Ayat
Terjemahan Per Kata
فَٱنطَلَقَا
maka keduanya pergi
حَتَّىٰٓ
sehingga
إِذَا
tatkala
رَكِبَا
keduanya
فِي
dalam
ٱلسَّفِينَةِ
perahu
خَرَقَهَاۖ
melubanginya
قَالَ
(Musa) berkata
أَخَرَقۡتَهَا
mengapa kamu melubanginya
لِتُغۡرِقَ
untuk kamu menenggelamkan
أَهۡلَهَا
ahlinya/penumpangnya
لَقَدۡ
sesungguhnya
جِئۡتَ
kamu mendatangkan
شَيۡـًٔا
sesuatu
إِمۡرٗا
mungkar
فَٱنطَلَقَا
maka keduanya pergi
حَتَّىٰٓ
sehingga
إِذَا
tatkala
رَكِبَا
keduanya
فِي
dalam
ٱلسَّفِينَةِ
perahu
خَرَقَهَاۖ
melubanginya
قَالَ
(Musa) berkata
أَخَرَقۡتَهَا
mengapa kamu melubanginya
لِتُغۡرِقَ
untuk kamu menenggelamkan
أَهۡلَهَا
ahlinya/penumpangnya
لَقَدۡ
sesungguhnya
جِئۡتَ
kamu mendatangkan
شَيۡـًٔا
sesuatu
إِمۡرٗا
mungkar
Terjemahan
Kemudian, berjalanlah keduanya, hingga ketika menaiki perahu, dia melubanginya. Dia (Musa) berkata, “Apakah engkau melubanginya untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh, engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar.”
Tafsir
(Maka berjalanlah keduanya) menuruti pinggir pantai (hingga tatkala keduanya menaiki perahu) yang lewat pada keduanya (lalu Khidhir melubanginya) dengan cara mencabut satu keping atau dua keping papan yang ada pada bagian lambungnya dengan memakai kapak, sewaktu perahu telah sampai di tengah laut yang ombaknya besar (Musa berkata) kepada Khidir, ("Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?) menurut satu qiraat lafal Litughriqa dibaca Litaghraqa, dan lafal Ahlahaa dibaca Ahluhaa. (Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar)" yakni kekeliruan yang sangat besar. Menurut suatu riwayat disebutkan, bahwa air laut tidak masuk ke dalam perahu yang telah dilubanginya itu.
Tafsir Surat Al-Kahfi: 71-73
Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki sebuah perahu, lalu Khidir melubanginya. Musa berkata, "Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu bisa menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat suatu kesalahan besar." Dia (Khidir) berkata, "Bukankah telah aku katakan, 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku'." Musa berkata, "Janganlah kamu menghukum aku karena kealpaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan suatu kesulitan dalam urusanku."
Allah menceritakan perihal Musa dan temannya (yaitu Khidir) bahwa keduanya sepakat untuk berjalan bersama dan Khidir telah menetapkan persyaratannya kepada Musa, yaitu tidak boleh menanyakan suatu urusan pun yang dianggap janggal, hingga ia sendirilah yang akan menceritakan dan menerangkan semuanya kepada Musa. Keduanya menaiki perahu itu, dalam keterangan yang lalu telah disebutkan bagaimana keduanya menaiki perahu. Disebutkan bahwa para pemilik perahu yang ada di pantai itu telah mengenal Khidir.
Maka mereka membawa keduanya tanpa ongkos sepeserpun karena menghormati Khidir. Ketika perahu yang mereka tumpangi itu mengarungi bahtera, Khidir bangkit dan melubangi perahu itu, lalu ia mengeluarkan sebuah papan yang ada di perahu itu untuk menambalnya. Melihat hal itu Musa tidak dapat menahan dirinya lagi untuk bertanya seraya memprotes: "Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu bisa menenggelamkan penumpangnya?" (Al-Kahfi: 71) Lam yang ada dalam lafaz litughriqa ini adalah lamul 'aqibah yang menunjukkan makna akibat, bukan lam ta'lil yang menunjukkan makna penyebab atau kausalita. Huruf lam ini sama dengan huruf lam yang ada di dalam perkataan seorang penyair: "Beranaklah yang akibatnya akan mati, dan bangunlah yang akibatnya akan runtuh."
