Ayat
Terjemahan Per Kata
وَيَسۡـَٔلُونَكَ
dan mereka akan bertanya kepadamu
عَنِ
dari/tentang
ٱلرُّوحِۖ
roh
قُلِ
katakanlah
ٱلرُّوحُ
roh
مِنۡ
dari
أَمۡرِ
urusan
رَبِّي
Tuhanku
وَمَآ
dan tidaklah
أُوتِيتُم
kamu diberi
مِّنَ
daripada
ٱلۡعِلۡمِ
pengetahuan
إِلَّا
melainkan
قَلِيلٗا
sedikit
وَيَسۡـَٔلُونَكَ
dan mereka akan bertanya kepadamu
عَنِ
dari/tentang
ٱلرُّوحِۖ
roh
قُلِ
katakanlah
ٱلرُّوحُ
roh
مِنۡ
dari
أَمۡرِ
urusan
رَبِّي
Tuhanku
وَمَآ
dan tidaklah
أُوتِيتُم
kamu diberi
مِّنَ
daripada
ٱلۡعِلۡمِ
pengetahuan
إِلَّا
melainkan
قَلِيلٗا
sedikit
Terjemahan
Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang roh. Katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit.”
Tafsir
(Dan mereka bertanya kepadamu) yaitu orang-orang Yahudi (tentang roh,) yang karenanya jasad ini dapat hidup ("Katakanlah) kepada mereka! ('Roh itu termasuk urusan Rabbku) artinya termasuk ilmu-Nya oleh karenanya kalian tidak akan dapat mengetahuinya (dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.'") dibandingkan dengan ilmu Allah ﷻ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, "Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan, melainkan sedikit. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa ketika ia sedang berjalan mengiringi Rasulullah ﷺ di sebuah lahan pertanian di Madinah yang saat itu Rasulullah ﷺ berjalan dengan memakai pelepah kurma sebagai tongkatnya maka bersualah beliau dengan sejumlah orang dari kalangan orang-orang Yahudi. Sebagian dari mereka mengatakan kepada sebagian yang lain, "Tanyailah dia oleh kalian tentang roh." Sedangkan sebagian lainnya mengatakan, "Janganlah kalian bertanya kepadanya." Akhirnya mereka bertanya kepada Nabi ﷺ tentang roh. Untuk itu mereka berkata, "Hai Muhammad, apakah roh itu?" saat itu Nabi ﷺ masih tetap bertopang pada pelepah kurmanya seraya berdiri. Ibnu Mas'ud merasa yakin bahwa saat itu Nabi ﷺ sedang menerima wahyu. Setelah itu Nabi ﷺ membacakan firman yang baru diturunkan itu, yakni: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, "Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Al-Isra: 85) Maka berkatalah sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain, "Telah kami katakan kepada kalian, janganlah kalian bertanya kepadanya." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Al-A'masy dengan sanad yang sama.
Menurut lafaz Imam Bukhari sehubungan dengan tafsir ayat ini, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a., disebutkan bahwa ketika kami sedang berjalan bersama dengan Rasulullah ﷺ di sebuah lahan pertanian saat itu Rasulullah ﷺ berjalan dengan memegang pelepah kurma sebagai tongkatnya maka bersualah beliau dengan orang-orang Yahudi. Sebagian dari mereka mengatakan kepada sebagian yang lain, "Tanyailah dia tentang roh." Salah seorang dari mereka berkata, "Apa perlunya kalian dengan dia?" Sebagian yang lainnya mengatakan, "Jangan sampai dia menghadapi kalian dengan sesuatu yang kalian tidak menyukainya." Mereka berkata, "Tanyailah dia tentang roh." Akhirnya mereka menanyai Nabi ﷺ tentang roh. Tetapi Nabi ﷺ diam, tidak menjawab sepatah kata pun terhadap mereka. Ibnu Mas'ud mengatakan, "Saya menyadari bahwa beliau ﷺ sedang menerima wahyu, maka saya diam di tempat." Setelah wahyu selesai, Nabi ﷺ membacakannya, yaitu firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, "Roh itu termasuk urusan Tuhanku. (Al-Isra: 85), hingga akhir ayat. Konteks ayat ini jelas menunjukkan bahwa ayat ini diturunkan di Madinah, diturunkan ketika orang-orang Yahudi menanyakan kepadanya tentang roh, sekalipun surat ini adalah surat Makiyyah.
Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa barangkali ayat ini diturunkan di Madinah untuk yang kedua kalinya, sebelumnya memang ayat ini pernah diturunkan di Mekah. Atau barangkali makna yang dimaksud dari hadis di atas bahwa Nabi ﷺ menjawab pertanyaan mereka dengan membacakan ayat ini yang telah diturunkan sebelumnya, yaitu firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. (Al-Isra: 85), hingga akhir ayat. Dan yang menunjukkan bahwa ayat tersebut diturunkan kepada Nabi ﷺ di Mekah, ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam salah satu hadis yang diketengahkannya. Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria, dari Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang-orang Quraisy pernah mengatakan kepada orang-orang Yahudi, "Berikanlah kepada kami sesuatu pertanyaan yang akan kami ajukan kepada lelaki ini." Orang-orang Yahudi menjawab, "Tanyailah dia tentang roh." Lalu orang-orang Quraisy bertanya kepada Nabi ﷺ tentang masalah roh.
Maka turunlah firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, "Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan, melainkan sedikit. (Al-Isra: 85) Orang-orang Yahudi berkata, "Kami telah diberi pengetahuan yang banyak, kami telah diberi kitab Taurat; dan barang siapa yang diberi kitab Taurat, sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Katakanlah, "Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu. (Al-Kahfi: 109), hingga akhir ayat. Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Muhammad ibnul Musanna, dari Abdul A'la, dari Daud, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa Ahli Kitab pernah bertanya kepada Nabi ﷺ tentang roh, maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. (Al-Isra: 85), hingga akhir ayat.
