Ayat
Terjemahan Per Kata
قُلۡ
katakanlah
إِنَّمَآ
sesungguhnya hanyalah
أَنَا۠
aku
بَشَرٞ
seorang manusia
مِّثۡلُكُمۡ
seperti kamu
يُوحَىٰٓ
diwahyukan
إِلَيَّ
kepadaku
أَنَّمَآ
bahwa sesungguhnya hanyalah
إِلَٰهُكُمۡ
Tuhan kamu
إِلَٰهٞ
Tuhan
وَٰحِدٞۖ
satu/esa
فَمَن
maka barangsiapa
كَانَ
adalah
يَرۡجُواْ
mengharapkan
لِقَآءَ
perjumpaan
رَبِّهِۦ
Tuhannya
فَلۡيَعۡمَلۡ
maka hendaklah ia mengerjakan
عَمَلٗا
pekerjaan/amalan
صَٰلِحٗا
kebajikan/saleh
وَلَا
dan janganlah
يُشۡرِكۡ
ia persekutukan
بِعِبَادَةِ
dengan/dalam peribadatan
رَبِّهِۦٓ
Tuhannya
أَحَدَۢا
seseorang
قُلۡ
katakanlah
إِنَّمَآ
sesungguhnya hanyalah
أَنَا۠
aku
بَشَرٞ
seorang manusia
مِّثۡلُكُمۡ
seperti kamu
يُوحَىٰٓ
diwahyukan
إِلَيَّ
kepadaku
أَنَّمَآ
bahwa sesungguhnya hanyalah
إِلَٰهُكُمۡ
Tuhan kamu
إِلَٰهٞ
Tuhan
وَٰحِدٞۖ
satu/esa
فَمَن
maka barangsiapa
كَانَ
adalah
يَرۡجُواْ
mengharapkan
لِقَآءَ
perjumpaan
رَبِّهِۦ
Tuhannya
فَلۡيَعۡمَلۡ
maka hendaklah ia mengerjakan
عَمَلٗا
pekerjaan/amalan
صَٰلِحٗا
kebajikan/saleh
وَلَا
dan janganlah
يُشۡرِكۡ
ia persekutukan
بِعِبَادَةِ
dengan/dalam peribadatan
رَبِّهِۦٓ
Tuhannya
أَحَدَۢا
seseorang
Terjemahan
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya hendaklah melakukan amal saleh dan tidak menjadikan apa dan siapa pun sebagai sekutu dalam beribadah kepada Tuhannya.
Tafsir
(Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia) anak Adam (seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku, 'Bahwa sesungguhnya Rabb kalian itu adalah Tuhan Yang Esa.') huruf Anna di sini Maktufah atau dicegah untuk beramal oleh sebab adanya Ma, sedangkan huruf Ma masih tetap status Mashdarnya. Maksudnya; yang diwahyukan kepadaku mengenai keesaan Tuhan (Barang siapa mengharap) bercita-cita (perjumpaan dengan Rabbnya) setelah dibangkitkan dan menerima pembalasan (maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan di dalam beribadah kepada Rabbnya) yakni sewaktu ia beribadah kepada-Nya, seumpamanya ia hanya ingin pamer (dengan seorang pun").
Tafsir Surat Al-Kahfi: 110
Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.
Imam Tabrani meriwayatkan melalui jalur Hisyam ibnu Ammar, dari Ismail ibnu Ayyasy, dari Amr ibnu Qais Al-Kufi, bahwa ia mendengar Mu'awiyah ibnu Sufyan berkata, "Ayat ini merupakan ayat yang paling akhir diturunkan." Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah ﷻ berfirman kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad ﷺ: "Katakanlah." (Al-Kahfi: 110) kepada orang-orang musyrik yang mendustakan kerasulanmu. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kalian." (Al-Kahfi: 110) Maka barang siapa menyangka bahwa aku ini dusta, hendaklah ia mendatangkan hal yang sama dengan apa yang aku sampaikan ini. Karena sesungguhnya aku tidak mengetahui hal yang gaib menyangkut berita masa silam yang kusampaikan kepada kalian berdasarkan permintaan kalian, seperti kisah tentang para pemuda penghuni gua, dan kisah Zulqarnain. Kisah tersebut ternyata sesuai dengan kejadian yang sebenarnya. Seandainya bukan karena Allah yang telah memberitahukannya kepadaku, tentulah aku tidak mengetahuinya.