Firman Allah ﷻ: "Sesungguhnya kamu telah berbuat suatu kesalahan besar." (Al-Kahfi:71) Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah sesuatu yang diingkari. Qatadah mengatakan, yang dimaksud ialah sesuatu yang aneh. Maka pada saat itu juga Khidir berkata kepada Musa, mengingatkan akan syarat yang telah disetujuinya: "Bukankah sudah aku katakan, 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku’." (Al-Kahfi: 72) Dengan kata lain, perbuatan ini sengaja aku lakukan, dan termasuk di antara perkara yang telah aku persyaratkan kepadamu bahwa kamu tidak boleh memprotes aku tentangnya. Karena sesungguhnya kamu belum punya pengetahuan yang cukup tentang hal ini, padahal perbuatan ini mengandung kebaikan yang tidak kamu ketahui.
Musa berkata, "Janganlah kamu menghukumku karena kealpaanku dan janganlah kamu membebaniku dengan suatu kesulitan dalam urusanku." (Al-Kahfi: 73) Yakni janganlah kamu mempersulit diriku, jangan pula kamu bersikap keras terhadapku. Karena itulah sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: "Kekeliruan pertama yang dilakukan oleh Musa disebabkan karena kealpaannya."
Maka berjalanlah keduanya menelusuri pantai, hingga ketika keduanya
menjumpai sebuah perahu yang sedang berlayar, keduanya menaiki perahu, lalu sampai di tengah laut, dia, yakni Nabi Khidr, melubanginya.
Dia, yakni Nabi Musa, tidak sabar ketika melihat Nabi Khidr melubangi
perahu itu dan tidak dapat menyetujuinya, maka ia berkata, Mengapa
engkau melubangi perahu itu, sungguh perbuatan itu sangat berbahaya. Apakah engkau bermaksud untuk menenggelamkan penumpangnya' Sungguh, aku bersumpah, engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar,
yang tidak dapat dibenarkan menurut syariat. Mendengar pertanyaan Nabi Musa, lalu Nabi Khidr mengingatkan
Nabi Musa akan syarat yang telah mereka sepakati. Dia, yakni Nabi
Khidr, berkata, Bukankah sudah aku katakan sebelum ini bahwa sesungguhnya engkau tidak akan mampu sabar bersamaku'.
Dalam ayat ini, Allah mengisahkan bahwa keduanya (Nabi Musa dan Khidir) telah berjalan di tepi pantai untuk mencari sebuah kapal, dan kemudian mendapatkannya. Keduanya lalu menaiki kapal itu dengan tidak membayar upahnya, karena para awak kapal sudah mengenal Khidir dan pembebasan upah itu sebagai penghormatan kepadanya.
Ketika kapal itu sedang melaju di laut dalam, tiba-tiba Khidir mengambil kampak lalu melubangi dan merusak sekeping papan di dinding kapal itu. Melihat kejadian seperti itu, dengan serta merta Nabi Musa berkata kepada Khidir, "Mengapa kamu lobangi perahu itu? Hal itu dapat menenggelamkan seluruh penumpangnya yang tidak berdosa? Sungguh kamu telah mendatangkan kerusakan yang besar dan tidak mensyukuri kebaikan hati para awak kapal yang telah membebaskan kita dari uang sewa kapal ini." Kemudian Nabi Musa mengambil kainnya untuk menutup lubang itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
NABI MUSA PERGI BERGURU (II)
Setelah Nabi Musa dengan anak muda pengiringnya, Yusya bin Nun, sampai kembali di tempat ikan asin itu meluncur masuk laut tadi,
Ayat 65
“Maka mereka dapatilah seorang hamba di antara hamba Kami, yang Kami telah berikan kepadanya lahmat daii sisi Kami."