Mereka mengatakan, "Kamu menduga bahwa tidaklah kami diberi pengetahuan kecuali sedikit, padahal kami telah diberi kitab Taurat, dan kitab Taurat itu adalah hikmah." Mereka bermaksud seperti apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. (Al-Baqarah: 269) Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta) ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi). (Luqman: 27), hingga akhir ayat. Selanjutnya Ikrimah mengatakan bahwa pengetahuan yang telah diberikan kepada kalian yang membuat kalian diselamatkan oleh Allah dari neraka berkat pengetahuan itu.
Maka hal itu adalah pemberian yang banyak lagi baik, tetapi hal itu menurut pengetahuan Allah dianggap sedikit. Muhammad Ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari salah seorang temannya, dari Ata ibnu Yasar yang mengatakan bahwa ayat berikut ini diturunkan di Mekah, yaitu firman-Nya: dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Al- Isra: 85) Ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, orang-orang alim Yahudi datang kepadanya dan bertanya, "Hai Muhammad, telah sampai kepada kami berita yang mengatakan bahwa engkau telah mengatakan: 'dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.' (Al-Isra: 85) Apakah yang engkau maksudkan adalah kami, ataukah kaummu sendiri?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Saya bermaksud kepada semuanya." Mereka berkata, "Sesungguhnya engkau telah membaca tentang kami, bahwa kami telah diberi kitab Taurat yang di dalamnya terdapat penjelasan segala sesuatu." Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Hal itu menurut pengetahuan Allah dianggap sedikit, dan sesungguhnya Allah telah mendatangkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian mengamalkannya, tentulah kalian beroleh manfaat (yang banyak).
Dan Allah menurunkan firman-Nya: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Luqman: 27) Para ulama berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan roh dalam ayat ini, seperti keterangan berikut: Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan roh ialah arwah Bani Adam. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. (Al-Isra: 85), hingga akhir ayat.
Demikian itu terjadi ketika orang-orang Yahudi bertanya kepada Nabi ﷺ tentang roh. Mereka mengatakan, "Ceritakanlah kepada kami tentang roh. Bagaimanakah roh yang ada di dalam jasad disiksa, padahal sesungguhnya roh itu berasal dari Allah?" Saat itu belum pernah ada suatu wahyu pun yang diturunkan kepada Nabi ﷺ mengenainya, maka Nabi ﷺ tidak menjawab sepatah kata pun. Kemudian datanglah Malaikat Jibril dan menyampaikan wahyu kepadanya, yaitu firman Allah ﷻ: Katakanlah, "Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Al-Isra: 85) Kemudian Nabi ﷺ menyampaikan wahyu itu kepada mereka (orang-orang Yahudi), dan mereka mengatakan, "Siapakah yang menyampaikan hal itu kepadamu?" Nabi ﷺ menjawab, "Jibril telah datang kepadaku menyampaikannya dari sisi Tuhanku." Mereka menjawab Nabi ﷺ, "Demi Allah, tiada yang mengatakannya kepadamu melainkan musuh kami." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Katakanlah, "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya. (Al-Baqarah: 97) Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan roh dalam ayat ini ialah Malaikat Jibril.
Demikianlah menurut Qatadah, dan Qatadah mengatakan bahwa Ibnu Abbas menyembunyikan makna yang dimaksud dari ayat ini. Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan roh dalam ayat ini ialah malaikat yang sangat besar, yang besarnya sama dengan semua makhluk Allah. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. (Al-Isra: 85) bahwa yang dimaksud dengan roh dalam ayat ini ialah malaikat.
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ars Al-Masri, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Rauq ibnu Hubairah, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Bakar, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepada kami Ata, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia penah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya Allah mempunyai seorang malaikat, kalau sekiranya diperintahkan kepadanya, "Telanlah langit tujuh lapis dan bumi (tujuh lapis) dengan sekali telan, tentulah ia dapat melakukannya (karena tubuhnya yang sangat besar).
Bacaan tasbihnya ialah, "Mahasuci Engkau yang layak dengan kesucian-Mu. Hadis ini berpredikat garib, bahkan dapat dikatakan berpredikat munkar. Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali, telah menceritakan kepadaku Abdullah, telah menceritakan kepadaku Abu Marwan Yazid ibnu Samurah, dari orang yang menceritakan kepadanya, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. (Al-Isra: 85) Ali r.a. mengatakan bahwa roh adalah malaikat yang mempunyai tujuh puluh ribu muka, tiap-tiap muka mempunyai tujuh puluh ribu lisan, dan tiap-tiap lisan dapat mengucapkan seribu bahasa, Ia bertasbih kepada Allah dengan memakai semua bahasa itu.
Allah menciptakan seorang malaikat dari tiap tasbih yang diucapkannya, lalu malaikat itu terbang bersama malaikat lainnya hingga hari kiamat. Asar ini garib lagi aneh. As-Suhaili mengatakan, telah diriwayatkan dari Ali bahwa ia pernah mengatakan, "Roh adalah malaikat yang mempunyai seratus ribu kepala, tiap kepala mempunyai seratus ribu wajah, tiap wajah mempunyai seratus ribu mulut, dan setiap mulut mempunyai seratus ribu lisan; semuanya bertasbih menyucikan Allah dengan berbagai macam bahasa.
As- Suhaili mengatakan bahwa menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan roh ialah segolongan malaikat yang rupanya seperti manusia. Menurut pendapat lainnya lagi, roh adalah segolongan malaikat yang dapat melihat malaikat lainnya, tetapi para malaikat tidak dapat melihat mereka. Mereka sama halnya dengan malaikat bagi manusia (yakni tidak terlihat). Firman Allah ﷻ: Katakanlah, "Roh itu termasuk urusan Tuhanku." (Al-Isra: 85) Artinya, hanya Allah sajalah yang mengetahuinya; dan hal itu termasuk sesuatu yang sengaja hanya diketahui oleh-Nya, tidak untuk kalian.
