Ayat
Terjemahan Per Kata
إِلَّآ
melainkan
أَن
bahwa
يَشَآءَ
menghendaki
ٱللَّهُۚ
Allah
وَٱذۡكُر
dan ingatlah
رَّبَّكَ
Tuhanmu
إِذَا
jika
نَسِيتَ
kamu lupa
وَقُلۡ
dan katakanlah
عَسَىٰٓ
mudah-mudahan
أَن
akan
يَهۡدِيَنِ
memberi petunjuk kepadaku
رَبِّي
Tuhanku
لِأَقۡرَبَ
untuk yang lebih dekat
مِنۡ
dari
هَٰذَا
ini
رَشَدٗا
petunjuk/kebenaran
إِلَّآ
melainkan
أَن
bahwa
يَشَآءَ
menghendaki
ٱللَّهُۚ
Allah
وَٱذۡكُر
dan ingatlah
رَّبَّكَ
Tuhanmu
إِذَا
jika
نَسِيتَ
kamu lupa
وَقُلۡ
dan katakanlah
عَسَىٰٓ
mudah-mudahan
أَن
akan
يَهۡدِيَنِ
memberi petunjuk kepadaku
رَبِّي
Tuhanku
لِأَقۡرَبَ
untuk yang lebih dekat
مِنۡ
dari
هَٰذَا
ini
رَشَدٗا
petunjuk/kebenaran
Terjemahan
kecuali (dengan mengatakan), “Insyaallah.” Ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.”
Tafsir
(Kecuali dengan menyebut "Insya Allah") artinya, mengecualikannya dengan menggantungkan hal tersebut kepada kehendak Allah, seumpamanya kamu mengatakan Insya Allah (Dan ingatlah kepada Rabbmu) yaitu kepada kehendak-Nya seraya menggantungkan diri kepada kehendak-Nya (jika kamu lupa) ini berarti jika ingat kepada kehendak-Nya sesudah lupa, sama dengan ingat kepada kehendak-Nya sewaktu mengatakan hal tersebut. Hasan dan lain-lainnya mengatakan, "Selagi seseorang masih dalam majelisnya" (dan katakanlah, "Mudah-mudahan Rabbku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat daripada ini) yaitu berita tentang Ashhabul Kahfi untuk menunjukkan kebenaran kenabianku (kebenarannya") yakni petunjuk yang lebih benar, dan memang Allah memperkenankan hal tersebut.
Tafsir Surat Al-Kahfi: 23-24
Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, "Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan mengucapkan) 'Insya Allah'." Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa, dan katakanlah, "Mudah-mudahan Tuhanku memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini."
Allah ﷻ memberi petunjuk kepada Rasul-Nya tentang etika bila hendak mengerjakan sesuatu yang telah ditekadkannya di masa mendatang, yaitu hendaklah ia mengembalikan hal tersebut kepada kehendak Allah ﷻ, Yang mengetahui hal yang gaib, Yang mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, dan Yang mengetahui apa yang tidak akan terjadi, dan seandainya terjadi apa akibatnya.
Dalam kitab Shahihain telah disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ yang bersabda bahwa Sulaiman ibnu Daud a.s. pernah berkata, "Sungguh aku akan menggilir ketujuh puluh istriku malam ini." Menurut riwayat lain sembilan puluh istri, dan menurut riwayat lain lagi seratus istri. Dengan tujuan agar masing-masing istri akan melahirkan seorang anak lelaki yang kelak akan berperang di jalan Allah. Maka dikatakan kepada Sulaiman, menurut riwayat lain malaikat berkata kepadanya, "Katakanlah 'Insya Allah'," tetapi Sulaiman tidak menurutinya.
