Ayat
Terjemahan Per Kata
قُلِ
katakanlah
ٱدۡعُواْ
serulah
ٱللَّهَ
Allah
أَوِ
atau
ٱدۡعُواْ
serulah
ٱلرَّحۡمَٰنَۖ
ar-rahman
أَيّٗا
mana saja
مَّا
apa (nama)
تَدۡعُواْ
kamu seru
فَلَهُ
maka bagi-Nya
ٱلۡأَسۡمَآءُ
nama-nama
ٱلۡحُسۡنَىٰۚ
yang baik
وَلَا
dan jangan
تَجۡهَرۡ
kamu mengeraskan
بِصَلَاتِكَ
dengan sholatmu
وَلَا
dan jangan
تُخَافِتۡ
kamu merendahkan
بِهَا
dengannya
وَٱبۡتَغِ
dan carilah olehmu
بَيۡنَ
antara
ذَٰلِكَ
demikian itu
سَبِيلٗا
jalan
قُلِ
katakanlah
ٱدۡعُواْ
serulah
ٱللَّهَ
Allah
أَوِ
atau
ٱدۡعُواْ
serulah
ٱلرَّحۡمَٰنَۖ
ar-rahman
أَيّٗا
mana saja
مَّا
apa (nama)
تَدۡعُواْ
kamu seru
فَلَهُ
maka bagi-Nya
ٱلۡأَسۡمَآءُ
nama-nama
ٱلۡحُسۡنَىٰۚ
yang baik
وَلَا
dan jangan
تَجۡهَرۡ
kamu mengeraskan
بِصَلَاتِكَ
dengan sholatmu
وَلَا
dan jangan
تُخَافِتۡ
kamu merendahkan
بِهَا
dengannya
وَٱبۡتَغِ
dan carilah olehmu
بَيۡنَ
antara
ذَٰلِكَ
demikian itu
سَبِيلٗا
jalan
Terjemahan
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Serulah ‘Allah’ atau serulah ‘Ar-Raḥmān’! Nama mana saja yang kamu seru, (maka itu baik) karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asmaulhusna). Janganlah engkau mengeraskan (bacaan) salatmu dan janganlah (pula) merendahkannya. Usahakan jalan (tengah) di antara (kedua)-nya!”
Tafsir
Disebutkan bahwa Nabi ﷺ sering mengucapkan kalimat ya Allah, ya Rahman; artinya wahai Allah, wahai Yang Maha Pemurah. Maka orang-orang musyrik mengatakan, "Dia melarang kita untuk menyembah dua tuhan sedangkan dia sendiri menyeru tuhan lain di samping-Nya," maka turunlah ayat berikut ini, yaitu: (Katakanlah) kepada mereka ("Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman) artinya namailah Dia dengan mana saja di antara kedua nama itu; atau serulah Dia seumpamanya kamu mengatakan, 'Ya Allah, ya Rahman,' artinya wahai Allah, wahai Yang Maha Pemurah (nama yang mana saja") huruf ayyan di sini bermakna syarath sedangkan huruf maa adalah zaidah; artinya mana saja di antara kedua nama itu (kamu seru) maka ia adalah baik; makna ini dijelaskan oleh ayat selanjutnya, yaitu: (Dia mempunyai) Dzat yang mempunyai kedua nama tersebut (asmaul husna) yaitu nama-nama yang terbaik, dan kedua nama tersebut, yaitu lafal Allah dan lafal Ar-Rahman adalah sebagian daripadanya. Sesungguhnya asmaul husna itu sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis ialah seperti berikut ini, yaitu: Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pemurah, Yang Maha Penyayang, Raja di dunia dan akhirat, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Maha Memberi keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Mulia, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Memiliki segala keagungan, Yang Maha Menciptakan, Yang Maha Mengadakan, Yang Maha Memberi rupa, Yang Maha Penerima tobat, Yang Maha Mengalahkan, Yang Maha Memberi, Yang Maha Pemberi rezeki, Yang Maha Membuka, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Menyempitkan rezeki, Yang Maha Melapangkan rezeki, Yang Maha Merendahkan, Yang Maha Mengangkat, Yang Maha Memuliakan, Yang Maha Menghinakan, Yang Maha Mendengar, Yang Maha Melihat, Yang Maha Memberi keputusan, Yang Maha Adil, Yang Maha Lembut, Yang Maha