Ayat
Terjemahan Per Kata
أَمَّا
adapun
ٱلسَّفِينَةُ
perahu
فَكَانَتۡ
maka adalah ia
لِمَسَٰكِينَ
milik orang-orang miskin
يَعۡمَلُونَ
mereka bekerja
فِي
di
ٱلۡبَحۡرِ
laut
فَأَرَدتُّ
maka aku hendak
أَنۡ
bahwa
أَعِيبَهَا
aku merusak
وَكَانَ
dan adalah
وَرَآءَهُم
dibelakang mereka
مَّلِكٞ
seorang raja
يَأۡخُذُ
dia mengambil
كُلَّ
tiap-tiap
سَفِينَةٍ
perahu
غَصۡبٗا
dengan paksa/merampas
أَمَّا
adapun
ٱلسَّفِينَةُ
perahu
فَكَانَتۡ
maka adalah ia
لِمَسَٰكِينَ
milik orang-orang miskin
يَعۡمَلُونَ
mereka bekerja
فِي
di
ٱلۡبَحۡرِ
laut
فَأَرَدتُّ
maka aku hendak
أَنۡ
bahwa
أَعِيبَهَا
aku merusak
وَكَانَ
dan adalah
وَرَآءَهُم
dibelakang mereka
مَّلِكٞ
seorang raja
يَأۡخُذُ
dia mengambil
كُلَّ
tiap-tiap
سَفِينَةٍ
perahu
غَصۡبٗا
dengan paksa/merampas
Terjemahan
Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut. Maka, aku bermaksud membuatnya cacat karena di hadapan mereka ada seorang raja (zalim) yang mengambil setiap perahu (yang baik) secara paksa.
Tafsir
(Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin) yang jumlahnya ada sepuluh orang (yang bekerja di laut) dengan menyewakannya, mereka menjadikannya sebagai mata pencaharian (dan aku bertujuan merusakkan perahu itu, karena di hadapan mereka) jika mereka kembali, atau di hadapan mereka sekarang ini (ada seorang raja) kafir (yang mengambil tiap-tiap perahu) yang masih baik (secara ghashab) yakni dengan cara merampasnya. Lafal Ghashban dinashabkan karena menjadi Mashdar yang kedudukannya menjelaskan tentang cara pengambilan itu.
Tafsir Surat Al-Kahfi: 79
Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku punya maksud ketika merusakkan perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu .
Apa yang disebutkan dalam ayat ini merupakan tafsir dari perkara yang sulit dimengerti oleh Musa a.s. dan penjelasan tentang lahiriah peristiwa yang diingkari olehnya. Allah telah menampakkan kepada Khidir a.s. hakikat dari perkara itu. Khidir berkata, "Sesungguhnya aku melubangi perahu itu tiada lain hanyalah untuk membuatnya cacat, karena mereka dengan perahu tersebut akan melalui wilayah kekuasaan raja yang zalim. Yang merampas tiap-tiap perahu." (Al-Kahfi: 79). Yang laik dipakai dan baik. Maka dengan sengaja saya membuatnya cacat agar si raja tersebut tidak mau merampasnya karena ada cacatnya, sehingga para pemiliknya yang miskin dapat terus menggunakannya dan mengambil manfaat darinya karena perahu itu merupakan satu-satunya milik mereka untuk mencari nafkah.
Menurut suatu pendapat para pemilik perahu itu adalah anak-anak yatim. Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Wahb bin Salman, dari Syu'aib Al-Jiba-i, bahwa nama raja yang zalim itu adalah Hadad ibnu Badad. Dalam riwayat Imam Bukhari yang lalu telah disebutkan pula bahwa nama raja tersebut tertera di dalam kitab Taurat sebagai keturunan dari Al-Is ibnu Ishaq; dia termasuk salah seorang raja yang namanya tertera di dalam kitab Taurat.
Sesudah memutuskan berpisah dengan Nabi Musa, hamba yang saleh itu menjelaskan perbuatannya satu per satu. Dia mengatakan, 'Adapun perahu yang aku lubangi itu adalah milik orang miskin yang dipergunakan untuk bekerja di laut guna mencari nafkah. Aku bermaksud merusaknya agar perahu itu tampak cacat. Aku berbuat demikian karena di hadapan mereka ada seorang raja zalim yang akan merampas setiap perahu yang masih bagus. '80. Dan adapun anak yang aku bunuh itu adalah putra dari kedua orang tua mukmin yang kuat dan teguh imannya, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran, lalu keduanya tidak kuasa menolak paksaan anaknya itu karena besarnya kasih sayang mereka kepadanya.
.
