Ayat
Terjemahan Per Kata
وَقُلِ
dan katakanlah
ٱلۡحَمۡدُ
segala puji
لِلَّهِ
bagi Allah
ٱلَّذِي
yang
لَمۡ
Dia tidak
يَتَّخِذۡ
mengambil
وَلَدٗا
seorang anak
وَلَمۡ
dan tidak
يَكُن
ada
لَّهُۥ
bagi-Nya
شَرِيكٞ
sekutu
فِي
dalam
ٱلۡمُلۡكِ
kerajaan
وَلَمۡ
dan tidak
يَكُن
ada
لَّهُۥ
bagi-Nya
وَلِيّٞ
penolong/pembantu
مِّنَ
dari
ٱلذُّلِّۖ
kehinaan
وَكَبِّرۡهُ
dan agungkanlah Dia
تَكۡبِيرَۢا
sebesar-besarnya
وَقُلِ
dan katakanlah
ٱلۡحَمۡدُ
segala puji
لِلَّهِ
bagi Allah
ٱلَّذِي
yang
لَمۡ
Dia tidak
يَتَّخِذۡ
mengambil
وَلَدٗا
seorang anak
وَلَمۡ
dan tidak
يَكُن
ada
لَّهُۥ
bagi-Nya
شَرِيكٞ
sekutu
فِي
dalam
ٱلۡمُلۡكِ
kerajaan
وَلَمۡ
dan tidak
يَكُن
ada
لَّهُۥ
bagi-Nya
وَلِيّٞ
penolong/pembantu
مِّنَ
dari
ٱلذُّلِّۖ
kehinaan
وَكَبِّرۡهُ
dan agungkanlah Dia
تَكۡبِيرَۢا
sebesar-besarnya
Terjemahan
Katakanlah, “Segala puji bagi Allah yang tidak mengangkat seorang anak, tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya, dan tidak memerlukan penolong dari kehinaan! Agungkanlah Dia setinggi-tingginya!”
Tafsir
(Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong) untuk menjaga-Nya (dari) sebab (kehinaan) artinya Dia tidak dapat dihina karenanya Dia tidak membutuhkan penolong (dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya) artinya besarkanlah Dia dengan pengagungan yang sempurna daripada sifat memiliki anak, mempunyai sekutu, hina dan hal-hal lain yang tidak layak bagi keagungan dan kebesaran-Nya. Urutan pujian dalam bentuk demikian untuk menunjukkan bahwa Dialah yang berhak untuk mendapatkan semua pujian mengingat kesempurnaan Zat-Nya dan kesendirian-Nya di dalam sifat-sifat-Nya. Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya meriwayatkan sebuah hadis melalui Muaz Al-Juhani dari Rasulullah ﷺ bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda, "Tanda kemuliaan ialah (kalimat): Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya," sampai dengan akhir surat. Wallahu a`lam.
Tafsir Surat Al-Isra: 110-111
Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik); dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salam salatmu, dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kebinasaan, dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.
Allah ﷻ berfirman kepada Nabi-Nya, "Hai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang musyrik yang mengingkari sifat rahmat Allah," yaitu mereka yang tidak mau menyebut Allah dengan sebutan Ar-Rahman: Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik). (Al-Isra: 110) Yakni tidak ada bedanya bila kalian menyeru-Nya dengan sebutan Allah atau sebutan Ar-Rahman, karena sesungguhnya Dia mempunyai nama-nama yang terbaik. Di dalam ayat lain disebutkan melalui firman-Nya: Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al-Hasyr: 22) sampai dengan firman-Nya: Yang mempunyai nama-nama yang terbaik.
Bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. (Al-Hasyr: 24), hingga akhir ayat. Makhul pernah meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki dari kalangan kaum musyrik mendengar Nabi ﷺ mengatakan dalam sujudnya: Wahai Tuhan Yang Maha Pemurah, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih. Lalu lelaki musyrik itu berkata bahwa sesungguhnya dia menduga dirinya menyeru Tuhan yang satu, padahal dia menyeru dua Tuhan. Maka Allah ﷻ menurunkan ayat ini. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Kedua riwayat tersebut diketengahkan oleh Ibnu Jarir. Firman Allah ﷻ: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu. (Al, Isra: 110), hingga akhir ayat.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang telah mengatakan bahwa ayat berikut ini diturunkan saat Rasulullah ﷺ sedang bersembunyi di Mekah, yaitu firman-Nya: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan jangan pula merendahkannya. (Al-Isra: 110) Bahwa apabila Nabi ﷺ salat dengan sahabat-sahabatnya, maka beliau mengeraskan bacaan Al-Qur'annya; dan manakala kaum musyrik mendengar bacaannya itu, mereka mencaci Al-Qur'an dan mencaci Tuhan yang menurunkannya serta malaikat yang menyampaikannya. Maka Allah ﷻ berfirman kepada Nabi-Nya: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu. (Al-Isra: 110) Maksudnya, janganlah kamu mengeraskan bacaan Al-Qur'anmu, nanti orang-orang musyrik akan mendengarnya dan mereka akan mencaci Al-Qur'an karenanya.
dan janganlah pula kamu merendahkannya. (Al-Isra: 110) Yakni memelankan bacaanmu dari sahabat-sahabatmu, sehingga mereka tidak dapat mendengarkan bacaan Al-Qur'anmu, padahal mereka menerimanya dari bacaanmu. dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. (Al-Isra: 110) Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Abu Bisyr Ja'far ibnu Iyas dengan sanad yang sama. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, yang di dalam riwayatnya disebutkan tambahan, yaitu bahwa setelah Nabi ﷺ hijrah ke Madinah, maka gugurlah perintah tersebut. Dengan kata lain, Nabi ﷺ boleh melakukannya bila menghendaki. Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pada mulanya Rasulullah ﷺ selalu membaca Al-Qur'an dalam salatnya dengan bacaan yang keras, dan orang-orang meninggalkannya serta tidak mau mendengarkan bacaannya.
Dan bilamana seseorang hendak mendengarkan bacaan Rasulullah ﷺ dalam salatnya, maka ia terpaksa harus mencuri-curi dengar karena takut kepada orang-orang musyrik. Apabila orang-orang musyrik mengetahui bahwa dia mendengar bacaan Rasul ﷺ, maka dia pergi karena takut disakiti oleh mereka dan tidak mau mendengarkannya lagi. Dan apabila Rasulullah ﷺ merendahkan bacaannya, maka orang-orang yang mendengarkan bacaannya tidak dapat mengambil suatu manfaat pun dari bacaannya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu. (Al-Isra: 110), yang menyebabkan orang-orang kafir yang simpati kepadamu bubar meninggalkanmu. dan janganlah pula merendahkannya. (Al-Isra: 110) sehingga orang-orang yang mencuri dengar dari bacaanmu dari kalangan mereka tidak dapat mendengarnya, karena barangkali sebagian dari mereka memperhatikan sebagian dari apa yang didengarnya darimu dan beroleh manfaat darinya.
dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. (Al-Isra: 110) Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ikrimah, Al-Hasan Al-Basri, dan Qatadah, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah bacaan dalam salat. Syu'bah telah meriwayatkan dari Asy'as ibnu Salim, dari Al-Aswad ibnu Hilal, dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah pula merendahkannya. (Al-Isra: 110) terhadap orang yang membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengarkannya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Salamah ibnu Alqamah, dari Muhammad ibnu Sirin yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar berita bahwa sahabat Abu Bakar apabila salat merendahkan bacaan Al-Qur'annya, sedangkan sahabat Umar mengeraskan bacaan Al-Qur'annya.
