Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَا
dan jangan
تَمۡشِ
kamu berjalan
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
muka bumi ini
مَرَحًاۖ
sombong
إِنَّكَ
sesungguhnya kamu
لَن
kamu tidak
تَخۡرِقَ
dapat menembus
ٱلۡأَرۡضَ
bumi
وَلَن
dan kamu tidak akan
تَبۡلُغَ
sampai
ٱلۡجِبَالَ
gunung
طُولٗا
panjang/tinggi
وَلَا
dan jangan
تَمۡشِ
kamu berjalan
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
muka bumi ini
مَرَحًاۖ
sombong
إِنَّكَ
sesungguhnya kamu
لَن
kamu tidak
تَخۡرِقَ
dapat menembus
ٱلۡأَرۡضَ
bumi
وَلَن
dan kamu tidak akan
تَبۡلُغَ
sampai
ٱلۡجِبَالَ
gunung
طُولٗا
panjang/tinggi
Terjemahan
Janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.
Tafsir
(Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong) artinya berjalan dengan sombong dan takabur (karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi) melubanginya hingga sampai batas akhir bumi dengan ketakaburanmu itu (dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung) maknanya bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat mencapai hal tersebut, mengapa kamu bersikap sombong?.
Tafsir Surat Al-Isra: 37-38
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi, dari sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua kejahatannya itu adalah amat dibenci di sisi Tuhanmu. Allah ﷻ melarang hamba-hamba-Nya bersikap angkuh dan sombong dalam berjalan. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong. (Al-Isra: 37) Yakni dengan langkah-langkah yang angkuh seperti langkahnya orang-orang 'yang sewenang-wenang. karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi. (Al-Isra: 37) Maksudnya, dengan langkahmu yang demikian itu kamu tidak akan dapat menembus bumi, menurut Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir menafsirkan demikian berdasarkan syahid dari ucapan seorang penyair (yaitu Ru-bah ibnul Ajjaj): dan suatu tempat yang jauh di daerah pedalaman, tiada suatu jalan pun padanya yang dapat di tempuh. Firman Allah ﷻ: dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. (Al-Isra: 37) Yakni dengan langkahmu yang angkuh dan sifatmu yang besar diri itu kamu tidak akan sampai setinggi gunung, bahkan orang yang berlaku demikian akan mendapat balasan yang sebaliknya.
Seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih: Dahulu kala di kalangan orang-orang sebelum kalian terdapat seorang lelaki yang sedang berjalan dengan langkah-langkah yang angkuh seraya memakai dua lapis baju burdahnya, tiba-tiba ia ditelan oleh bumi, dan ia amblas ke dalam bumi sampai hari kiamat. Demikian pula dalam firman Allah ﷻ tentang Qarun, bahwa pada suatu hari Qarun pergi menemui kaumnya dengan memakai semua perhiasan kebesarannya lalu Allah ﷻ membenamkan Qarun dan rumahnya serta harta bendanya ke dalam bumi. Di dalam sebuah hadis disebutkan: Barang siapa yang berendah diri karena Allah.
Allah pasti meninggikannya, sedangkan dia merasa hina di matanya sendiri dan besar di mata orang lain. Dan barang siapa yang sombong, maka Allah akan merendahkannya, sedangkan dia merasa besar diri menurut dirinya, tetapi hina di mata orang lain, sehingga ia lebih dibenci oleh mereka daripada anjing dan babi. Abu Bakar ibnu Abud Dunia di dalam kitabnya yang berjudul Al-Khumul wat Tawadu' mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ibrahim ibnu Kasir, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, dari Abu Bakar Al-Huzali yang mengatakan, "Ketika kami sedang bersama Al-Hasan, tiba-tiba lewatlah di hadapannya Ibnul Ahtam (yang dimaksud ialah Al-Mansur) dengan memakai jubah kain sutera yang sebagiannya dilapiskan pada sebagian yang lain, lalu bagian tengah jubahnya itu dibelah.