Untuk itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Al-Isra: 85) Yakni apa yang diperlihatkan-Nya kepada kalian dari pengetahuan-Nya tiada lain hanyalah sedikit saja, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang menguasai sesuatu dari pengetahuan-Nya melainkan menurut apa yang dikehendaki-Nya. Mahasuci lagi Mahatinggi Dia. Makna yang dimaksud ialah sesungguhnya pengetahuan kalian amatlah sedikit bila dibandingkan dengan pengetahuan Allah.
Dan apa yang kalian tanyakan tentang roh, hal ini merupakan suatu perkara yang hanya diketahui oleh-Nya. Dia tidak memperlihatkannya kepada kalian, sebagaimana Dia tidak memperlihatkan kepada kalian dari sebagian pengetahuannya melainkan hanya sedikit saja. Dalam kisah Musa dan Khidir akan disebutkan bahwa Khidir memandang ke arah seekor burung pipit yang hinggap di pinggir perahu yang dinaiki keduanya, lalu burung pipit itu minum seteguk air dari sungai (laut) itu dengan paruhnya.
Maka Khidir berkata, "Hai Musa, tiadalah pengetahuanku dan pengetahuanmu serta pengetahuan semua makhluk bila dibandingkan dengan pengetahuan Allah, melainkan sama halnya dengan apa yang diambil oleh burung pipit ini dari laut itu dengan laut itu sendiri." Atau hal lainnya yang semakna. Karena itulah disebutkan pada akhir ayat ini oleh firman-Nya: dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Al-Isra: 85) As-Suhaili mengatakan, sebagian ulama mengatakan bahwa Allah tidak menjawab pertanyaan mereka karena mereka mengajukan pertanyaannya dengan nada ingkar.
Menurut pendapat yang lainnya lagi Allah ﷻ menjawabnya. As-Suhaili mengemukakan alasannya, bahwa makna yang dimaksud oleh firman-Nya: Katakanlah, "Roh itu termasuk urusan Tuhanku." (Al-Isra: 85) Yakni termasuk sebagian dari syariat-Nya. Dengan kata lain, masuklah kalian ke dalam agama-Nya, karena sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa tiada jalan untuk mengetahui masalah ini melalui keahlian ataupun filsafat. Sesungguhnya pengetahuan mengenainya hanya dapat diperoleh melalui syariat-Nya. Akan tetapi, alasan yang dikemukakan oleh As-Suhaili dan pandangannya ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya.
Kemudian As- suhaili mengatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama terjadi pula sehubungan dengan definisi roh. Ada yang mengatakan bahwa roh itu adalah jiwa, ada pula yang mengatakan selain itu. Hanya As-Suhaili pada akhirnya menyimpulkan bahwa roh itu adalah suatu zat yang lembut seperti udara, ia beredar di seluruh tubuh bagaikan aliran air di dalam akar-akar pohon.
As-Suhaili menyimpulkan pula bahwa roh yang ditiupkan oleh malaikat ke dalam janin adalah jiwa, tetapi dengan syarat bahwa penggabungan roh tersebut dengan tubuh menimbulkan reaksi munculnya sifat-sifat yang terpuji atau sifat-sifat yang tercela. Oleh karena itu, jiwa itu ada yang diberi nama jiwa yang tenang (baik) atau jiwa yang labil yang selalu memerintahkan kepada keburukan. As-Suhaili melanjutkan analisisnya, bahwa hal itu terjadi seperti halnya air yang menjadi kehidupan bagi pohon; kemudian setelah air itu menyatu dengan pohon, maka menghasilkan nama (istilah) tersendiri.
Dengan kata lain, apabila air berada di dalam buah anggur, lalu diperas, maka air yang dihasilkan darinya dinamakan minuman perasan anggur atau dapat pula dijadikan sebagai khamr. Dalam keadaan seperti itu ia tidak dapat dikatakan sebagai air, melainkan dalam ungkapan kiasan. Jiwa tidak dapat pula dikatakan sebagai roh, melainkan melalui ungkapan kiasan; sebagaimana tidak dapat pula dikatakan bahwa roh adalah jiwa, melainkan berdasarkan pertimbangan kausalitasnya.
Kesimpulan dari apa yang telah kami kemukakan ialah bahwa sesungguhnya roh itu adalah asal-usul jiwa. Jiwa adalah terbentuk akibat menyatunya roh dengan tubuh. Dengan demikian, istilah roh hanyalah dipandang dari salah satu aspeknya saja, bukan dari semua aspeknya. Hal ini merupakan pendapat yang cukup baik. Menurut kami, banyak kalangan ulama yang membahas masalah roh, yakni tentang hakikat roh dan ciri-ciri khasnya.
Mereka menulis kitab-kitab yang menerangkan tentang masalah ini; diantaranya tulisan yang terbaik mengenai masalah ini dibuat oleh Al-Hafiz ibnu Mandah di dalam kitabnya yang berjudul Sami'nahu fir Ruhi."
Dan mereka, yakni orang-orang kafir Mekah bertanya kepadamu wahai
Nabi Muhammad tentang roh, apakah hakikat roh itu. Katakanlah, Roh
itu termasuk urusan Tuhanku, hanya Dia yang mengetahui hakikat roh
itu dan tidaklah kamu wahai manusia diberi pengetahuan kecuali sedikit
dibandingkan dengan keluasan objek yang diketahui atau dibandingkan
dengan ilmu Allah. Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan,
kami hapus dari hatimu apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, wahai
Nabi Muhammad, dan engkau tidak akan mendapatkan seorang pembela
pun terhadap keputusan Kami, melenyapkan apa yang Kami wahyukan
kepadamu. Tetapi pelenyapan itu tidak akan terjadi, dan yang demikian
itu tidak lain,.
Orang-orang Yahudi bertanya kepada Nabi Muhammad tentang roh yang dapat menghidupkan jasmani, apakah hakikatnya dan apakah dapat dibangkitkan kembali. Kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi untuk menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan bahwa masalah roh adalah urusan Allah, hanya Dialah yang mengetahui segala sesuatu, dan Dia sendirilah yang menciptakannya.