Dan sesungguhnya aku hanya memberitahukan kepada kalian bahwa: "Sesungguhnya Tuhan kalian itu." (Al-Kahfi: 110) yang aku seru kalian untuk menyembah-Nya. "Adalah Tuhan Yang Maha Esa." (Al-Kahfi: 110) tidak ada sekutu bagi-Nya. "Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya." (Al-Kahfi: 110) Yakni ingin memperoleh pahala dan balasan kebaikan-Nya. "Maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh." (Al-Kahfi: 110) Yaitu segala amal perbuatan yang sesuai dengan syariat Allah. "Dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (Al-Kahfi: 110) Yakni dengan mengerjakan amal semata-mata hanya karena Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Demikianlah syarat utama dari amal yang diterima oleh-Nya, yaitu harus ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan syariat yang telah dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Ma'mar, dari Abdul Karim Al-Jazari, dari Tawus yang mengatakan bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengerjakan banyak amal perbuatan karena menginginkan pahala Allah, tetapi aku suka juga bila amal perbuatanku terlihat oleh orang-orang." Rasulullah ﷺ tidak menjawab sepatah kata pun kepadanya, hingga turunlah ayat ini, yaitu firman Allah ﷻ : "Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya." (Al-Kahfi: 110) Hal yang sama diriwayatkan melalui Mujahid secara mursal, juga melalui Tabi'in lainnya yang tidak hanya seorang.
Al-A'masy mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hamzah Abu Imarah maula (bekas budak) Bani Hasyim, dari Syahr ibnu Hausyab yang mengatakan bahwa pernah ada seorang lelaki datang kepada Ubadah ibnu Samit r.a. Lelaki itu mengatakan, "Saya mau bertanya kepadamu, bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki yang shalat dengan mengharapkan pahala Allah, tetapi ia suka bila dipuji. Ia juga mengerjakan puasa karena mengharap pahala Allah, tetapi ia suka bila dipuji. Dan ia rajin bersedekah karena mengharapkan pahala Allah, tetapi ia suka dipuji. Dan ia mengerjakan ibadah haji karena mengharapkan pahala Allah, tetapi ia suka bila dipuji?". Ubadah menjawab, "Ia tidak mendapat apa-apa, karena sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman, 'Aku adalah sebaik-baik sekutu. Maka barang siapa yang melakukan suatu amal dengan mempersekutukan selain-Ku di dalamnya, maka amalnya itu buat sekutuKu, Aku tidak memerlukan amalnya'."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnuz Zubair, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Zaid, dari Rabih ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Sa'id Al-Khudri, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan, "Dahulu kami bergantian menjaga Rasulullah ﷺ hingga kami menginap di dekat rumahnya, karena barangkali beliau mempunyai suatu keperluan atau ada urusan penting di malam hari, maka beliau tinggal menyuruh kami. Orang-orang yang melakukan tugas berjaga cukup banyak. Pada suatu ketika kami yang bertugas sedang berbincang-bincang, Rasulullah ﷺ keluar dari rumahnya (karena mendengar pembicaraan kami), lalu beliau bersabda, 'Pembicaraan apakah yang sedang kalian bisikkan?'. Kami menjawab, 'Kami bertobat kepada Allah, hai Nabi Allah. Sesungguhnya kami sedang membicarakan tentang Al-Masih Dajjal, kami merasa takut terhadapnya'. Rasulullah ﷺ bersabda, 'Maukah kalian aku beritahukan hal yang seharusnya lebih kalian takuti daripada Al-Masih Dajjal menurutku?' Kami menjawab, 'Tentu kami mau.' Rasulullah ﷺ bersabda: 'Syirik tersembunyi, yaitu bila seseorang berdiri mengerjakan shalatnya karena ingin dilihat oleh orang lain'.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Bahram yang mengatakan bahwa Syahr ibnu Hausyab bercerita bahwa Ibnu Ganam mengatakan: Ketika kami memasuki Masjid Al-Jabiyah bersama Abu Darda, kami bertemu dengan Ubadah ibnu Samit. Maka Ubadah memegangkan tangan kanannya ke tangan kiriku, dan tangan kirinya ke tangan kanan Abu Darda. Lalu ia berjalan keluar dengan diapit oleh kami berdua, sedangkan kami berbisik-bisik, hanya Allah-lah yang mengetahui apa yang kami bisikkan. Ubadah ibnu Samit berkata, "Jika usia seseorang dari kalian atau kalian berdua panjang, tentulah dalam waktu dekat kamu akan melihat seorang lelaki dari kalangan menengah qurra kaum muslim yang berbahasa sama dengan Nabi Muhammad ﷺ (yakni bahasa Arab). Lalu dia membacanya dan mengartikannya, serta menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya. Ia juga menempatkan masing-masing dari hukum yang dikandungnya pada tempat-tempatnya sesuai dengan latar belakang penurunannya. Sehingga kalian tidak dapat memberikan komentar apapun terhadapnya."