Maka dikatakan kepada Abu Bakar, "Mengapa engkau lakukan hal itu?" Abu Bakar menjawab, "Saya sedang bermunajat kepada Tuhanku, dan Dia mengetahui keperluanku." Lalu dikatakan kepadanya, "Engkau baik." Dan dikatakan kepada Umar, "Mengapa engkau lakukan hal itu?" Umar menjawab, "Saya sedang mengusir setan dan melenyapkan rasa kantuk." Maka dikatakan kepadanya, "Engkau baik." Dan ketika firman Allah ﷻ diturunkan, yaitu: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu, dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. (Al-Isra: 110) maka dikatakan kepada Abu Bakar, "Angkatlah sedikit suara bacaanmu." Dan dikatakan kepada Umar, "Rendahkanlah sedikit suara bacaanmu." Asy'as ibnu Siwar telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan berdoa.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh As-Sauri dan Malik, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a., bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan doa. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Iyad, Makhul, dan Urwah ibnuz Zubair. As-Sauri telah meriwayatkan dari Ibnu Ayyasy Al-Amiri, dari Abdullah ibnu Syaddad yang menceritakan bahwa pernah ada seorang Badui dari kalangan Bani Tamim apabila mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ lalu ia mengiringinya dengan doa, "Ya Allah, berilah saya rezeki berupa ternak unta dan anak." Maka turunlah ayat ini: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya. (Al-Isra: 110) Pendapat lain.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abus Sa-ib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan bacaan tasyahhud, yaitu firman-Nya: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya. (Al-Isra: 110) Hal yang sama telah dikatakan oleh Hafs, dari Asy'as ibnu Siwar, dari Muhammad ibnu Sirin dengan teks yang semisal. Pendapat lain. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya. (Al-Isra: 110) Maksudnya, janganlah kamu salat karena ingin dilihat oleh orang-orang, janganlah pula kamu meninggalkannya karena takut terhadap orang-orang kafir.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan firman-Nya: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula kamu merendahkannya. (Al-Isra: 110) Bahwa janganlah kamu melakukannya dengan baik secara terang-terangan, lalu melakukannya dengan buruk di kala sendirian. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Al-Hasan dengan sanad yang sama. Hisyam telah meriwayatkannya dari Auf, dari Al-Hasan dengan sanad yang sama; dan Sa'id meriwayatkannya dari Qatadah, dari Al-Hasan dengan sanad'yang sama pula.
Pendapat lain. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. (Al-Isra: 110) Bahwa orang-orang Ahli Kitab itu selalu merendahkan bacaan kitab mereka bilamana ada seseorang dari mereka mengeraskan bacaan suatu kalimat dari kitabnya dengan suara yang keras, maka orang-orang yang mengikutinya membacanya dengan keras pula di belakangnya. Maka Allah ﷻ melarang Nabi ﷺ mengeraskan suara dalam bacaannya seperti yang dilakukan orang-orang ahli kitab, dan melarang pula merendahkannya seperti yang dilakukan mereka. Kemudian Allah ﷻ memberinya jalan pertengahan di antara keduanya, yang hal ini dicontohkan kepada Nabi ﷺ oleh Malaikat Jibril a.s. dalam salatnya. Firman Allah ﷻ: Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak." (Al-Isra: 111) Setelah Allah ﷻ menetapkan bahwa diri-Nya mempunyai asma-asma yang terbaik, lalu Dia menyucikan diri-Nya dari semua bentuk kekurangan. Untuk itu Dia berfirman: Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya. (Al-Isra: 111) Bahkan Dialah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.
dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan. (Al-Isra: 111) Yakni Dia tidaklah hina yang karenanya Dia memerlukan penolong atau pembantu atau penasihat, bahkan Dia adalah Mahatinggi, Pencipta segala sesuatu dengan sendiri-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, Dialah yang mengatur dan yang memutuskan menurut apa yang dikehendaki-Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya. Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak mempunyai penolong (yang menjaga-Nya) dari kehinaan. (Al-Isra: 111) Artinya, Dia tidak memerlukan berteman dengan seorang pun dan tidak memerlukan pertolongan seorang pun.
dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. (Al-Isra: 111) Yakni besarkanlah dan agungkanlah Dia terhadap apa yang dikatakan oleh orang-orang zalim lagi kelewat batas itu dengan pengagungan yang setinggi-tingginya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, dari Al-Qurazi, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak." (Al-Isra: 111), hingga akhir ayat.