Kata ruh dalam Al-Qur'an mempunyai tiga arti, yaitu:
Pertama: Yang dimaksud dengan ruh adalah Al-Qur'an. Sebagaimana firman Allah:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Qur'an) dengan perintah Kami. (asy-Syura/42: 52)
Pengertian ini sesuai dengan isi ayat 82 Surah al-Isra', dimana diterangkan bahwa Al-Qur'an menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Juga sesuai dengan ayat 87 surah yang sama yang menerangkan bahwa jika Allah menghendaki, niscaya Dia akan melenyapkan Al-Qur'an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad. Dengan demikian, Nabi tidak akan memperoleh pembelaan.
Kedua: Malaikat Jibril. Dalam Al-Qur'an banyak perkataan ruh yang diartikan dengan Jibril a.s., seperti dalam firman Allah ﷻ
Yang dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan. (asy-Syu'ara'/26: 193-194)
Dan firman Allah swt:
?lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna. (Maryam/19: 17)
Ketiga: Berarti roh yang ada dalam badan, yang merupakan sumber kehidupan dari makhluk hidup. Menurut Jumhur Ulama, kata ruh dalam ayat ini adalah roh yang ada dalam badan (nyawa). Firman Allah:
Dan (ingatlah kisah Maryam) yang memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan (roh) dari Kami ke dalam (tubuh)nya; Kami jadikan dia dan anaknya sebagai tanda (kebesaran Allah) bagi seluruh alam. (al-Anbiya'/21: 91)
Pendapat yang menyamakan ruh dengan nafs (roh/nyawa) ini adalah pendapat yang banyak dianut ulama (jumhur) dan sesuai dengan sebab ayat ini diturunkan. Allah berfirman:
Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (al-hijr/15: 29)
Ayat-ayat tersebut di atas mengajak umat manusia supaya memahami isi Al-Qur'an dengan sebenar-benarnya, agar tidak tersesat ke jalan yang tidak benar. Sebaliknya mereka yang tidak berusaha untuk memahami isi Al-Qur'an tidak akan bisa memanfaatkannya sebagai pedoman hidup, bahkan mereka melakukan tindakan dan perbuatan yang dapat menjauhkan mereka dari pemahaman terhadap ayat-ayatnya dengan benar. Mereka menanyakan kepada Nabi ﷺ hal-hal yang tidak mungkin diketahui manusia, yang sebetulnya tidak ada gunanya untuk diketahui, kecuali hanya sekedar untuk menguji Nabi.
Allah ﷻ dalam ayat ini menyatakan bahwa Ia hanya memberi manusia sedikit sekali pengetahuan mengenai roh. Akan tetapi, di antara ulama ada yang telah mencoba mendalami hakikat roh itu. Di antaranya ialah:
1. Roh itu ialah semacam materi cahaya (jisim, nurani) yang turun ke dunia dari alam tinggi, sifatnya berbeda dengan materi yang dapat dilihat dan diraba.
2. Roh itu mengalir dalam tubuh manusia, sebagaimana mengalirnya air dalam bunga, atau sebagaimana api dalam bara. Roh memberi kehidupan ke dalam tubuh seseorang selama tubuh itu sanggup dan mampu menerimanya, dan tidak ada yang menghalangi alirannya. Bila tubuh tidak sanggup dan mampu lagi menerima roh itu, sehingga alirannya terhambat dalam tubuh, maka tubuh itu menjadi mati. Pendapat ini dikemukakan oleh ar-Razi dan Ibnul Qayyim. Sedangkan Imam al-Gazali dan Abu Qasim ar-Ragib al-Asfahani berpendapat bahwa roh itu bukanlah materi dan sesuatu yang berbentuk, tetapi ia hanyalah sesuatu yang bergantung pada tubuh untuk mengurus dan menyelesaikan kepentingan-kepentingan tubuh.
Sikap kaum Muslimin yang paling baik tentang roh ialah mengikuti firman Allah ini, bahwa hakikat roh itu tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, karena hanya Allah yang mengetahuinya dengan pasti. Yang perlu dipercayai adalah bahwa roh itu ada. Allah hanya memberikan gejala-gejalanya kepada manusia sendiri pun mengetahui adanya roh itu, serta menghayati gejala-gejalanya. Maka yang perlu diteliti dan dipelajari dengan sungguh-sungguh ialah gejala-gejala roh itu, yang dilakukan dalam psikologi. Mempelajari gejala-gejala jiwa ini bahkan termasuk hal yang diminta oleh Allah dalam firman-Nya:
Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? adz-dzariyat/51: 21)
Karena hanya Allah yang mengetahui tentang hakikat roh, maka pada ayat ini Allah ﷻ menegaskan kepada manusia bahwa ilmu Allah itu Maha Luas, tidak dapat diperkirakan, meliputi segala macam ilmu, baik ilmu tentang alam yang nyata, maupun yang tidak nyata, baik yang dapat dicapai oleh pancaindera, maupun yang tidak. Karena kasih sayang Allah kepada manusia, maka dianugerahkan-Nya sebagian kecil ilmu itu kepada manusia, tidak ada artinya sedikit pun bila dibanding dengan kadar ilmu Allah.
Diriwayatkan bahwa tatkala ayat ini diturunkan, orang-orang Yahudi menjawab, "Kami telah diberi ilmu yang banyak. Kami telah diberi kitab Taurat. Siapa yang telah diberi kitab Taurat, berarti dia telah diberi kebaikan yang banyak." Maka turunlah ayat 109 Surah al-Kahf. Allah ﷻ berfirman:
Katakanlah (Muhammad), "Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (al-Kahf/18: 109).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PERIHAL RUH
Ayat 85
“Dan mereka pun bertanya kepada engkau perihal ruh."
