Ayat
Terjemahan Per Kata
فَأَرَدۡنَآ
maka kami menghendaki
أَن
untuk
يُبۡدِلَهُمَا
mengganti keduanya
رَبُّهُمَا
Tuhan mereka berdua
خَيۡرٗا
lebih baik
مِّنۡهُ
daripadanya
زَكَوٰةٗ
kesucian
وَأَقۡرَبَ
dan lebih dekat
رُحۡمٗا
kasih sayang
فَأَرَدۡنَآ
maka kami menghendaki
أَن
untuk
يُبۡدِلَهُمَا
mengganti keduanya
رَبُّهُمَا
Tuhan mereka berdua
خَيۡرٗا
lebih baik
مِّنۡهُ
daripadanya
زَكَوٰةٗ
kesucian
وَأَقۡرَبَ
dan lebih dekat
رُحۡمٗا
kasih sayang
Terjemahan
Maka, kami menghendaki bahwa Tuhan mereka menggantinya (dengan seorang anak lain) yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).
Tafsir
(Dan kami menghendaki, supaya menggantikan bagi kedua orang tuanya) dapat dibaca Yubaddilahuma atau Yubdilahuma (Rabbnya dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya daripada anaknya itu) artinya lebih baik dan lebih bertakwa (dan lebih) daripada anaknya itu (dalam kasih sayangnya) dapat dibaca Ruhman atau Ruhuman, artinya berbakti kepada kedua orang tuanya. Ternyata sesudah itu Allah menggantikan bagi keduanya seorang anak perempuan yang kemudian dikawini oleh seorang nabi, dan dari hasil perkawinannya itu lahirlah seorang nabi. Pada akhirnya Allah memberikan petunjuk kepada suatu umat melalui nabi itu.
Tafsir Surat Al-Kahfi: 80-81
Dan adapun anak itu, kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang kesuciannya lebih baik daripada anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan bahwa anak itu bernama Haisur.
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Ubay ibnu Ka'b, dari Nabi ﷺ yang bersabda, disebutkan: "Anak yang dibunuh oleh Khidir telah ditetapkan sejak penciptaannya sebagai orang kafir." Ibnu Jarir telah meriwayatkannya dari hadits Ishaq, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas dengan sanad yang sama.
Allah ﷻ menyebutkan dalam firmanNya: "Kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran." (Al-Kahfi: 80) Yakni cinta keduanya kepada anaknya ini akan mendorong keduanya mengikuti kekafiran si anak di masa mendatang.
Qatadah mengatakan bahwa kedua orang tua si anak merasa gembira saat kelahiran si anak, dan keduanya merasa sedih saat ia dibunuh. Seandainya anak itu dibiarkan hidup, tentulah akan mendorong keduanya kepada kebinasaan. Karena itu, dapat diambil suatu pelajaran dari kisah ini bahwa hendaklah seseorang rela dengan takdir Allah, karena sesungguhnya takdir Allah untuk orang-orang mukmin dalam hal yang tidak disukai mengandung kebaikan, lebih baik daripada takdir Allah untuk mereka dalam hal yang disukai.
Di dalam sebuah hadits telah disebutkan: "Tiada suatu takdir pun yang diterima oleh seorang mukmin, melainkan takdir itu adalah lebih baik baginya." Di dalam sebuah firman ﷻ disebutkan: "Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian." (Al-Baqarah: 216) Adapun firman Allah ﷻ: "Dan Kami menghendaki agar Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang kesuciannya lebih baik daripada anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya)." (Al-Kahfi: 81) Yaitu mendapat ganti anak lain yang lebih suci darinya, dan keduanya lebih sayang kepada kepada ibu bapaknya daripada anak itu.
Demikianlah takwil makna ayat tersebut menurut Ibnu Juraij. Qatadah mengatakan bahwa anaknya itu lebih dalam kasih sayangnya dan lebih berbakti kepada kedua orang ibu bapaknya daripada anaknya yang pertama. Disebutkan bahwa keduanya mendapat ganti seorang anak perempuan. Menurut suatu pendapat, ketika Khidir membunuh anak itu, ibunya sedang mengandung seorang bayi laki-laki yang muslim. Demikian menurut Ibnu Juraij.