Sulaiman lalu menggilir mereka dan ternyata tiada yang mengandung dari mereka kecuali hanya seorang istri yang melahirkan bayi berbentuk setengah manusia. Setelah menceritakan kisah itu Rasulullah ﷺ bersabda: "Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, seandainya dia mengucapkan, "Insya Allah" (jika Allah menghendaki), dia tidak akan melanggar sumpahnya dan akan mendapatkan apa yang diinginkannya." Dan dalam riwayat lain disebutkan: "Dan sungguh mereka (anak-anaknya) akan berperang di jalan Allah semuanya dengan mengendarai kuda."
Dalam permulaan surat ini telah disebutkan latar belakang penyebab turunnya ayat ini, yaitu dalam pembahasan sabda Nabi ﷺ ketika ditanya mengenai kisah para pemuda penghuni gua, yaitu sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: "Besok aku akan menjawab (pertanyaan) kalian". Kemudian wahyu datang terlambat sampai lima belas hari.
Kami telah menyebutkan hadits tersebut secara rinci mencakup semua keterangannya, sehingga tidak perlu lagi diutarakan di sini. Firman Allah ﷻ: "Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa". (Al-Kahfi: 24) Menurut satu pendapat, makna yang dimaksud adalah apabila kamu lupa mengucapkan pengecualian (Insya Allah), maka sebutkanlah pengecualian itu saat kamu ingat. Demikianlah menurut Abul Aliyah dan Al-Hasan Al-Basri. Hasyim telah meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang lelaki yang bersumpah bahwa dia boleh mengucapkan Insya Allah sekalipun dalam jarak satu tahun lamanya, dan dia mengutip firman-Nya: "Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa". (Al-Kahfi: 24) Maksudnya, mengucapkan kata Insya Allah itu.
Ditanyakan kepada Al-A'masy, "Apakah engkau mendengarnya dari Mujahid?" Al-A'masy menjawab bahwa Lais ibnu Abu Sulaim mengatakan kepadanya bahwa Kisai mempunyai pendapat yang sama dengan ini. Imam Tabrani telah meriwayatkannya melalui hadits Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy dengan sanad yang sama. Pada garis besarnya pendapat Ibnu Abbas mengatakan bahwa seseorang masih boleh mengucapkan Insya Allah, sekalipun lamanya satu tahun dari sumpahnya itu.
Dengan kata lain, apabila ia bersumpah, lalu berlalu satu tahun dan ia baru teringat bahwa ketika bersumpah ia belum menyebut kalimat Insya Allah, maka hendaklah ia menyebutkannya saat ingat. Menurut tuntunan sunnah, hendaknya orang yang bersangkutan mengucapkan Insya Allah agar ia beroleh pahala karena mengerjakan anjuran sunnah, sekalipun hal ini dilakukannya sesudah sumpahnya dilanggar. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Jarir rahimahullah.
Dan dia memberikan penjelasan dalam nasnya bahwa kalimat Insya Allah itu bukan dimaksud untuk menghapus sanksi kafarat sumpah yang dilanggarnya. Apa yang dikatakan Ibnu Jarir ini merupakan takwil yang benar terhadap pendapat Ibnu Abbas. Ikrimah berkata sehubungan dengan makna firman-Nya: "Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa". (Al-Kahfi: 24) Bahwa makna yang dimaksud dengan idza nasita adalah bila kamu marah.
Imam Tabrani berkata, telah bercerita kepada kami Muhammad ibnul Haris Al-Jabali, telah bercerita kepada kami Safwan ibnu Saleh, telah bercerita kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Abdul Aziz ibnu Husain, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang berkata sehubungan dengan makna firman-Nya: "Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, "Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan mengucapkan) 'Insya Allah'." Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa." (Al-Kahfi: 23-24) Yaitu dengan cara menyebut kalimat Insya Allah. Imam Tabrani telah meriwayatkan pula melalui Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: "Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa". (Al-Kahfi: 24) Maksudnya, jika kamu lupa mengucapkan kalimat Insya Allah, maka sebutlah kalimat itu jika kamu ingat. Kemudian Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa hal ini hanya khusus bagi Rasulullah ﷺ, tidak diperbolehkan bagi seorang pun dari kita mengucapkan kalimat istisna (Insya Allah) ini kecuali bila diucapkan langsung bersama sumpahnya (yakni tidak ada jarak waktu pemisah). Imam Tabrani mengatakan bahwa hal ini diriwayatkan secara munfarid oleh Al-Walid dari Abdul Aziz ibnu Husain.
