Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱلۡحَمۡدُ
segala puji
لِلَّهِ
bagi Allah
ٱلَّذِيٓ
yang
أَنزَلَ
telah menurunkan
عَلَىٰ
atas/kepada
عَبۡدِهِ
hambaNya
ٱلۡكِتَٰبَ
Kitab
وَلَمۡ
dan tidak
يَجۡعَل
Dia menjadikan
لَّهُۥ
baginya
عِوَجَاۜ
bengkok
ٱلۡحَمۡدُ
segala puji
لِلَّهِ
bagi Allah
ٱلَّذِيٓ
yang
أَنزَلَ
telah menurunkan
عَلَىٰ
atas/kepada
عَبۡدِهِ
hambaNya
ٱلۡكِتَٰبَ
Kitab
وَلَمۡ
dan tidak
يَجۡعَل
Dia menjadikan
لَّهُۥ
baginya
عِوَجَاۜ
bengkok
Terjemahan
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab Suci (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak membuat padanya sedikit pun kebengkokan.
Tafsir
Al-Kahf (Gua)
(Segala puji) Memuji ialah menyifati dengan yang baik, yang tetap (bagi Allah) Maha Tinggi Dia. Apakah yang dimaksud dengan Alhamdulillah ini bersifat pemberitahuan untuk diimani, atau dimaksudkan hanya untuk memuji kepada-Nya belaka, atau dimaksudkan untuk keduanya. Memang di dalam menanggapi masalah ini ada beberapa hipotesis, akan tetapi yang lebih banyak mengandung faedah adalah pendapat yang ketiga, yaitu untuk diimani dan sekaligus sebagai pujian kepada-Nya (yang telah menurunkan kepada hamba-Nya) yaitu Nabi Muhammad (Al-Kitab) Al-Qur'an (dan Dia tidak menjadikan padanya) di dalam Al-Qur'an (kebengkokan) perselisihan atau pertentangan. Jumlah kalimat Walam yaj'al lahu 'iwajan berkedudukan menjadi Hal atau kata keterangan keadaan daripada lafal Al-Kitab.
Tafsir Surat Al-Kahfi: 1-5
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur'an) dan Dia tidak menjadikannya bengkok, sebagai bimbingan yang lurus untuk memperingatkan tentang siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, "Allah mengambil seorang anak". Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.
Dalam pembahasan terdahulu pada permulaan kitab tafsir telah disebutkan bahwa Allah ﷻ memuji diri-Nya sendiri Yang Maha Suci pada permulaan dan akhir semua urusan. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Terpuji dalam semua keadaan; bagi-Nya sesala puji, baik di dunia maupun di akhirat. Maka dalam permulaan surat ini Dia memulainya dengan pujian terhadap diri-Nya sendiri, bahwa Dia telah menurunkan KitabNya (Al-Qur'an) yang mulia kepada rasul-Nya yang mulia, yaitu Muhammad ﷺ. Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah nikmat yang paling besar yang dianugerahkan oleh Allah ﷻ kepada penduduk bumi, karena berkat Al-Qur'an mereka dikeluarkan dari kegelapan menuju kepada cahaya terang benderang.
Kitab Al-Qur'an adalah kitab yang lurus, tiada kebengkokan dan tiada penyimpangan di dalamnya, bahkan Al-Qur'an memberikan petunjuk kepada manusia ke jalan yang lurus. Kitab Al-Qur'an adalah kitab yang jelas, terang, dan gamblang, memberikan peringatan terhadap orang-orang kafir dan menyampaikan berita gembira kepada orang-orang yang beriman. Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Dan Dia tidak menjadikannya bengkok.” (Al- Kahfi: 1) Artinya Allah tidak menjadikannya mengandung kebengkokan, tidak pula kesesatan, tidak pula penyimpangan, bahkan Al-Qur'an dijadikan-Nya tegak lurus.
Seperti yang disebutkan dalam firman-Nya: “Sebagai bimbingan yang lurus.” (Al-Kahfi: 2) Yakni lurus tidak bengkok. “Untuk memperingatkan tentang siksa yang sangat pedih dari sisi Allah.” (Al-Kahfi: 2) terhadap orang-orang yang menentang-Nya dan mendustakan-Nya serta tidak beriman kepada-Nya. Al-Qur'an memperingatkan mereka akan pembalasan yang keras dan siksaan yang disegerakan di dunia serta yang ditangguhkan sampai hari akhirat nanti. “Dari sisi Allah.” (Al-Kahfi: 2) Yaitu dari sisi Allah yang berupa siksa yang tiada seorang pun dapat mengazab seperti azab yang ditimpakan oleh-Nya dan tiada seorang pun dapat membelenggu seperti belenggu-Nya.
“Dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (Al-Kahfi: 2) Maksudnya, dengan Al-Qur'an ini mereka yang imannya dibuktikan dengan amal saleh mendapat berita gembira. “Bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik.” (Al-Kahfi: 2) Yakni balasan pahala yang baik dari sisi Allah. “Mereka kekal di dalamnya.” (Al-Kahfi: 3) Mereka mendapat pahala yang kekal di sisi Allah, yaitu surga, mereka kekal di dalamnya. “Untuk selama-lamanya.” (Al-Kahfi: 3) Yakni mereka kekal dan abadi di dalamnya untuk selama-lamanya, dan nikmat yang mereka peroleh tidak pernah hilang dan tidak pernah habis.
Firman Allah ﷻ: Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, "Allah mengambil seorang anak". (Al-Kahfi: 4) Ibnu Ishaq mengatakan, makna yang dimaksud ialah orang-orang musyrik Arab, karena mereka mengatakan, "Kami menyembah malaikat-malaikat, mereka adalah anak-anak perempuan Allah". "Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan". (Al-Kahfi: 5) Yaitu dengan ucapan yang mereka buat-buat dan mereka dustakan dari diri mereka sendiri itu. “Begitu pula nenek moyang mereka.” (Al-Kahfi: 5) Yakni para pendahulu mereka. “Alangkah jeleknya kata-kata.” (Al-Kahfi: 5) Lafaz kalimatan di-nasab-kan sebagai tamyiz, bentuk lengkapnya ialah 'Alangkah buruknya kalimat mereka ini'.
Menurut pendapat lain, ungkapan ini adalah sighat (bentuk) ta'ajjub, bentuk lengkapnya adalah 'Alangkah buruknya kata-kata mereka itu', seperti kalimat "Akrim bizaidin rajulan," yakni alangkah mulianya Zaid sebagai seorang laki-laki. Demikianlah menurut sebagian ulama Basrah, dan sebagian ahli Qiraat Mekah membacanya demikian, yaitu kaburat kalimatan. Keadaannya sama dengan kalimat kabura sya’nuka dan ‘adzhuma qauluka, yakni 'alangkah buruknya keadaanmu' dan 'alangkah buruknya ucapanmu'.
Makna yang dimaksud menurut qiraat jumhur ulama lebih jelas bahwa sesungguhnya ungkapan ini dimaksudkan sebagai kecaman terhadap ucapan mereka dan bahwa apa yang mereka katakan itu merupakan kebohongan besar. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: “Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka.” (Al-Kahfi: 5) Yakni tidak berdasarkan kepada suatu bukti pun melainkan hanya semata-mata dari ucapan mereka sendiri yang dibuat-buat oleh mereka sebagai suatu kedustaan.
Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: “Mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (Al-Kahfi: 5) Muhammad ibnu Ishaq telah menjelaskan tentang latar belakang turunnya ayat ini. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepadanya seorang syekh (guru) dari kalangan ulama Mesir yang telah tinggal bersama kaumnya sejak empat puluh tahun lalu, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang-orang kafir Quraisy mengutus An-Nadr ibnul Haris dan Uqbah ibnu Abu Mu'ith kepada orang-orang alim Yahudi di Madinah.
Kaumnya berpesan kepada mereka, "Tanyakanlah kepada orang-orang Yahudi itu tentang Muhammad dan ceritakanlah kepada mereka tentang sifatnya serta beritahukanlah kepada mereka tentang apa yang diucapkannya, karena sesungguhnya mereka adalah Ahli Kitab yang terdahulu. Mereka mempunyai pengetahuan yang tidak kita miliki tentang para nabi." Keduanya berangkat meninggalkan kota Mekah menuju Madinah. Setelah sampai di Madinah, keduanya bertanya kepada ulama Yahudi tentang Rasulullah ﷺ. dan menceritakan kepada mereka sifat-sifatnya serta sebagian dari ucapannya.
