Ayat
Terjemahan Per Kata
ذَٰلِكَ
demikian/itu
مِمَّآ
dari apa
أَوۡحَىٰٓ
mewahyukan
إِلَيۡكَ
kepadamu
رَبُّكَ
Tuhanmu
مِنَ
dari/sebagian
ٱلۡحِكۡمَةِۗ
hikmah
وَلَا
dan jangan
تَجۡعَلۡ
kamu menjadikan
مَعَ
bersama/di samping
ٱللَّهِ
Allah
إِلَٰهًا
tuhan
ءَاخَرَ
lain
فَتُلۡقَىٰ
maka kamu dicampakkan
فِي
dalam
جَهَنَّمَ
neraka Jahannam
مَلُومٗا
tercela
مَّدۡحُورًا
terbuang
ذَٰلِكَ
demikian/itu
مِمَّآ
dari apa
أَوۡحَىٰٓ
mewahyukan
إِلَيۡكَ
kepadamu
رَبُّكَ
Tuhanmu
مِنَ
dari/sebagian
ٱلۡحِكۡمَةِۗ
hikmah
وَلَا
dan jangan
تَجۡعَلۡ
kamu menjadikan
مَعَ
bersama/di samping
ٱللَّهِ
Allah
إِلَٰهًا
tuhan
ءَاخَرَ
lain
فَتُلۡقَىٰ
maka kamu dicampakkan
فِي
dalam
جَهَنَّمَ
neraka Jahannam
مَلُومٗا
tercela
مَّدۡحُورًا
terbuang
Terjemahan
Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhan kepada engkau (Nabi Muhammad). Janganlah engkau menjadikan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan engkau dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi terusir (dari rahmat Allah).
Tafsir
(Itulah sebagian apa yang diwahyukan kepadamu) hai Muhammad (oleh Rabbmu yaitu berupa hikmah) pelajaran (Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan) artinya dijauhkan dari rahmat Allah.
Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah). Allah ﷻ berfirman, "Semua yang Kami perintahkan kepadamu, Muhammad, berupa akhlak-akhlak yang baik; dan semua yang Kami larang kamu mengerjakannya, berupa sifat-sifat yang tercela yang Kami wahyukan kepadamu, hendaklah kamu anjurkan kepada manusia." Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela. (Al-Isra: 39) Artinya, kelak kamu akan mencela dirimu sendiri; dan Allah serta semua makhluk akan mencelamu pula.
lagi dijauhkan (dari rahmat Allah). (Al-Isra: 39) Yakni dijauhkan dari semua kebaikan. Ibnu Abbas dan Qatadah mengatakan, yang dimaksud ialah diusir atau dijauhkan dari rahmat Allah. Khitab dalam ayat ini memang ditujukan kepada Rasulullah ﷺ, tetapi makna yang dimaksud ialah buat umatnya, mengingat Rasulullah ﷺ adalah seorang yang di-ma'sum (dipelihara) dari dosa."
Itulah sebagian hikmah, hukum-hukum yang mengandung kebenaran yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu, yakni Nabi Muhammad, melalui malaikat Jibril. Dan
janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan engkau dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela oleh
dirimu sendiri dan orang lain dan dijauhkan dari rahmat Allah. Setelah mengingatkan umat Islam agar tidak mengikuti perkataan
dan perbuatan yang tidak diketahui kebenarannya, pada ayat ini Allah
menjelaskan kesalahan kaum musyrik yang menyembah patung-patung sebagai perantara mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Allah
menyatakan, Maka apakah pantas, apa yang engkau katakan bahwa
Tuhanmu memilihkan anak-anak laki-laki untukmu dan Dia mengambil
anak-anak perempuan di antara para malaikat, yang menurut pandanganmu lebih rendah derajatnya daripada anak laki-laki' Sungguh, kamu
benar-benar mengucapkan kata yang besar dosanya, yaitu bahwa Tuhan
mempunyai anak dan para malaikat berjenis kelamin perempuan, sungguh perkataan itu adalah kebohongan yang nyata.