Dengan membunuhnya, maka kami, yaitu Allah dan aku dengan berbekal petunjuk dari Nya, menghendaki kiranya Tuhan mereka, dengan kehendak dan takdir-Nya, menggantinya dengan anak lain yang lebih baik sifat, perilaku, dan kesuciannya daripada anak yang telah aku bunuh itu dan lebih sayang kepada ibu bapaknya. '
82. Dan adapun dinding rumah yang aku tegakkan tanpa meminta upah itu sebetulnya adalah milik dua anak yatim di kota itu. Di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, peninggalan kedua orang tua mereka. Bila tidak aku tegakkan, lalu dinding itu roboh, aku khawatir harta itu diketahui keberadaannya dan diambil oleh orang yang tidak berhak. Dan ketahuilah bahwa ayahnya adalah seorang yang saleh yang menyimpan hartanya untuk kedua anaknya. Maka Tuhanmu menghendaki harta itu tetap terjaga di tempat penyimpanannya agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu untuk bekal kehidupan mereka. Itu semua adalah sebagai rahmat dari Tuhanmu bagi kedua anak yatim itu. Apa saja yang kuperbuat, seperti halnya yang kaulihat, bukan-lah menurut keinginan dan kemauanku sendiri, melainkan atas perintah Allah. Itulah makna dan keterangan dari perbuatan-perbuatan yang engkau tidak dapat sabar terhadapnya. ' Kesalehan orang tua, seperti yang dicontohkan dalam ayat ini, pasti akan dibalas oleh Allah. Salah satu bentuk balasan Allah adalah memberi anugerah kepada anak keturunannya.
.
Ayat ini menjelaskan bahwa Khidir mengharapkan supaya Allah memberi rezeki kepada kedua orang tuanya itu dan seorang anak laki-laki yang lebih baik dari anaknya yang telah dibunuh itu, dan lebih banyak kasih sayangnya kepada ibu bapaknya. Tindakan Khidir membunuh anak tersebut dilandasi oleh keinginan agar pada waktunya Allah dapat menggantikan anak itu dengan yang lebih baik akhlaknya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 79
“Adapun penaku itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang berusaha di laut."
Artinya, bahwa perahu yang aku rusakkan atau aku beri cacat itu ialah kepunyaan nelayan atau penangkap-penangkap ikan.
Mereka itu sebagaimana kebanyakan nelayan adalah orang-orang miskin. Mencari ikan se-kadar dapat akan dimakan."Maka aku hendak memberi cacat padanya," aku bocorkan perahu itu,
“Kanena di belakang mereka ada seorang raja yang mengambil tiap-tiap penaku dengan jalan sewenang-wenang."
Raja itu amat zalim. Kalau kelihatan olehnya ada perahu orang yang bagus, diambil dan dikuasainya saja dengan tidak membayar harganya, dan tidak ada orang yang berani membuka mulut apabila raja itu telah bertindak. Tetapi kalau dilihatnya ada sebuah perahu yang rusak, atau buruk, tidak berkenan di hatinya ditinggalkannya saja. Maka kalau perahu itu aku rusakkan, raja tidak akan merampoknya lagi dan nelayan-nelayan yang miskin itu dapatlah memperbaiki perahu mereka kembali.
Ayat 80
“Adapun anak kecil itu, adalah kedua orang tuanya dua orang yang beriman."
Maka tersebutlah di dalam suatu riwayat dari Ibnu Abbas yang diterimanya pula dari Ubay bin Ka'ab bahwa Nabi ﷺ pernah mengatakan bahwa sudah tampak tanda-tanda bahwa anak itu telah mulai melangkah dalam langkah kekafiran, padahal kedua orang tuanya adalah orang-orang yang saleh.
“Maka khawatirlah kita bahwa dia akan menyusahkan keduanya dengan kedurhakaan dan kekufuran."
Memang banyaklah kejadian di dalam dunia ini, baik di zaman Nabi Musa dan Khidir gurunya itu ataupun di zaman yang lain, bahkan di zaman kita sekarang ini, ayah-bunda yang saleh jadi makan hati berulam jantung karena perangai anaknya. Tentu kita ingat hal ini pun kejadian pada Nabi Nuh seketika beliau akan ke dalam perahu. Ada anaknya yang tidak mau ikut dan bersedia tenggelam bersama orang-orang yang kafir, sehingga membuat sedih hati beliau, Khidir bertindak membunuh anak itu sebelum kedurhakaan dan kekufurannya berlarat-larat menyusahkan orang tuanya dengan kedurhakaan dan kekufurannya.
Ayat 81
“Maka inginlah kita supaya diganti untuk keduanya oleh Tuhan keduanya dengan (anak) yang lebih baik dari dia."