Khidir menerangkan sebab ia mengerjakan berbagai tindakan yang telah dilakukannya. Adapun perbuatan Khidir melubangi perahu karena perahu itu kepunyaan satu kaum yang lemah dan miskin. Mereka tidak mampu menolak kezaliman raja yang akan merampas perahunya itu, dan mereka mempergunakan perahu itu untuk menambah penghasilannya dengan mengangkut barang-barang dagangan atau menyewakannya pada orang-orang lain. Khidir sengaja membuat cacat pada perahu itu dengan jalan melubanginya karena di hadapannya ada seorang raja zalim yang suka merampas dan menyita setiap perahu yang utuh dan tidak mau mengambil perahu yang cacat, sehingga karena adanya cacat tersebut perahu itu akan selamat.
Para Nabi biasanya menetapkan sesuatu sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang nampak di hadapannya, sedangkan soal-soal yang merupakan rahasia intern diserahkan kepada kebijaksanaan Allah sesuai dengan bunyi sebuah hadis yang dikutip dari Kitab Tafsir al-Maragi jilid VI halaman 7 sebagai berikut:
"Kami (para Nabi) menetapkan sesuatu sesuai dengan fakta yang nampak dalam pandangan mata, sedangkan Allah mengetahui hakikatnya."
Hukum-hukum yang berlaku di dunia ini berlandaskan kepada sebab-sebab yang hakiki yaitu fakta-fakta yang sebenarnya dan hal ini hanya diperlihatkan Allah kepada beberapa orang hamba-Nya saja. Oleh karena itu Nabi Musa menyangkal atas perbuatan Khidir dan beliau tidak mengetahui bahwa Khidir telah diberi ilmu laduni yang dapat mengetahui rahasia-rahasia perkara gaib. Martabat Nabi Musa adalah di dalam bidang ilmu syariat dan hukum-hukum yang berlandaskan kepada alam yang nyata, sedangkan Khidir diberi pengetahuan ilmu hakekat sehingga mengetahui rahasia-rahasia perkara gaib. Pada pertanyaan Nabi Musa yang pertama dan yang kedua ada penerapan sebuah kaidah dalam ilmu usul fiqih yang maksudnya, apabila terjadi dua kemudaratan yang tidak dapat dihindarkan lagi, maka ambillah kemudaratan yang paling ringan untuk menghindari kemudaratan yang lebih besar. Seandainya perahu itu tidak dilubangi dindingnya tentu akan disita oleh raja suatu negara yang zalim yang bakal melaluinya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 79
“Adapun penaku itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang berusaha di laut."
Artinya, bahwa perahu yang aku rusakkan atau aku beri cacat itu ialah kepunyaan nelayan atau penangkap-penangkap ikan.
Mereka itu sebagaimana kebanyakan nelayan adalah orang-orang miskin. Mencari ikan se-kadar dapat akan dimakan."Maka aku hendak memberi cacat padanya," aku bocorkan perahu itu,
“Kanena di belakang mereka ada seorang raja yang mengambil tiap-tiap penaku dengan jalan sewenang-wenang."
Raja itu amat zalim. Kalau kelihatan olehnya ada perahu orang yang bagus, diambil dan dikuasainya saja dengan tidak membayar harganya, dan tidak ada orang yang berani membuka mulut apabila raja itu telah bertindak. Tetapi kalau dilihatnya ada sebuah perahu yang rusak, atau buruk, tidak berkenan di hatinya ditinggalkannya saja. Maka kalau perahu itu aku rusakkan, raja tidak akan merampoknya lagi dan nelayan-nelayan yang miskin itu dapatlah memperbaiki perahu mereka kembali.
Ayat 80
“Adapun anak kecil itu, adalah kedua orang tuanya dua orang yang beriman."
Maka tersebutlah di dalam suatu riwayat dari Ibnu Abbas yang diterimanya pula dari Ubay bin Ka'ab bahwa Nabi ﷺ pernah mengatakan bahwa sudah tampak tanda-tanda bahwa anak itu telah mulai melangkah dalam langkah kekafiran, padahal kedua orang tuanya adalah orang-orang yang saleh.
“Maka khawatirlah kita bahwa dia akan menyusahkan keduanya dengan kedurhakaan dan kekufuran."
Memang banyaklah kejadian di dalam dunia ini, baik di zaman Nabi Musa dan Khidir gurunya itu ataupun di zaman yang lain, bahkan di zaman kita sekarang ini, ayah-bunda yang saleh jadi makan hati berulam jantung karena perangai anaknya. Tentu kita ingat hal ini pun kejadian pada Nabi Nuh seketika beliau akan ke dalam perahu. Ada anaknya yang tidak mau ikut dan bersedia tenggelam bersama orang-orang yang kafir, sehingga membuat sedih hati beliau, Khidir bertindak membunuh anak itu sebelum kedurhakaan dan kekufurannya berlarat-larat menyusahkan orang tuanya dengan kedurhakaan dan kekufurannya.