Keduanya berkata, "Sesungguhnya kalian adalah Ahli Kitab Taurat, kami datang kepada kalian untuk memperoleh informasi tentang teman kami ini (maksudnya Nabi ﷺ)." Ulama Yahudi itu menjawab, "Tanyakanlah oleh kalian kepada dia tentang tiga perkara yang akan kami terangkan ini. Jika dia dapat menjawabnya, berarti dia benar-benar seorang nabi yang diutus. Tetapi jika dia tidak dapat menjawabnya, berarti dia adalah seseorang yang cuma mengaku-aku saja dirinya sebagai nabi; saat itulah kalian dapat memilih pendapat sendiri terhadapnya.
Tanyakanlah kepadanya tentang beberapa orang pemuda yang pergi meninggalkan kaumnya di masa silam, apakah yang dialami mereka? Karena sesungguhnya kisah mereka sangat menakjubkan. Dan tanyakanlah kepadanya tentang seorang lelaki yang melanglang buana sampai ke belahan timur dan barat, bagaimanakah kisahnya. Dan tanyakanlah kepadanya tentang roh, apakah roh itu?
Jika dia bisa menceritakannya kepada kalian, berarti dia adalah seorang nabi dan kalian harus mengikutinya.Tetapi jika dia tidak bisa menceritakannya kepada kalian, maka sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang cuma mengaku-aku saja. Bila demikian, terserah kalian, apa yang harus kalian lakukan terhadapnya."
Maka An-Nadr dan Uqbah kembali ke Mekah. Setelah tiba di Mekah, ia langsung menemui orang-orang Quraisy dan berkata kepada mereka, "Hai orang-orang Quraisy, kami datang kepada kalian dengan membawa suatu kepastian yang memutuskan antara kalian dan Muhammad. Ulama Yahudi telah menganjurkan kepada kami untuk menanyakan kepadanya beberapa perkara," lalu keduanya menceritakan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada mereka.
Mereka datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, "Hai Muhammad, ceritakanlah kepada kami!" Lalu mereka menanyainya dengan pertanyaan-pertanyaan yang dianjurkan oleh para pendeta Yahudi tadi. Dan Rasulullah ﷺ menjawab mereka, "Aku akan menjawab pertanyaan kalian itu besok," tanpa menentukan batas waktunya.
Mereka bubar meninggalkan Nabi ﷺ, dan Nabi ﷺ tinggal selama lima belas hari tanpa ada wahyu dari Allah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Malaikat Jibril pun tidak turun kepadanya selama itu, hingga penduduk Mekah ramai membicarakannya. Mereka mengatakan, "Muhammad telah menjanjikan kepada kita besok, tetapi sampai lima belas hari dia tidak menjawab sepatah kata pun tentang apa yang kami tanyakan kepadanya." Karenanya Rasulullah ﷺ bersedih hati, lantaran wahyu terhenti darinya dan beliau merasa berat terhadap apa yang diperbincangkan oleh penduduk Mekah tentang dirinya.
Tidak lama kemudian datanglah Malaikat Jibril kepadanya dengan membawa surat yang didalamnya terkandung kisah Ashabul Kahfi (para penghuni gua), dan surat itu mengandung teguran pula terhadap diri Nabi ﷺ yang bersedih hati atas sikap mereka. Surat itu juga mengandung jawaban dari pertanyaan mereka tentang kisah para pemuda yang menghuni gua serta lelaki yang melanglang buana (Zul Qarnain), juga firman Allah ﷻ yang mengatakan: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh, katakanlah, "Roh itu…..(Al-Isra: 85) hingga akhir ayat."
Pada akhir Surah al-Isra', Rasulullah diperintah agar memuji Allah
dan menyucikannya dari segala kekurangan. Surah ini dimulai dengan
menyampaikan kewajaran Allah menyandang pujian itu dengan mengingatkan tentang keharusan memuji dan menaati perintahnya sesuai
dengan yang digariskan agama dalam kitab suci Al-Qur'an. Segala puji
hanya tertuju bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya, yaitu
Nabi Muhammad Al-Kitab, yakni Al-Qur'an, dan Dia tidak membuat padanya kebengkokan, baik redaksi maupun maknanya. Ayat demi ayatnya
saling menjelaskan tidak ada pertentangan satu dengan lainnya. Al-Qur'an diturunkan sebagai bimbingan yang lurus dan sempurna,
tidak berlebihan dan tidak kurang di dalam tuntutan dan hukum-hukumnya, dengan tujuan untuk memperingatkan umat manusia akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya yang menimpa mereka yang tidak percaya, dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang
kokoh imannya yang senantiasa mengerjakan kebajikan bahwa mereka
akan mendapat balasan yang baik, yaitu surga beserta kenikmatannya.