Pada ayat ini dijelaskan bahwa bimbingan Allah berupa perintah-Nya yang harus diikuti, dan semua larangan yang harus dijauhi, yang disebutkan dalam ayat-ayat yang lalu, apabila ditaati niscaya akan membimbing manusia kepada kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Sebab, semua itu adalah sebagian dari hikmah yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, yang berupa peraturan-peraturan agama.
Selanjutnya Allah ﷻ mengulangi kembali larangan mengadakan tuhan selain Allah. Pengulangan larangan mempersekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Allah, yang berarti perintah untuk beragama tauhid, menunjukkan kepada pengertian bahwa tauhid adalah inti dari semua agama samawi, dan sebagai titik tolak dan tujuan akhir dari segala macam urusan seluruh makhluk. Semua makhluk adalah milik Allah dan kepada-Nya pula semuanya akan kembali.
Di akhir ayat, Allah ﷻ menegaskan bahwa akibat yang akan dirasakan oleh kaum musyrikin ialah mereka dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela, baik celaan itu datang dari pihak lain, ataupun datang dari dirinya sendiri, serta dijauhkan dari rahmat Allah. Mereka tidak akan mendapat pertolongan dari siapapun.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KEJUJURAN BERNIAGA
Ayat 35
“Dan sempurnakanlah sukaran apabila kamu menyukai."
Al-kail kita artikan saja dengan sukatan. Menurut yang lazim di negeri Melayu, satu sukatan adalah empat gantang dan satu ke-tiding adalah sepuluh sukat. Tetapi, pemerintah Republik Indonesia melanjutkan pemerintahan Belanda yang lama tidak lagi memakai sukat dan gantang sebagai ukuran resmi, melainkan memakai liter."Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus." Dalam hal timbangan yang besar kita di zaman sekarang memakai kilogram. Maka ditegaskan di dalam ayat ini supaya seorang Mukmin hendaklah secara jujur menggunakan sukatan dan timbangan, jangan ada kecoh dan tipu sehingga ada gantang atau liter pembelian lain pula gantang atau liter penjual. Anak timbangan demikian pula jangan sampai merugikan.
“Itulah yang baik, dan itulah yang seelok-elok kesudahan."
Itulah yang baik Sebab, dengan begitu ada rasa tenteram pada kedua belah pihak, baik yang menjual ataupun yang membeli keuntungan yang didapati ialah dengan kejujuran. Dan kejujuran itulah inti kekayaan yang sejati, yang membawa kemakmuran. Ahli-ahli ekonomi modern pun sampai kepada kesimpulan bahwa yang sehat itu ialah yang tegak di atas kejujuran. Namun, uang hasil dari kecurangan adalah uang panas. Lekas dapat, lekas musnah. Seelok-elok kesudahan adalah kemakmuran yang merata itulah tujuan masyarakat yang dikehendaki Islam.
Dengan ayat ini dapatlah kita mengambil kesan bahwa memakai cupak dan gantang, sukat dan ketiding, liter dan kilogram adalah bagian yang terbesar dari kegiatan hidup kita. Negeri Mekah sendiri tempat mula ayat-ayat ini diturunkan didiami oleh orang-orang kaya yang hidup dari perniagaan, membawa barang dengan kafilah di musim panas ke Thaif untuk perhubungan ke selatan dan di musim dingin ke Syam untuk hubungan ke sebelah utara.
Nabi kita sendiri ﷺ adalah seorang saudagar yang menjalankan barang kepunyaan istrinya, Khadijah, dalam usianya 25 tahun, sampai janda kaya itu meminangnya karena terbukti jujur padahal waktu itu beliau belum menjadi rasul.
Maka banyaklah peringatan tentang perniagaan dengan kejujuran itu dalam Al-Qur'an. Cerita Nabi Syu'aib dengan kaumnya penduduk Madyan ditekankan kepada peringatan bagi kaum itu karena kecurangan mereka pada sukatan dan timbangan hingga negeri mereka celaka. Dan sebuah surah yang khas menegur orang-orang yang disebut al-Muthaffifin, yang berarti orang-orang yang curang! “Yaitu orang-orang yang apabila menerima sukatan dari orang lain, mereka minta supaya dicukupkan. Tetapi apabila dia yang menyukat untuk orang lain, mereka rugikan orang."