Ketika kami sedang asyik dalam keadaan berbincang-bincang, muncullah Syaddad ibnu Aus r.a. dan Auf ibnu Malik. Keduanya ikut bergabung dengan kami. Syaddad berkata, "Sesungguhnya hal yang paling saya khawatirkan akan menimpa kalian, hai manusia, adalah setelah saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, 'Hal yang paling aku khawatirkan akan menimpa kalian adalah syahwat yang tersembunyi dan syirik'." Ubadah ibnu Samit dan Abu Darda berkata, "Ya Allah, ampunilah kami dengan ampunan yang luas.
Bukankah Rasulullah ﷺ bersabda kepada kita bahwa setan telah putus asa untuk disembah di Jazirah Arab ini? Mengenai syahwat yang tersembunyi, kami telah mengetahuinya, yaitu syahwat duniawi, termasuk birahi kepada wanita dan ketamakan untuk memiliki dunia. Lalu apakah yang dimaksud dengan syirik yang engkau khawatirkan akan menimpa kami, hai Syaddad?". Syaddad menjawab, "Tentu kalian mengerti bila kalian melihat seorang lelaki mengerjakan shalatnya karena orang lain, atau ia berpuasa karena orang lain, atau dia bersedekah karena ingin dipuji orang lain. Bukankah dia telah berbuat syirik?" Kami menjawab, "Benar. Demi Allah, sesungguhnya orang yang shalat atau puasa atau bersedekah karena ingin dipuji oleh orang lain berarti telah berbuat syirik."
Syaddad berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa yang shalat dengan pamer, maka sesungguhnya dia telah musyrik. Barang siapa yang berpuasa karena pamer, sesungguhnya dia telah musyrik. Dan barang siapa yang bersedekah karena pamer, sesungguhnya dia telah musyrik."
Pada saat itu juga Auf ibnu Malik berkata, "Apakah Allah tidak mau menerima bagian dari apa yang dikerjakan karena mengharapkan pahalaNya dari amal itu, lalu menolak bagian dari amal itu yang pelakunya mempersekutukan Dia dengan yang lain?" Maka Syaddad saat itu juga menjawab bahwa dirinya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya Allah berfirman, 'Aku adalah sebaik-baik pemberi terhadap orang yang berbuat syirik kepada-Ku. Barang siapa yang mempersekutukan Aku dengan sesuatu, maka sesungguhnya amal perbuatannya baik yang banyak maupun yang sedikit Aku berikan kepada temannya yang dia persekutukan dengan Aku karena Aku tidak memerlukannya’."
