Ayat
Terjemahan Per Kata
رَّبُّكُمۡ
Tuhan kalian
أَعۡلَمُ
lebih mengetahui
بِمَا
dengan/terhadap apa
فِي
dalam
نُفُوسِكُمۡۚ
jiwamu/hatimu
إِن
jika
تَكُونُواْ
kalian menjadi
صَٰلِحِينَ
orang-orang yang baik
فَإِنَّهُۥ
maka sesungguhnya Dia
كَانَ
adalah Dia
لِلۡأَوَّـٰبِينَ
bagi orang-orang bertaubat
غَفُورٗا
Maha Pengampun
رَّبُّكُمۡ
Tuhan kalian
أَعۡلَمُ
lebih mengetahui
بِمَا
dengan/terhadap apa
فِي
dalam
نُفُوسِكُمۡۚ
jiwamu/hatimu
إِن
jika
تَكُونُواْ
kalian menjadi
صَٰلِحِينَ
orang-orang yang baik
فَإِنَّهُۥ
maka sesungguhnya Dia
كَانَ
adalah Dia
لِلۡأَوَّـٰبِينَ
bagi orang-orang bertaubat
غَفُورٗا
Maha Pengampun
Terjemahan
Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam dirimu. Jika kamu adalah orang-orang yang saleh, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat.
Tafsir
(Rabb kalian lebih mengetahui apa yang ada dalam hati kalian) apa yang terpendam di dalamnya berupa perasaan berbakti dan menyakiti (jika kalian orang-orang yang baik) taat kepada Allah (maka sesungguhnya Dia kepada orang-orang yang bertobat) orang-orang yang kembali kepada Allah dengan berbuat taat kepada-Nya (Maha Pengampun) terhadap apa yang telah mereka lakukan sehubungan dengan hak-hak kedua orang tua, yaitu berupa perbuatan yang menyakitkan lalu dengan segera mereka bertobat dan tidak akan berbuat yang menyakitkan lagi kepada keduanya.
Tuhan kalian lebih mengetahui apa yang ada dalam hati kalian; jika kalian orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat. Said ibnu Jubair mengatakan bahwa makna ayat ini menyangkut perihal seorang lelaki yang membuat kesalahan terhadap kedua orang tuanya, sedangkan dalam hatinya dia beranggapan tidak berdosa. Menurut riwayat yang lain, tiada yang dia inginkan dengan perbuatannya itu melainkan hanya kebaikan belaka.
Maka Allah ﷻ berfirman: Tuhan kalian lebih mengetahui apa yang ada dalam hati kalian, jika kalian orang yang haik. (Al-Isra: 25) Firman Allah ﷻ: Maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat. (Al-Isra: 25) Qatadah mengatakan bahwa makna awwabin ialah orang-orang yang taat, ahli salat. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa makna yang dimaksud ialah orang-orang yang selalu bertasbih. Dan menurut riwayat lainnya, dari Ibnu Abbas, orang-orang yang taat lagi berbuat baik. Sebagian di antara mereka (ulama) mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang mengerjakan salat di antara salat Magrib dan Isya.
Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang gemar mengerjakan salat duha. Syu'bah telah meriwayatkan dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sa'id ibnul Musayyab sehubungan dengan firman-Nya: maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat. (Al-Isra: 25) Yakni orang-orang yang mengerjakan dosa, lalu bertobat, kemudian mengerjakan dosa lagi dan bertobat pula sesudahnya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari Assauri, dan Ma'mar, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Ibnul Musayyab.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Al-Lais dan Ibnu Jarir dari Ibnul Musayyab. Ata ibnu Yasar dan Sa'id ibnu Jubair serta Mujahid mengatakan, mereka adalah orang-orang yang kembali mengerjakan kebaikan. Mujahid telah meriwayatkan dari Ubaid ibnu Umair sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa makna yang dimaksud ialah seseorang yang bila mengingat dosa-dosanya di tempat yang sepi, maka ia memohon ampun kepada Allah dari dosa-dosanya.