Tegas di sini bahwa Islam menghendaki majunya iqtishad, ekonomi. Dan iqtishad atau ekonomi itu barulah mencapai yang sebenarnya kalau didasarkan atas kejujuran. Dan kejujuran itu mestilah timbul dari iman.
Menurut sabda Rasulullah saw, yang disampaikan oleh Hasan al-Bishri,
“Tidaklah sanggup seseorang laki-laki berbuat yang haram (curang), tetapi ditinggalkannya, tidak hanya karena takutnya ditinggalkannya, tidak lain hanya karena takutnya kepada Allah, melainkan pastilah akan diganti Allah segera di dunia ini sebelum akhirat, dengan yang lebih baik daripada keuntungan yang nyaris diharapkannya dari yang haram itu."
JANGAN HANYA MENURUT SAJA
Ayat 36
“Dan janganlah engkau menurut saja dalam hal yang tidak ada bagi engkau pengetahuan padanya."
Ayat ini termasuk sendi budi pekerti Muslim yang hendak menegakkan pribadinya. Kita dilarang Allah menurut saja."Nurut" menurut bahasa Jawa, dengan tidak menyelidiki sebab dan musabab.
Qatadah menafsirkan kelemahan pribadi Pak Turut itu demikian, “Jangan engkau katakan aku lihat, padahal engkau tak melihatnya. Aku dengar, padahal tak pernah engkau dengar. Saya tahu, padahal engkau tak tahu."
Di awal ayat ini tersebut wa laa taqfu. Kata-kata taqfu ialah dari mengikuti jejak. Ke mana orang pergi, ke sana awak pergi. Ke mana tujuan orang itu, awak tak tahu.
Di ujung ayat ditegaskan,
“Sesungguhnya pendenganan dan penglihatan dan hati, tiap-tiap satu daripadanya itu akan ditanya."
Terang di sini bahwa orang yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain, baik nenek moyangnya karena kebiasaan, adat-istiadat dan tradisi yang diterima, atau keputusan dan ta'ashshub pada golongan, membuat orang tidak lagi mempergunakan pertimbangan sendiri. Padahal, dia diberi Allah alat-alat penting agar dia berhubungan sendiri dengan alam yang di kelilingnya. Dia diberi hati, atau akal, atau pikiran untuk menimbang buruk dan baik. Sementara itu, pendengaran dan penglihatan adalah penghubung di antara diri, atau di antara hati sanubari kita dan segala sesuatu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan mudarat dan manfaatnya, atau buruk dan baiknya.
Dalam hidup beragama amat diperlukan penggunaan pendengaran, penglihatan, dan hati untuk menimbang. Sebab, kadang-kadang dipercampuradukkan orang amalan yang sunnah dengan yang bidah. Bahkan, kerap kejadian perkara yang sunnah tertimbun dan yang bidah muncul dan lebih masyhur. Maka wajiblah kita beragama dengan berilmu.
Memang, orang yang masih belum banyak peralatan tentu akan menurut saja kepada yang lebih pandai. Tetapi, sekadar pokok-pokok dalam agama mestilah dipelajari dan ditanyakan kepada yang lebih pandai.
“Bertanyalah kepada orang yang ahli peringatan kalau kamu tidak tidak mengetahui." (an-Nahl: 43)
JANGAN SOMBONG
Ayat 37
“Dan janganlah engkau benjolan di atas bumi dalam keadaan sombong."
Marahan kita artikan sombong, yaitu orang yang tak tahu letak dirinya. Bersifat angkuh karena dia telah lupa bahwa hidup manusra di dunia ini hanyalah semata-mata karena pinjaman Allah. Lupa bahwa asalnya hanya dari air mani yang bergetah, campuran air si laki-laki dengan air si perempuan. Dan kelak dia mati, dia akan kembali masuk tanah dan kembali jadi tanah, tinggal tulang-tulang yang berserak dan menakutkan. Lalu diperingatkan siapa sebenarnya diri manusia yang mencoba sombong itu."Sesungguhnya engkau sekali-kali tiada akan dapat membelah bumi."