Menurut jalur periwayatan lain dari hadits ini diketengahkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepadaku Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Ubadah ibnu Nissi,.dari Syaddad ibnu Aus r.a., bahwa pada suatu hari kelihatan ia menangis. Lalu ada yang bertanya kepadanya, "Apakah yang menyebabkan kamu menangis?" Syaddad ibnu Aus menjawab bahwa yang menyebabkan dia menangis adalah suatu hal yang ia dengar dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: "Aku merasa khawatir terhadap umatku sehubungan perbuatan syirik dan syahwat yang tersembunyi." Saya (Syaddad) bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah umatmu akan berbuat syirik sesudahmu?" Rasulullah ﷺ menjawab: "Ya, tetapi sesungguhnya bukan karena mereka menyembah matahari, bukan karena menyembah rembulan, bukan karena menyembah batu, dan bukan karena menyembah berhala. Akan tetapi, (aku khawatirkan mereka) pamer dengan amal perbuatannya. Syahwat yang tersembunyi itu adalah bila seseorang dari kalian pada pagi harinya berpuasa, lalu timbullah suatu syahwat dalam dirinya, maka ia meninggalkan puasanya (dan mengerjakan apa yang diinginkan oleh syahwatnya)."
Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini melalui Al-Hasan Ibnu Zakwan, dari Ubadah ibnu Nissi dengan sanad yang sama.Tetapi Ubadah berpredikat daif, dan mengenai penerimaannya akan hadits ini dari Syaddad masih diragukan. Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali ibnu Ja'far Al-Ahmar, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sabit, telah menceritakan kepada kami Qais ibnu Abu Husain, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Pada hari kiamat Allah berfirman, ‘Aku adalah sebaik-baik sekutu. Barang siapa yang mempersekutukan seseorang dengan-Ku, maka semua amalnya adalah untuk sekutunya’." Yakni hendaklah si pengamal itu meminta pahalanya kepada orang yang dipersekutukannya dengan Allah, bukan kepada Allah.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, bahwa ia mendengar Al-Ala menceritakan hadis berikut dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang menceritakan tentang apa yang akan difirmankan oleh Allah ﷻ (kelak di hari kiamat): "Aku adalah sebaik-baik sekutu. Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang di dalamnya ia mempersekutukan Aku dengan selain-Ku, maka Aku berlepas diri darinya dan amalnya itu buat sekutunya." Ditinjau dari jalurnya hadis ini diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Yazid ibnul Had, dari Amr, dari Mahmud ibnu Labid, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya hal yang sangat aku khawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik kecil." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu?" Rasul ﷺ menjawab, "Riya (pamer), kelak di hari kiamat Allah akan berfirman saat memberikan pahala amal perbuatan manusia, 'Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian pamer kepadanya saat di dunia, dan lihatlah oleh kalian apakah kalian mendapati adanya pahala balasan (amal kalian) pada mereka'."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Ja'far, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Ziyad ibnu Mina, dari Abu Sa'id ibnu Abu Fudalah Al-Ansari yang berpredikat sahabat, bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: "Apabila Allah telah menghimpunkan semua orang-orang terdahulu dan terkemudian pada hari yang tiada keraguan padanya (hari kiamat), terdengarlah suara seruan yang mengatakan, ‘Barang siapa yang mempersekutukan Aku dengan seseorang dalam suatu amalnya yang seharusnya karena Allah, hendaklah ia meminta pahala (amalnya) dari selain Allah. Karena sesungguhnya Allah tidak memerlukan amal yang dihasilkan dari kemusyrikan’." Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Majah mengetengahkan hadits ini melalui Muhammad ibnul Bursani dengan sanad yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Bakkar telah menceritakan kepadaku ayahku (Abdul Aziz ibnu Abu Bakrah), dari Abu Bakrah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa yang ingin didengar, maka Allah menjadikannya terkenal dengannya; dan barang siapa yang pamer, maka Allah akan memamerkan (amal)nya." Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Firas, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: "Barang siapa yang pamer, maka Allah akan memamerkan amalnya; dan barang siapa yang ingin didengar (amalnya), maka Allah menjadikan (amal)nya terkenal."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id dari Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Murrah, bahwa di rumah Abu Ubaidah ia mendengar seorang lelaki mengatakan bahwa ia mendengar Abdullah ibnu Amr menceritakan hadits berikut dari Ibnu Umar yang mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa yang amalnya ingin didengar oleh orang lain, maka Allah menjadikannya terkenal di kalangan semua makhluk-Nya, lalu Allah mengecilkan dan menghinakannya." Maka Abdullah menangis mencucurkan air matanya.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Yahya Al-Aili, telah menceritakan kepada kami Al-Haris ibnu Gassan, telah menceritakan kepada kami Abu Imran Al-Juni, dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Amal-amal perbuatan Bani Adam dihadapkan kepada Allah ﷻ pada hari kiamat terhimpun di dalam buku-buku catatan amal yang telah dilak. Lalu Allah berfirman, "Lemparkanlah yang ini dan terimalah yang itu." Para malaikat berkata, "Wahai Tuhanku, demi Allah, kami tidak melihat selain kebaikan." Allah berfirman, "Sesungguhnya amal perbuatannya itu bukan karena mengharapkan ridha-Ku. Pada hari ini Aku tidak mau menerima suatu amal perbuatan kecuali amal yang diniatkan untuk memperoleh ridha-Ku." Kemudian Al-Haris ibnu Gassan mengatakan bahwa Abu Imran Al-Juni riwayat hadisnya banyak diambil oleh sejumlah ulama, dia adalah seorang yang berpredikat tsiqah, seorang ulama Basrah, yang tidak ada celanya (dalam periwayatan hadis).
Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Iyad, dari Abdur Rahman Al-A'raj, dari Abdullah ibnu Qais Al-Khuza'i, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa yang berdiri karena pamer dan harga diri, ia terus menerus dalam murka Allah sampai dia duduk."
Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, dari Ibrahim Al-Hijri, dari Abul Ahwas, dari Auf ibnu Malik, dari Ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa yang mengerjakan shalatnya dengan baik karena dilihat orang lain, dan mengerjakannya dengan buruk bila sendirian, maka hal ini merupakan suatu penghinaan yang dia lakukan terhadap Tuhannya melalui shalatnya itu."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Ismail ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ayyasy, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Qais Al-Kindi, bahwa ia mendengar Mu'awiyah bin Abu Sufyan membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: "Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya." (Al-Kahfi: 110) Bahwa sesungguhnya ayat ini merupakan ayat yang paling akhir diturunkan. Atsar ini mengandung kemusykilan, karena sesungguhnya ayat ini berada di akhir surat Al-Kahfi, sedangkan surat Al-Kahfi seluruhnya diturunkan di Mekah. Barangkali Mu'awiyah bermaksud bahwa sesudahnya tidak ada ayat lain yang diturunkan untuk me-mansukh (merevisi)nya, dan tidak ada pula ayat lain yang merubah hukumnya, melainkan ia tetap muhkam. Sehingga pengertian ini agak kabur di mata sebagian para perawi yang akhirnya ia meriwayatkan dengan makna sesuai dengan pemahamannya sendiri. Hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnul Hasan ibnu Syaqiq, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Syamil, telah menceritakan kepada kami Abu Qurrah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Umar ibnul Khattab yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa di suatu malam membaca firman-Nya, ‘Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya’ (Al-Kahfi: 110), hingga akhir ayat, maka untuknya ada nur (cahaya) yang kelihatan jelas dari Adn sampai ke Mekah, di dalam nur itu penuh dengan para malaikat." Hadits berpredikat garib (aneh).
110. Allah memerintah Nabi untuk menjelaskan jati dirinya. Katakanlah, 'Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah diwahyukan kepadaku sesuai kehendak Allah bahwa sesungguhnya Tuhan kamu yang menjadi tujuan ibadah adalah Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam zat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Maka, barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya dan menghendaki ganjaran atas amal perbuatannya di akhirat kelak, maka hendaklah dia selalu mengerjakan kebajikan dan menjauhi semua hal keji dan mungkar serta janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya. Hendaklah dia beribadah kepada-Nya dengan tulus, bukan karena ria, dan dilandasi niat untuk menggapai rida-Nya. '1. Bila Surah al-Kahf ditutup dengan penegasan tentang luasnya ilmu Allah dan perintah untuk berbuat kebajikan dan bertauhid dalam ibadah kepada-Nya, maka Surah Maryam mengingatkan kembali manusia tentang ilmu Allah lainnya yang terkandung dalam berbagai ayat Al-Qur'an, seperti K'f H' Y' 'Ain S'd. Makna sesungguhnya dari ayat ini hanya diketahui oleh Allah. Tujuannya adalah menggugah perhatian manusia tentang Al-Qur'an yang penuh hikmah dan tuntunan.
