Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلۡمُبَذِّرِينَ
orang-orang yang boros
كَانُوٓاْ
mereka adalah
إِخۡوَٰنَ
teman
ٱلشَّيَٰطِينِۖ
syaitan
وَكَانَ
dan adalah
ٱلشَّيۡطَٰنُ
syaitan
لِرَبِّهِۦ
kepada Tuhannya
كَفُورٗا
ingkar
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلۡمُبَذِّرِينَ
orang-orang yang boros
كَانُوٓاْ
mereka adalah
إِخۡوَٰنَ
teman
ٱلشَّيَٰطِينِۖ
syaitan
وَكَانَ
dan adalah
ٱلشَّيۡطَٰنُ
syaitan
لِرَبِّهِۦ
kepada Tuhannya
كَفُورٗا
ingkar
Terjemahan
Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.
Tafsir
(Sesungguhnya orang-orang pemboros itu adalah saudara-saudara setan) artinya berjalan pada jalan setan (dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya) sangat ingkar kepada nikmat-nikmat yang dilimpahkan oleh-Nya, maka demikian pula saudara setan yaitu orang yang pemboros.
Tafsir Surat Al-Isra: 26-28
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan kepada orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kalian menghambur-hamburkan (harta kalian) secara boros. Sesungguhnya pemhoros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar terhadap Tuhannya. Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas. Setelah disebutkan tentang berbakti kepada kedua orang tua, maka diiringilah dengan sebutan tentang berbuat kebaikan kepada kaum kerabat dan bersilaturahmi.
Di dalam sebuah hadis disebutkan: ". (berbuat baiklah kamu) kepada ibumu, dan bapakmu, kemudian orang yang terdekat (kekerabatannya) denganmu, lalu orang yang dekat denganmu. Menurut riwayat yang lain disebutkan, "Kemudian kerabat yang terdekat (denganmu), lalu kerabat dekat." Di dalam hadis lain disebutkan pula: Barang siapa yang menyukai diluaskan rezekinya dan diperpanjang usianya, hendaklah ia bersilaturahmi. Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya At-Taimi, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Marzuq, dari Atiyyah, dari ibnu Sa'id yang mengatakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan (yaitu firman-Nya): Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya. (Al-Isra: 26) Maka Rasulullah ﷺ memanggil Siti Fatimah (putrinya), lalu beliau memberinya tanah Fadak.
Kemudian Al-Bazzar mengatakan, "Kami tidak mengetahui ada seseorang yang meriwayatkan hadis ini dari Fudail ibnu Marzuq selain Abu Yahya At-Taimi dan Humaid ibnu Hammad ibnul Khawwar." Dan hadis ini mengandung musykil sekiranya sanadnya berpredikat sahih, karena ayat ini Makiyyah; sedangkan Fadak baru dimenangkan bersamaan dengan kemenangan atas tanah Khaibar, yaitu pada tahun ketujuh hijrah. Maka mana mungkin pendapat tersebut sealur dengan kenyataan sejarah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hadis ini berpredikat munkar, dan yang lebih tepat ialah bila dikatakan bahwa hadis ini merupakan buatan golongan kaum Rafidah (salah satu sekte dari kaum Syi'ah). Pembahasan mengenai orang-orang miskin dan ibnu sabil telah kami sebutkan secara panjang lebar di dalam tafsir surat Bara-ah (At-Taubah), sehingga tidak perlu diulangi lagi dalam tafsir surat ini. Firman Allah ﷻ: dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (harta kalian) secara boros. (Al-Isra: 26) Setelah perintah untuk memberi nafkah, Allah melarang bersikap berlebih-lebihan dalam memberi nafkah (membelanjakan harta), tetapi yang dianjurkan ialah pertengahan.
Seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat yang lain melalui firman-Nya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir. (Al-Furqan: 67), hingga akhir ayat. Kemudian Allah ﷻ berfirman untuk menanamkan rasa antipati terhadap sikap pemborosan dan berlebih-lebihan: Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan. (Al-Isra: 27) Yakni tindakan mereka serupa dengan sepak terjang setan, ibnu Mas'ud mengatakan bahwa istilah tab'zir berarti membelanjakan harta bukan pada jalan yang benar. Hal yang sama dikatakan oleh ibnu Abbas. Mujahid mengatakan, "Seandainya seseorang membelanjakan semua hartanya dalam kebenaran, dia bukanlah termasuk orang yang boros. Dan seandainya seseorang membelanjakan satu mud bukan pada jalan yang benar, dia termasuk seorang pemboros." Qatadah mengatakan bahwa tab'zir ialah membelanjakan harta di jalan maksiat kepada Allah ﷻ, pada jalan yang tidak benar, serta untuk kerusakan.
". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Khalid ibnu Yazid, dari Said ibnu Abu Hilal, dari Anas ibnu Malik r.a. yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari Bani Tamim datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah orang yang berharta banyak, beristri dan beranak serta mempunyai pelayan, maka berilah saya petunjuk bagaimana cara yang seharusnya dalam memberi nafkah." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Kamu keluarkan zakat harta bendamu bila telah wajib zakat, karena sesungguhnya zakat menyucikan hartamu dan dirimu; lalu berilah, kaum kerabatmu, dan jangan lupa akan hak orang yang meminta, tetangga, dan orang miskin.
Lelaki itu bertanya, "Wahai Rasulullah, persingkatlah ungkapanmu kepadaku.'" Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (Al-Isra: 26) Maka lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, apakah dianggap cukup bagiku bila aku menunaikan zakat kepada pesuruh ('amil)mu, dan aku terbebas dari zakat di hadapan Allah dan Rasul-Nya sesudah itu?" Rasulullah ﷺ menjawab: Ya. Apabila kamu menunaikan zakatmu kepada pesuruhku, maka sesungguhnya kamu telah terbebas dari kewajiban zakat dan kamu mendapatkan pahalanya. Dan sesungguhnya yang berdosa itu adalah orang yang menyelewengkan Harta zakat. Firman Allah ﷻ: Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan. (Al-Isra: 27) Yaitu saudara setan dalam pemborosan, melakukan tindakan bodoh, dan tidak giat kepada Allah serta berbuat maksiat kepada-Nya.
Dalam firman selanjurnya disebutkan: dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Al-Isra: 27) Dikatakan demikian karena dia ingkar kepada nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya dan tidak mau mengerjakan amal ketaatan kepada-Nya, bahkan membalasnya dengan perbuatan durhaka dan melanggar perintah-Nya. Firman Allah ﷻ: Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu. (Al-Isra: 28), hingga akhir ayat. Dengan kata lain, apabila ada yang meminta kepadamu dari kalangan kaum kerabatmu dan orang-orang yang Kami anjurkan kamu agar memberi mereka, sedangkan kamu dalam keadaan tidak mempunyai sesuatu pun yang kamu berikan kepada mereka, lalu kamu berpaling dari mereka karenanya.
maka katakanlah kepada mereka ucapan yang.pantas. (Al-Isra: 28) Maksudnya, berkatalah kepada mereka dengan kata-kata yang lemah lembut dan ramah; serta janjikanlah kepada mereka bahwa apabila kamu mendapat rezeki dari Allah, maka kamu akan menghubungi mereka. Demikianlah menurut tafsir yang dikemukakan oleh Mujahid, Ikrimah, Said ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang sehubungan dengan makna firman-Nya: maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas. (Al-Isra: 28) Bahwa yang dimaksud dengan qaulan maisuran ialah perkataan yang mengandung janji dan harapan."
Allah mencela perbuatan membelanjakan harta secara boros, dengan menyatakan, Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah
saudara setan, mereka berbuat boros dalam membelanjakan harta karena dorongan setan, oleh karena itu, perilaku boros termasuk sifat
setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada nikmat dan anugerah
Tuhannya. Kemudian kepada orang yang karena suatu keadaan tidak dapat
memberi bantuan kepada orang yang memerlukan, ayat ini memberi
tuntunan; dan jika engkau benar-benar berpaling dari mereka, tidak dapat
memberikan bantuan kepada keluarga dekat, orang miskin atau orang
yang sedang dalam perjalanan, bukan karena engkau enggan membantu
tetapi karena keadaanmu pada waktu itu tidak memungkinkan memberi bantuan kepada mereka, dalam arti materi atau sebab-sebab lainnya, maka engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, sehingga suatu waktu engkau dapat
membantu mereka jika keadaanmu memungkinkan. Dalam keadaan
ini, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas, baik, dan memberi harapan, bukan penolakan dengan kata-kata yang kasar.
Kemudian Allah ﷻ menyatakan bahwa para pemboros adalah saudara setan. Ungkapan serupa ini biasa dipergunakan oleh orang-orang Arab. Orang yang membiasakan diri mengikuti peraturan suatu kaum atau mengikuti jejak langkahnya, disebut saudara kaum itu. Jadi orang-orang yang memboroskan hartanya berarti orang-orang yang mengikuti langkah setan. Sedangkan yang dimaksud pemboros dalam ayat ini ialah orang-orang yang menghambur-hamburkan harta bendanya dalam perbuatan maksiat yang tentunya di luar perintah Allah. Orang-orang yang serupa inilah yang disebut kawan-kawan setan. Di dunia mereka tergoda oleh setan, dan di akhirat mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Jahanam.