Dalam ayat ini Allah ﷻ memuji diri-Nya, sebab Dialah yang menurunkan kitab suci Al-Qur'an kepada Rasul ﷺ sebagai pedoman hidup yang jelas. Melalui Al-Qur'an, Allah memberi petunjuk kepada kebenaran dan jalan yang lurus. Ayat Al-Qur'an saling membenarkan dan mengukuh-kan ayat-ayat lainnya, sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan. Nabi Muhammad ﷺ yang menerima amanat-Nya menyampaikan Al-Qur'an kepada umat manusia, disebut dalam ayat ini dengan kata 'hamba-Nya untuk menunjukkan kehormatan yang besar kepadanya, sebesar amanat yang dibebankan ke pundaknya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-KAHF
(GUA-NGALAU)
SURAH KE-18,110 AYAT. DITURUNKAN DI MEKAH
(AYAT 1-110)
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih
Ayat 1
“Alhamdulillah!" Segala puji-pujian untuk Allah, yang telah menurunkan Kitab itu kepada hamba-Nya."
Disusun mengartikan ayat dengan mendahulukan kata yang menurunkan kitab itu daripada menuliskan kepada hamba-Nya, supaya sesuai dengan jalan bahasa Indonesia,
Di dalam permulaan ayat pertama ini terdapat dengan langsung ajaran tauhid yang menjadi pegangan teguh kaum Muslim. Bertemu di sini tiga pokok yang dibicarakan. Pertama Allah, kedua hamba, dan ketiga Kitab itu. Manusia telah diberi petunjuk oleh Allah dengan mengirimkan Kitab itu, yaitu Al-Qur'an dengan perantaraan Rasul yang Dia utus. Kalau tidak ada kitab itu, sesatlah manusia dalam kehidupan. Dan kalau tidak ada Rasul Allah yang membawanya dan mengajarkan, tidaklah berfaedah kedatangan kitab tadi. Maka ditegaskanlah dalam ayat ini bahwa yang patut menerima segala pujian bukanlah kitab itu melainkan Allah yang mengirim kitab. Dan bukan pula rasul yang diutus, karena dia hanya hamba-Nya, hamba dari Allah itu. Seorang hamba disuruh dan diperintah serta mematuhi akan suruhan dan perintah itu. Dan hamba itu tidaklah melebihi dari yang diperintahkan dan tidak pula mengurangi. Dan demikian terpulanglah segala pujian kepada Allah sendiri. Dan kita pun sejak semula telah diberi bimbingan oleh Allah sendiri. Bahwa Allah Allah memuji diri-Nya pada pembukaan segala urusan dan pada penutupnya, dia terpuji dari awal sampai akhir, dari dunia sampai akhirat. Datangnya Rasul dan dikirimkannya Kitab adalah nikmat yang sebesar-besarnya yang Dia limpahkan kepada makhluk-Nya.
Ini pun menjadi i'tibar dan perbandingan pula bagi kita, bahwa yang patut menerima segala pujian, bagaimanapun bentuknya, hanyalah Allah. Dan kalau diri kita sendiri yang dipuji orang, lekas-lekaslah kembali kepada Allah karena tidak ada nikmat yang kita terima melainkan dari Allah juga. Tidak ada nikmat bikinan dari kita sendiri.
Ujung ayat ialah,
“Dan tidak dijadikan-Nya padanya kebengkokan."
Artinya bahwa isi Kitab yang diturunkan-Nya kepada hamba-Nya itu tidak ada yang menyimpang dari jalan kebenaran. Tidak ada yang bengkok dan menyeleweng, keluar dari garis lurus; yaitu tegas dan jitu dan dapat dipertanggungjawabkan menurut pertimbangan akal yang sehat dan budi yang bersih.
Ayat 2
“Yang berkeadaan lurus."
Pangkal ayat 2 ini adalah penegasan lagi dari ujung ayat yang pertama. Dia tidak bengkok dan berbelit-belit sehingga susah buat diterima. Tetapi dia adalah qayyiman, artinya lurus.