Makna ayat ini juga mengandung takwil lain, yaitu bahwa melalui ayat ini Allah memberikan petunjuk kepada seseorang yang lupa akan sesuatu dalam pembicaraannya, agar ia mengingat Allah ﷻ karena sesungguhnya lupa itu bersumber dari setan. Seperti yang disebutkan oleh pemuda yang menemani Musa, yang perkataannya disitir oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: "Dan tiadalah yang membuatku lupa untuk menceritakannya kecuali setan." (Al-Kahfi: 63) Sedangkan mengingat Allah itu dapat mengusir setan. Apabila setan telah pergi, maka lenyaplah lupa itu. Zikrullah atau mengingat Allah adalah penyebab bagi sadarnya ingatan dari keterlupaannya. Karena itulah disebutkan dalam firman-Nya: "Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa." (Al-Kahfi: 24) Adapun firman Allah ﷻ : "Dan katakanlah, ‘Mudah-mudahan Tuhanku memberiku petunjuk ke yang lebih dekat kebenarannya daripada ini’." (Al-Kahfi: 24) Maksudnya, apabila kamu ditanya tentang sesuatu yang tidak kamu ketahui, maka mintalah kepada Allah tentang jawabannya, dan mohonlah kepada-Nya dengan segenap jiwa ragamu agar Dia memberimu taufik ke jalan yang benar dan diberi petunjuk jawabannya.
Pendapat lain menafsirkan ayat dengan tafsiran yang lain daripada ini.
kecuali engkau janjikan hal itu dengan mengatakan Insya Allah, yakni jika dikehendaki Allah. Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau
lupa mengaitkan janjimu dengan kehendak Allah, begitu engkau ingat,
kaitkanlah janjimu itu dengan mengatakan Insya Allah dan katakanlah
wahai Nabi Muhammad, Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku
petunjuk kepadaku untuk menjelaskan sesuatu kepada yang lebih dekat
kebenarannya daripada ini, yakni dari kisah penghuni gua dalam memberi petunjuk kepada kenabianku. Setelah memberikan tuntunan kepada Nabi Muhammad, ayat ini
meneruskan kembali kisah penghuni gua. Dan mereka tinggal dalam gua
dalam keadaan tertidur di dalamnya selama tiga ratus tahun menurut
perhitungan tahun Syamsiah yang digunakan kaum Yahudi dan Nasrani
dan ditambah sembilan tahun jika dihitung menurut perhitungan tahun
Qamariah yang digunakan oleh penduduk negeri Mekah saat itu.
Dalam ayat ini, Allah ﷻ menerangkan bahwa jawaban Nabi terhadap pertanyaan orang-orang musyrik Mekah hendaklah disertai dengan kata-kata "insya Allah" yang artinya "jika Allah mengizinkan". Sebab ada kemungkinan seseorang akan meninggal dunia sebelum hari besok itu datang dan barangkali ada suatu halangan, sehingga dia tidak dapat mengerjakan apa yang diucapkannya itu. Bilamana dia menyertainya dengan kata insya Allah, tentulah dia tidak dipandang pendusta dalam janjinya.
Sekiranya seseorang terlupa mengucapkan kata-kata insya Allah dalam janjinya, hendaklah dia mengucapkan kalimat itu sewaktu dia teringat kapan saja. Sebagai contoh pernah Rasul ﷺ mengucapkan kata insya Allah setelah dia teringat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa beliau mengucapkan, "Demi Allah pasti akan memerangi Quraisy," kemudian beliau diam lalu berkata, "Insya Allah ........"