Allah ﷻ berfirman:
Dan barang siapa berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (Al-Qur'an), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya. (az-Zukhruf/43: 36)
Dan firman Allah swt:
(Diperintahkan kepada malaikat), "Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan apa yang dahulu mereka sembah. (ash-shaffat/37: 22)
Di akhir ayat, dijelaskan bahwa setan sangat ingkar kepada Tuhannya, maksudnya sangat ingkar kepada nikmat Allah yang diberikan kepadanya, dan tidak mau mensyukurinya. Bahkan, setan membangkang tidak mau menaati perintah Allah, dan menggoda manusia agar berbuat maksiat.
Al-Karkhi menjelaskan keadaan orang yang diberi kemuliaan dan harta berlimpah. Apabila orang itu memanfaatkan harta dan kemuliaan itu di luar batas-batas yang diridai Allah, maka dia telah mengingkari nikmat Allah. Orang yang berbuat seperti itu, baik sifat ataupun perbuatannya, dapat disamakan dengan perbuatan setan.
Ayat ini diturunkan Allah dalam rangka menjelaskan perbuatan orang-orang Jahiliah. Telah menjadi kebiasaan orang-orang Arab menumpuk harta yang mereka peroleh dari rampasan perang, perampokan, dan penyamunan. Harta itu kemudian mereka gunakan untuk berfoya-foya supaya mendapat kemasyhuran. Orang-orang musyrik Quraisy pun menggunakan harta mereka untuk menghalangi penyebaran agama Islam, melemahkan pemeluk-pemeluknya, dan membantu musuh-musuh Islam. Ayat itu turun untuk menyatakan betapa jeleknya usaha mereka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Selanjutnya Allah berfirman,
Ayat 25
“Tuhan kamu lebih tahu apa yang ada dalam dirimu."
Said bin )ubair masih saja menghubungkan di antara pangkal ayat 25 ini dengan ayat 24 sebelumnya, yaitu si anak diwajibkan ber-khidmat dan berbakti kepada dua orang ibu bapak. Tak boleh mengatakan uff, tak boleh mereka dibentak. Tetapi bukan sedikit pula si anak merekan perasaan. Meskipun sudah dihormati demikian rupa, orangtua masih saja bersikap keras, atau ada sikapnya yang sangat tidak disetujui si anak sehingga si anak betul-betul membarut dadanya, menahan hati.
Keadaan benar-benar sudah terbalik. Kalau dahulu ayah-bunda yang mengasuh anak yang masih kecil, yang kencing dalam celana, kemudian datang masanya si anaklah yang kuat sedang ayah atau ibu sudah seperti anak kecil, menangis, merajuk kalau tidak kena di hatinya, lebih-lebih kalau dia pikun, telah habis segala daya akalnya karena tuanya. Dia kembali seperti anak kecil. Lantaran itu timbullah rasa jengkel dalam hati anak. Maka datanglah ayat yang tengah kita tafsirkan bahwa Allah mengetahui rasa mendongkol yang ada dalam hatimu itu.
Lalu datanglah ujung ayat,
“Jika adalah kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia terhadap orang-orang yang bertobat adalah sangat memberi ampun."
Dengan dilengkapi oleh ujung ayat ini teranglah bahwa rasa jengkel yang terasa dalam hati dari anak kepada kedua orang tuanya karena perangainya yang sudah keanak-anakan itu diketahui juga oleh Allah. Namun, perasaan itu diberi ampun oleh Allah, dimaafkan, asal saja si anak seorang yang tetap saleh, tetap beribadah kepada Allah, dan selalu ingat bahwa dalam perjalanan hidupnya ini dia akan kembali kepada Allah jua. Itulah yang disebut Awwaab. Artinya, orang yang selalu sadar dan ingat bahwa tujuan hidup ini ialah kembali kepada Allah. Maka menyerahlah kepada Allah, tawakallah kepada-Nya dan teruskanlah memelihara dan menyelenggarakan ibu bapak, atau salah seorang dari keduanya, dengan tetap mengingat Allah.
Ibnu Abbas mengartikan Al-Awwaab itu ialah orang yang selalu teliti menilik kealpaan diri, lalu ingat akan kesalahannya dan segera memohon ampun kepada Allah.
KAUM KELUARGA DAN FAKIR MISKIN
Ayat 26
“Dan berikanlah kepada keluarga yang karib akan ..., dan juga orang miskin dan anak penjalanan."