Sangatlah kita mengharapkan moga-moga Allah akan segera mengganti anak yang telah mati itu dengan anak yang saleh yang akan menenangkan hati kedua orang tuanya yang beriman dan saleh itu; yang lebih baik daripada dia.
“Tentang kebaktian dan lebih dekat tentang hubungan keluanga."
Ditunjukkan dalam ayat ini pengharapan Khidir tentang anak pengganti yang akan lahir itu. Yaitu yang mempunyai dua keistimewaan. Pertama kebaktian dan kesucian hidupnya ibadahnya kepada Allah dan hidup beriman dan yang menurun dari kedua orang tuanya. Kedua ialah khidmatnya kepada orang tuanya, menghubungkan silaturahim dengan yang patut-patut.
Menurut suatu tafsiran dari Ibnu Juraij, seketika anak pertama itu dibunuh Khidir, ibunya sedang mengandung. Dan setelah anak itu lahir, ternyata menjadi seorang anak Muslim yang saleh.
Kemudian diterangkannya pulalah apa sebab maka dinding yang nyaris roboh itu dia tegakkan dan dia tidak mengharapkan upah.
Ayat 82
“Dan adapun dinding itu adalah dia kepunyaan dua orang anak yatim di kampung itu."
Keterangan pertama ini memberikan isyarat pada kita bahwa dinding itu adalah bangunan pusaka dari seorang ayah yang telah meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak yatim. Dan seperti kita maklum, anak-anak disebut yatim ialah sebelum mereka dewasa. Maka ketika Musa dan gurunya itu melawat ke kampung tersebut, mereka masih kecil-kecil."Dan di bawahnya ada harta terpendam kepunyaan keduanya." Kanzun kita artikan harta terpendam. Yaitu harta kekayaan yang terdiri atas emas dan perak yang biasa dikuburkan oleh orang yang telah meninggal di dalam tanah, kalau digali oleh orang yang datang kemudian akan bertemu dan menjadi kekayaan mereka."Dan kedua ayah-bund a mereka adalah orang-orang yang saleh." Me-rekalah yang menguburkan harta terpendam itu. Maka kasihanlah awak kepada kedua anak yatim itu jika harta terpendam pusaka orang tua mereka tidak sampai ke tangan mereka, karena jauh tertimbun dalam tanah, karena tanah tempat dia terpendam dihimpit lagi oleh dinding “Maka menghendakilah Tuhan engkau supaya sampailah kiranya kedewasaan mereka, dan mereka usahakan mengeluarkan harta terpendam kepunyaan mereka."
Artinya, karena dinding itu telah aku tegakkan kembali, sehingga tidak sampai runtuh menimbun tanah tempat menguburkan harta itu, menurut kehendak Allah ialah supaya anak itu dapat menunggunya dengan baik sampai mereka dewasa. Kalau sudah dewasa biar mereka ambil sendiri, Dan semuanya ini adalah, “Sebagai suatu rahmat dari Tuhan engkau." Maka aku menegakkan dinding yang hampir roboh itu ialah sebagai rahmat dari Allah untuk kedua anak yatim yang kedua orang tuanya saleh itu."Dan tidaklah aku melakukan itu atas kehendakku sendiri," baik ketika aku membocorkan perahu, atau seketika aku membunuh anak muda itu, ataupun seketika aku menegakkan kembali dinding yang hampir roboh. Semuanya Itu adalah aku kerjakan, atas perintah Allah yang disampaikan langsung kepadaku.
“Itulah dia aiti dari hal-hal yang engkau tidak sanggup sabar atasnya itu."
Sudah tentu Musa tidak sanggup sabar karena semua hal itu ganjil baginya, meskipun dia telah mengikat janji akan sabar. Dan cerita di dalam Al-Qur'an tidak bersambung lagi, karena yang akan diambil hanya isinya, yaitu bahwa ada manusia yang diberi pengetahuan langsung dengan kelebihan sendiri. Ada kelebihan pada Khidir itu yang tak ada pada Musa dan ada pula kelebihan pada Musa yang tak ada pada Khidir. Begitu juga nabi yang lain-lain.