Ingatlah bahwa surah al-Faatihah sebagai ibu dari Al-Qur'an wajib kita baca di tiap-tiap rakaat shalat kita; baik shalat yang wajib ataupun yang sunnah. Karena shalat yang sunnat itu, meskipun mengerjakannya hanya anjuran, tetapi berdosa jugalah kita kalau kita kerjakan dengan tidak sempurna, dan tidak juga sah jika tidak membaca al-Faatihah.
Di dalam surah al-Faatihah itu ada satu ayat, yaitu Ihdinash-Shirathal Mustaqiim,
“Tunjukilah kami jalan yang lurus."
Maka selalu, petang dan pagi, siang dan malam, malahan larut malam shalat Tahajjud, dan shalat siang hari di waktu dhuha kita memohon tunjuki jalan yang lurus. Nabi pun mengajarkan kepada seorang sahabatnya yang datang minta diajarkan kaji keputusan yang pendek tapi bisa dijadikan pegangan hidup selama-lamanya. Lalu Nabi jawab,
Katakanlah, “Aku beriman kepada Allah." Kemudian itu tegaklah dengan lurus."
Artinya jangan membelok membengkok lagi kepada jalan yang lain.
Sebab itu teranglah bahwa mencari dan menempuh jalan lurus itulah sebagian besar atau hakikat dari perjalanan hidup kita. Di dalam ilmu ukur dikatakan bahwa garis lurus ialah jarak yang paling dekat di antara dua titik. Di sini tentu maksudnya di antara Allah yang jadi tujuan hidup kita dan kita hamba-Nya yang sedang menuju-Nya. Sebab itu Allah menurunkan Al-Qur'an, kitab itu, kepada hamba-Nya, Muhammad ﷺ supaya menuntunkan menempuh jalan yang lurus itu. Dan bunyi ayat selanjutnya,
“Supaya dia mengancamkan suatu adzab yang langsung dari sisi-Nya." Artinya bahwa kitab yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya itu berisi ancaman bagi barangsiapa yang menyeleweng, membengkok, atau menempuh jalan lain. Maka yang menyeleweng atau membelok dari jalan lurus yang diturunkan dalam kitab itu akan tetaplah mendapat adzab siksaan yang langsung dari-Nya.
Dijelaskan di sini min ladun-hu yang berarti langsung datang siksaan dari Allah menurut hukum sebab dan akibat, ‘illat dan ma'lul. Sebab memang, siapa pun yang berjalan dengan maunya sendiri memilih jalan di luar jalan lurus, pasti dia sesat. Maka kepastian itu adalah langsung dari hukum Allah.
“Dan supaya menggembirakan bagi orang-orang yang beriman, yang beramal dengan yang saleh-saleh." Beriman adalah laksana memasang pelita dalam jiwa yang menyebabkan jelas terang jalan yang akan ditempuh selanjutnya, tidak terbelok lagi ke dalam belukar dan jurang-jurang yang berbahaya. Dan iman itu dengan sendirinya menimbulkan amal yang saleh-saleh, perbuatan-perbuatan yang baik Perbuatan yang baik itu pun kelegaan dan kelapangan jalan hidup dan kegembiraan. Maka di akhir ayat datanglah janji yang pasti dari Allah.
"Sesungguhnya untuk mereka ada balasan yang baik."
Dia akan mendapat balasan yang baik, karunia kebahagiaan, yang terutama akan dirasai terlebih dahulu oleh rohari. Alangkah banyaknya di dunia ini; dalam bumi yang begini lapang orang yang merasa tercekik dan sempit karena jiwanya yang tersiksa. Dan banyak pula kedapatan manusia-manusia yang berpadang luas beralam lapang; sebab kelapangan itu terbentuk dan dalam hatinya sendiri, karena imannya, karena amalnya.
Ayat 3
“Dalam keadaan mereka akan tinggal di dalamnya selama lamanya."
Dalam rangkaian ini terbayang betapa susahnya manusia mencari jalan, lalu datang Utusan Allah membawa kitab berisi penunjuk jalan. Susah pada mulanya mencari jalan lurus itu. Tetapi bila sekali telah bertemu, tidaklah akan dilepaskan lagi. Kemudian bagaimana nikmatnya mendapat jalan itu, dan selamanya tidak lepas lagi. Mulanya kebahagiaan jiwa di dunia, kemudian nikmat Ilahi yang kekal di akhirat.