Allah ﷻ kemudian menyuruh Rasul-Nya supaya mengharapkan dengan sangat kepada-Nya supaya Allah memberikan petunjuk kepada beliau ke jalan yang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih kuat untuk dijadikan alasan bagi kebenaran agama. Allah ﷻ telah memenuhi harapan Nabi ﷺ tersebut dengan menurunkan kisah nabi-nabi beserta umat mereka masing-masing pada segala zaman. Dari kisah nabi-nabi dan umatnya itu, umat Islam memperoleh pelajaran yang sangat berfaedah bagi kehidupan mereka dunia dan akhirat.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 22
“Mereka akan berkata, “Mereka itu tiga orang, yang keempat ialah anjing mereka."
Artinya ada satu golongan yang akan mengemukakan taksiran mereka, atau kabarnya konon yang mereka terima bahwa penduduk gua itu tiga orang, berempat dengan anjingnya."Dan berkata pula mereka (yang lain); Lima orang, yang keenam anjing mereka." Mereka ini pun mempertahankan bahwa orang itu berlima, berenam dengan anjing. Kedua bilangan yang mereka kemukakan ini adalah rajman bilghaibi saja, artinya menebak-nebak tentang hal yang gaib. Sebab tidak ada di antara mereka yang datang sendiri ke gua itu buat menyelidiki. Mereka hanya menerima kabar dari orang ke orang saja. Apatah lagi waktunya telah lama berlalu, dan letak gua itu pun tidak ada di antara mereka yang mengetahuinya pasti,
“Dan berkata lagi mereka (yang lain); “Bertujuh, dan yang kedelapan ialah anjing mereka." Perkataan yang ketiga ini pun dikeluarkan oleh yang mengata-kannya berdasar kepada pendengaran dari orang ke orang juga. Cuma ahli tafsir, seperti Ibnu Abbas, membesarkan kemungkinan bahwa kata yang ketiga inilah yang lebih dekat kepada kebenaran, yang diterangkan dengan wahyu. Sebab sesudah diuraikan kata pertama (bertiga, berempat dengan anjing) dan kata kedua (berlima, berenam dengan anjing) dikatakan bahwa perkataan itu hanya menebak-nebak hal yang gaib. Sesudah itu baru diberikutkan kata ketiga, “bertujuh, danyang kedelapan ialah anjingnya." Tetapi penaksiran ahli tafsir itu belum jugalah dapat dijadikan kepastian. Sebab lanjutan ayat ialah “Katakanlah (Hai Rasul!) Tuhankulah yang lebih tahu dengan bilangan mereka, tidak ada yang mengetahui berapa mereka kecuali sedikit." Yang sedikit itu tentulah orang yang hidup pada masa itu, yang turut ziarah ke dalam gua itu, termasuk raja negeri itu, dan mereka sekarang sudah tak ada lagi. Atau yang sedikit itu ialah Rasulullah sendiri. Tetapi beliau dilarang Allah turut mempertengkarkan bilangan mereka sebab yang demikian itu hanyalah akan menghabiskan waktu belaka, sebab ilmunya tidak berdasar kepada penyelidikan (riset) yang tertentu. Sehingga kalau dipertengkarkan juga, tidaklah akan ada kesu-dahannya."Oleh karena itu janganlah engkau (turut) bertengkar tentang mereka." Inilah satu tuntunan bagi Rasul dan bagi umat yang beriman, jangan membuang-buang waktu mempertengkarkan hal yang tidak ada alasan dan pertahanan dan bukti-bukti."Melainkan pertengkaran yang jelas." Artinya bertengkar atau bertukar pikirari tidaklah dilarang, asal soalnya dapat diselesaikan dengan baik untuk mendudukkan kebenaran. Yang terang hanyalah memang ada penghuni gua itu. Itu boleh diperkatakan! Adapun berapa bilangan isinya, pertama diperdebatkan.
“Dan tak asahlah engkau beritanya tentang mereka itu, kepada seorang jua pun."