Dia berjalan dengan langkah yang angkuh. Saat itu Al-Hasan memandangnya dengan pandangan yang tajam, lalu berkatalah ia, 'Sombong benar orang ini, dia melangkah dengan langkah yang angkuh dan memalingkan mukanya seraya memandang ke arah dirinya. Orang, bodoh macam apakah orang yang memandangi dirinya memakai pakaian yang tidak pernah disyukurinya, yang dipakai bukan berdasarkan perintah dari Allah, dan yang tidak pernah menunaikan hak Allah yang ada padanya.
Demi Allah, jika seseorang dari mereka berjalan seperti cara jalan orang ini, maka dia bagaikan orang gila yang sedang berjalan; tiap anggota tubuhnya merasa enak, tetapi setan yang ada padanya mendapat laknat'." Ibnul Ahtam mendengar apa yang dikatakan oleh Al-Hasan itu, maka ia melangkah mundur dan meminta maaf kepada Al-Hasan. Al-Hasan berkata, "Janganlah kamu meminta maaf kepadaku, tetapi bertobatlah kepada Tuhanmu.
Tidakkah kamu pernah mendengar firman Allah ﷻ yang mengatakan: Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. (Al-Isra: 37) Al-Bukhturi (seorang ahli ibadah) pernah melihat seorang lelaki dari kalangan keluarga Ali yang sedang berjalan dengan langkah-langkah yang angkuh. Maka Al-Bukhturi berkata kepadanya, "Hai kamu, sesungguhnya orang yang menjadikanmu terhormat karenanya (maksudnya Ali r.a.) bukan seperti kamu cara jalannya." Maka sejak saat itu lelaki tersebut meninggalkan cara jalan seperti itu.
Ibnu Umar pernah melihat seorang lelaki berjalan dengan langkah yang angkuh, maka Ibnu Umar berkata, "Sesungguhnya setan itu mempunyai teman." Khalid ibnu Ma'dan pernah mengatakan, "Tinggalkanlah oleh kalian bersikap sombong dalam berjalan, karena sesungguhnya kaki itu merupakan tangan bagi seluruh tubuhnya." Kedua asar di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abud Dunia. Ia mengatakan pula: telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnu Hisyam Al-Bazzar, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Yahya, dari Sa'id, dari Muhsin yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Apabila umatku berjalan dengan langkah yang congkak dan mereka dilayani oleh orang-orang Persia dan Romawi, maka sebagian dari mereka akan menguasai sebagian yang lainnya.
Firman Allah ﷻ: Semua kejahatan itu adalah amat dibenci di sisi Tuhanmu. (Al-Isra: 38) Menurut orang yang membacanya sayyi-uhu yakni kejahatannya. Makna yang dimaksud menurutnya ialah bahwa semua apa yang telah Kami larang dimulai dari firman-Nya: Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan. (Al-Isra: 31) Surat Al-Isra sampai dengan ayat 38 ini memaparkan perbuatan-perbuatan dosa yang pelakunya akan dihukum karenanya dan perbuatan-perbuatan itu tidak disukai serta dibenci oleh Allah, Allah tidak meridainya.
Adapun menurut orang yang membacanya sayyi-atan, makna yang dimaksud ialah bahwa semua yang telah kami sebutkan mulai dari firman-Nya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. (Al-Isra: 23) sampai dengan ayat ini ialah bahwa semua kejahatan ini dibenci di sisi Allah. Demikianlah menurut analisis Ibnu Jarir."
Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong, untuk menampakkan kekuasaan dan kekuatanmu, karena sesungguhnya sekuat apa pun hentakan kakimu, kamu sekali-kali tidak dapat menembus
bumi dan setinggi apa pun kepalamu, sekali-kali kamu tidak akan sampai
setinggi gunung. Sesungguhnya kamu adalah makhluk yang lemah dan
rendah di hadapan Allah, kamu tidak memiliki kekuatan dan kemuliaan, melainkan apa yang dianugerahkan oleh-Nya. Semua itu, yakni keburukan-keburukan yang disebutkan dalam ayatayat sebelum ini, kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu.