Kemudian di dalam ayat seterusnya dijelaskan pulalah salah satu maksud ancaman yang khusus di dalam Kitab yang dibawa oleh hamba Allah itu.
Ayat 4
“Dan supaya diancamnya orang-orang yang berkata bahwa Allah mempunyai anak."
Satu soal pokok yang tidak dapat diterima oleh Allah yang disampaikan di dalam kitab itu dan dijelaskan oleh Rasul atau Hamba Allah, ialah suatu pendakwaan bahwa Allah beranak.
Orang Quraisy di Mekah mengatakan bahwa Allah itu beranak, dan anaknya itu ialah malaikat-malaikat itu. Dan malaikat-malaikat itu adalah perempuan. Lalu mereka dirikan berbagai berhala, seperti Al-Laata atau Manaata yang besar. Semuanya itu di-muannatskan dianggap perempuan belaka. Orang Nasrani pun yang pada asal mulanya terlalu amat hormat kepada rasul Allah Isa al-Masih, mereka katakan pula Isa al-Masih itu anak Allah, yaitu Anak Allah yang satu padu dengan Allah sendiri dan satu padu pula dengan Malaikat Jibril yang disebut Ruhul Qudus.
Ayat 5
‘Tidak ada pada mereka tentang itu satu ilmupun."
Artinya, Pendakwaan bahwa Allah beranak itu sama sekali tidaklah ada dasar ilmiahnya. Ungkapan pangkal ayat ini sesuai dengan apa yang dikatakan tidak ilmiah di zaman modern ini.
Yang dikatakan ilmiah ialah sesuatu hasil dari penyelidikan yang saksama mendekati atau mencari kebenaran.
“Hakikat adalah hasil dan penyelidikan."
Dalam hal agama dapatlah diakui kebenarannya kalau datang dari Allah sendiri mengatakan bahwa Dia (Allah) memang beranak, baik laki-laki atau perempuan. Maka setelah diselidiki di dalam kitab-kitab suci yang telah dibukukan, ternyata tidak ada Allah menurunkan wahyu kepada salah seorang rasul-Nya pun yang menerangkan bahwa Dia beranak.
“Dan tidak pula pada nenek moyang mereka." Artinya, sekiranya ditanyakan kepada mereka mengapa kalian katakan Allah beranak, mereka hanya akan menjawab begitulah yang diterima dari nenek moyang. Dan jika diselidiki kepada nenek moyang itu, mereka pun tidak akan menjawab dari mana sumber ajaran ini. Di dalam surah at-Taubah ayat 30 sudah dijelaskan bahwa segalanya itu asalnya hanyalah karena meniru-niru saja kepada dongeng-dongeng kepercayaan orang purbakala. Mulanya meniru-niru kemudian menjadi kebiasaan, lalu jadi tradisi turun menurun dan tidak mau mengubahnya lagi, walaupun sudah datang keterangan yang benar.
Memang terdapat juga didalam kitab-kitab perjanjian lama atau perjanjian baru tentang anak Allah, setelah diselidiki ternyata bahwa arti anak hanyalah menunjukkan cinta-kasih Allah kepada makhluknya yang bernama insan ini. Maka kalau akan terima sabda-sabda demikian dengan arti anak yang sebenarnya, terlalu banyaklah manusia yang akan jadi anak Allah.
“Besarlah kalimat yang keluar dari mulut mereka" karena mereka mendakwahkan Allah beranak itu. Maksudnya semula ialah hendak menghormati dan meninggikan pujian, baik orang Quraisy kepada malaikat-malaikat atau orang Yahudi kepada Uzair (Izra), atau orang
Nasrani terhadap Isa al-Masih. Namun di dalam mereka memuji dan menjunjung tinggi itu, mereka sengaja mengurangi kebesaran Allah. Allah memerlukan anak untuk membantunya, sebab dia merasa lemah kalau berdiri sendiri. Allah merasa dirinya telah tua. Dia takut dirinya akan mati, sebab itu sangatlah diharapkannya ada anak. Sebab itu ditegaskan di ujung ayat,
“Tidak tain yang mereka katakan itu, melainkan dusta belaka."