Berbagai penafsiran, tentang ruh yang dimaksud di sini. Ada satu riwayat yang diterima dari Ibnu Abbas bahwa ruh yang dimaksud di sini ialah malaikat. Memang ada beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang ruh itu berarti malaikat (surah al-Qadar ayat 4. Lihat pula surah an-Naba' ayat 38, dan beberapa ayat yang lain). Tetapi sebagian besar ahli ta'wil mengatakan bahwa ruh yang ditanyakan dalam ayat ini ialah ruh yang ada dalam tubuh manusia ini. Mereka hendak menanyakan bagaimana keadaan ruh itu di dalam tubuh manusia dan bagaimana hubungannya dan ke mana perginya ruh itu setelah dia cerai dari badan. Maka disuruh Allah-lah Nabi ﷺ menjawabnya, “Katakanlah,
“Ruh itu adalah letmasuk utusan Tuhanku." Antinya aku senditi tidak tahu dan kamu pun tidak pula akan tahu,
“Dan tidaklah diberikan kepada kamu dari ilmu melainkan sedikit"
Artinya, ruh adalah suafru perkara yang besar, yang ilmu manusia tidaklah sampai kepadanya. Tegasnya tidaklah Allah memberikan ilmu yang sekelumit itu kepada manusia. Supaya manusia insaf bahwa tidaklah dia mempunyai upaya untuk mengetahui hakikat dirinya sendiri, usahkan mengetahui hakikat orang lain, a'patah lagi hakikat Allah. Dan insaflah hendaknya insan bahwa hijab yang menutupi di antara dia dengan Allah ialah dirinya sendiri.
Di sini dapatlah manusia memahamkan suatu kata yang terkenal, yang senantiasa dijadikan buah tutur dan dikatakan hadits oleh setengah ahli tasawuf, yaitu,
“Barangsiapa yang telah mengenal akan dirinya, niscaya kenallah dia akan Tuhannya."
Bukankah sukar mengetahui apakah hakikat ruh kita? Maka 1.000 kali lebih sukarlah mengetahui zat Allah. Kita mengakui ruh kita ada, namun kita tidak dapat meraba dan mencari tempatnya dalam diri kita hanya dapat membuktikan bahwa kita hidup karena kita bernapas, dan apabila bernapas telah berhenti, berhentilah hidup. Padahal bukan napas itu yang bernama hidup.
Memang ada ahli-ahli ilmu jiwa, baik yang dulu-dulu seperti Imam Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Hazm, dan ahli ilmu jiwa modern seperti Sigmund Freud, Jung, dan Adler. Mereka itu pun hanya sekadar mengetahui bekas perbuatan orang untuk mengetahui keadaan jiwanya. Namun jiwa itu sendiri tidaklah mereka ketahui dan tidaklah ada ilmu tentang itu. Pengetahuan yang diberikan Allah kepada manusia tentang hakikat jiwa itu sendiri tidak ada. Itu adalah rahasia Allah!
WAHYU DIPELIHARA ALLAH
Ayat 86
“Dan jika Kami kehendaki niscaya Kami hilangkan apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau. Kemudian itu tidak akan engkau dapat perihal itu, terhadap Kami, seorang penolong pun."
Artinya ialah bahwa jika Allah menghendaki bisa saja kejadian wahyu yang telah diturunkannya kepada engkau itu dicabutnya kembali sehingga hilang saja laksana diterbangkan angin.
Dan ini pun sudah pernah kejadian. Banyak wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi-nabi yang telah terdahulu tidak lengkap terkumpul lagi. Atau hilang terbakar aslinya dan dicatat kembali hafalan orang lain yang berbeda-beda. Sehingga kita dapati apa yang dinamai oleh orang Kristen sekarang Kitab Injil bukankah Injil asli yang diturunkan kepada Isa al-Masih, melainkan catatan yang datang kemudian. Yaitu Markus, Lukas, Matius, dan Yohannes. Satu dan lainnya tidak sama.
Kalau hal yang seperti itu kejadian pada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ adakah orang lain yang dapat menolong?
Tetapi berkat Rahmat dan belas kasihan Allah kepada umat Muhammad ﷺ, tidaklah kejadian sebagai yang demikian pada Al-Qur'an. Sejarah pemeliharaan Allah atas Al-Qur'an itu jelas terbentang dan dapat kita menyelidikinya sampai ke pangkal.
Di kala beliau ﷺ masih hidup sudah mulai ada yang mencatat di kulit kambing atau di pelepah kurma atau di tulang unta. Bahkan setelah beliau wafat belum satu tahun, Al-Qur'an itu telah mulai dibukukan atas perintah khalifah beliau yang pertama Abu Bakar ash-Shiddiq, yang dikerjakan oleh suatu panitia ahli. Dan di zaman Khalifah ketiga, Amiril Mu'minin Utsman bin Affan, sekali lagi disalin dan disebarkan dan dibakar naskah-naskah yang tadinya berserak-serak dan diresmikanlah mushaf al-Imam atau disebut juga mushaf Utsmani, mushaf Sayyidina Utsman.
Kalau diteliti dari segi itu saja, dapatlah kita berkata bahwa naskah Al-Qur'an itu telah dipelihara, apatah lagi setelah adanya alat cetak-mencetak sekarang ini. Berjuta-juta Al* Qur'an telah tersebar di mana-mana.
Tetapi tidaklah mustahil pada akal akan kejadian apa yang diisyaratkan dalam ayatyang tengah kita tafsirkan ini."Jika Kami kehendaki niscaya Kami hilangkan apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau: Kemudian itu tidak akan engkau dapati perihal itu, terhadap Kami, seorang penolong pun."
Bisakah itu kejadian? Yaitu bahwa wahyu itu akan hilang? Sehingga orang lupa kepadanya?
Bisa! Mengapa tidak!
Al-Qur'an yang dicetak bagus itu bisa saja satu waktu hanya untuk mengisi museum barang purbakala, sedang isinya tidak dipahamkan orang lagi. Sahabat Nabi ﷺ Abdullah bin Mas'ud pernah berkata,
“Yang mula-mula akan hilang lenyap dari agamamu ini ialah amanah, dan yang akhir sekali akan habis sirna ialah shalat, dan sesungguhnya Al-Qur'an ini pun seakan-akan dicabut dari kamu sehingga pada pagi-pagi suatu hari kamu bangun, maka kamu dapati tidak ada lagi yang ada pada kamu.