BEBERAPA KETERANGAN
1. Nabi kita Muhammad ﷺ, setelah menerima dan menceritakan wahyu ini kepada sahabat-sahabatnya, pernah berkata,
“Rahmat Allah atas kita dan atas Musa, kalau dia sabar niscaya Allah akan mengisahkan juga kepada kita kabarnya. Tetapi (Musa) telah berjanji “jika saya bertanya juga kepada engkau tentang sesuatu sesudah ini, maka janganlah engkau bersahabat juga dengan aku lagi." (HR Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasa'i, dan al-Hakim) Ahli-ahli ilmu balaghah, sebagai bahasa yang tertinggi didapat di dalam merenungkan susun kata Al-Qur'an sebagai wahyu Ulahi terdapatlah kita beberapa kali susun kata yang berbeda dalam ucapan jawaban Khidir kepada Musa ketika dia menerangkan apa sebab ketiga perbuatan itu dia kerjakan.
Tentang perbuatannya membuat cacat atau merusakkan perahu itu dia berkata, “Maka aku hendak memberi cacat padanya."
Di sini yang tertonjol ialah akunya, dirinya.
Pada waktu memberi keterangan sebab-sebab dia membunuh anak muda itu dua kali dia menyebut kita.
1. Khawatir kita bahwa dia akan menyusahkan kedua orang tuanya.
2. Inginlah kita supaya diganti untuk keduanya oleh Allah keduanya dengan (anak) yang lebih baik.
Di sini Khidir memakai “kita" dalam percakapan, yaitu dengan memasukkan Musa ke dalam golongan orang yang sama perasaan dengan dia.
Dalam pemakaian bahasa Indonesia tidak dapat Isim Maushul yang berupa Na diartikan Kami di sini. Karena bisa salah pengertian yang membawakan Khidir mengkam/kan dirinya bersama dengan Allah.
Pada waktu dia menerangkan sebab-sebab dia menegakkan kembali dinding yang hampir roboh itu, dia tidak menonjolkan dirinya. Dia tidak menyebut aku.
Langsung dia katakan bahwa itu adalah kehendak Allah. Tegas dia katakan, “Maka menghendakilah Tuhan engkau supaya sampailah kiranya kedewasaan mereka, dan mereka usahakan mengeluarkan harta terpendam kepunyaan mereka." Dengan susun kata demikian dapatlah dipahamkan sebab-sebab dia menegakkan dinding yang hampir roboh itu. Dan pada sambungannya pula, “sebagai suatu rahmat dari Tuhan engkau."
Ahli-ahli ilmu balaghah merenungkan keistimewaan tiap-tiap susun kata ini.
Aku hendak memberi cacat padanya. Sebab kata-kata cacat atau rusak tidaklah layak bagi seorang yang berperadaban tinggi mem-bangsakan cacat dan rusak kepada Allah.
“Akulah yang merusakkan itu, bukan Allah!"
Begini pula ucapan Nabi Ibrahim,
“Diayang telah menjadikan daku, maka Dia pula yang memimpinku. Dan Dia, yang memberiku makan dan memberiku minum. Dan apabila aku sakit, maka Dia jualah yang menyembuhkan daku." (asy-Syu'araa': 78-80)
Semua orang yang berakal berpikiran cerdas tahu bahwa kalau kita sakit, Allah-lah yang mendatangkan penyakit itu. Tetapi Nabi Ibrahim telah mengajar kita adab sopan-santun dengan Allah. Dia tidak menyebut siapa yang menimpakan sakit kepada dirinya, yang disebutnya hanya yang menyembuhkan. Sedangkan bercakap dengan sesama manusia lagi memakai adab sopan santun apatah lagi bercakap mengenai Allah.
Itulah sebab Khidir berkata, “Aku hendak memberi cacat pada perahu itu."
Dalam jawaban yang kedua disebutnya kita. Dia tidak lagi membangkitkan kenangan kepada yang telah mati terbunuh. Dia bangkitkan rasa kasihan yang ada pada dirinya dan diri Musa terhadap kepada kedua orang tua yang beriman itu."Kita khawatir kehidupan kedua orang tua yang beriman itu akan diganggu dan dihenjong terus oleh anaknya yang telah berlainan haluan itu. Dan kita mengharap, moga-moga kedua orang tua yang beriman itu mendapat ganti anak yang saleh."
Tetapi dalam jawaban atas kejadian ketiga, yaitu bahwa dia menegakkan dinding itu kembali, dia tidak sekali-kali menyebut bahwa itu adalah jasanya. Itu adalah kehendak Allah engkau! Dan dilanjutkannya pula bahwa kejadian itu adalah “Sebagai suatu rahmat dari Tuhan Engkau." Maka kalau itu adalah kehendak Allah dan rahmat Allah buat kedua anak yatim itu, adakah panas aku meminta upah? Padahal semuanya itu aku kerjakan bukan atas kemauanku sendiri?