Katakanlah kepada mereka, "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, mengakui bahwa semua ilmuku tidak sebanding dengan ilmu Allah, aku mengetahui sekedar apa yang diwahyukan Allah kepadaku, dan tidak tahu yang lainnya kecuali apa yang Allah ajarkan kepadaku. Allah telah mewahyukan kepadaku bahwa, "Yang disembah olehku dan oleh kamu hanyalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya." Oleh karena itu barangsiapa yang mengharapkan pahala dari Allah pada hari perjumpaan dengan-Nya, maka hendaklah ia tulus ikhlas dalam ibadahnya, mengesakan Allah dalam rububiyah dan uluhiyah-Nya dan tidak syirik baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi seperti riya, karena berbuat sesuatu dengan motif ingin dipuji orang itu termasuk syirik yang tersembunyi. Setelah membersihkan iman dari kemusyrikan itu hendaklah selalu mengerjakan amal saleh yang dikerjakannya semata-mata untuk mencapai keridaan-Nya.
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
Sesungguhnya Allah berfirman, "Saya adalah yang paling kaya di antara semua yang berserikat dari sekutunya. Dan siapa yang membuat suatu amalan dengan mempersekutukan Aku dengan yang lain, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya." (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 107
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berantai saleh, adalah bagi mereka surga-surga Firdaus kediamannya."
Maka selalulah kita bertemu dua sejoli hidup Mukmin itu, yaitu beriman dan beramal saleh. Iman kepercayaan dalam hati, amal saleh adalah bekas yang wajar dari iman. Dia dapat diumpamakan dengan gabungan dua kata menjadi satu, yaitu kebudayaan. Yang berasal dari budi yang terletak dalam sikap jiwa dan daya yang terletak pada kegiatan hidup. Dan sama juga dengan budi pekerti. Budi di nyawa, pekerti di sikap hidup. Tidak mungkin iman saja dengan tidak menghasilkan amal. Tidak mungkin amal saja, padahal tidak bersumber dari niat hati ikhlas. Dan ikhlas tidak akan ada, kalau tidak dari iman. Maka tempat yang telah disediakan Allah buat hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh itu ialah Jannatul Firdausi,
Maka terlukislah dalam ayat ini jannaatin dengan memanjangkan pada alif, yang berarti bukan satu surga melainkan banyak surga. Dan disebut pula nama surga itu, yaitu Firdaus. Dan tersebutlah di dalam sebuah hadits yang shahih yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim,
“Apabila, kamu hendak memohonkan surga, mohonkanlah surga Firdaus, karena dialah puncak surga dan tengah-tengah surga, dan dari sanalah mengalir sungai-sungai di dalam surga itu." (HR Bukhari dan Muslim)
Diterima di sana orang-orang beriman dengan penuh penghormatan, jauh dapat diban-dingkan dengan penerimaan dan penyambutan seorang tamu agung sebuah negara dengan mengadakan jamuan kenegaraan yang besar. Jauh dari itu!
Ayat 108
“Kekal mereka di dalamnya, tidaklah mereka ingin berpindah lagi."
Kekal di dalamya, itu sudahlah terang. Tetapi diberi ujung kata oleh Allah bahwa mereka tidak ingin berpindah lagi dari sana. Sebab itu tidaklah dapat nikmat surga Jan-natun Na'im yang kekal itu dipersamakan dengan nikmat yang kita terima di dunia kita ini, namun lama-lama dia akan membosankan. Walaupun seseorang kaya raya, berkuasa, gagah perkasa, tinggal di dalam sebuah istana megah cukup lengkap apa yang diperlukan dalam istana itu, namun satu waktu dia pasti merasa bosan karena yang dilihat di keliling diri hanya itu ke itu juga. Sehingga orang itu ingin sekali-sekali keluar dari dalam istana megah itu bahkan kadang-kadang dia pun ingin juga hendak merasakan bagaimana hidup petani di pondok atau barung-barung yang miskin. Atau seperti Bani Israil setelah dilepaskan dari cengkeraman Fir'aun di Mesir dan mengembara di Padang Tih empat puluh tahun, disediakan makanan Manna dan Salwa, namun mereka pun akhirnya bosan juga. Mereka ingin kembali makan sayur dan bawang putih, kacang dan bawang merah. Bahkan sudah di tempat yang merdeka, telah lepas dari penjajahan, mereka masih saja ingat banyaknya sayur-sayuran tatkala mereka di Mesir tempo dulu. Sehingga Nabi Musa mengatakan, “Baliklah ke Mesir! Di sana akan kamu dapati apa yang kamu inginkan itu." Tidaklah demikian halnya lagi apabila manusia beriman dan beramal saleh itu telah sampai di dalam surga. Di sanalah mereka mendapat ketetapan yang sejati, tidaklah mereka ingin berpindah lagi!