Allah melarang kaum Muslimin berjalan di muka bumi dengan sombong. Berjalan dengan sombong di muka bumi bukanlah sikap yang wajar, karena bagaimanapun kerasnya derap kaki yang dihentakkan di atas bumi, tidak akan menembus permukaannya dan bagaimanapun juga tingginya ia mengangkat kepalanya, tidaklah dapat melampaui tinggi gunung. Bahkan ditinjau dari segi ilmu jiwa, orang yang biasa berjalan dengan penuh kesombongan, berarti dalam jiwanya terdapat kelemahan. Ia merasa rendah diri, sehingga untuk menutupi kelemahan dirinya, ia berjalan dengan sombong dan berlagak dengan maksud menarik perhatian orang lain.
Allah ﷻ menegaskan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dapat menembus bumi dan menyamai tinggi gunung. Hal ini bertujuan agar kaum Muslimin menyadari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada diri mereka, bersikap rendah hati, dan tidak bersikap takabur. Sebab, sebagai manusia yang memiliki kemampuan terbatas, mereka tidak akan sanggup mencapai sesuatu di luar kemampuan dirinya.
Di dalam ayat ini terdapat juga celaan bagi orang-orang musyrik yang suka bermegah-megah, menyombongkan diri karena harta kekayaan dan menghambur-hamburkannya, suka bermabuk-mabukan, dan berzina.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KEJUJURAN BERNIAGA
Ayat 35
“Dan sempurnakanlah sukaran apabila kamu menyukai."
Al-kail kita artikan saja dengan sukatan. Menurut yang lazim di negeri Melayu, satu sukatan adalah empat gantang dan satu ke-tiding adalah sepuluh sukat. Tetapi, pemerintah Republik Indonesia melanjutkan pemerintahan Belanda yang lama tidak lagi memakai sukat dan gantang sebagai ukuran resmi, melainkan memakai liter."Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus." Dalam hal timbangan yang besar kita di zaman sekarang memakai kilogram. Maka ditegaskan di dalam ayat ini supaya seorang Mukmin hendaklah secara jujur menggunakan sukatan dan timbangan, jangan ada kecoh dan tipu sehingga ada gantang atau liter pembelian lain pula gantang atau liter penjual. Anak timbangan demikian pula jangan sampai merugikan.
“Itulah yang baik, dan itulah yang seelok-elok kesudahan."
Itulah yang baik Sebab, dengan begitu ada rasa tenteram pada kedua belah pihak, baik yang menjual ataupun yang membeli keuntungan yang didapati ialah dengan kejujuran. Dan kejujuran itulah inti kekayaan yang sejati, yang membawa kemakmuran. Ahli-ahli ekonomi modern pun sampai kepada kesimpulan bahwa yang sehat itu ialah yang tegak di atas kejujuran. Namun, uang hasil dari kecurangan adalah uang panas. Lekas dapat, lekas musnah. Seelok-elok kesudahan adalah kemakmuran yang merata itulah tujuan masyarakat yang dikehendaki Islam.
Dengan ayat ini dapatlah kita mengambil kesan bahwa memakai cupak dan gantang, sukat dan ketiding, liter dan kilogram adalah bagian yang terbesar dari kegiatan hidup kita. Negeri Mekah sendiri tempat mula ayat-ayat ini diturunkan didiami oleh orang-orang kaya yang hidup dari perniagaan, membawa barang dengan kafilah di musim panas ke Thaif untuk perhubungan ke selatan dan di musim dingin ke Syam untuk hubungan ke sebelah utara.
Nabi kita sendiri ﷺ adalah seorang saudagar yang menjalankan barang kepunyaan istrinya, Khadijah, dalam usianya 25 tahun, sampai janda kaya itu meminangnya karena terbukti jujur padahal waktu itu beliau belum menjadi rasul.
Maka banyaklah peringatan tentang perniagaan dengan kejujuran itu dalam Al-Qur'an. Cerita Nabi Syu'aib dengan kaumnya penduduk Madyan ditekankan kepada peringatan bagi kaum itu karena kecurangan mereka pada sukatan dan timbangan hingga negeri mereka celaka. Dan sebuah surah yang khas menegur orang-orang yang disebut al-Muthaffifin, yang berarti orang-orang yang curang! “Yaitu orang-orang yang apabila menerima sukatan dari orang lain, mereka minta supaya dicukupkan. Tetapi apabila dia yang menyukat untuk orang lain, mereka rugikan orang."