Maka bertanyalah seseorang, “Bagaimana bisa kejadian begitu, hai Abu Abdurrahman1 Padahal Al-Qur'an itu telah kami tanamkan teguh dalam hati kami, dan telah kami tetapkan di dalam mushaf kami, dan kami ajarkan kepada anak-anak kami, dan anak-anak kami meng-ajarkannya pula kepada anak-anaknya, turun-turun sampai Kiamat?
Abdullah bin Mas'ud menjawab, “Dia akan hilang saja pada suatu malam; hilang yang ada di dalam mushaf itu dan hilang pula apa yang terkandung dan dihafal dalam hati, sehingga jadilah manusia seperti binatang."
Sebuah riwayat lagi daripada Abdullah bin Umar r.a„
“Tidaklah, akan berdiri kiamat sebelum kembali Al-Qur'an itu ke tempat asal turunnya semula, mengaum suaranya laksana ngaum suara lebah terbang, maka Allah pun bertanya, “Hai, ada apa engkau? Dia menjawab, “Ya Tuhan, dari Engkau kami keluar dan kepada Engkau kami sekarang kembali, Aku dibaca, tetapi aku tidak diamalkan. Aku dibaca, tetapi aku tidak di-amalkan."
Dari kedua perkataan sahabat yang utama dan alim ini kita dapat pengertian tafsir ayat yang tengah kita tafsirkan ini. Al-Qur'an bisa hilang saja dari muka bumi, meskipun dia telah ditulis, bahkan meskipun dia sekarang telah dapat dicetak berjuta-juta, dan meskipun telah banyak yang menghafalnya. Dia akan bisa hilang saja, tidak ada artinya lagi, cuma menjadi bacaan, namun dia tidak diamalkan dan tidak berjalan kuat kuasanya dalam masyarakat Islam. Dia akan terbang, mengaum suaranya, mendengung dalam mikrofon, dalam radio-radio dan televisi, tetapi isinya pulang ke langit.
Dan ini sudah mulai berlaku. Bukan sedikit anak-anak orang Islam dalam negeri Islam sendiri, yang tidak percaya lagi bahwa Al-Qur'an itu dapat mengatur hidup manusia, malahan ada yang menantangnya dan menganjurkan peraturan yang bertentangan dengan kehendak Al-Qur'an untuk orang Islam sendiri.
Dengan lebih tegas lagi dari sebuah sabda Nabi ﷺ yang dirawikan oleh Ibnu Majah dari dua orang sahabat Rasulullah ﷺ, yaitu
Abdullah bin Amr bin Ash dan Huzaifah bin al-Yaman demikian bunyinya,
“Akan mumuk hancur Islam ini sebagai mumuk hancurnya ragi kain yang telah usang, sehingga tidak diketahui orang lagi apa itu puasa, apa shalat, apa itu ibadah haji, dan apa itu zakat. Sehingga diterbangkan Kitab Allah pada suatu malam, sehingga tidak ada yang tinggal lagi di muka bumi barang satu ayat, sehingga tinggallah segolongan manusia, yaitu orang-orang tua yang telah nyanyuk dan gaek-gaek yang telah lemah, yang berkata, “Kami dapati bapak-bapak kami dahulu mengucapkan kalimat ini “La Ilaaha lllallaah!" Dan orang-orang tua itu pun tidak pula tahu lagi apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, dan apa itu sedekah (zakat)."
Maka tersebutlah pada ujung hadits itu bahwa salah seorang pembawa sanad hadits ini bernama Shilat bin Zufar al-Abasyi, bertanya kepada Hudzaifah, “Apa gunanya Laa Ilaha HlAllah kalau mereka tak tahu lagi apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, dan apa itu zakat? Sampai tiga kali Hudzaifah mengulang-ulang hadits itu dan sampai tiga kali Shilat bin Zufar bertanya, apakah akan gunanya lagi kalau mereka tidak tahu lagi rukun atau tiang-tiang yang pokok Islam itu? Akhirnya Hudzaifah menjawab: “Selama La Ilaha HlAllah masih ada, masih juga ada harapan mereka akan masuk ke dalam surga."
Dan menurut satu riwayat pula dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa pada suatu hari keluar Nabi Muhammad ﷺ dari rumahnya, sedang kepala beliau diikat karena beliau sakit kepala. Beliau senyum sedikit, lalu beliau naik ke mimbar, beliau berpidato, dimulainya dengan memuji Allah dan seterusnya lalu beliau berkata,
“Wahai manusiai Apakah kitab-kitab yang kalian tulis ini? Adakah lagi kitab yang lebih daripada Kitab Allah.? Sungguhnya mungkinlah terjadi Tuhan Allah murka karena kitab-Nya, sehingga tidak Dia biarkan, baik secarik kertas yang di sana dia tertulis, ataupun hati yang menghafalkan, semuanya akan ditarik Tuhan padanya."
Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana dengan orang beriman laki-laki dan beriman pe-rempuan di waktu itu? Beliau menjawab, “Barangsiapa yang masih dikehendaki baik oleh Allah, tinggallah dalam hatinya kalimah Laa llaha Wallah." (Hadits ini dirawikan oleh ats-Tsa'alabi dan al-Ghaznawi). Demikianlah kita salinkan dari kata sahabat-sahabat Rasulullah dan dari sabda Rasulullah ﷺ sendiri berkenaan dengan peringatan beliau bahwa Al-Qur'an bisa hilang mengirab dari muka bumi ini, atau tinggal tulisannya, tinggal suaranya, namun isinya telah terbang ke tempat asalnya.