Ayat 109
“Katakanlah, Jika adalah tautan itu laksana tinta bagi kalimat-kalimat Tuhanku".
Kita telah sama tahu bahwa bumi yang bulat ini hanyalah seperlima saja yang tanah daratan. Sedang empat per lima adalah lautan belaka. Lautan Atlantik, Lautan Teduh, Lautan Hindi atau Indonesia. Misalkanlah semua dijadikan tinta buat mencatatkan kalimat-kalimat Allah, ketentuan-ketentuan Ilahi, kud-rat dan iradat-Nya, yang berlaku di semua langit dan di bumi dan semua bintang dan di angkasa yang luas tak tentu di mana batas dan ujungnya. Letakkanlah air lautan itu semuanya dijadikan tinta buat pencatat kalimat-kalimat Allah itu, bahkan ditambah air sebanyak itu lagi, sebagaimana tersebut di dalam surah Luqmaan ayat 27.
“Niscaya akan keninglah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, dan walaupun kita datangkan lagi sebanyak itu bantuan."
Amannaa bih! Kita percaya dengan sepenuhnya firman Allah itu. Alam yang begini luasnya, sehingga daerah mana yang dapat dikuasai oleh manusia ataupun oleh penyelidikannya? Masa begini panjang, baik yang telah dilalui ataupun masa yang akan datang, hanya berapa saat saja manusia melalui masa itu di dunia ini?
Baru sedikit daerah yang diketahui, tenaga manusia sudah habis. Umurnya pun habis. Sedang alam masih penuh dengan rahasia.
Bukanlah manusia dilarang tersebab ayat ini buat melanjutkan penyelidikan. Bahkan teruskanlah menyelidikinya, supaya sampai keyakinan atas benarnya ayat ini. Sebagaimana suatu syair yang terkenal dari Imam Syafi'i,
Tiap-tiap Allah menambain ilmuku.
Bertambah yakinlah aku, bahwa aku ini masih bodoh!
Itulah pula sebabnya maka Allah menjelaskan di ayat yang lain,
“Hanyalah orang-orang yang berpengetahuan saja, dari antara hamba Allah itu yang akan takut kepada Allah" (Faathir: 28)
Sebagaimana kebiasaannya, Ilahi Rabbi telah menutup surah al-Kahf ini dengan penu-tupan yang indah sekali.
Ayat 110
“Katakanlah, “Tidak tain, aku ini hanyalah manusia seperti kamu."
Disuruh katakan hal yang seperti ini, bahwa beliau, Muhammad ﷺ adalah manusia seperti kamu, dan ini selalu di mana kesempatan yang baik diulang-ulangkan, ialah supaya manusia jangan merasa terlalu jauh dari Nabinya. Sampai ada yang takut kepada beliau, gemetar ketika berhadapan wajah dengan beliau, dari sebab wibawa dan kebesarannya, lalu beliau bujuk. Tak usah engkau takut kepadaku, aku hanya seorang manusia seperti engkau juga, ibuku pun memakan balur sebagai ibumu juga! Kelebihanku hanya dalam satu hal, yaitu, “Diwahyukan kepadaku," sedang kamu tidak mendapat wahyu. Dan diwajibkan pula kepadaku menyampaikan wahyu yang aku terima itu kepadamu sekalian. Inti wahyu itu hanyalah satu perkara jua, “Bahwa Tuhan kamu hanyalah Allah Yang Esa!"