Pendakwaan bahwa Allah beranak adalah suatu pendakwaan yang dusta, sebab kalau agama itu mengakui wahyu, maka tidaklah pernah Allah mewahyukan yang demikian kepada salah seorang pun dari pada Rasul-Nya. Dan kalau manusia mempercayai akan menggunakan akal buat berpikir, maka pikiran sihat akan dapat mengambil kesimpulan bahwa beranak itu adalah mustahil, bagi Allah. Mustahil artinya tidak masuk akal. Allah itu mestilah Mahasempurna, tidak ada kekurangan sedikit juga. Apalah lagi kepercayaan Kristen yang dinamai Trinitas itu: Allah itu ialah Tiga-Satu atau Satu-Tiga. Dia satu: Yaitu Allah Bapa, Allah Isa dan Allah Ruhul-Kudus. Dan dia Tiga: Yaitu Allah!
Kalau kita m inta keterangan yang j elas yang masuk akal, untuk dapat kita percaya,niscaya orang Kristen akan menjawab, “Ya begitulah yang wajib dipercayai. Sebab dia tidak masuk akal itulah maka dia mesti dipercayai."
Tetapi bila telah diselidiki secara saksama terdapatlah bahwa sejak semula telah terjadi perselisihan paham dan pertikaian tafsir tentang kepercayaan ini dari berbagai golongan (sekte-sekte) Kristen. Setelah mengatakan bahwa Anak Allah itu hanyalah kata kiasan kasih saja, bukan anak sebenarnya. Kecuali Yesus Kristus (Isa al-Masih); kalau dia ini memang anak sebenarnya. Tetapi yang lain menyanggah dan menyatakan bahwa Yesus itu adalah anak Allah perlambang saja, sebagai alamat kasih Allah kepadanya. Tidak lebih!
Golongan Unitarian menolak sama sekali kepercayaan bahwa Isa al-Masih Bagian dari Allah. Dia adalah manusia yang diutus Allah, sebagai kepercayaan orang Islam kepada Nabi Muhammad ﷺ juga.
Maka kalau diselidiki dengan saksama ternyatalah bahwa kepercayaan ini adalah keputusan konsili, keputusan rapat pendeta-pendeta agama tertinggi yang disokong kekuasaan Romawi. Maka tidaklah dipertimbangkan benar atau tidaknya. Melainkan dia mesti dibenarkan sebab begitu yang telah diputuskan. Dan barangsiapa yang menantang keputusan itu dikucil atau disisihkan oleh kekuasaan tertinggi gereja dari dalam agama!
Dalam abad kedelapan belas dan kesembilan belas banyaklah ahli-ahli pikir dan sarjana dan filsuf yang dikucilkan dari gereja, di antaranya Voltaire yang terkenal. Mereka percaya akan Allah yang Maha Esa, tetapi mereka menolak keras kalau dikatakan bahwa Isa al-Masih itu Allah juga anak Allah, atau Allah sendiri yang mengorbankan dirinya jadi anak buat menebus dosa manusia di atas kayu salib. Meskipun banyak yang telah dikucilkan dari gereja, yang lain tidak jugalah jera-jeranya menyatakan pendapat bahwa Allah itu pasti satu. Pasti tak beranak. Mereka telah mendapat Allah dari hasil penyelidikan mereka atas alam ini. Maka kemajuan ilmu pengetahuan modern sekarang ini telah menimbulkan dua kemungkinan bagi orang berilmu. Pertama, tidak mau percaya sama sekali kepada adanya Tuhan itu tiga tetapi satu dan satu tetapi tiga. Atau yang kedua, mereka percaya, bertambah yakin dan beriman akan adanya Tuhan, tetapi Allah Yang Maha Esa, Mahakuasa, Mutlak Kekuasaan-Nya. Dia Yang mengatur alam ini dengan sendiri-Nya.
Dengan begitu baru dia puas. Dan mereka akan menutup kupingnya sama sekali kalau disebut-sebut orang juga Tuhan yang bertiga satu, bersatu tiga itu, atau Tuhan itu menjelma ke dunia, dan sampai di dunia jadi anak-Nya, untuk menebus dosa manusia!
Ayat 6
“Boleh jadi engkau hendak membinasakan dirimu dari karena duka cita, dari lantunan bekas-bekas perbuatan mereka, jika mereka tidak mau percaya kepada perkataan ini."