Di samping berbakti, berkhidmat, serta menanamkan kasih sayang, cinta, dan rahmat kepada kedua orangtua itu, hendaklah pula berikan kepada kaum keluarga yang karib itu akan haknya. Mereka berhak buat ditolong. Mereka berhak dibantu. Kaum kerabat, atau keluarga terdekat, bertali darah dengan kamu. Kamu hidup di tengah-tengah keluarga; saudara-saudaramu sendiri, yang seibu-sebapak atau yang seibu saja atau yang sebapak saja. Saudara-saudara laki-laki dan perempuan dari ayahmu yang disebut ammi dan ammati. Saudara-saudara laki-laki dan perempuan dari ibu, yang disebut khal dan khalat. Nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak ayah, dan lain lain. Anak-anak dari saudara laki-laki, anak-anak dari saudara perempuan, dan lain-lain. Kadang-kadang tidaklah sama pintu rezeki yang terbuka, sehingga ada yang berlebih-lebihan, ada yang berkecukupan, dan ada yang berkekurangan. Maka berhaklah keluarga itu mendapat bantuan dari kamu yang mampu sehingga pertalian darah yang telah memang ada dikuatkan lagi dengan pertalian cemas.
“Dan orang-orang miskin dan anak perjalanan". Orang yang serbakekurangan, yang hidup tidak berkecukupan, sewajarnyalah mereka dibantu sehingga tertimbunlah jurang yang dalam yang memisahkan antara si kaya dan si miskin."Anak perjalanan", yang disebut ibnus-sabil itu pun berhak mendapat bantuan kamu. Ibnus-sabil boleh diartikan orang yang berjalan meninggalkan kampung halaman dan rumah tangganya untuk maksud yang baik, misalnya menuntut ilmu atau mencari keluarganya yang telah lama hilang, lalu putus belanja di tengah jalan. Dan Ibnus-sabil boleh juga diartikan orang melarat (fakir miskin) yang sudah sangat tertahan hidupnya sehingga rumah tempat diam pun tak ada lagi. Tak ada harta, tak ada ﷺah ladang, habis rumah terjual, lalu membanjir ke kota-kota besar, disangka akan mendapat pekerjaan, tidurlah mereka di kaki-kaki lima toko orang.
Besar kemungkinan bahwa orang-orang gelandangan ini pun dapat dimasukkan dalam lingkungan ibnus-sabil. Tetapi bagaimana kepastiannya, Wallahu a'lam!
Tetapi datang lagi ujung ayat, sebagai kunci.
“Dan janganlah kamu boros ternlalu boros."
Kata boros kita pilih buat menjadi arti dari kalimat"mubazzir" atau “tabdzir Imam Syafi'i mengatakan bahwa mubazzir itu ialah membelanjakan harta tidak pada jalannya.
Imam Malik berkata bahwa mubazzir ialah mengambil harta dari jalannya yang pantas, tetapi mengeluarkannya dengan jalan yang tak pantas.
Mujahid berkata, “Walaupun seluruh hartanya dihabiskannya untuk jalan yang benar, tidaklah dia mubazzir. Tetapi, walaupun hanya segantang padi dikeluarkannya, padahal tidak pada jalan yang benar, itu sudah mubazzir!'
Berkata Qatadah, “Tabdzir ialah menafkahkan harta pada jalan maksiat kepada Allah, pada jalan yang tidak benar dan merusak."
Waktu saya masih kanak-kanak, pernah saya membeli kacang goreng lalu saya makan. Maka terjatuhlah ke tanah dua buah kacang goreng itu, sedang ayah saya lalu di hadapanku. Lalu beliau berkata, “Pilih yang jatuh itu, jangan mubazzir1."
Sekarang setelah dewasa saya berpikir, “Mengapa tidak akan saya pilih? Padahal, kacang itu masih belum terkupas dari kulitnya, artinya belum kotor."
Maka mengertilah saya teguran ayah saya itu, membiarkan kacang itu terbuang saja, padahal dia patut dimakan, adalah mubazzir.
Dan kami di waktu itu dimarahi kalau bersisa makan. Sebab itu, kalau kami minta nasi atau mengambil sendiri, kira-kiralah jangan sampai bersisa. Bersisa adalah mubazzir!