Tegas di sini bahwa Islam menghendaki majunya iqtishad, ekonomi. Dan iqtishad atau ekonomi itu barulah mencapai yang sebenarnya kalau didasarkan atas kejujuran. Dan kejujuran itu mestilah timbul dari iman.
Menurut sabda Rasulullah saw, yang disampaikan oleh Hasan al-Bishri,
“Tidaklah sanggup seseorang laki-laki berbuat yang haram (curang), tetapi ditinggalkannya, tidak hanya karena takutnya ditinggalkannya, tidak lain hanya karena takutnya kepada Allah, melainkan pastilah akan diganti Allah segera di dunia ini sebelum akhirat, dengan yang lebih baik daripada keuntungan yang nyaris diharapkannya dari yang haram itu."
JANGAN HANYA MENURUT SAJA
Ayat 36
“Dan janganlah engkau menurut saja dalam hal yang tidak ada bagi engkau pengetahuan padanya."
Ayat ini termasuk sendi budi pekerti Muslim yang hendak menegakkan pribadinya. Kita dilarang Allah menurut saja."Nurut" menurut bahasa Jawa, dengan tidak menyelidiki sebab dan musabab.
Qatadah menafsirkan kelemahan pribadi Pak Turut itu demikian, “Jangan engkau katakan aku lihat, padahal engkau tak melihatnya. Aku dengar, padahal tak pernah engkau dengar. Saya tahu, padahal engkau tak tahu."
Di awal ayat ini tersebut wa laa taqfu. Kata-kata taqfu ialah dari mengikuti jejak. Ke mana orang pergi, ke sana awak pergi. Ke mana tujuan orang itu, awak tak tahu.
Di ujung ayat ditegaskan,
“Sesungguhnya pendenganan dan penglihatan dan hati, tiap-tiap satu daripadanya itu akan ditanya."
Terang di sini bahwa orang yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain, baik nenek moyangnya karena kebiasaan, adat-istiadat dan tradisi yang diterima, atau keputusan dan ta'ashshub pada golongan, membuat orang tidak lagi mempergunakan pertimbangan sendiri. Padahal, dia diberi Allah alat-alat penting agar dia berhubungan sendiri dengan alam yang di kelilingnya. Dia diberi hati, atau akal, atau pikiran untuk menimbang buruk dan baik. Sementara itu, pendengaran dan penglihatan adalah penghubung di antara diri, atau di antara hati sanubari kita dan segala sesuatu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan mudarat dan manfaatnya, atau buruk dan baiknya.
Dalam hidup beragama amat diperlukan penggunaan pendengaran, penglihatan, dan hati untuk menimbang. Sebab, kadang-kadang dipercampuradukkan orang amalan yang sunnah dengan yang bidah. Bahkan, kerap kejadian perkara yang sunnah tertimbun dan yang bidah muncul dan lebih masyhur. Maka wajiblah kita beragama dengan berilmu.
Memang, orang yang masih belum banyak peralatan tentu akan menurut saja kepada yang lebih pandai. Tetapi, sekadar pokok-pokok dalam agama mestilah dipelajari dan ditanyakan kepada yang lebih pandai.
“Bertanyalah kepada orang yang ahli peringatan kalau kamu tidak tidak mengetahui." (an-Nahl: 43)
JANGAN SOMBONG
Ayat 37
“Dan janganlah engkau benjolan di atas bumi dalam keadaan sombong."
Marahan kita artikan sombong, yaitu orang yang tak tahu letak dirinya. Bersifat angkuh karena dia telah lupa bahwa hidup manusra di dunia ini hanyalah semata-mata karena pinjaman Allah. Lupa bahwa asalnya hanya dari air mani yang bergetah, campuran air si laki-laki dengan air si perempuan. Dan kelak dia mati, dia akan kembali masuk tanah dan kembali jadi tanah, tinggal tulang-tulang yang berserak dan menakutkan. Lalu diperingatkan siapa sebenarnya diri manusia yang mencoba sombong itu."Sesungguhnya engkau sekali-kali tiada akan dapat membelah bumi."