Mujahid berpendapat sama dengan pendapat ini. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Maslamah dari Amr ibnu Dinar, dari Ubaid ibnu Umar sehubungan dengan firman-Nya: Maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat (Al-Isra: 25) Ia beranggapan bahwa al-awwab artinya orang-orang yang memelihara dirinya (dari perbuatan dosa) lagi selalu mengatakan, "Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas dosa yang aku lakukan di majelisku ini." Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang paling utama sehubungan dengan makna ayat ini ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa al-awwab ialah orang yang bertobat dari dosanya, lagi meninggalkan perbuatan maksiat dan kembali mengerjakan ketaatan, dan meninggalkan semua yang dibenci oleh Allah, lalu mengerjakan apa yang disukai dan diridai-Nya.
Pendapat inilah yang benar, karena lafaz al-awwab berakar dari al-aub yang artinya kembali. Dikatakan Aba Fulanun (si Fulan telah kembali/bertobat). Dan dalam firman Allah ﷻ disebutkan: Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka. (Al-Gasyiyah: 25) Di dalam hadis sahih dari Rasulullah ﷺ disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ apabila kembali dari perjalannya selalu mengucapkan doa berikut: Kami kembali dengan selamat seraya bertobat lagi menyembah-(Nya) dan hanya kepada Tuhanlah kami memuji."
Dalam keadaan kedua orang tua sudah berumur lanjut dan berada
dalam pemeliharaanmu, boleh jadi suatu waktu engkau berbuat kesalahan, secara tidak sengaja atau karena terpaksa. Dalam keadaan demikian itu, ketahuilah bahwa Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada
dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik dan tulus mengasihi
kedua orang tuamu dan berbakti kepada keduanya dengan sepenuh
hatimu. Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, maka sungguh, Dia Maha
Pengampun bagi orang-orang yang bertobat dan menyertainya dengan
berbuat kebaikan. Dan berikanlah haknya kepada keluarga-keluarga yang dekat, dari pihak ibu maupun bapak, berupa bantuan, kebajikan, dan silaturahim.
Demikian juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan,
berikanlah zakat yang diwajibkan atas kamu, sedekah yang dianjurkan
atau bantuan lainnya yang diperlukan, dan janganlah kamu menghamburhamburkan hartamu secara boros dengan membelanjakannya pada halhal yang tidak ada kemaslahatan.
Allah ﷻ lalu memperingatkan kaum Muslimin agar benar-benar memperhatikan urusan berbakti kepada kedua ibu bapak dan tidak menganggapnya sebagai urusan yang remeh. Dijelaskan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang tergerak dalam hati mereka, apakah benar-benar berbakti kepada kedua ibu bapak dengan rasa kasih sayang dan penuh kesadaran, ataukah hanya pernyataan lahiriah saja, sedangkan di dalam hati mereka sebenarnya durhaka dan membangkang. Itulah sebabnya, Allah menjanjikan bahwa apabila mereka benar-benar berbuat baik, yaitu benar-benar menaati tuntutan Allah dan berbakti kepada kedua ibu bapak, maka Dia akan memberikan ampunan kepada mereka atas perbuatan yang melampaui batas-batas ketentuan-Nya. Allah Maha Pengampun kepada siapa saja yang mau bertobat dan kembali menaati perintah-Nya.
Dalam ayat ini terdapat janji baik yang ditujukan kepada orang-orang yang hatinya terbuka untuk berbakti kepada ibu bapaknya. Sebaliknya, terdapat ancaman keras yang ditujukan kepada orang-orang yang meremehkannya, apalagi yang sengaja mendurhakai kedua ibu bapaknya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Selanjutnya Allah berfirman,
Ayat 25
“Tuhan kamu lebih tahu apa yang ada dalam dirimu."