Inilah laksana pangkal tempat memulai pelayaran, atau inilah laksana daratan yang dituju. Hanya pada satu perkara, tidak berbilang. Allah itu Maha Esa adanya, tidak ada bersekutu dengan yang lain, tidak dia beranak dan tidak dia diperanakkan. Segala pengajian, segala rasul dan nabi yang diutus, segala kitab yang diturunkan, satu perkara inilah inti ajaran yang diwahyukan kepada mereka dan ditebarkan kepada umat mereka dan kepada manusia seluruhnya, Allah!
Diyakinkan dalam hati, dibulatkan pikiran buat mencernakan kepercayaan itu, dikerahkan logika dan mantik, rasa periksa dan karsa untuk mencapai satu pegangan hidup: Allah Satu!
Setelah keyakinan itu tertanam, hidup yang akan jadi pakaian, mati yang akan dijadikan tumpangan, maka tumbuhkanlah harapan hendak membaktikan diri kepada-Nya. Tanamkanlah dalam hati satu keyakinan lagi, yaitu setelah menempuh hidup yang sekarang kita pun mati. Namun di sebalik kematian itu terdapatlah al-Hayatul-Baqiyah, atau hidup yang kekal. Dan kita percaya dalam kehidupan yang kekal itulah kelak kita akan berjumpa dengan Dia! Itulah yang disebut Liqaa'."Maka barangsiapayang berharap hendak pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan amalan yang saleh."
Di sini terdapat kata-kata berharap, sebagai makna dari yarjuu. Asal kata ialah dari rajaa' atau harapan.
Harapan itulah yang menjadi sebab ada gairah kita untuk hidup. Sebab kita yakin, kita iman, kita percaya, tegasnya jiwa kita tidak kosong dari harapan. Bahwa apa yang kita amalkan itu tidaklah akan terbuang tersia-sia, laksana air jatuh ke pasir. Dia tercatat sisi Allah dan disediakan penghargaan. Tetapi
“Dan jangan dia mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya dengan sesuatu pun."
Kalau kita telah mengaku inti Sari dari wahyu ialah bahwa Allah itu Maha Esa dan berdiri sendirinya, adakah patut menurut akal yangsehatkita beramal dengan menduakannya atau mempersekutukan-Nya dengan lain?
Kalau kita telah mengaku bahwa hanya Satu Tuhan Pencipta Alam, yang disebut Tauhid Rububiyah, mengapa kita akan menyembah atau memuja atau berbakti yang selain dari Dia. Yaitu Tauhid Uluhiyah?
Dan coba renungkan, Siapa “yang lain" itu? Padahal yang lain ini semuanya hanya terjadi karena dijadikan-Nya. Dia berkata, “Kun!", maka semuanya pun terjadilah!
Surah al-Kahf ditutup dengan keyakinan hidup ini. Mengakui Muhammad sebagai ma-nusia, hamba Allah, dan utusannya, tetapi penunjuk jalan bagi kita, menuju kepada tujuan yang Satu, tujuan yang Tunggal, Yang Maha Esa, Allah!
Dengan aqidah begini barulah kita tahu nilai hidup.
Karena pengaruh semangat dan cahaya dari aqidah ini, tujuh pemuda dan delapan dengan anjingnya berani meninggalkan hidup mewah, menyisihkan diri ke dalam sebuan gua di gunung, sampai ditidurkan 309 tahun lamanya.
Didorongkan oleh semangat ini pula Musa mencari guru yang lebih pintar daripada dia. Dan dia berani mengembara huqubaa, entah berlarat-larat bertahun-tahun tidak akan berhenti, sebelum bertemu dengan yang dicari.
Dan didorongkan oleh keyakinan ini pula Dzulqarnain tidak mabuk karena kemenangan menaklukkan negeri, malahan berjanji akan berlaku adil sehingga terlukislah keadilannya itu dari zaman menempuh zaman.
Dan dengan keyakinan ini pula, Insya Allah, engkau sendiri hai Faqiir, akan menyebut segala percobaan Tuhanmu Yang Esa, sebagai ujian atas kasihmu kepada-Nya.
Selesai pada Hari Sabtu
6 Ramadhan 1384
9 Januari 1965
Dalam tahanan di Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun.