hidup kekal. Maka orang yang alim itu (Khidir) menangkapnya dan memasukkannya ke dalam perahu yang ditangkupkan, lalu perahunya dibuang ke tengah laut. Sesungguhnya perahu itu benar-benar masih tetap berlayar hingga hari kiamat. Demikian itu karena seharusnya dia tidak minum dari air itu, tetapi ternyata ia melanggar dan meminumnya. Sanad atsar ini daif (lemah), lagi pula perawinya yang bernama Al-Hasan berpredikat matruk (tidak terpakai haditsnya) dan ayahnya tidak dikenal.
82. Dan adapun dinding rumah yang aku tegakkan tanpa meminta upah itu sebetulnya adalah milik dua anak yatim di kota itu. Di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, peninggalan kedua orang tua mereka. Bila tidak aku tegakkan, lalu dinding itu roboh, aku khawatir harta itu diketahui keberadaannya dan diambil oleh orang yang tidak berhak. Dan ketahuilah bahwa ayahnya adalah seorang yang saleh yang menyimpan hartanya untuk kedua anaknya. Maka Tuhanmu menghendaki harta itu tetap terjaga di tempat penyimpanannya agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu untuk bekal kehidupan mereka. Itu semua adalah sebagai rahmat dari Tuhanmu bagi kedua anak yatim itu. Apa saja yang kuperbuat, seperti halnya yang kaulihat, bukan-lah menurut keinginan dan kemauanku sendiri, melainkan atas perintah Allah. Itulah makna dan keterangan dari perbuatan-perbuatan yang engkau tidak dapat sabar terhadapnya. ' Kesalehan orang tua, seperti yang dicontohkan dalam ayat ini, pasti akan dibalas oleh Allah. Salah satu bentuk balasan Allah adalah memberi anugerah kepada anak keturunannya.
83. Usai menjelaskan kisah perjalanan Nabi Musa dalam rangka mencari ilmu kepada seorang hamba yang saleh, pada ayat-ayat berikut Allah menceritakan kisah perjalanan jihad Zulkarnain. Cerita itu dikisahkan untuk menjawab pertanyaan kaum kafir Mekah kepada Nabi Muhammad. Wahai Nabi Muhammad, mereka bertanya kepadamu tentang jati diri Zulkarnain. Katakanlah kepada mereka, 'Dengan izin Allah, akan kubacakan kepadamu kisahnya agar kamu dapat memperoleh pelajaran darinya. '.
Adapun yang menjadi pendorong bagi Khidir untuk menegakkan dinding itu adalah karena dibawahnya ada harta simpanan milik dua orang anak yatim di kota itu, sedangkan ayahnya seorang yang saleh. Allah memerintahkan kepada Khidir supaya menegakkan dinding itu, karena jika dinding itu jatuh (roboh) niscaya harta simpanan tersebut akan nampak terlihat dan dikhawatirkan akan dicuri orang. Allah menghendaki agar kedua anak yatim itu mencapai umur dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu sendiri dari bawah dinding, sebagai rahmat dari pada-Nya. Khidir tidak mengerjakan semua pekerjaan itu atas dorongan dan kemauannya sendiri melainkan semata-mata atas perintah Allah, karena sesuatu tindakan yang berakibat merugikan harta benda manusia dan pertumpahan darah tidak boleh dikerjakan kecuali dengan izin dan wahyu dari Allah. Demikianlah penjelasan Khidir tentang berbagai tindakannya yang tidak biasa yang membuat Nabi Musa tidak bisa sabar, sehingga mempertanyakannya.
Usaha Khidir untuk menegakkan dinding yang hampir roboh, dapat pula dipahami kebijaksanaannya karena robohnya dinding itu mengakibatkan harta benda simpanan dua anak yatim itu diambil orang. Allah telah memberikan kepada Khidir ilmu hakekat dan hal ini tidak mungkin dimilikinya kecuali setelah membersihkan dirinya dan hatinya dari ikatan syahwat jasmani. Nabi Musa ketika telah sempurna ilmu syariatnya diutus oleh Tuhan untuk menemui Khidir supaya belajar dari padanya ilmu hakekat, sehingga sempurnalah ilmu yang wajib dituntut oleh setiap orang yang beriman yaitu ilmu tauhid, fiqih dan tasawuf atau iman, Islam dan ihsan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 79
“Adapun penaku itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang berusaha di laut."
Artinya, bahwa perahu yang aku rusakkan atau aku beri cacat itu ialah kepunyaan nelayan atau penangkap-penangkap ikan.
Mereka itu sebagaimana kebanyakan nelayan adalah orang-orang miskin. Mencari ikan se-kadar dapat akan dimakan."Maka aku hendak memberi cacat padanya," aku bocorkan perahu itu,
“Kanena di belakang mereka ada seorang raja yang mengambil tiap-tiap penaku dengan jalan sewenang-wenang."
Raja itu amat zalim. Kalau kelihatan olehnya ada perahu orang yang bagus, diambil dan dikuasainya saja dengan tidak membayar harganya, dan tidak ada orang yang berani membuka mulut apabila raja itu telah bertindak. Tetapi kalau dilihatnya ada sebuah perahu yang rusak, atau buruk, tidak berkenan di hatinya ditinggalkannya saja. Maka kalau perahu itu aku rusakkan, raja tidak akan merampoknya lagi dan nelayan-nelayan yang miskin itu dapatlah memperbaiki perahu mereka kembali.
Ayat 80
“Adapun anak kecil itu, adalah kedua orang tuanya dua orang yang beriman."
Maka tersebutlah di dalam suatu riwayat dari Ibnu Abbas yang diterimanya pula dari Ubay bin Ka'ab bahwa Nabi ﷺ pernah mengatakan bahwa sudah tampak tanda-tanda bahwa anak itu telah mulai melangkah dalam langkah kekafiran, padahal kedua orang tuanya adalah orang-orang yang saleh.
“Maka khawatirlah kita bahwa dia akan menyusahkan keduanya dengan kedurhakaan dan kekufuran."
Memang banyaklah kejadian di dalam dunia ini, baik di zaman Nabi Musa dan Khidir gurunya itu ataupun di zaman yang lain, bahkan di zaman kita sekarang ini, ayah-bunda yang saleh jadi makan hati berulam jantung karena perangai anaknya. Tentu kita ingat hal ini pun kejadian pada Nabi Nuh seketika beliau akan ke dalam perahu. Ada anaknya yang tidak mau ikut dan bersedia tenggelam bersama orang-orang yang kafir, sehingga membuat sedih hati beliau, Khidir bertindak membunuh anak itu sebelum kedurhakaan dan kekufurannya berlarat-larat menyusahkan orang tuanya dengan kedurhakaan dan kekufurannya.
Ayat 81
“Maka inginlah kita supaya diganti untuk keduanya oleh Tuhan keduanya dengan (anak) yang lebih baik dari dia."
Sangatlah kita mengharapkan moga-moga Allah akan segera mengganti anak yang telah mati itu dengan anak yang saleh yang akan menenangkan hati kedua orang tuanya yang beriman dan saleh itu; yang lebih baik daripada dia.
“Tentang kebaktian dan lebih dekat tentang hubungan keluanga."
Ditunjukkan dalam ayat ini pengharapan Khidir tentang anak pengganti yang akan lahir itu. Yaitu yang mempunyai dua keistimewaan. Pertama kebaktian dan kesucian hidupnya ibadahnya kepada Allah dan hidup beriman dan yang menurun dari kedua orang tuanya. Kedua ialah khidmatnya kepada orang tuanya, menghubungkan silaturahim dengan yang patut-patut.
Menurut suatu tafsiran dari Ibnu Juraij, seketika anak pertama itu dibunuh Khidir, ibunya sedang mengandung. Dan setelah anak itu lahir, ternyata menjadi seorang anak Muslim yang saleh.
Kemudian diterangkannya pulalah apa sebab maka dinding yang nyaris roboh itu dia tegakkan dan dia tidak mengharapkan upah.
Ayat 82
“Dan adapun dinding itu adalah dia kepunyaan dua orang anak yatim di kampung itu."
Keterangan pertama ini memberikan isyarat pada kita bahwa dinding itu adalah bangunan pusaka dari seorang ayah yang telah meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak yatim. Dan seperti kita maklum, anak-anak disebut yatim ialah sebelum mereka dewasa. Maka ketika Musa dan gurunya itu melawat ke kampung tersebut, mereka masih kecil-kecil."Dan di bawahnya ada harta terpendam kepunyaan keduanya." Kanzun kita artikan harta terpendam. Yaitu harta kekayaan yang terdiri atas emas dan perak yang biasa dikuburkan oleh orang yang telah meninggal di dalam tanah, kalau digali oleh orang yang datang kemudian akan bertemu dan menjadi kekayaan mereka."Dan kedua ayah-bund a mereka adalah orang-orang yang saleh." Me-rekalah yang menguburkan harta terpendam itu. Maka kasihanlah awak kepada kedua anak yatim itu jika harta terpendam pusaka orang tua mereka tidak sampai ke tangan mereka, karena jauh tertimbun dalam tanah, karena tanah tempat dia terpendam dihimpit lagi oleh dinding “Maka menghendakilah Tuhan engkau supaya sampailah kiranya kedewasaan mereka, dan mereka usahakan mengeluarkan harta terpendam kepunyaan mereka."
Artinya, karena dinding itu telah aku tegakkan kembali, sehingga tidak sampai runtuh menimbun tanah tempat menguburkan harta itu, menurut kehendak Allah ialah supaya anak itu dapat menunggunya dengan baik sampai mereka dewasa. Kalau sudah dewasa biar mereka ambil sendiri, Dan semuanya ini adalah, “Sebagai suatu rahmat dari Tuhan engkau." Maka aku menegakkan dinding yang hampir roboh itu ialah sebagai rahmat dari Allah untuk kedua anak yatim yang kedua orang tuanya saleh itu."Dan tidaklah aku melakukan itu atas kehendakku sendiri," baik ketika aku membocorkan perahu, atau seketika aku membunuh anak muda itu, ataupun seketika aku menegakkan kembali dinding yang hampir roboh. Semuanya Itu adalah aku kerjakan, atas perintah Allah yang disampaikan langsung kepadaku.
“Itulah dia aiti dari hal-hal yang engkau tidak sanggup sabar atasnya itu."
Sudah tentu Musa tidak sanggup sabar karena semua hal itu ganjil baginya, meskipun dia telah mengikat janji akan sabar. Dan cerita di dalam Al-Qur'an tidak bersambung lagi, karena yang akan diambil hanya isinya, yaitu bahwa ada manusia yang diberi pengetahuan langsung dengan kelebihan sendiri. Ada kelebihan pada Khidir itu yang tak ada pada Musa dan ada pula kelebihan pada Musa yang tak ada pada Khidir. Begitu juga nabi yang lain-lain.
BEBERAPA KETERANGAN
1. Nabi kita Muhammad ﷺ, setelah menerima dan menceritakan wahyu ini kepada sahabat-sahabatnya, pernah berkata,
“Rahmat Allah atas kita dan atas Musa, kalau dia sabar niscaya Allah akan mengisahkan juga kepada kita kabarnya. Tetapi (Musa) telah berjanji “jika saya bertanya juga kepada engkau tentang sesuatu sesudah ini, maka janganlah engkau bersahabat juga dengan aku lagi." (HR Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasa'i, dan al-Hakim) Ahli-ahli ilmu balaghah, sebagai bahasa yang tertinggi didapat di dalam merenungkan susun kata Al-Qur'an sebagai wahyu Ulahi terdapatlah kita beberapa kali susun kata yang berbeda dalam ucapan jawaban Khidir kepada Musa ketika dia menerangkan apa sebab ketiga perbuatan itu dia kerjakan.