Said bin )ubair masih saja menghubungkan di antara pangkal ayat 25 ini dengan ayat 24 sebelumnya, yaitu si anak diwajibkan ber-khidmat dan berbakti kepada dua orang ibu bapak. Tak boleh mengatakan uff, tak boleh mereka dibentak. Tetapi bukan sedikit pula si anak merekan perasaan. Meskipun sudah dihormati demikian rupa, orangtua masih saja bersikap keras, atau ada sikapnya yang sangat tidak disetujui si anak sehingga si anak betul-betul membarut dadanya, menahan hati.
Keadaan benar-benar sudah terbalik. Kalau dahulu ayah-bunda yang mengasuh anak yang masih kecil, yang kencing dalam celana, kemudian datang masanya si anaklah yang kuat sedang ayah atau ibu sudah seperti anak kecil, menangis, merajuk kalau tidak kena di hatinya, lebih-lebih kalau dia pikun, telah habis segala daya akalnya karena tuanya. Dia kembali seperti anak kecil. Lantaran itu timbullah rasa jengkel dalam hati anak. Maka datanglah ayat yang tengah kita tafsirkan bahwa Allah mengetahui rasa mendongkol yang ada dalam hatimu itu.
Lalu datanglah ujung ayat,
“Jika adalah kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia terhadap orang-orang yang bertobat adalah sangat memberi ampun."
Dengan dilengkapi oleh ujung ayat ini teranglah bahwa rasa jengkel yang terasa dalam hati dari anak kepada kedua orang tuanya karena perangainya yang sudah keanak-anakan itu diketahui juga oleh Allah. Namun, perasaan itu diberi ampun oleh Allah, dimaafkan, asal saja si anak seorang yang tetap saleh, tetap beribadah kepada Allah, dan selalu ingat bahwa dalam perjalanan hidupnya ini dia akan kembali kepada Allah jua. Itulah yang disebut Awwaab. Artinya, orang yang selalu sadar dan ingat bahwa tujuan hidup ini ialah kembali kepada Allah. Maka menyerahlah kepada Allah, tawakallah kepada-Nya dan teruskanlah memelihara dan menyelenggarakan ibu bapak, atau salah seorang dari keduanya, dengan tetap mengingat Allah.
Ibnu Abbas mengartikan Al-Awwaab itu ialah orang yang selalu teliti menilik kealpaan diri, lalu ingat akan kesalahannya dan segera memohon ampun kepada Allah.
KAUM KELUARGA DAN FAKIR MISKIN
Ayat 26
“Dan berikanlah kepada keluarga yang karib akan ..., dan juga orang miskin dan anak penjalanan."
Di samping berbakti, berkhidmat, serta menanamkan kasih sayang, cinta, dan rahmat kepada kedua orangtua itu, hendaklah pula berikan kepada kaum keluarga yang karib itu akan haknya. Mereka berhak buat ditolong. Mereka berhak dibantu. Kaum kerabat, atau keluarga terdekat, bertali darah dengan kamu. Kamu hidup di tengah-tengah keluarga; saudara-saudaramu sendiri, yang seibu-sebapak atau yang seibu saja atau yang sebapak saja. Saudara-saudara laki-laki dan perempuan dari ayahmu yang disebut ammi dan ammati. Saudara-saudara laki-laki dan perempuan dari ibu, yang disebut khal dan khalat. Nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak ayah, dan lain lain. Anak-anak dari saudara laki-laki, anak-anak dari saudara perempuan, dan lain-lain. Kadang-kadang tidaklah sama pintu rezeki yang terbuka, sehingga ada yang berlebih-lebihan, ada yang berkecukupan, dan ada yang berkekurangan. Maka berhaklah keluarga itu mendapat bantuan dari kamu yang mampu sehingga pertalian darah yang telah memang ada dikuatkan lagi dengan pertalian cemas.