Waspada, Yang Maha Penyantun, Yang Maha Agung, Yang Maha Pengampun, Yang Maha Mensyukuri, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Besar, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Memberi azab, Yang Maha Penghisab, Yang Maha Besar, Yang Maha Dermawan, Yang Maha Mengawasi, Yang Maha Memperkenankan, Yang Maha Luas, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Pengasih, Yang Maha Mulia, Yang Maha Membangkitkan, Yang Maha Menyaksikan, Yang Maha Hak, Yang Maha Menolong, Yang Maha Kuat, Yang Maha Teguh, Yang Maha Menguasai, Yang Maha Terpuji, Yang Maha Menghitung, Yang Maha Memulai, Yang Maha Mengembalikan, Yang Maha Menghidupkan, Yang Maha Mematikan, Yang Maha Hidup, Yang Maha Memelihara makhluk-Nya, Yang Maha Mengadakan, Yang Maha Mengagungkan, Yang Maha Satu, Yang Maha Esa, Yang Maha Melindungi, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Berkuasa, Yang Maha Mendahulukan, Yang Maha Mengakhirkan, Yang Maha Awal, Yang Maha Akhir, Yang Maha Lahir, Yang Maha Batin, Yang Maha Menguasai, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Melimpahkan kebaikan, Yang Maha Memberi tobat, Yang Maha Membalas, Yang Maha Memaafkan, Yang Maha Penyayang, Raja Diraja, Yang Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan, Yang Maha Adil, Yang Maha Mengumpulkan, Yang Maha Kaya, Yang Maha Memberi Kekayaan, Yang Maha Mencegah, Yang Maha Memberi kemudaratan, Yang Maha Memberi kemanfaatan, Yang Maha Memiliki cahaya, Yang Maha Memberi petunjuk, Yang Maha Menciptakan keindahan, Yang Maha Kekal, Yang Maha Mewarisi, Yang Maha Membimbing, Yang Maha Penyabar, Yang Maha. Demikianlah menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi. Selanjutnya Allah ﷻ berfirman: (Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu) dengan mengeraskan bacaanmu dalam salatmu, maka orang-orang musyrik akan mendengar bacaanmu itu jika kamu mengerasi suaramu karena itu mereka akan mencacimu dan mencaci Al-Qur'an serta mencaci pula Allah yang telah menurunkannya (dan janganlah pula merendahkan) melirihkan (bacaannya) supaya para sahabatmu dapat mengambil manfaat darinya (dan carilah) bersengajalah (di antara kedua itu) yakni di antara suara keras dan suara pelan (jalan tengah) yaitu cara yang pertengahan.
Tafsir Surat Al-Isra: 110-111
Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik); dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salam salatmu, dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kebinasaan, dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.
Allah ﷻ berfirman kepada Nabi-Nya, "Hai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang musyrik yang mengingkari sifat rahmat Allah," yaitu mereka yang tidak mau menyebut Allah dengan sebutan Ar-Rahman: Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik). (Al-Isra: 110) Yakni tidak ada bedanya bila kalian menyeru-Nya dengan sebutan Allah atau sebutan Ar-Rahman, karena sesungguhnya Dia mempunyai nama-nama yang terbaik. Di dalam ayat lain disebutkan melalui firman-Nya: Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al-Hasyr: 22) sampai dengan firman-Nya: Yang mempunyai nama-nama yang terbaik.
Bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. (Al-Hasyr: 24), hingga akhir ayat. Makhul pernah meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki dari kalangan kaum musyrik mendengar Nabi ﷺ mengatakan dalam sujudnya: Wahai Tuhan Yang Maha Pemurah, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih. Lalu lelaki musyrik itu berkata bahwa sesungguhnya dia menduga dirinya menyeru Tuhan yang satu, padahal dia menyeru dua Tuhan. Maka Allah ﷻ menurunkan ayat ini. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Kedua riwayat tersebut diketengahkan oleh Ibnu Jarir. Firman Allah ﷻ: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu. (Al, Isra: 110), hingga akhir ayat.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang telah mengatakan bahwa ayat berikut ini diturunkan saat Rasulullah ﷺ sedang bersembunyi di Mekah, yaitu firman-Nya: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan jangan pula merendahkannya. (Al-Isra: 110) Bahwa apabila Nabi ﷺ salat dengan sahabat-sahabatnya, maka beliau mengeraskan bacaan Al-Qur'annya; dan manakala kaum musyrik mendengar bacaannya itu, mereka mencaci Al-Qur'an dan mencaci Tuhan yang menurunkannya serta malaikat yang menyampaikannya. Maka Allah ﷻ berfirman kepada Nabi-Nya: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu. (Al-Isra: 110) Maksudnya, janganlah kamu mengeraskan bacaan Al-Qur'anmu, nanti orang-orang musyrik akan mendengarnya dan mereka akan mencaci Al-Qur'an karenanya.
dan janganlah pula kamu merendahkannya. (Al-Isra: 110) Yakni memelankan bacaanmu dari sahabat-sahabatmu, sehingga mereka tidak dapat mendengarkan bacaan Al-Qur'anmu, padahal mereka menerimanya dari bacaanmu. dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. (Al-Isra: 110) Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Abu Bisyr Ja'far ibnu Iyas dengan sanad yang sama. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, yang di dalam riwayatnya disebutkan tambahan, yaitu bahwa setelah Nabi ﷺ hijrah ke Madinah, maka gugurlah perintah tersebut. Dengan kata lain, Nabi ﷺ boleh melakukannya bila menghendaki. Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pada mulanya Rasulullah ﷺ selalu membaca Al-Qur'an dalam salatnya dengan bacaan yang keras, dan orang-orang meninggalkannya serta tidak mau mendengarkan bacaannya.
Dan bilamana seseorang hendak mendengarkan bacaan Rasulullah ﷺ dalam salatnya, maka ia terpaksa harus mencuri-curi dengar karena takut kepada orang-orang musyrik. Apabila orang-orang musyrik mengetahui bahwa dia mendengar bacaan Rasul ﷺ, maka dia pergi karena takut disakiti oleh mereka dan tidak mau mendengarkannya lagi. Dan apabila Rasulullah ﷺ merendahkan bacaannya, maka orang-orang yang mendengarkan bacaannya tidak dapat mengambil suatu manfaat pun dari bacaannya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu. (Al-Isra: 110), yang menyebabkan orang-orang kafir yang simpati kepadamu bubar meninggalkanmu. dan janganlah pula merendahkannya. (Al-Isra: 110) sehingga orang-orang yang mencuri dengar dari bacaanmu dari kalangan mereka tidak dapat mendengarnya, karena barangkali sebagian dari mereka memperhatikan sebagian dari apa yang didengarnya darimu dan beroleh manfaat darinya.
dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. (Al-Isra: 110) Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ikrimah, Al-Hasan Al-Basri, dan Qatadah, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah bacaan dalam salat. Syu'bah telah meriwayatkan dari Asy'as ibnu Salim, dari Al-Aswad ibnu Hilal, dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah pula merendahkannya. (Al-Isra: 110) terhadap orang yang membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengarkannya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Salamah ibnu Alqamah, dari Muhammad ibnu Sirin yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar berita bahwa sahabat Abu Bakar apabila salat merendahkan bacaan Al-Qur'annya, sedangkan sahabat Umar mengeraskan bacaan Al-Qur'annya.