Dalam hadits-hadits sabda Rasulullah itu masih dibukakan harapan. Yaitu selama ke-yakinan Laa Ilahalllallah masih tersisa,harapan akan timbul kembali masih ada. Dalam zaman modern sekarang ini, ketika tafsir ini ditulis terasa betapa besar usaha musuh-musuh Islam menghapuskan Al-Qur'an sehingga yang tinggal hanya bacaannya saja, dan isinya biarlah terbang ke langit
Dalam ancaman bahaya-bahaya yang gelap itu masih tampak titik-titik terang. Pertama ialah ayat lanjutan,
Ayat 87
“Kecuali rahmat dari Tuhan engkau"
Yang akan melepaskan kita dari bahaya terbangnya Al-Qur'an dari muka bumi itu ialah rahmat Allah saja, lain tidak. Di dalam hadits-hadits yang telah kita salinkan di atas tadi tampak tercigin salah satu dari rahmat itu, yaitu masih kekalnya kalimat Laa llaha Illallah. Tegasnya pokok kepercayaan kepada Keesaan Ilahi masih ada tersisa di hati setengah orang. Kalau itu masih ada maka jalan buat bangkit masih lebar terbuka. Tidak ada satu kekuatan yang dapat menghapuskan kepercayaan kepada keesaan Allah di permukaan bumi ini.
"Sesungguhnya kanunia-Nya atas engkau adalah besar."
Karunia Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ sangatl besar. Dalam hanya seperempat abad saja, seluruh Tanah Arab telah dapat dialiri oleh ajarannya dan dalam setengah abad telah meliputi timur dan barat, dan ajaran itu kian lama kian tersebar di muka bumi ini.
Berkata az-Zamakhsyari di dalam tafsi-nya, “ini adalah satu karunia dari Allah dan pengharapan bahwa Al-Qur'an akan tetap terpelihara, sesudah karunia pertama dengan turunnya dan terjaganya. Maka menjadi ke-wajibanlah atas orang-orang yang berilmu supaya jangan dia lengah dalam mengingat karunia-karunia Allah ini dan selalulah hendaknya dia mensyukuri kedua karunia itu. Yaitu karunia pertama karena Al-Qur'an dapat dipelihara terus sebagai ilmu dan mantap dalam dada, kedua dia pun tidak hilang dan terpelihara terus-menerus. Itulah sebabnya maka Allah berkata di ujung ayat bahwa karunianya kepada engkau adalah amat besar; karunia karena dia diwahyukan dan Allah langsung mengajarnya dan dia termasuk orang yang dipilih buat menerima risalah.
Setelah saya baca beberapa tafsir dalam membincangkan ayat ini, agak banyaklah al-Qurthubi menonjolkan bahwa Al-Qur'an bisa hilang atau terbang ke langit, atau tinggal orang-orang tua saja yang hanya tahu kalimat Laa llaha Mallah sedang puasa dan shalat, zakat dan haji, mereka tidak tahu lagi.
Az-Zamakhsyari ataupun Ibnu Katsir ataupun ar-Razi dan ath-Thabari tidak menafsirkan sampai demikian. Maka teringatlah saya bahwa al-Qurthubi menulis tafsirnya setelah dia mengalami pahit-getirnya terusir kaum Muslimin dan Andalusia (Spanyol). Malahan dapat kita baca keluhannya dalam tafsirnya moga-moga kembalilah tanah airnya kota Qurthuban (Cordova) ke tangan kaum Muslimin. Dengan demikian terbukti bahwa tafsir-nya dikarangnya di negeri ke-diamannya yang baru. Niscaya tidak akan bersua keterangan-keterangan sebagai yang dibawakan al-Qurthubi itu pada tafsiran az-Zamakhsyari, atau ar-Razi, atau ath-Thabari, karena mereka itu semuanya berdiam di tanah Islam sebelah timur, malahan az-Zamakhsyari mengarangnya di Mekah.
Setelah kita perbandingkan tafsiran itu semuanya dan kita perhatikan dengan tekun Tafsir ai-Qurthubi dan dipertautkan dengan kegiatan Kristen dan Yahudi (Zionis) di abad-abad terakhir ini, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa agama Islam dapat saja hilang mengirab di satu bagian dunia ini tetapi tetap kekal di tempat yang lain. Dan Nabi pun memperingatkan pula bahwa perjuangan manusia Muslim dalam mempertahankan agamanya tetap akan ada, sampai hari Kiamat,
“Dari al-Mughirab bin Sw'bah (moga-moga Allah meridhainya), dari Nabi ﷺ bahwa Nabi bersabda, “Senantiasa akan tetap ada dari umatku, suatu umat yang tampil ke muka dengan membawa kebenaran sampai datang ketentuan
Allah, namun mereka tetap menyatakan dirinya." (HR Bukhari dan Muslim)
Dan sabda Rasulullah ﷺ lagi,
“Dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan (moga-moga Allah meridhainya) berkata dia, “Aku pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda, “Akan senantiasa ada dari umatku yang tegak dengan perintah Allah. Tidak akan membinasakan kepada mereka orang-orang yang merintangi mereka dan tidak pula orang-orang yang menghalangi mereka, sampai datang ketentuan Allah, namun mereka tetap demikian." (HR Bukhari Muslim)
Artinya bahwa dalam usaha musuh-musuh Islam hendak menghabiskan pengaruh Islam itu, Rasulullah ﷺ berjanji bahwa dalam kalangan umatnya sendiri pasti akan tetap timbul orang-orang yang tampil ke muka medan perjuangan mempertahankan agama Islam atau menyebarkannya dengan tidak mengenal mundur. Betapapun mereka dirintangi dan dihalangi namun mereka berjuang.
Kita lihat sendiri perjalanan sejarah. Mula-mula Al-Qur'an itu tidak terkumpul menjadi satu kitab (mushaf). Tiba-tiba timbullah prakarsa dari Sayyidina Abu Bakar, lalu terkumpul surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur'an yang berserak. Setelah beliau wafat naskah itu tersimpan di tangan penggantinya, Sayyidina Umar. Setelah wafat Sayyidina Umar lalu disimpan oleh anak perempuan beliau dan istri pula dari Rasulullah saw, yaitu Ummil Mukminin (ibu orang yang beriman) Hafshah. Kemudian mushaf itu disalin dan diperbanyak atas perintah Sayyidina Usman. Maka dimin-talah naskah yang satu itu kepada Hafshah dan diperbanyak. Itulah yang kemudian disalin dan disalin lagi, sampai di zaman modern dicetak dan tersebar di muka bumi ini. Sampai di situ tangan manusia turut menentukan apa yang dikehendaki oleh Allah, ataupun tangan manusia diambil oleh Allah menyempurnakan kehendak-Nya memelihara Al-Qur'an.