Tentang perbuatannya membuat cacat atau merusakkan perahu itu dia berkata, “Maka aku hendak memberi cacat padanya."
Di sini yang tertonjol ialah akunya, dirinya.
Pada waktu memberi keterangan sebab-sebab dia membunuh anak muda itu dua kali dia menyebut kita.
1. Khawatir kita bahwa dia akan menyusahkan kedua orang tuanya.
2. Inginlah kita supaya diganti untuk keduanya oleh Allah keduanya dengan (anak) yang lebih baik.
Di sini Khidir memakai “kita" dalam percakapan, yaitu dengan memasukkan Musa ke dalam golongan orang yang sama perasaan dengan dia.
Dalam pemakaian bahasa Indonesia tidak dapat Isim Maushul yang berupa Na diartikan Kami di sini. Karena bisa salah pengertian yang membawakan Khidir mengkam/kan dirinya bersama dengan Allah.
Pada waktu dia menerangkan sebab-sebab dia menegakkan kembali dinding yang hampir roboh itu, dia tidak menonjolkan dirinya. Dia tidak menyebut aku.
Langsung dia katakan bahwa itu adalah kehendak Allah. Tegas dia katakan, “Maka menghendakilah Tuhan engkau supaya sampailah kiranya kedewasaan mereka, dan mereka usahakan mengeluarkan harta terpendam kepunyaan mereka." Dengan susun kata demikian dapatlah dipahamkan sebab-sebab dia menegakkan dinding yang hampir roboh itu. Dan pada sambungannya pula, “sebagai suatu rahmat dari Tuhan engkau."
Ahli-ahli ilmu balaghah merenungkan keistimewaan tiap-tiap susun kata ini.
Aku hendak memberi cacat padanya. Sebab kata-kata cacat atau rusak tidaklah layak bagi seorang yang berperadaban tinggi mem-bangsakan cacat dan rusak kepada Allah.
“Akulah yang merusakkan itu, bukan Allah!"
Begini pula ucapan Nabi Ibrahim,
“Diayang telah menjadikan daku, maka Dia pula yang memimpinku. Dan Dia, yang memberiku makan dan memberiku minum. Dan apabila aku sakit, maka Dia jualah yang menyembuhkan daku." (asy-Syu'araa': 78-80)
Semua orang yang berakal berpikiran cerdas tahu bahwa kalau kita sakit, Allah-lah yang mendatangkan penyakit itu. Tetapi Nabi Ibrahim telah mengajar kita adab sopan-santun dengan Allah. Dia tidak menyebut siapa yang menimpakan sakit kepada dirinya, yang disebutnya hanya yang menyembuhkan. Sedangkan bercakap dengan sesama manusia lagi memakai adab sopan santun apatah lagi bercakap mengenai Allah.
Itulah sebab Khidir berkata, “Aku hendak memberi cacat pada perahu itu."
Dalam jawaban yang kedua disebutnya kita. Dia tidak lagi membangkitkan kenangan kepada yang telah mati terbunuh. Dia bangkitkan rasa kasihan yang ada pada dirinya dan diri Musa terhadap kepada kedua orang tua yang beriman itu."Kita khawatir kehidupan kedua orang tua yang beriman itu akan diganggu dan dihenjong terus oleh anaknya yang telah berlainan haluan itu. Dan kita mengharap, moga-moga kedua orang tua yang beriman itu mendapat ganti anak yang saleh."
Tetapi dalam jawaban atas kejadian ketiga, yaitu bahwa dia menegakkan dinding itu kembali, dia tidak sekali-kali menyebut bahwa itu adalah jasanya. Itu adalah kehendak Allah engkau! Dan dilanjutkannya pula bahwa kejadian itu adalah “Sebagai suatu rahmat dari Tuhan Engkau." Maka kalau itu adalah kehendak Allah dan rahmat Allah buat kedua anak yatim itu, adakah panas aku meminta upah? Padahal semuanya itu aku kerjakan bukan atas kemauanku sendiri?