Maka dikatakan kepada Abu Bakar, "Mengapa engkau lakukan hal itu?" Abu Bakar menjawab, "Saya sedang bermunajat kepada Tuhanku, dan Dia mengetahui keperluanku." Lalu dikatakan kepadanya, "Engkau baik." Dan dikatakan kepada Umar, "Mengapa engkau lakukan hal itu?" Umar menjawab, "Saya sedang mengusir setan dan melenyapkan rasa kantuk." Maka dikatakan kepadanya, "Engkau baik." Dan ketika firman Allah ﷻ diturunkan, yaitu: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu, dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. (Al-Isra: 110) maka dikatakan kepada Abu Bakar, "Angkatlah sedikit suara bacaanmu." Dan dikatakan kepada Umar, "Rendahkanlah sedikit suara bacaanmu." Asy'as ibnu Siwar telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan berdoa.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh As-Sauri dan Malik, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a., bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan doa. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Iyad, Makhul, dan Urwah ibnuz Zubair. As-Sauri telah meriwayatkan dari Ibnu Ayyasy Al-Amiri, dari Abdullah ibnu Syaddad yang menceritakan bahwa pernah ada seorang Badui dari kalangan Bani Tamim apabila mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ lalu ia mengiringinya dengan doa, "Ya Allah, berilah saya rezeki berupa ternak unta dan anak." Maka turunlah ayat ini: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya. (Al-Isra: 110) Pendapat lain.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abus Sa-ib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan bacaan tasyahhud, yaitu firman-Nya: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya. (Al-Isra: 110) Hal yang sama telah dikatakan oleh Hafs, dari Asy'as ibnu Siwar, dari Muhammad ibnu Sirin dengan teks yang semisal. Pendapat lain. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya. (Al-Isra: 110) Maksudnya, janganlah kamu salat karena ingin dilihat oleh orang-orang, janganlah pula kamu meninggalkannya karena takut terhadap orang-orang kafir.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan firman-Nya: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula kamu merendahkannya. (Al-Isra: 110) Bahwa janganlah kamu melakukannya dengan baik secara terang-terangan, lalu melakukannya dengan buruk di kala sendirian. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Al-Hasan dengan sanad yang sama. Hisyam telah meriwayatkannya dari Auf, dari Al-Hasan dengan sanad yang sama; dan Sa'id meriwayatkannya dari Qatadah, dari Al-Hasan dengan sanad'yang sama pula.
Pendapat lain. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. (Al-Isra: 110) Bahwa orang-orang Ahli Kitab itu selalu merendahkan bacaan kitab mereka bilamana ada seseorang dari mereka mengeraskan bacaan suatu kalimat dari kitabnya dengan suara yang keras, maka orang-orang yang mengikutinya membacanya dengan keras pula di belakangnya. Maka Allah ﷻ melarang Nabi ﷺ mengeraskan suara dalam bacaannya seperti yang dilakukan orang-orang ahli kitab, dan melarang pula merendahkannya seperti yang dilakukan mereka. Kemudian Allah ﷻ memberinya jalan pertengahan di antara keduanya, yang hal ini dicontohkan kepada Nabi ﷺ oleh Malaikat Jibril a.s. dalam salatnya. Firman Allah ﷻ: Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak." (Al-Isra: 111) Setelah Allah ﷻ menetapkan bahwa diri-Nya mempunyai asma-asma yang terbaik, lalu Dia menyucikan diri-Nya dari semua bentuk kekurangan. Untuk itu Dia berfirman: Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya. (Al-Isra: 111) Bahkan Dialah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.
dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan. (Al-Isra: 111) Yakni Dia tidaklah hina yang karenanya Dia memerlukan penolong atau pembantu atau penasihat, bahkan Dia adalah Mahatinggi, Pencipta segala sesuatu dengan sendiri-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, Dialah yang mengatur dan yang memutuskan menurut apa yang dikehendaki-Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya. Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak mempunyai penolong (yang menjaga-Nya) dari kehinaan. (Al-Isra: 111) Artinya, Dia tidak memerlukan berteman dengan seorang pun dan tidak memerlukan pertolongan seorang pun.
dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. (Al-Isra: 111) Yakni besarkanlah dan agungkanlah Dia terhadap apa yang dikatakan oleh orang-orang zalim lagi kelewat batas itu dengan pengagungan yang setinggi-tingginya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, dari Al-Qurazi, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak." (Al-Isra: 111), hingga akhir ayat.
Bahwa sesungguhnya orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mengatakan, "Allah mengambil anak." Dan orang-orang Arab Jahiliah selalu mengatakan (dalam tawafnya), "Labbaika, tiada sekutu bagi Engkau kecuali sekutu yang menjadi milik-Mu, sedangkan dia tidak memiliki." Orang-orang sabi-in mengatakan demikian pula orang-orang Majusi bahwa seandainya tidak ada penolong, tentulah Allah hina. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya, dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya." (Al-Isra: 111) Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah; telah diceritakan kepada kami bahwa Nabi ﷺ mengajarkan kepada keluarganyabaik yang masih kecil ataupun yang sudah dewasa ayat berikut, yaitu firman Allah ﷻ: Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak. (Al-Isra: 111), hingga akhir ayat.
Menurut kami, telah disebutkan di dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ menamakan ayat ini dengan sebutan 'Ayat Kemuliaan (Keperkasaan)', Di dalam salah satu asar disebutkan bahwa tidak sekali-kali ayat ini dibacakan di dalam suatu rumah dalam suatu malam, lalu rumah itu dapat tertimpa kecurian atau penyakit. " (3) ". ". ". ". "". Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Subhan Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Maimun, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah Az-Zubaidi, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Rasulullah ﷺ, sedangkan tangan beliau memegang tanganku, atau tanganku memegang tangan beliau.
Lalu Nabi ﷺ mendatangi seorang lelaki yang penampilannya kumal dan kotor. Nabi ﷺ bertanya, "Hai Fulan, mengapa kulihat keadaanmu demikian menyedihkan?" Lelaki itu menjawab, "Wahai Rasulullah, saya tertimpa sakit dan kemelaratan." Rasulullah ﷺ bersabda, "Maukah kamu aku ajarkan beberapa kalimat yang dapat melenyapkan penyakit dan kemelaratan yang ada pada dirimu itu?" Lelaki itu menjawab, "Tentu saja mau, tidaklah menggembirakan diriku bila kalimat-kalimat itu ditukar dengan ikut dalam Perang Badar atau Perang Uhud bersamamu sebagai gantinya." Rasulullah ﷺ tertawa dan bersabda, "Dan apakah Ahli Badar dan Ahli Uhud mengalami apa yang dialami oleh seorang fakir yang menerima apa adanya?" Abu Hurairah berkata, "Wahai Rasulullah, ajarkanlah pula kepadaku kalimat-kalimat itu." Rasulullah ﷺ bersabda: Hai Abu Hurairah, katakanlah, "Saya bertawakal kepada Tuhan Yang Hidup yang tidak mati, segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tiada sekutu bagi-Nya di dalam kerajaan-Nya, dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.
Kemudian lelaki itu datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ sedangkan keadaannya telah membaik. Maka Rasulullah ﷺ bertanya, "Apakah yang telah engkau lakukan?" Ia menjawab, "Wahai Rasulullah, saya masih tetap membaca kalimat-kalimat yang pernah engkau ajarkan kepada saya itu." Sanad hadis ini daif, di dalam matannya terdapat hal yang munkar. Demikianlah akhir pembahasan tafsir surat Subhanallah (surat Al-Isra). Hanya bagi Allah-lah segala puji, dan hanya kepada-Nyalah kami berharap."