Ayat 81
“Maka inginlah kita supaya diganti untuk keduanya oleh Tuhan keduanya dengan (anak) yang lebih baik dari dia."
Sangatlah kita mengharapkan moga-moga Allah akan segera mengganti anak yang telah mati itu dengan anak yang saleh yang akan menenangkan hati kedua orang tuanya yang beriman dan saleh itu; yang lebih baik daripada dia.
“Tentang kebaktian dan lebih dekat tentang hubungan keluanga."
Ditunjukkan dalam ayat ini pengharapan Khidir tentang anak pengganti yang akan lahir itu. Yaitu yang mempunyai dua keistimewaan. Pertama kebaktian dan kesucian hidupnya ibadahnya kepada Allah dan hidup beriman dan yang menurun dari kedua orang tuanya. Kedua ialah khidmatnya kepada orang tuanya, menghubungkan silaturahim dengan yang patut-patut.
Menurut suatu tafsiran dari Ibnu Juraij, seketika anak pertama itu dibunuh Khidir, ibunya sedang mengandung. Dan setelah anak itu lahir, ternyata menjadi seorang anak Muslim yang saleh.
Kemudian diterangkannya pulalah apa sebab maka dinding yang nyaris roboh itu dia tegakkan dan dia tidak mengharapkan upah.
Ayat 82
“Dan adapun dinding itu adalah dia kepunyaan dua orang anak yatim di kampung itu."
Keterangan pertama ini memberikan isyarat pada kita bahwa dinding itu adalah bangunan pusaka dari seorang ayah yang telah meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak yatim. Dan seperti kita maklum, anak-anak disebut yatim ialah sebelum mereka dewasa. Maka ketika Musa dan gurunya itu melawat ke kampung tersebut, mereka masih kecil-kecil."Dan di bawahnya ada harta terpendam kepunyaan keduanya." Kanzun kita artikan harta terpendam. Yaitu harta kekayaan yang terdiri atas emas dan perak yang biasa dikuburkan oleh orang yang telah meninggal di dalam tanah, kalau digali oleh orang yang datang kemudian akan bertemu dan menjadi kekayaan mereka."Dan kedua ayah-bund a mereka adalah orang-orang yang saleh." Me-rekalah yang menguburkan harta terpendam itu. Maka kasihanlah awak kepada kedua anak yatim itu jika harta terpendam pusaka orang tua mereka tidak sampai ke tangan mereka, karena jauh tertimbun dalam tanah, karena tanah tempat dia terpendam dihimpit lagi oleh dinding “Maka menghendakilah Tuhan engkau supaya sampailah kiranya kedewasaan mereka, dan mereka usahakan mengeluarkan harta terpendam kepunyaan mereka."
Artinya, karena dinding itu telah aku tegakkan kembali, sehingga tidak sampai runtuh menimbun tanah tempat menguburkan harta itu, menurut kehendak Allah ialah supaya anak itu dapat menunggunya dengan baik sampai mereka dewasa. Kalau sudah dewasa biar mereka ambil sendiri, Dan semuanya ini adalah, “Sebagai suatu rahmat dari Tuhan engkau." Maka aku menegakkan dinding yang hampir roboh itu ialah sebagai rahmat dari Allah untuk kedua anak yatim yang kedua orang tuanya saleh itu."Dan tidaklah aku melakukan itu atas kehendakku sendiri," baik ketika aku membocorkan perahu, atau seketika aku membunuh anak muda itu, ataupun seketika aku menegakkan kembali dinding yang hampir roboh. Semuanya Itu adalah aku kerjakan, atas perintah Allah yang disampaikan langsung kepadaku.
“Itulah dia aiti dari hal-hal yang engkau tidak sanggup sabar atasnya itu."
Sudah tentu Musa tidak sanggup sabar karena semua hal itu ganjil baginya, meskipun dia telah mengikat janji akan sabar. Dan cerita di dalam Al-Qur'an tidak bersambung lagi, karena yang akan diambil hanya isinya, yaitu bahwa ada manusia yang diberi pengetahuan langsung dengan kelebihan sendiri. Ada kelebihan pada Khidir itu yang tak ada pada Musa dan ada pula kelebihan pada Musa yang tak ada pada Khidir. Begitu juga nabi yang lain-lain.