Demikian pulalah halnya dalam memperjuangkan agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi kita Muhammad ﷺ ini. Betapa hebat orang mencoba menghabiskannya dan menghapuskannya dari muka bumi, bahkan di dalam surah al-Baqarah ayat 120 dijelaskan bahwa orang Yahudi dan orang Nasrani selamanya tidaklah akan merasa rela sebelum Kaum Muslimin mengikut agama mereka. Dan di surah al-Baraqah ayat 105 pun diisyaratkan Allah kepada orang-orang yang beriman bahwa Ahlul Kitab itu bersarna musyrikin tidaklah akan bersenang hati kalau keadaan kaum Muslimin jadi baik. Malahan yang mereka sangat senangi, menurut ayat 109, ialah kalau Muslimin sesudah beriman kembali jadi kafir.
Maka datanglah sabda Rasulullah yang dikemukakan oleh dua orang sahabat terkemuka ini, al-Mughirah bin Syu'bah dan Mu'awiyah bin Abu Sufyan, bahwa sampai saat terakhir akan tetap ada di kalangan umat Muhammad ini suatu umat yang menampilkan diri ke muka dengan tidak menunggu-nunggu orang lain buat membela dan menegakkan Islam.
Jangan ditunggu orang lain, biarlah kita, saya dan engkau, yang menjadi umat pejuang itu. Jangan lagi menunggu-nunggu dan mengharapkan bahwa pejuang itu akan datang dari tempat lain.
TANTANGAN
Ayat 88
“Katakanlah, ‘Jika pun berkumpul manusia dan jin buat mendatangkan yang serupa dengan Al-Qur'an ini tidaklah mereka akan sanggup membuat yang sepertinya."
Ayat ini adalah satu tantangan kepada manusia dan juga jin. Al-Qur'an adalah kalam Allah. Manusia tidak akan sanggup menirunya atau membuat tandingannya.
Orang-orang Quraisy terkenal fasih berkata-kata, halus perucapan mereka. Tetapi mereka tidak akan sanggup menyusun kata seperti wahyu yang diturunkan Allah kepada Muhammad ﷺ ini,
“Walaupun adalah yang sebagian kepada yang sebagian datang membantu."
Orang seorang tidak akan sanggup membuat atau menyusun kata seperti wahyu Ilahi ini, baik manusia ataupun jin. Sebab Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan kalam manusia, bahkan bukan kalam Muhammad sendiri. Percakapan Muhammad sendiri yang di luar lingkungan wahyu akan kembali seperti percakapan manusia biasa pula. Dan bertambah tidak akan sanggup walaupun sebagian menolong yang lain, bantu-membantu bergotong royong, dipanggil ahli-ahli bahasa dari mana-mana. Itu pun bertambah tidak bisa. Sebab mereka akan bertengkar mengatakan bahwa kalimat yang dipilihnyalah yang lebih halus. Kesudahannya dipakailah pungutan suara, lalu dimenangkan suara yang terbanyak, atau suara yang mendapat sokongan dari belakang, dari pihak yang berkuasa, sebagaimana terjadi dengan consili-consiliyang diadakan dalam kalangan pemeluk Agama Kristen!
Ayat 89
“Dan sesungguhnya telah Kami ulang-ulangkan untuk manusia di dalam Al-Qur'an ini dari berbagai macam perumpamaan"
Artinya, berbagai macamlah Allah membuat perumpamaan dan perbandingan di dalam Al-Qur'an untuk manusia ini. Ada ayat-ayat atau tanda-tanda untuk mengisyaratkan kebesaran dan kekuasaan Allah dan bahwa Dia Mahakuasa sendiri-Nya tidak bersekutu dengan yang lain. Kadang-kadang dengan ibarat dan perumpamaan. Kadang-kadang dengan rayuan dan bujukan. Kadang-kadang dengan ancaman adzab dan siksa, Kadang-kadang dengan perintah dan larangan, kadang-kadang kisah-kisah orang yang ter-dahulu, betapa celaka orang yang menolak kebenaran, bagaimana bahagia orang yang mematuhi perintah Allah. Kadang-kadang dengan menjelaskan betapa hebat dahsyatnya hari kemudian atau hari Kiamat; yang di sana disediakan surga bagi siapa yang patuh dan neraka bagi yang tidak memedulikan,
“Tetapi engganlah kebanyakan manusia" menerima segala umpamaan dan pengafanan itu. Tidak ada yang mereka pedulikan,, “Melainkan kekafiran juga."
Tanda kasih sayang Allah maka dari segala pintu petunjuk wahyu itu dibawakan, dengan senyum dengan simpul. Dengan gertakan dan ancaman. Dengan bujukan dan rayuan. Tidak mereka acuhkan. Yang mereka perturutkan hanya kehendak hawa nafsu mereka jua. Bagaimana tidak akan celaka. Dan kalau celaka, siapa yang salah? Kalau bukan mereka?
Al-Mandawi berkata, “Sudah begitu jelas Allah mengatakan bahwa dengan segala jalan Allah telah memberikan tuntunan kepada mereka, namun mereka masih enggan juga, masih jugalah orang yang berpaham salah tentang hendak menyatakan bahwa segala nasib seseorang adalah atas kehendak Allah semata-mata? Dengan tidak ada ikhtiar pada dirinya sendiri? Kalau memang demikian halnya, guna apa Allah menyesali manusia sampai seperti tersebut di ayat ini?
Lalu sebagai lanjutan dari ayat ini di-uraikanlah beberapa tuntutan dari Kafir Quraisy kepada Nabi Muhammad ﷺ yang kata mereka kalau tuntutan itu dikabulkan mereka bersedia beriman. Tuntutan-tuntutan itu hanya membayangkan kegelapan pikiran atau dendam belaka. Yang misalnya dikabulkan sebuah pun tidak juga akan mengubah keku-furan mereka.