“Dan orang-orang miskin dan anak perjalanan". Orang yang serbakekurangan, yang hidup tidak berkecukupan, sewajarnyalah mereka dibantu sehingga tertimbunlah jurang yang dalam yang memisahkan antara si kaya dan si miskin."Anak perjalanan", yang disebut ibnus-sabil itu pun berhak mendapat bantuan kamu. Ibnus-sabil boleh diartikan orang yang berjalan meninggalkan kampung halaman dan rumah tangganya untuk maksud yang baik, misalnya menuntut ilmu atau mencari keluarganya yang telah lama hilang, lalu putus belanja di tengah jalan. Dan Ibnus-sabil boleh juga diartikan orang melarat (fakir miskin) yang sudah sangat tertahan hidupnya sehingga rumah tempat diam pun tak ada lagi. Tak ada harta, tak ada ﷺah ladang, habis rumah terjual, lalu membanjir ke kota-kota besar, disangka akan mendapat pekerjaan, tidurlah mereka di kaki-kaki lima toko orang.
Besar kemungkinan bahwa orang-orang gelandangan ini pun dapat dimasukkan dalam lingkungan ibnus-sabil. Tetapi bagaimana kepastiannya, Wallahu a'lam!
Tetapi datang lagi ujung ayat, sebagai kunci.
“Dan janganlah kamu boros ternlalu boros."
Kata boros kita pilih buat menjadi arti dari kalimat"mubazzir" atau “tabdzir Imam Syafi'i mengatakan bahwa mubazzir itu ialah membelanjakan harta tidak pada jalannya.
Imam Malik berkata bahwa mubazzir ialah mengambil harta dari jalannya yang pantas, tetapi mengeluarkannya dengan jalan yang tak pantas.
Mujahid berkata, “Walaupun seluruh hartanya dihabiskannya untuk jalan yang benar, tidaklah dia mubazzir. Tetapi, walaupun hanya segantang padi dikeluarkannya, padahal tidak pada jalan yang benar, itu sudah mubazzir!'
Berkata Qatadah, “Tabdzir ialah menafkahkan harta pada jalan maksiat kepada Allah, pada jalan yang tidak benar dan merusak."
Waktu saya masih kanak-kanak, pernah saya membeli kacang goreng lalu saya makan. Maka terjatuhlah ke tanah dua buah kacang goreng itu, sedang ayah saya lalu di hadapanku. Lalu beliau berkata, “Pilih yang jatuh itu, jangan mubazzir1."
Sekarang setelah dewasa saya berpikir, “Mengapa tidak akan saya pilih? Padahal, kacang itu masih belum terkupas dari kulitnya, artinya belum kotor."
Maka mengertilah saya teguran ayah saya itu, membiarkan kacang itu terbuang saja, padahal dia patut dimakan, adalah mubazzir.
Dan kami di waktu itu dimarahi kalau bersisa makan. Sebab itu, kalau kami minta nasi atau mengambil sendiri, kira-kiralah jangan sampai bersisa. Bersisa adalah mubazzir!
Dan beliau memberi ingat di rumah kami supaya menanak nasi secukupnya bagi orang yang akan makan. Jangan sampai berlebih yang akan menyebabkan basi dan terbuang. Kalau nasi itu berlebih tetapi tidak basi, dan kita sudah merasa kenyang, bolehlah diberikan kepada orang miskin atau ibnus sabil (biasanya penuntut-penuntut ilmu, santri atau urang siak yang datang dari jauh-jauh mengaji ke tempat kami). Tetapi, kalau nasi sudah basi, niscaya terpaksa dibuangkan. Timbul nasi basi karena ditanak terlalu banyak. Itu ditegur oleh ayah dan dimarahi, sebab mubazzir!
Datang ayat selanjutnya,
Ayat 27
“Karena sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah kawan-kawan setan."