BEBERAPA KETERANGAN
1. Nabi kita Muhammad ﷺ, setelah menerima dan menceritakan wahyu ini kepada sahabat-sahabatnya, pernah berkata,
“Rahmat Allah atas kita dan atas Musa, kalau dia sabar niscaya Allah akan mengisahkan juga kepada kita kabarnya. Tetapi (Musa) telah berjanji “jika saya bertanya juga kepada engkau tentang sesuatu sesudah ini, maka janganlah engkau bersahabat juga dengan aku lagi." (HR Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasa'i, dan al-Hakim) Ahli-ahli ilmu balaghah, sebagai bahasa yang tertinggi didapat di dalam merenungkan susun kata Al-Qur'an sebagai wahyu Ulahi terdapatlah kita beberapa kali susun kata yang berbeda dalam ucapan jawaban Khidir kepada Musa ketika dia menerangkan apa sebab ketiga perbuatan itu dia kerjakan.
Tentang perbuatannya membuat cacat atau merusakkan perahu itu dia berkata, “Maka aku hendak memberi cacat padanya."
Di sini yang tertonjol ialah akunya, dirinya.
Pada waktu memberi keterangan sebab-sebab dia membunuh anak muda itu dua kali dia menyebut kita.
1. Khawatir kita bahwa dia akan menyusahkan kedua orang tuanya.
2. Inginlah kita supaya diganti untuk keduanya oleh Allah keduanya dengan (anak) yang lebih baik.
Di sini Khidir memakai “kita" dalam percakapan, yaitu dengan memasukkan Musa ke dalam golongan orang yang sama perasaan dengan dia.
Dalam pemakaian bahasa Indonesia tidak dapat Isim Maushul yang berupa Na diartikan Kami di sini. Karena bisa salah pengertian yang membawakan Khidir mengkam/kan dirinya bersama dengan Allah.
Pada waktu dia menerangkan sebab-sebab dia menegakkan kembali dinding yang hampir roboh itu, dia tidak menonjolkan dirinya. Dia tidak menyebut aku.
Langsung dia katakan bahwa itu adalah kehendak Allah. Tegas dia katakan, “Maka menghendakilah Tuhan engkau supaya sampailah kiranya kedewasaan mereka, dan mereka usahakan mengeluarkan harta terpendam kepunyaan mereka." Dengan susun kata demikian dapatlah dipahamkan sebab-sebab dia menegakkan dinding yang hampir roboh itu. Dan pada sambungannya pula, “sebagai suatu rahmat dari Tuhan engkau."
Ahli-ahli ilmu balaghah merenungkan keistimewaan tiap-tiap susun kata ini.
Aku hendak memberi cacat padanya. Sebab kata-kata cacat atau rusak tidaklah layak bagi seorang yang berperadaban tinggi mem-bangsakan cacat dan rusak kepada Allah.
“Akulah yang merusakkan itu, bukan Allah!"
Begini pula ucapan Nabi Ibrahim,
“Diayang telah menjadikan daku, maka Dia pula yang memimpinku. Dan Dia, yang memberiku makan dan memberiku minum. Dan apabila aku sakit, maka Dia jualah yang menyembuhkan daku." (asy-Syu'araa': 78-80)
Semua orang yang berakal berpikiran cerdas tahu bahwa kalau kita sakit, Allah-lah yang mendatangkan penyakit itu. Tetapi Nabi Ibrahim telah mengajar kita adab sopan-santun dengan Allah. Dia tidak menyebut siapa yang menimpakan sakit kepada dirinya, yang disebutnya hanya yang menyembuhkan. Sedangkan bercakap dengan sesama manusia lagi memakai adab sopan santun apatah lagi bercakap mengenai Allah.
Itulah sebab Khidir berkata, “Aku hendak memberi cacat pada perahu itu."
Dalam jawaban yang kedua disebutnya kita. Dia tidak lagi membangkitkan kenangan kepada yang telah mati terbunuh. Dia bangkitkan rasa kasihan yang ada pada dirinya dan diri Musa terhadap kepada kedua orang tua yang beriman itu."Kita khawatir kehidupan kedua orang tua yang beriman itu akan diganggu dan dihenjong terus oleh anaknya yang telah berlainan haluan itu. Dan kita mengharap, moga-moga kedua orang tua yang beriman itu mendapat ganti anak yang saleh."
Tetapi dalam jawaban atas kejadian ketiga, yaitu bahwa dia menegakkan dinding itu kembali, dia tidak sekali-kali menyebut bahwa itu adalah jasanya. Itu adalah kehendak Allah engkau! Dan dilanjutkannya pula bahwa kejadian itu adalah “Sebagai suatu rahmat dari Tuhan Engkau." Maka kalau itu adalah kehendak Allah dan rahmat Allah buat kedua anak yatim itu, adakah panas aku meminta upah? Padahal semuanya itu aku kerjakan bukan atas kemauanku sendiri?