Katakanlah wahai Nabi Muhammad kepada orang-orang musyrik
Mekah, Serulah Allah atau serulah ar-Rahma'n, Dia Yang Maha Pengasih.
Jangan ragu engkau menyeru dengan kedua nama itu, sebab keduanya
adalah nama Tuhan. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru,
karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik, yakni Asma'ul-a'usna',
sebutlah salah satu dari nama itu atau semuanya tidaklah berarti engkau
mengakui berbilangnya Zat Tuhan, sebab berbilangnya nama tidak
berarti berbilangnya Zat Tuhan, dan selanjutnya katakanlah kepada
mereka janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam salat, agar orangorang musyrik Mekah tidak menyakitimu dan menghina agamamu,
dan janganlah pula merendahkannya sehingga tidak terdengar suaramu
sama sekali, dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu, yakni tidak
mengeraskan suara dalam salat dan tidak pula merendahkan suaranya. Dan katakanlah wahai Nabi Muhammad, Segala puji bagi Allah
yang tidak mempunyai anak, sebagaimana dikatakan orang-orang Yahudi
bahwa malaikat adalah anak-anak Allah, dan demikian pula dipercaya
oleh orang-orang Nasrani bahwa Nabi Isa adalah anak Allah, dan tidak
pula mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya, sebagaimana dipercaya oleh kaum musyrik yang percaya kepada tuhan-tuhan selain Allah, dan dengan demikian, Dia tidak memerlukan penolong dari kehinaan yang dilontarkan oleh siapa pun yang menghina-Nya. Hanya Dia saja yang
Mahaagung dan oleh karena itu agungkanlah Dia seagung-agungnya.
Sabab nuzul ayat ini, menurut riwayat Ibnu Jarir ath-thabari dari Ibnu 'Abbas, bahwa Rasul ﷺ pada suatu hari salat di Mekah, lalu beliau berdoa. Dalam doanya itu, beliau mengucapkan kata-kata, "Ya Allah Ya Rahman." Orang-orang musyrik yang mendengar ucapan Nabi itu berkata, "Perhatikanlah orang yang telah keluar dari agamanya ini, dilarangnya kita berdoa kepada dua Tuhan sedangkan dia sendiri berdoa kepada dua Tuhan. Maka turunlah ayat ini.
Menurut riwayat Adh-ahhak, sebab turun ayat ini ialah bahwa orang Yahudi bertanya kepada Rasul mengapa kata ar-Rahman sedikit beliau sebutkan, padahal di dalam Taurat, Allah banyak menyebutnya." Maka turunlah ayat ini.
Bilamana latar belakang turun ayat ini menurut riwayat yang pertama, maka Allah menjelaskan kepada kaum musyrikin bahwa kedua lafal itu (Allah dan ar-Rahman) walaupun berbeda namun sama-sama mengungkap-kan Zat Yang Maha Esa, Tuhan satu-satunya yang disembah. Pemahaman yang demikian sesuai dengan keterangan ayat 111.
Bila latar belakang turunnya ayat ini adalah riwayat yang kedua, maka Allah menjelaskan kepada orang Yahudi bahwa lafal itu sama-sama baik untuk mengutarakan apa yang dimaksud. Orang Yahudi memandang kata ar-Rahman lebih baik, karena sifat itu yang paling disukai Allah, sehingga banyak disebut dalam Taurat. Ar-Rahman banyak sekali disebut dalam Taurat karena Nabi Musa a.s. berwatak keras dan pemarah. Oleh karena itu, Allah banyak menyebutkan kata-kata ar- Rahman agar beliau bergaul dengan umatnya dengan kasih sayang, dan beliau sebagai seorang nabi tentulah mencontoh sifat-sifat Allah.
Pada ayat ini, Allah ﷻ menjelaskan tentang keesaan Zat-Nya dengan nama-nama yang baik. Nama-nama yang baik itu hanyalah menggambarkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, bukan wujud Allah yang berdiri sendiri sebagai-mana anggapan kaum musyrikin.
Sesudah menyatakan kesamaan kedua kata itu, Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa kedua lafal itu baik digunakan untuk berdoa, karena Tuhan mempunyai al-asma'ul husna (nama-nama yang paling baik). Tuhan memberikan keterangan dengan al-husna (paling baik) untuk nama-nama-Nya, karena mengandung pengertian yang mencakup segala sifat-sifat kesempurnaan, kemuliaan, dan keindahan yang tidak satu makhluk pun yang menyerupai.
Orang-orang Yahudi sesungguhnya tidaklah memungkiri nama-nama Allah yang baik itu. Hanya saja mereka memandang ar-Rahman nama yang terbaik di antara nama-nama Tuhan lainnya. Inilah yang tidak dibenarkan dalam ayat ini karena kedua nama tersebut termasuk al-asma'ul husna. Pendapat seperti di atas juga dianut oleh kaum Muslimin, dimana menurut mereka, ada nama yang lebih tinggi di antara al-asma'ul husna. Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ mendengar seorang laki-laki membaca doa:
Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, supaya aku benar-benar bersaksi bahwasanya Engkau Allah yang tiada tuhan melainkan Engkau, Yang Esa lagi tempat bergantung segala makhluk. Yang tiada beranak dan tiada dilahirkan dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. (Riwayat at-Tirmidzi dari Abdullah bin Buraidah al-Aslami dari ayahnya)
Setelah mendengar doa itu Nabi ﷺ bersabda:
Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, benar-benar laki-laki itu berdoa dengan nama Tuhan Yang Agung (al-asma' al-A'dham), yang bila Allah diseru dengan (menyebut) nama itu niscaya Dia menyempurnakannya, dan bila Allah diminta dengan (menyebut) nama itu niscaya Dia memberi. (Riwayat Ibnu Jarir ath-thabari dari Sa'ad)
Diriwayatkan pula oleh Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Abi Hatim dari Asma' binti Yazid bahwa Nabi ﷺ bersabda:
Nama Allah Ta'ala Yang Maha Agung terletak pada dua ayat ini, yaitu:
Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. (al-Baqarah/2: 163)
Dan ayat yang kedua ialah pada pembukaan Surah ali 'Imran:
Alif Lam Mim. Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus-mengurus (makhluk-Nya). (ali 'Imran/3: 1-2)
Kemudian pada akhir ayat ini, Allah memerintahkan kepada Rasul agar di waktu salat jangan membaca ayat dengan suara keras dan jangan pula dengan suara yang rendah, tetapi di antara keduanya. Yang dimaksud dengan membaca ayat ini mencakup membaca basmalah dan ayat lainnya. Jika Rasul membaca dengan suara yang keras, tentu didengar oleh orang-orang musyrik dan mereka lalu mengejek, mengecam, dan mencaci-maki Al-Qur'an, Nabi, dan sahabat-sahabatnya. Namun jangan pula membaca dengan suara yang terlalu rendah sehingga para sahabat tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Larangan ini turun ketika Rasul masih berada di Mekah berdasarkan riwayat Ibnu 'Abbas.
Menurut riwayat Ibnu 'Abbas, ketika Rasul berada di Mekah disuruh membaca ayat dengan suara yang tidak terlalu keras, tetapi juga tidak terlalu rendah, dilarang membaca dengan suara yang pelan dan rendah sehingga tidak terdengar. Tetapi sesudah hijrah ke Medinah, persoalan itu tidak dibahas lagi kecuali membaca ayat dalam salat dengan suara yang keras di luar batas tetap tidak dibenarkan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
ASMAUL HUSNA
Ayat 110
“Katakanlah, Setulah Allah atau serulah ar-Rahman!" Dengan apa jua pun kamu menyenu Dia, namun bagi-Nya adalah nama-nama yang baik."
Menurut suatu riwayat dari ibnu Abbas, pada suatu hari Rasulullah ﷺ menyeru nama Allah, “Ya Allah, Ya Rahman!" Maka terdengarlah doa itu oleh kaum musyrikin. Mereka rupanya tidak biasa mendengar pemakaian nama ar-Rahman itu, atau selama ini belum dibiasakan dalam kalangan mereka.
Makhul menceritakan pula bahwa pada suatu malam Rasulullah ﷺ melakukan shalat Tahajjud, lalu beliau berseru dalam doanya, “Ya Rahman, Ya Rahim." Terdengar oleh seorang dari kalangan musyrikin, sedang di Yamamah ada seseorang bernama Rahman. Maka berkatalah si musyrik itu, “Bagaimana Muhammad. Di samping memanggil nama Allah Ya Rahim, dipanggilnya pula nama Rahman. Apakah si Rahman yang ada di Yama-mah?" Maka datanglah penjelasan pada ayat 110 ini: Baik diseru nama-Nya ya Allah atau diseru namanya Ya Rahman, adalah sama saja. Sebab Allah itu mempunyai berbagai nama-nama yang indah. Ada Rahman yang boleh diartikan kasih, ada Rahim yang boleh diartikan sayang. Ada Ghafur, yang berarti pemberi ampun, demikian juga Ghaffar. Ada Syakur yang berarti mengganjar dengan baik bagi siapa yang berbuat baik, dan lebih dari 99 nama yang lain, yang menunjukkan sifat-sifat-Nya yang Mulia lagi Agung. Maka serulah Dia dengan salah satu dari nama itu, namun yang diseru tidak -lain dari yang Esa juga. Allah!
Bukanlah nama yang berbagai-bagai itu nama dari tuhan yang berbilang.
Nama-nama yang menunjukkan sifat-sifat Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung itulah yang disebut Asmaul Husna. Nama-nama yang indah!
Bolehlah seru Dia dengan salah satu dari nama itu, masing-masing menurut tempat dan waktunya. Misalnya engkau digagahi sesamamu manusia, ditekannya engkau ser-bakekerasan dan kezaliman, maka sebutlah dan serulah nama-Nya, “Ya Allah, Ya Qahhar!" Sebab arti a!-Qahhar ialah yang lebih gagah daripada segala yang gagah. Atau kita sedang merencanakan suatu perbuatan yang baik dan mulia, tetapi kita kekurangan belanja buat meneruskan. Waktu itu tidak ada salahnya kita seru nama-Nya, “Ya Allah, Ya Ghariyyur. Ya Allah Tuhan Yang Mahakaya! Oleh sebab itu, dari nama yang mana pun kita masuk menyeru-Nya, terserahlah kepada pilihan kita yang tetap. Maka bertambah ketaatan kita kepada Allah, niscaya bertambah kenallah kita akan khasiat (keistimewaan) tiap-tiap nama itu.
Kemudian datanglah sambungan ayat,
“Dan janganlah engkau keraskan bacaan shalat engkau, dan janganlah (pula) engkau lambatkan. Tetapi carilah di antara itu suatu jalan."
Di ujung ayat ini diperingatkan kepada Nabi ﷺ supaya jika dia shalat janganlah membaca dengan suara keras, dan jangan pula terlalu lunak berbisik. Melainkan hendaklah diambil jalan tengah, membaca terdengar oleh telinga sendiri.
Menurut suatu riwayat dari Ibnu Abbas, ayat ini diturunkan agar jangan bersuara keras sebab kaum Muslimin di Mekah masih lemah. Bacaan yang dikeraskan menyebabkan ributnya orang musyrikin mencemuh dan mengejek. Kalau kaum Muslimin tidak tahan diejek, dapat timbul perkelahian.