Tegasnya, Nabi ﷺ pun tak perlu bertanya kepada siapa-siapa tentang berapa jumlah orang-orang yang tidur dalam gua itu. Karena tidak akan ada jawaban yang pasti. Kalau mereka jawab juga, hanya akan membuka pintu bagi mereka membuat dongeng dan khayat saja.
Berdasar kepada ayat-ayat ini sendiri maka kalau ada di dalam kitab-kitab pedukunan nama-nama penghuni gua itu, pandang sajalah nama-nama itu sebagai khayat yang tak ada dasarnya. Ada setengah tafsir menuliskan juga nama-nama mereka. Untuk memperlengkap Tafsir al-Azhar kita ini, tetapi tidak untuk memercayainya, kita salinkan nama-nama itu.
1. Yamlikha (yang diutus membeli makanan ke kota).
2. Marthunus.
3. Kastunus.
4. Berirunus.
5. Darimus.
6. Yathubunus.
7. Kalus.
Dan ada pula yang menambahkan satu nama lagi, yaitu Maxalamina. Dan nama anjingnya Hamran. Ibnu Katsir berkata, “Nama-nama ini dan nama anjingnya tidaklah dijamin shahih atau tidak! Sebab semuanya itu diterima dari ahlul-kitab saja." Dari keterangan Rasulullah ﷺ sendiri tak ada.
Biasa dukun-dukun menuliskan nama-nama itu pada kain putih diletakkan di tempat yang tersembunyi untuk menjaga rumah, sehingga maling takut memasuki pekarangan rumah itu. Entah ia, entah tidak!
Teranglah di sini bahwa yang penting kita tilik dari cerita ini bukanlah bilangan orang bertiga, atau berlima, atau bertujuh, diertai anjingnya. Yang penting kita ingati di sini ialah keteguhan iman, persamaan keyakinan, persaudaraan yang padu karena sama pendirian. Kalau benar bahwa mereka itu adalah anak raja-raja, anak orang besar, dapatlah kita mengambil i'tibar bagaimana kukuhnya keyakinan mereka, sehingga mau mereka meninggalkan hidup mewah, karena tempat yang aman memelihara iman yang telah tumbuh dalam jiwa.
Kemudian itu sambil lalu Allah memberi peringatan kepada Rasul-Nya,
Ayat 23
“Dan sekali-kali janganlah engkau berkata tentang sesuatu hal bahwa aku akan berbuat sedemikian besok."
Artinya jika engkau menghadapi suatu urusan atau mengikat suatu janji, janganlah engkau memberikan kata pasti, bahwa urusan atau janji itu akan engkau penuhi beresok. Karena apa yang akan kejadian beresok itu, bukanlah di dalam tanganmu. Di atas sesuatu yang engkau rencanakan ada lagi rencana yang lebih besar dan lebih kuat kuasa, yaitu rencana Allah.
Ayat 24
“Kecuali bahwa dikehendaki oteh Allah."
sebagai sambungan dari ayat 23. Yaitu alaslah segala janjimu itu dengan in syaa Allah, jangan engkau pastikan saja. Karena engkau tidaklah mempunyai daya upaya buat menolak sesuatu yang telah ditentukan Allah terlebih dahulu.
Menurut keterangan dari ahli-ahli tafsir, sebagai yang telah kita uraikan pada permulaan sebab turunnya ayat ini, orang Quraisy atau Yahudi meminta keterangan kepada beliau apakah yang dikatakan ruh itu, dan bagaimana kisahnya penghuni gua dan siapakah yang mengembara ke barat dan ke timur itu. Maka Rasulullah berjanji akan menjawabnya beresok, karena mengharap nanti malam Jibril akan datang membawa wahyu. Rupanya Jibril tidak datang-datang sampai lima belaa hari lamanya. Kekesalan menunggu lima belas hari itu dapatlah dipahami, untuk jadi pengajaran lain kali supaya jangan mengikat janji pasti, tetapi hendaklah beri ikatan dengan kalimat in syaa Allah. Sebab kekuasaan tertinggi adalah di tangan Allah."Dan ingatlah (kembali) Tuhanmu jika engkau lupa."