Bahwa sesungguhnya orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mengatakan, "Allah mengambil anak." Dan orang-orang Arab Jahiliah selalu mengatakan (dalam tawafnya), "Labbaika, tiada sekutu bagi Engkau kecuali sekutu yang menjadi milik-Mu, sedangkan dia tidak memiliki." Orang-orang sabi-in mengatakan demikian pula orang-orang Majusi bahwa seandainya tidak ada penolong, tentulah Allah hina. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya, dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya." (Al-Isra: 111) Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah; telah diceritakan kepada kami bahwa Nabi ﷺ mengajarkan kepada keluarganyabaik yang masih kecil ataupun yang sudah dewasa ayat berikut, yaitu firman Allah ﷻ: Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak. (Al-Isra: 111), hingga akhir ayat.
Menurut kami, telah disebutkan di dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ menamakan ayat ini dengan sebutan 'Ayat Kemuliaan (Keperkasaan)', Di dalam salah satu asar disebutkan bahwa tidak sekali-kali ayat ini dibacakan di dalam suatu rumah dalam suatu malam, lalu rumah itu dapat tertimpa kecurian atau penyakit. " (3) ". ". ". ". "". Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Subhan Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Maimun, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah Az-Zubaidi, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Rasulullah ﷺ, sedangkan tangan beliau memegang tanganku, atau tanganku memegang tangan beliau.
Lalu Nabi ﷺ mendatangi seorang lelaki yang penampilannya kumal dan kotor. Nabi ﷺ bertanya, "Hai Fulan, mengapa kulihat keadaanmu demikian menyedihkan?" Lelaki itu menjawab, "Wahai Rasulullah, saya tertimpa sakit dan kemelaratan." Rasulullah ﷺ bersabda, "Maukah kamu aku ajarkan beberapa kalimat yang dapat melenyapkan penyakit dan kemelaratan yang ada pada dirimu itu?" Lelaki itu menjawab, "Tentu saja mau, tidaklah menggembirakan diriku bila kalimat-kalimat itu ditukar dengan ikut dalam Perang Badar atau Perang Uhud bersamamu sebagai gantinya." Rasulullah ﷺ tertawa dan bersabda, "Dan apakah Ahli Badar dan Ahli Uhud mengalami apa yang dialami oleh seorang fakir yang menerima apa adanya?" Abu Hurairah berkata, "Wahai Rasulullah, ajarkanlah pula kepadaku kalimat-kalimat itu." Rasulullah ﷺ bersabda: Hai Abu Hurairah, katakanlah, "Saya bertawakal kepada Tuhan Yang Hidup yang tidak mati, segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tiada sekutu bagi-Nya di dalam kerajaan-Nya, dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.
Kemudian lelaki itu datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ sedangkan keadaannya telah membaik. Maka Rasulullah ﷺ bertanya, "Apakah yang telah engkau lakukan?" Ia menjawab, "Wahai Rasulullah, saya masih tetap membaca kalimat-kalimat yang pernah engkau ajarkan kepada saya itu." Sanad hadis ini daif, di dalam matannya terdapat hal yang munkar. Demikianlah akhir pembahasan tafsir surat Subhanallah (surat Al-Isra). Hanya bagi Allah-lah segala puji, dan hanya kepada-Nyalah kami berharap."
Dan katakanlah wahai Nabi Muhammad, Segala puji bagi Allah
yang tidak mempunyai anak, sebagaimana dikatakan orang-orang Yahudi
bahwa malaikat adalah anak-anak Allah, dan demikian pula dipercaya
oleh orang-orang Nasrani bahwa Nabi Isa adalah anak Allah, dan tidak
pula mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya, sebagaimana dipercaya oleh kaum musyrik yang percaya kepada tuhan-tuhan selain Allah, dan dengan demikian, Dia tidak memerlukan penolong dari kehinaan yang dilontarkan oleh siapa pun yang menghina-Nya. Hanya Dia saja yang
Mahaagung dan oleh karena itu agungkanlah Dia seagung-agungnya. Pada akhir Surah al-Isra', Rasulullah diperintah agar memuji Allah
dan menyucikannya dari segala kekurangan. Surah ini dimulai dengan
menyampaikan kewajaran Allah menyandang pujian itu dengan mengingatkan tentang keharusan memuji dan menaati perintahnya sesuai
dengan yang digariskan agama dalam kitab suci Al-Qur'an. Segala puji
hanya tertuju bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya, yaitu
Nabi Muhammad Al-Kitab, yakni Al-Qur'an, dan Dia tidak membuat padanya kebengkokan, baik redaksi maupun maknanya. Ayat demi ayatnya
saling menjelaskan tidak ada pertentangan satu dengan lainnya.