Bertemu seorang di antara banyak hamba Allah yang dianugerahi rahmat. Dan rahmat paling tinggi yang diberikan Allah kepada hamba-Nya ialah rahmat ma'rifat, yaitu kenal akan Allah, dekat dengan Allah, sehingga hidup mereka berbeda dengan orang lain. Sedangkan iman dan takwa kepada Allah saja sudahlah menjadi Rahmat abadi bagi seorang hamba Allah, kononlah kalau diberi pula dia ilmu yang langsung diterima dari Allah, yang dijelaskan di sini.
“Dan telah Kami ajankan kepadanya ilmu yang langsung dari Kami."
Apabila jiwa seseorang telah dipersucikan (tazkiyah) dari pengaruh hawa nafsu dan keinginan yang jahat, sampai bersih murni laksana kaca, maka timbullah nur dalam dirinya dan menerima dia akan nur dari luar; itulah yang disebut Nurun ‘ala nuriril Maka bertambah dekatlah jaraknya dengan Allah dan jadilah dia orang yang muqarrabin. Kalau telah sampai pada maqam yang demikian, mudahlah dia menerima langsung ilmu dari Ilahi. Baik berupa wahyu serupa yang diterima nabi dan rasul, atau berupa ilham yang tertinggi martabatnya, yang diterima oleh orang yang saleh.
Dan orang yang telah mencapai martabat yang demikian itu dapat segera dikenal oleh orang yang telah sama berpengalaman dengan dia, walaupun baru sekali bertemu. Sebab sinar dari Nur sama sumber asal tempat datangnya.
Oleh sebab itu baru saja melihat orang itu yang pertama kali, Musa telah tahu bahwa itulah orang yang disuruh Allah dia mencarinya. Tidaklah kita heran jika langsung sekali Musa menegurnya dengan penuh hormat, “Berkata Musa kepadanya,
Ayat 66
“Bolehkah aku mengikut engkau, “Dengan (syanat) engkau ajarkan kepadaku, dari yang telah diajarkan kepada engkau, sampai aku mengerti."
Suatu pertanyaan yang disusun demikian rupa sehingga menunjukkan bahwa Musa telah menyediakan diri menjadi murid dan mengakui di hadapan guru bahwa banyak hal yang dia belum mengerti. Kelebihan ilmu guru itu haraplah diterangkan kepadanya, sampai dia mengerti sebagai seorang murid yang setia.
Ayat 67
“Dia menjawab."
Siapakah dia itu? Beberapa hadits yang diriwayatkan daripada Nabi ﷺ telah menyebutkan nama guru itu, dan ahli-ahli tafsir yang terbanyak telah membawakan riwayat hadits itu pula. Nama guru itu ialah Khidir.
Khidir itu bahasa Arab yang berarti hijau! Nanti setelah selesai menafsirkan tiap-tiap ayat soal-jawab di antara guru dan murid ini, akan kita uraikan riwayat-riwayat tentang Khidir ini.
Begitu banyak tafsir yang kita baca, yang lama dan yang baru, maka bagian terbesar dari mufassirin itu mesti membawakan tentang Khidir, guru Nabi Musa ini. Ada yang menyebutkan dia adalah nabi, dan ada pula yang menyebutkan bahwa dia adalah wali-yullah, bahkan ada pula yang menyelip-kan bahwa dia itu adalah jin. Tetapi penafsir zaman sekarang, Sayyid Quthub, syahid fi sabilillah, pengarang Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur'an tidak ada menyebut-nyebut Khidir ketika menafsirkan ayat-ayat ini. Dia hanya menyebut al Abdus Saleh (hamba Allah yang saleh) saja. Dia berpendirian demikian, sebab di dalam ayat-ayat itu sendiri tidak pernah tersebut nama Khidir. Jalan cerita penuh dengan misterius atau rahasia dari ilmu Allah, sampai satu di antaranya ikan yang telah mati dan diasin atau dipanggang bisa melompat saja masuk laut dan hilang tak tentu ke mana perginya. Oleh sebab itu maka Sayyid Quthub merasa adalah lebih baik cerita itu dibiarkan dalam kegaibannya, dan jangan ditambah-tambah lagi dengan cerita-cerita lain, yang kadang-kadang telah tercampur-aduk dengan dongeng atau israiliyat yang akal waras tidak dapat mempertanggungjawabkan.