Dengan peringatan yang sedikit ini, Allah menyuruh Rasul-Nya mengingatnya kembali apabila dia lupa, dapatlah memaklumi kelemahan kita sebagai manusia. Seumpama kita dalam shalat diwajibkan khusyu. Namun kadang-kadang kita dalam shalat itu lupa juga kepada Allah dan teringat juga kepada yang lain. Lalu kita disuruh kembali kepada haluan yang kita tuju."Dan katakanlah,
“Mudah-mudahan kiranya memberi petunjuk Tuhanku kepadaku, kepada sesuatu yang lebih dekat dari ini kebenarannya."
Kerapkali memang kita terlupa dan ter-lalai. Lupa bukanlah hal yang disengaja. Apabila biduk kita berlayar mengarungi danau atau sungai yang luas, kita sudah memastikan tujuan yang kita tempuh. Tetapi di tengah jalan kita akan bertemu dengan halangan yang sudah pasti akan membelokkan haluan biduk kita dari yang dituju; adakalanya karena biduk melawan angin, adakalanya karena arus terlalu deras. Tetapi selalu kita berpirau, selalu kita berusaha memegang kemudi dengan teguh untuk membawa haluan biduk itu kepada yang dituju. Demikianlah misalnya kita menempuh hidup ini menuju tujuan yang ditentukan Allah. Lantaran itulah maka selalu kita hendaknya memohonkan kekuatan yang langsung diberikan oleh Allah sendiri, diberinya kita petunjuk, sehingga kita sampai kepada sesuatu garis yang ditentukan Allah, yang lebih dekat kepada kebenaran.
Dengan ayat ini dan beberapa ayat yang lain kita mendapat pelajaran bahwa kekhilafan atau kealpaan yang tidak disengaja terjadi juga pada diri nabi-nabi dan rasul-rasul. Sebab itu maka ulama-ulama ahli sunnah se-pendapat bahwa kealpaan yang berkecil itu tiada mustahil bagi seorang nabi. Yang mustahil ialah jika seorang nabi atau rasul berbuat dosa besar! Namun demikian kealpaan yang kecil itu pun ditegur dengan halus oleh Allah. Kealpaan mengucapkan Insya Allah saja buat peneguh janji sudah ditegur. Namun, bagi rasul-rasul dan nabi kealpaan kecil itu amat besar artinya.
Demikianlah tersebut dalam sebuah ha-dits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim yang dirawikan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi kita ﷺ bercerita, “Bahwa pada suatu malam Nabi Sulaiman bin Dawud berazam hendak menyetubuhi istrinya yang 70 (ada riwayat mengatakan 90 dan ada yang mengatakan 100 orang), dengan rencana satu istri melahirkan seorang anak laki laki dan setelah anak itu dewasa kelak dia akan menjadi prajurit yang berjuang pada Sabilillah. Maka lupalah beliau mengucapkan kalimat Insya Allah! Maka disetubuhinyalah istri-istrinya itu bergiliran. Tetapi yang kejadian adalah di luar rencana beliau. Tidak ada istri itu yang bunting di masa itu, kecuali seorang. Dan setelah istri itu melahirkan anak, ternyata anak itu hanya separuh sifatnya sebagai manusia." (Mungkin bodoh atau pandir). Maka bersabdalah Nabi kita ﷺ, “Demi Tuhan yang aku ini adalah di dalam tangan kekuasaan-Nya, sekiranya Sulaiman di waktu merencanakan itu menyebut in syaa Allah, niscaya akan tercapailah apa yang dia cita-citakan."
Ayat 25
“Dan tinggallah mereka itu di dalam gua mereka tiga ratus tahun."