Pada ayat ini Nabi diajari cara memuji Allah ﷻ yang memiliki sifat-sifat kemahaesaan, kesempurnaan, dan keagungan. Oleh karena itu, hanya Allah yang berhak menerima segala macam pujian-pujian dan rasa syukur dari hamba dan makhluk-Nya atas segala nikmat yang diberikan kepada mereka.
Ayat ini menjelaskan tiga sifat bagi Allah swt:
Pertama: Bahwa sesungguhnya Allah tidak memiliki anak, karena siapa yang memiliki anak tentu tidak menikmati segala nikmat yang dia miliki, tetapi sebagian nikmat itu dipersiapkan untuk anaknya yang ditinggalkannya bilamana dia sudah meninggal dunia. Mahasuci Allah ﷻ dari sifat demikian. Orang yang punya anak terhalang untuk menikmati seluruh haknya dalam segala keadaan. Oleh sebab itu, manusia tidak patut menerima pujian dari segala makhluk. Dengan ayat ini, Allah ﷻ menjelaskan dan membantah pandangan orang Yahudi yang mengatakan 'Uzair putra Tuhan, juga pendapat orang Nasrani yang mengatakan bahwa Al-Masih putra Tuhan, atau anggapan orang-orang musyrikin bahwa malaikat-malaikat adalah putri-putri Tuhan.
Kedua: Bahwa sesungguhnya Allah ﷻ tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya. Jika sekutu-Nya ada, tentu sulit untuk menentukan mana di antara keduanya yang berhak menerima pujian, rasa syukur, dan pengabdian para makhluk. Salah satu di antara dua tuhan tadi tentu memerlukan pertolongan dari yang lainnya dan akhirnya tidak ada satupun tuhan yang berdiri sendiri dan berdaulat secara mutlak di atas alam ini.
Ketiga: Bahwa sesungguhnya tak seorang pun di antara orang-orang yang hina diberi Allah kekuasaan yang akan melindunginya dari musuh yang mengancamnya.
Demikianlah Allah ﷻ suci dari segala sifat-sifat yang mengurangi kesempurnaan-Nya, agar para hamba-Nya tidak ragu memanjatkan doa, syukur, dan pujian kepada-Nya. Kemudian Nabi ﷺ diperintahkan untuk mengagungkan-Nya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Mengagungkan dan mensucikan Allah itu adalah sebagai berikut:
Pertama: Mengagungkan Allah ﷻ pada Zat-Nya dengan meyakini bahwa Allah itu wajib ada-Nya karena Zat-Nya sendiri tidak membutuhkan sesuatu yang lain. Dia tidak memerlukan sesuatu dari wujud ini.
Kedua: Mengagungkan Allah ﷻ pada sifat-Nya, dengan meyakini bahwa hanya Dialah yang memiliki segala sifat-sifat kesempurnaan dan jauh dari sifat-sifat kekurangan.
Ketiga: Mengagungkan Allah ﷻ pada af'al-Nya (perbuatan-Nya) dengan meyakini bahwa tidak ada suatu pun yang terjadi dalam alam ini, melainkan sesuai dengan hikmah dan kehendak-Nya.
Keempat: Mengagungkan Allah ﷻ pada hukum-hukum-Nya, dengan meyakini bahwa hanya Dialah yang menjadi Penguasa yang ditaati di alam semesta ini, dimana perintah dan larangan bersumber darinya. Tidak ada seorang pun yang dapat membatasi dan membatalkan segala ketentuan-Nya atas sesuatu. Dialah yang memuliakan dan Dia pula yang menghinakan orang-orang yang Dia kehendaki.