Sekarang Musa telah berjumpa dengan guru yang dicarinya dan telah menyatakan kesediaannya belajar. Tetapi apa sambutan guru?
Ayat 67
“Dia menjawab, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup" jika engkau hendak menyenahkan dini menjadi munidku dan benjolan, “bersama aku" dan mengikuti aku ke mana aku pe'igi, tidaklah engkau “akan bensaban."
Dengan perkataan seperti ini si guru pun tampaknya dalam mula pertemuan telah me-ngenal akan jiwa muridnya itu. Teropong dari ilmul iadunni, ilmu yang langsung diterimanya dari Allah, firasat dari orang yang beriman, telah menyebabkan guru mengenal muridnya pada pertemuan yang pertama. Dan kita yang telah banyak membaca kisah Nabi Musa di dalam Al-Qur'an pun telah mengetahui pula, bahwa Nabi Musa itu mempunyai sikap jiwa yang lekas meluap, atau spontan. Sebab itu sang guru telah menyatakan dari permulaan bahwa si murid tidak akan sabar menurut-kan dia.
Guru itu menjelaskan lagi, sebagai sindiran halus atas sikap jiwa murid yang baru dikenalnya itu, dengan katanya,
Ayat 68
“Dan betapa engkau akan dapat sabar atas perkara yang belum cukup pengetahuanmu tentang hal itu?"
Dengan secara halus tabiat pengeras Musa selama ini telah mendapat teguran yang pertama. Namun Nur nubuwwat yang telah memancar dari dalam Ruhari Musa pun tidaklah hendak mundur karena teguran yang demikian. Bahkan beliau berjanji bahwa beliau akan sabar. Beliau akan dapat menahan diri menerima bimbingan dari guru.
Dia berkata,
Ayat 69
“Akan engkau dapati aku, insyaa Allah, seorang yang sabar."
Menunjukkan bahwa Nabi Musa telah mengaku akan patuh. Tetapi sebagaimana seorang manusia yang juga akan kelemahan dirinya dan kebesaran Tuhannya, dialasnya kata dengan in syaa Allah! Dan sesudah berjanji akan sabar ditambahinya lagi: janji se
orang murid di hadapan seorang guru yang mursyid.
“Dan tidaklah aku akan mendurhaka kepada engkau dalam hal apa jua pun."
Aku akan patuh, segala yang diajarkan akan kusimakkan baik-baik, bahkan segala yang guru perintahkan selama aku belajar tidaklah akan aku bantah atau aku durhakai.
Kata-kata ini adalah teladan yang baik bagi seorang murid di dalam mengkhidmati gurunya. Ahli-ahli tasawuf pun mengambil sikap Nabi Musa terhadap kepada guru ini untuk jadi teladan khidmat murid kepada guru. Sehingga apa pun sikap guru itu, walaupun belum dapat dipahamkan, bersabarlah menunggu. Karena kadang-kadang rahasianya akan didapat kemudian.
Setelah menerima janji yang demikian dari Musa, tenanglah hati sang guru menerima muridnya. Lalu,
Ayat 70
“Dia berkata, “Jika engkau mengikut aku, maka janganlah engkau tanyakan kepadaku suatu hal sebelum aku ceritakan kepada engkau duduk soalnya."
Dan syarat yang dikemukakan gurunya ini pun rupanya disanggupi oleh Musa. Dengan demikian terdapatlah persetujuan kedua belah pihak, guru dan murid dan sejak saat itu Musa telah menjadi murid guru itu, atau Khidir, dan mereka telah berjalan bersama.