Ini adalah kata kiasan yang tepat sekali buat orang yang sombong. Bagaimanapun se-seorang yang rantak tojak di atas bumi, menghardik, menghantam tanah, namun bumi itu tidaklah akan luak atau luka karena hantaman kakinya.
“Dan sekali-kali tidaklah akan sampai sebagai gunung tinggimu."
Ini pun suatu ungkapan yang tepat buat orang yang sombong. Dia menengadah ke langit laksana menantang puncak gunung dan melawan awan padahal puncak gunung itu akan melihat lucunya si kecil ini menantang dia, laksana senyumnya seorang manusia melihat seekor semut kecil mengangakan mulutnya hendak mematuk kakinya. Padahal, ditekan saja sedikit dengan ujung kuku, dia pun hancur lumat.
Oleh sebab itu, seorang Mukmin sejati ialah seorang yang tahu diri. Lalu diletakkannya diri itu pada tempat yang sebenarnya. Itulah yang disebut dalam kata Arab tawadhu. Atau tegaklah yang sederhana, ukurlah kekuatan diri, seperti hadits Rasulullah ﷺ,
“Tidaklah akan celaka seseorang yang mengerti kedudukan dirinya."
Ayat 38
“Tiap-tiap sesuatunya itu."
yaitu sejak dari mendurhakai ibu bapak, berkata kasar kepada keduanya, membuang -buang harta (mubazir), boros ataupun bakhil, mendekat kepada zina, membunuh anak karena takut miskin, mendekati harta anak yatim, kecurangan berniaga, melalaikan janji, menurut-nurut saja tanpa berpikir, dan sombong semuanya itu.
“Adalah kejahatannya kepada Allah, amat dibenci."
Sama sekali itu adalah budi yang rendah, akhlak tercela yang menunjukkan bahwa orang yang berperangai demikian belum dapat dimasukkan ke dalam hitungan orang yang beriman.
Akhirnya, sebagai pengunci peringatan-peringatan budi pekerti luhur yang terpuji atau budi rendah yang tercela, berfirmanlah Allah,
Ayat 39
“Demikian itulah setengah daripada hikmah yang diwahyukan oleh Tuhan engkau kepada engkau."
Artinya, itu barulah setengahnya, belum semua. Lalu diperingatkan lagi oleh Allah sumber sejati dari akhlak Muslim itu, yang dari-nyalah timbul segala cabang akhlak, yaitu Dan janganlah engkau jadikan beserta Allah Tuhan yang lain.
Ayat 22
“Ketika pedoman hidup ini dimulai menjelaskannya, dia telah dimulai lebih dahulu"
Dengan seruan itu juga, yaitu jangan dipersekutukan yang lain dengan Allah. Kalau Allah dipersekutukan, engkau akan tercela, engkau akan terhina. Sekarang demikian jugalah halnya. Kalau engkau persekutukan yang lain dengan Allah,
“Niscaya dilemparkan engkau ke dalam Jahannam, dalam keadaan tercela lagi terbuang."
Dengan ayat 22 dimulai dan dengan ayat 39 disudahi satu peringatan dan hikmah Allah yang akan dijadikan pegangan dalam hidup. Oleh sebab itu, pandangan seorang Muslim terhadap akhlak bukanlah dia semata-mata etika atau sopan santun pergaulan hidup, agar kita dapat hidup di tengah-tengah masyarakat. Lebih dari itu, dimulai dengan keinsafan atas tujuan hidup kita, yaitu menyatukan hadapan pikiran kepada Zat Yang Maha Esa dan Kuasa.
Dari sana kita memulai langkah. Itu yang kita jadikan pedoman dalam perjalanan. Itu pulalah tujuan kita yang terakhir.
Dia hanya satu tiada Tuhan melainkan Dia.