Kelima: Mengagungkan nama-nama-Nya, yaitu menyeru dan menyebut Allah dengan nama-nama yang baik (al-asma'ul husna). Tidak menyifati Tuhan melainkan dengan sifat-sifat kesucian dan kesempurnaan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
ASMAUL HUSNA
Ayat 110
“Katakanlah, Setulah Allah atau serulah ar-Rahman!" Dengan apa jua pun kamu menyenu Dia, namun bagi-Nya adalah nama-nama yang baik."
Menurut suatu riwayat dari ibnu Abbas, pada suatu hari Rasulullah ﷺ menyeru nama Allah, “Ya Allah, Ya Rahman!" Maka terdengarlah doa itu oleh kaum musyrikin. Mereka rupanya tidak biasa mendengar pemakaian nama ar-Rahman itu, atau selama ini belum dibiasakan dalam kalangan mereka.
Makhul menceritakan pula bahwa pada suatu malam Rasulullah ﷺ melakukan shalat Tahajjud, lalu beliau berseru dalam doanya, “Ya Rahman, Ya Rahim." Terdengar oleh seorang dari kalangan musyrikin, sedang di Yamamah ada seseorang bernama Rahman. Maka berkatalah si musyrik itu, “Bagaimana Muhammad. Di samping memanggil nama Allah Ya Rahim, dipanggilnya pula nama Rahman. Apakah si Rahman yang ada di Yama-mah?" Maka datanglah penjelasan pada ayat 110 ini: Baik diseru nama-Nya ya Allah atau diseru namanya Ya Rahman, adalah sama saja. Sebab Allah itu mempunyai berbagai nama-nama yang indah. Ada Rahman yang boleh diartikan kasih, ada Rahim yang boleh diartikan sayang. Ada Ghafur, yang berarti pemberi ampun, demikian juga Ghaffar. Ada Syakur yang berarti mengganjar dengan baik bagi siapa yang berbuat baik, dan lebih dari 99 nama yang lain, yang menunjukkan sifat-sifat-Nya yang Mulia lagi Agung. Maka serulah Dia dengan salah satu dari nama itu, namun yang diseru tidak -lain dari yang Esa juga. Allah!
Bukanlah nama yang berbagai-bagai itu nama dari tuhan yang berbilang.
Nama-nama yang menunjukkan sifat-sifat Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung itulah yang disebut Asmaul Husna. Nama-nama yang indah!
Bolehlah seru Dia dengan salah satu dari nama itu, masing-masing menurut tempat dan waktunya. Misalnya engkau digagahi sesamamu manusia, ditekannya engkau ser-bakekerasan dan kezaliman, maka sebutlah dan serulah nama-Nya, “Ya Allah, Ya Qahhar!" Sebab arti a!-Qahhar ialah yang lebih gagah daripada segala yang gagah. Atau kita sedang merencanakan suatu perbuatan yang baik dan mulia, tetapi kita kekurangan belanja buat meneruskan. Waktu itu tidak ada salahnya kita seru nama-Nya, “Ya Allah, Ya Ghariyyur. Ya Allah Tuhan Yang Mahakaya! Oleh sebab itu, dari nama yang mana pun kita masuk menyeru-Nya, terserahlah kepada pilihan kita yang tetap. Maka bertambah ketaatan kita kepada Allah, niscaya bertambah kenallah kita akan khasiat (keistimewaan) tiap-tiap nama itu.
Kemudian datanglah sambungan ayat,
“Dan janganlah engkau keraskan bacaan shalat engkau, dan janganlah (pula) engkau lambatkan. Tetapi carilah di antara itu suatu jalan."
Di ujung ayat ini diperingatkan kepada Nabi ﷺ supaya jika dia shalat janganlah membaca dengan suara keras, dan jangan pula terlalu lunak berbisik. Melainkan hendaklah diambil jalan tengah, membaca terdengar oleh telinga sendiri.
Menurut suatu riwayat dari Ibnu Abbas, ayat ini diturunkan agar jangan bersuara keras sebab kaum Muslimin di Mekah masih lemah. Bacaan yang dikeraskan menyebabkan ributnya orang musyrikin mencemuh dan mengejek. Kalau kaum Muslimin tidak tahan diejek, dapat timbul perkelahian.