Si pengiring, Yusya bin Nun tiada tersebut lagi. Memang biasanya bilamana orang-orang penting telah bertemu, pengiring menyisih ke tepi atau tidak penting diperkatakan lagi.
Ayat 71
“Maka benjolanlah keduanya."
Tampaklah dalam jalan cerita ini bahwa Musa bersama dengan gurunya telah melanjutkan perjalanan."Sehingga apabila keduanya sudah naik ke sebuah perahu, dilubanginya (perahu) itu."
Mulailah Musa menyaksikan lautan dan akan pergi ke seberang sana, lalu menumpang pada sebuah perahu, tetapi sebelum sampai ke tempat yang dituju dibuatnya satu lubang pada perahu itu sehingga air bisa saja menggoroh masuk, yang niscaya akan membawa perahu kaam. Lupalah Musa akan janjinya tidak akan bertanya kalau melihat suatu yang ganjil. Bawaan dirinya yang asli keluar lagi dengan tidak disadarinya. Lalu “dia bertanya, “Apakah sebab engkau lubangi dia yang akan menyebabkan tenggelamnya penumpang-pe-numpangnya?" Artinya, bukankah dengan pelubangan itu berarti engkau hendak menyebabkan penumpangnya tenggelam semua? Termasuk engkau dan aku?
Menembus sebuah perahu sedang berlayar, bagaimana jua pun adalah satu perbuatan yang tidak dapat dimengerti. Meskipun dia telah berjanji tidak akan bertanya, terdorong juga dia bertanya dan langsung ditanyakan apa yang terasa di hatinya, dengan tidak ada te-deng aling-aling dengan tidak ada kesabaran.
“Sesungguhnya engkau telah berbuat suatu perbuatan yang sangat salah."
Apa yang dialami Musa dialami juga oleh kebanyakan manusia. Seorang yang telah ber-janji, baik dengan sesamanya manusia, ataupun dengan Allah sendiri, akan sabar jika ditimpa cobaan, misalnya kematian orang yang sangat dicintai, malahan telah berkali-kali memberi fatwa sabar kepada orang lain; namun dia sadari atau tidak, dan kebanyakannya tidak disadari, dia akan terguncang juga jika orang yang sangat dicintainya meninggal dunia. Karena pertimbangan akal yang jernih tidaklah selalu sama dengan gejala perasaan ketika menghadapi kenyataan.
Maka menyambutlah gurunya itu tenang,
Ayat 72
“Dia berkata, Bukankah telah aku katakan kepadamu, bahwa tidaklah engkau akan sanggup bersabar bila menyertaiku."
Baru saja itu, baru itu yang pertama kali engkau melihatyangganjil pada pemandanganmu engkau sudah tidak sabar. Bukankah telah aku katakan sejak semula bahwa engkau tidak akan sabar menurutkan daku. Sekarang hal itu sudah terbukti.
Maka insaflah Musa akan dirinya, meskipun hati kecilnya belum merasa puas.
Ayat 73
“Dia berkata, “Janganlah engkau salahkan daku karena kelupaanku itu."
Di sini Musa mengakui terus terang bahwa dia lupa. Dia lupa akan janjinya. Karena baru sekali ini dia melihat hal sedahsyat itu. Disangkanya tidak akan sampai demikian. Oleh karena itu satu kelupaan dia pun memohon maaf. Dan berkata,
“Dan janganlah engkau bebani aku karena kesalahanku ini dengan suatu kesukaran."
Artinya, bahwa aku mengakui kesalahanku ini. Sebabnya hanyalah karena lupa semata-mata. Aku meminta maaf. Jangan engkau segera murka kepadaku, sehingga aku tidak boleh lagi mengikuti engkau dalam perjalanan. Karena kalau demikian halnya, beratlah rasanya bebanku. Syukurlah rasanya bagiku. Sebab aku tidak dapat lagi meneruskan menuntut ilmu.