Dan beliau memberi ingat di rumah kami supaya menanak nasi secukupnya bagi orang yang akan makan. Jangan sampai berlebih yang akan menyebabkan basi dan terbuang. Kalau nasi itu berlebih tetapi tidak basi, dan kita sudah merasa kenyang, bolehlah diberikan kepada orang miskin atau ibnus sabil (biasanya penuntut-penuntut ilmu, santri atau urang siak yang datang dari jauh-jauh mengaji ke tempat kami). Tetapi, kalau nasi sudah basi, niscaya terpaksa dibuangkan. Timbul nasi basi karena ditanak terlalu banyak. Itu ditegur oleh ayah dan dimarahi, sebab mubazzir!
Datang ayat selanjutnya,
Ayat 27
“Karena sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah kawan-kawan setan."
Dijelaskanlah dalam ayat ini bahwa orang pemboros adalah kawan setan. Biasanya, ka-wan yang karib atau teman setia itu besar pengaruhnya kepada orang yang ditemaninya. Orang yang telah dikawani oleh setan sudah kehilangan pedoman dan tujuan hidup. Dia telah dibawa sesat oleh kawannya itu sehingga meninggalkan taat kepada Allah dan menggantinya dengan maksiat. Di ujung ayat diperingatkan kejahatan setan itu,
“Dan adalah setan itu, terhadap Tuhannya, tidak mengenal terima kasih."
Teranglah, kalau seseorang telah membuang-buang harta kepada yang tidak berfaedah, bahwa pengaruh setan telah masuk ke dalam dirinya. Karena sifat setan itu tidak mengenal terima kasih, menolak dan melupakan nikmat, dan telah menjadi sahabat setia dari orang yang bersangkutan itu, maka sifat dan perangai setan itulah yang telah memasuki dan memengaruhi pribadinya sehingga segala tindak-tanduk hidupnya pun tidak lagi mengenal terima kasih. Begitu banyak rezeki dan nikmat yang dilimpahkan Allah kepada dirinya, lalu dibuang-buangnya saja dengan tidak semena-mena.
Harta benda itu hendak keluar juga dari dalam simpanan. Harta yang tersimpan saja, dengan tidak diambil faedahnya, sama saja dengan menyimpan batu yang tak berharga. Kalau dia tidak keluar untuk yang berfaedah, dia akan keluar untuk yang tidak berfaedah. Seorang miskin, misalnya, datang meminta bantu, enggan kita memberikan. Setelah si miskin pergi dengan tangan hampa, datanglah kawan karib tadi, yaitu setan. Lalu diajaknya kita mengeluarkan uang yang sedianya dapat diberikan kepada si miskin tadi untuk berfoya-foya. Lalu, kita turuti ajakan kawan itu, maka dosalah yang didapat. Padahal, tadinya nyaris membawa pahala. Itu pun mubazzir.
Ayat yang selanjutnya,
Ayat 28
“Dan jika engkau berpaling dari mereka, kanena menanti rahmat Tuhanmu yang engkau harapkan, katakanlah kepada mereka kata-kata yang menyenangkan."
Bagus dan halus sekali bunyi ayat ini untuk orang yang dermawan, berhati mulia dan sudi menolong orang yang patut ditolong. Tetapi apa boleh buat, di waktu itu tidak ada padanya yang akan diberikan. Maka disebutkanlah dalam ayat ini, jika engkau terpaksa berpaling dari mereka, artinya berpaling karena tidak sampai hati melihat orang yang sedang perlu kepada pertolongan itu, padahal kita yang dimintainya pertolongan sedang kering. Dalam hati kecil sendiri kita berkata bahwa nanti di lain waktu, kalau rezeki ada, rahmat Allah turun, orang itu akan saya tolong juga. Maka, ketika menyuruhnya pulang dengan tangan hampa itu, berilah dia pengharapan dengan kata-kata yang menyenangkan. Kadang-kadang, kata-kata yang halus dan berbudi, lagi membuat senang dan lega, lebih berharga daripada uang berbilang.
Menurut kitab-kitab tafsir, ayat ini turun langsung untuk Nabi Muhammad ﷺ di waktu pada satu ketika beliau membiarkan orang meminta tolong pulang dengan tangan kosong. Sejak itu, kalau terjadi demikian, beliau lepaslah orang itu pergi dengan ucapannya,
“Diberi rezeki Allah kiranya kami dan kamu dari karunia-Nya."
Tersebut di dalam pendidikan kesopanan Islam bahwa muka yang jernih saja pun sudah sama dengan pemberian derma. Hati orang yang susah, meskipun maksudnya belum berhasil, akan lega juga melihat bahwa orang tempatnya meminta itu tidak bermuka kerut menghadapinya, melainkan membayangkan kesedihan hati karena tak dapat memberi di saat itu.
Kemudian, datanglah tuntunan bagaimana cara memberi. Maka, berfirmanlah Allah se-lanjutnya.