Ini adalah kata kiasan yang tepat sekali buat orang yang sombong. Bagaimanapun se-seorang yang rantak tojak di atas bumi, menghardik, menghantam tanah, namun bumi itu tidaklah akan luak atau luka karena hantaman kakinya.
“Dan sekali-kali tidaklah akan sampai sebagai gunung tinggimu."
Ini pun suatu ungkapan yang tepat buat orang yang sombong. Dia menengadah ke langit laksana menantang puncak gunung dan melawan awan padahal puncak gunung itu akan melihat lucunya si kecil ini menantang dia, laksana senyumnya seorang manusia melihat seekor semut kecil mengangakan mulutnya hendak mematuk kakinya. Padahal, ditekan saja sedikit dengan ujung kuku, dia pun hancur lumat.
Oleh sebab itu, seorang Mukmin sejati ialah seorang yang tahu diri. Lalu diletakkannya diri itu pada tempat yang sebenarnya. Itulah yang disebut dalam kata Arab tawadhu. Atau tegaklah yang sederhana, ukurlah kekuatan diri, seperti hadits Rasulullah ﷺ,
“Tidaklah akan celaka seseorang yang mengerti kedudukan dirinya."
Ayat 38
“Tiap-tiap sesuatunya itu."
yaitu sejak dari mendurhakai ibu bapak, berkata kasar kepada keduanya, membuang -buang harta (mubazir), boros ataupun bakhil, mendekat kepada zina, membunuh anak karena takut miskin, mendekati harta anak yatim, kecurangan berniaga, melalaikan janji, menurut-nurut saja tanpa berpikir, dan sombong semuanya itu.
“Adalah kejahatannya kepada Allah, amat dibenci."
Sama sekali itu adalah budi yang rendah, akhlak tercela yang menunjukkan bahwa orang yang berperangai demikian belum dapat dimasukkan ke dalam hitungan orang yang beriman.
Akhirnya, sebagai pengunci peringatan-peringatan budi pekerti luhur yang terpuji atau budi rendah yang tercela, berfirmanlah Allah,
Ayat 39
“Demikian itulah setengah daripada hikmah yang diwahyukan oleh Tuhan engkau kepada engkau."
Artinya, itu barulah setengahnya, belum semua. Lalu diperingatkan lagi oleh Allah sumber sejati dari akhlak Muslim itu, yang dari-nyalah timbul segala cabang akhlak, yaitu Dan janganlah engkau jadikan beserta Allah Tuhan yang lain.
Ayat 22
“Ketika pedoman hidup ini dimulai menjelaskannya, dia telah dimulai lebih dahulu"
Dengan seruan itu juga, yaitu jangan dipersekutukan yang lain dengan Allah. Kalau Allah dipersekutukan, engkau akan tercela, engkau akan terhina. Sekarang demikian jugalah halnya. Kalau engkau persekutukan yang lain dengan Allah,
“Niscaya dilemparkan engkau ke dalam Jahannam, dalam keadaan tercela lagi terbuang."
Dengan ayat 22 dimulai dan dengan ayat 39 disudahi satu peringatan dan hikmah Allah yang akan dijadikan pegangan dalam hidup. Oleh sebab itu, pandangan seorang Muslim terhadap akhlak bukanlah dia semata-mata etika atau sopan santun pergaulan hidup, agar kita dapat hidup di tengah-tengah masyarakat. Lebih dari itu, dimulai dengan keinsafan atas tujuan hidup kita, yaitu menyatukan hadapan pikiran kepada Zat Yang Maha Esa dan Kuasa.
Dari sana kita memulai langkah. Itu yang kita jadikan pedoman dalam perjalanan. Itu pulalah tujuan kita yang terakhir.
Dia hanya satu tiada Tuhan melainkan Dia.