Artinya, kadang-kadang dari sangat duka cita hatimu lantaran melihat bekas-bekas per-buatan mereka yang sangat membuat jengkel, mereka tidak mau percaya akan wahyu-wahyu Allah itu, mau saja rasanya engkau membinasakan diri. Terlintas dalam ingatanmu biarlah mati saja, guna apa hidup lagi!
Sampai Nabi Muhammad terlintas pikiran demikian karena sangat cintanya kepada me-reka, bukan dari sebab benci.
Al-Qasyani, seorang penafsir, mengatakan, “Perasaan iba hati yang demikian itu bisa saja terlintas karena sangat belas kasihan kepada makhluk Allah dan itu adalah sebagai akibat dari cinta akan Allah."
Dapatiahperasaanyangdemikian dipahami jika diingat bahwa Quraisy itu bukanlah orang lain baginya. Umumnya adalah keluarganya, jauh ataupun dekat. Yang mengepalai memusuhi dan membencinya ialah pamannya sendiri, saudara kandung ayahnya, Abu Lahab.
Tetapi semuanya itu cuma perasaan, terlintas sebentar, dari karena sangat iba hati. Tidak keluar ke mulut dan tidak dilaksanakan. Karena pikiran waras beliau sebagai seorang Rasul, lebih menguasai dirinya dari perasaannya, Namun demikian, untuk obat penawar hatinya disebutkan Allah juga dalam wahyu-Nya. Lalu Allah melanjutkan firman-Nya,
Ayat 7
“Sesungguhnya telah Kami jadikan apa yang ada di bumi ini sebagai perhiasan baginya."
Artinya, segala yang ada di muka bumi ini adalah perhiasan bagi bumi ini sendiri. Ada gunung-gunung, danau dan laut, ﷺah dan ladang, sungai bandar galian. Demikian juga binatang-binatang dengan berbagai warna dan perangai, ada yang liar ada yang jinak, ada yang merangkak kaki empat, ada yang melata kaki banyak. Demikian juga tumbuh-tumbuhan, sejak dari kayu di hutan sampai rumput yang sehelai. Semuanya itu adalah perhiasan bagi bumi ini. Bahkan ada perhiasan yang tersembunyi, digali baru keluar, seperti emas dan perak, intan dan berbagai permata. Guna apa semuanya itu dijadikan perhiasan bagi bumi?
“Kanena Kami hendak menguji mereka, siapa di antara mereka yang baik amalannya."
Ditakdirkan Allah hiduplah manusia memenuhi bumi ini. Maka berlombalah manusia mengambil atau menggali atau mencari yang tersembunyi dari perhiasan-perhiasan yang ada di muka bumi itu untuk kepentingan hidupnya. Berlomba mencari harta kekayaan, pangkat dan kedudukan, rumah yang mewah, kebun yangsubur, kendaraan yang megah, emas dan perak. Semuanya itu adalah perhiasaan di bumi dan tinggal di bumi. Manusia berlomba menghasilkannya, tetapi manusia diuji dalam perlombaan itu; mana yang bekerja baik dan mana yang bekerja buruk, mana yang jujur dan mana yang berlaku curang.
Kemudian itu apakah yang akan terjadi? Ayat selanjutnya berkata,
Ayat 8
“Dan sesungguhnya kelak akan Kami jadikan apa yang ada di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus."
Artinya, tidaklah ada yang kekal di atas permukaan bumi ini. Mulanya tampak bumi berhias dengan berbagai warna, namun kelaknya perhiasan itu akan hilang. Bumi akan rata dan tanahnya akan tandus. Satu bangsa bermegah naik, kemudian jatuh. Satu pemerintahan mulanya kuat kuasa, akhirnya roboh, lalu digantikan oleh yang lain. Manusia penghuni dunia yang berlomba itu pun sehabis berpayah-payah berlomba-lomba hilanglah dari permukaan bumi dan tidak kembali lagi. Yang tinggal hanyalah sebutan atau kenang-kenangan, kalau memang ada yang akan dikenang orang. Kalau tidak ada yang akan dikenal darinya, maka yang tinggal adalah tumpukan dan kubur-kuburan lama yang tidak ada lagi perbedaan di antara tulang-tulang yang tertimbun di dalamnya, entahlah dia menang ketika berlomba hidup, entah dia kalah,