Dijelaskanlah dalam ayat ini bahwa orang pemboros adalah kawan setan. Biasanya, ka-wan yang karib atau teman setia itu besar pengaruhnya kepada orang yang ditemaninya. Orang yang telah dikawani oleh setan sudah kehilangan pedoman dan tujuan hidup. Dia telah dibawa sesat oleh kawannya itu sehingga meninggalkan taat kepada Allah dan menggantinya dengan maksiat. Di ujung ayat diperingatkan kejahatan setan itu,
“Dan adalah setan itu, terhadap Tuhannya, tidak mengenal terima kasih."
Teranglah, kalau seseorang telah membuang-buang harta kepada yang tidak berfaedah, bahwa pengaruh setan telah masuk ke dalam dirinya. Karena sifat setan itu tidak mengenal terima kasih, menolak dan melupakan nikmat, dan telah menjadi sahabat setia dari orang yang bersangkutan itu, maka sifat dan perangai setan itulah yang telah memasuki dan memengaruhi pribadinya sehingga segala tindak-tanduk hidupnya pun tidak lagi mengenal terima kasih. Begitu banyak rezeki dan nikmat yang dilimpahkan Allah kepada dirinya, lalu dibuang-buangnya saja dengan tidak semena-mena.
Harta benda itu hendak keluar juga dari dalam simpanan. Harta yang tersimpan saja, dengan tidak diambil faedahnya, sama saja dengan menyimpan batu yang tak berharga. Kalau dia tidak keluar untuk yang berfaedah, dia akan keluar untuk yang tidak berfaedah. Seorang miskin, misalnya, datang meminta bantu, enggan kita memberikan. Setelah si miskin pergi dengan tangan hampa, datanglah kawan karib tadi, yaitu setan. Lalu diajaknya kita mengeluarkan uang yang sedianya dapat diberikan kepada si miskin tadi untuk berfoya-foya. Lalu, kita turuti ajakan kawan itu, maka dosalah yang didapat. Padahal, tadinya nyaris membawa pahala. Itu pun mubazzir.
Ayat yang selanjutnya,
Ayat 28
“Dan jika engkau berpaling dari mereka, kanena menanti rahmat Tuhanmu yang engkau harapkan, katakanlah kepada mereka kata-kata yang menyenangkan."
Bagus dan halus sekali bunyi ayat ini untuk orang yang dermawan, berhati mulia dan sudi menolong orang yang patut ditolong. Tetapi apa boleh buat, di waktu itu tidak ada padanya yang akan diberikan. Maka disebutkanlah dalam ayat ini, jika engkau terpaksa berpaling dari mereka, artinya berpaling karena tidak sampai hati melihat orang yang sedang perlu kepada pertolongan itu, padahal kita yang dimintainya pertolongan sedang kering. Dalam hati kecil sendiri kita berkata bahwa nanti di lain waktu, kalau rezeki ada, rahmat Allah turun, orang itu akan saya tolong juga. Maka, ketika menyuruhnya pulang dengan tangan hampa itu, berilah dia pengharapan dengan kata-kata yang menyenangkan. Kadang-kadang, kata-kata yang halus dan berbudi, lagi membuat senang dan lega, lebih berharga daripada uang berbilang.
Menurut kitab-kitab tafsir, ayat ini turun langsung untuk Nabi Muhammad ﷺ di waktu pada satu ketika beliau membiarkan orang meminta tolong pulang dengan tangan kosong. Sejak itu, kalau terjadi demikian, beliau lepaslah orang itu pergi dengan ucapannya,
“Diberi rezeki Allah kiranya kami dan kamu dari karunia-Nya."
Tersebut di dalam pendidikan kesopanan Islam bahwa muka yang jernih saja pun sudah sama dengan pemberian derma. Hati orang yang susah, meskipun maksudnya belum berhasil, akan lega juga melihat bahwa orang tempatnya meminta itu tidak bermuka kerut menghadapinya, melainkan membayangkan kesedihan hati karena tak dapat memberi di saat itu.
Kemudian, datanglah tuntunan bagaimana cara memberi. Maka, berfirmanlah Allah se-lanjutnya.