Yaitu menurut perhitungan tahun Syam-siyah, hisab perhitungan edaran matahari yang berjumlah setahun 365 hari.
“Dan mereka tambah sembilan (lagi)."
Artinya 300 tahun menurut hitungan perjalanan matahari yang setahun 365 hari, men-jadilah ditambah sembilan tahun lagi, menjadi 309 tahun bila dihitung dengan hisab perjalanan bulan yang setahun 354 hari.
Disebut dalam ayat ini kedua bilangan ini, Syamsiyah (Matahari) dan Qamariyah (bulan), karena pada masa Nabi ﷺ bilangan hisab itu terpakai di dalam memperkatakan penghuni Kahfi itu. Orang-orang Yahudi dan Nasrani memakai takwim syamsiyah karena pengaruh kekuasaan Romawi Timur yang ada di sebelah utara Tanah Arab, yaitu Tanah Syam, Mosopotami, dan Palestina. Sedang orang Arab sejak dahulu memakai perhitungan hisab qamariyah.
Kemudian datanglah sambungan ayat,
Ayat 26
“Katakanlah, “Allah-lahyang lebih tahu berapa lama mereka tinggal (di sana)"
Pada ayat 25 di atas itu Allah telah memberitahukan berapa lamanya penghuni-penghuni Kahfi itu tidur di sana, yaitu 300 tahun Syamsiyah, tambah 9 tahun kalau dihitung menurut Qamariyah. Itulah hitungan yang betul. Maka jika ada lagi orang yang mengemukakan hitungan yang lain, lebih dari 300 atau 309 tahun, atau kurang dari itu, tidak juga dapat diterima lagi. Sebab mereka tidak dapat mengemukakan bukti-bukti atau data dan fakta yang terperinci. Keterangan dari Allah yang berupa wahyu inilah yang benar."Bagi-Nyalah kegaiban yang di sekalian langit dan bumi." Sedang pengetahuan kita manusia tidaklah dapat menyeruak kepada masa yang telah berlalu dan tidak pula mempunyai upaya mengetahui apa yang akan terjadi beresok. jangankan untuk mengetahui langit yang berlapis-lapis itu, sedangkan bumi yang kita diami ini pun tidaklah sanggup kita mengetahuinya semua, “Alangkah terang Dia Melihat, dan alangkah jelas Dia Mendengar." Bagi-Nya sama yang terdahulu dengan yang terkemu-dian, karena Dia adalah pula bersifat Muhith, artinya meliputi akan segala ruang dan segala waktu."Tidak ada bagi mereka selain Dia, akan Pelindung."
Qatadah mengatakan, “Tidak ada yang lebih melihat dan tidak ada yang lebih men-dengar, melebihi Allah. Oleh sebab itu insaflah hendaknya orang yang mempersekutukan Allah dengan yang lain. Bahwa tidak ada yang lain dari Allah mempunyai penglihatan menembus segala yang gaib, atau pendengaran menyeruak tempat yang jauh. Dia Yang Men-ciptakan, Dia Yang Mengatur, Dia Yang Memerintah. jangan lagi berlindung kepada yang lain. Ambillah perbandingan dengan penghuni gua Kahfi itu. Siapa pelindung mereka, kalau bukan Allah"
“Dan Dia tidak bersekutu di dalam hukum-Nya dengan seorang jua pun."
Dengan ayat 26 inilah dikunci kisah penghuni Kahfi, yang karena keimanan mereka bahwa tidak ada sekutu bagi Allah Yang Maha-tunggal Maha Esa! Itulah pendirian dan Aqidah yang telah mereka pilihi, dan mereka bersedia lebur untuk itu. Dan ini pula kembali yang diperjuangkan oleh Muhammad ﷺ sebagai penutup dari sekalian rasul. Dan menjadi pengajaran pula bagi angkatan muda yang datang di belakang. Bersedia mengurbankan kemewahan dan kepentingan diri sendiri, untuk mempertahankan keyakinan hidup itu.