Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
يَأۡمُرُ
Dia menyuruh
بِٱلۡعَدۡلِ
dengan keadilan
وَٱلۡإِحۡسَٰنِ
dan kebaikan
وَإِيتَآيِٕ
mendatangkan
ذِي
memiliki hubungan
ٱلۡقُرۡبَىٰ
kerabat
وَيَنۡهَىٰ
dan Dia melarang
عَنِ
dari
ٱلۡفَحۡشَآءِ
perbuatan keji
وَٱلۡمُنكَرِ
dan munkar
وَٱلۡبَغۡيِۚ
dan kedurhakaan
يَعِظُكُمۡ
Dia memberi pengajaran kepadamu
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَذَكَّرُونَ
kamu ingat/mengerti
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
يَأۡمُرُ
Dia menyuruh
بِٱلۡعَدۡلِ
dengan keadilan
وَٱلۡإِحۡسَٰنِ
dan kebaikan
وَإِيتَآيِٕ
mendatangkan
ذِي
memiliki hubungan
ٱلۡقُرۡبَىٰ
kerabat
وَيَنۡهَىٰ
dan Dia melarang
عَنِ
dari
ٱلۡفَحۡشَآءِ
perbuatan keji
وَٱلۡمُنكَرِ
dan munkar
وَٱلۡبَغۡيِۚ
dan kedurhakaan
يَعِظُكُمۡ
Dia memberi pengajaran kepadamu
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَذَكَّرُونَ
kamu ingat/mengerti
Terjemahan
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.
Tafsir
(Sesungguhnya Allah menyuruh kalian berlaku adil) bertauhid atau berlaku adil dengan sesungguhnya (dan berbuat kebaikan) menunaikan fardu-fardu, atau hendaknya kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadis (memberi) bantuan (kepada kaum kerabat) famili; mereka disebutkan secara khusus di sini, sebagai pertanda bahwa mereka harus dipentingkan terlebih dahulu (dan Allah melarang dari perbuatan keji) yakni zina (dan kemungkaran) menurut hukum syariat, yaitu berupa perbuatan kekafiran dan kemaksiatan (dan permusuhan) menganiaya orang lain. Lafal al-baghyu disebutkan di sini secara khusus sebagai pertanda, bahwa ia harus lebih dijauhi; dan demikian pula halnya dengan penyebutan lafal al-fahsyaa (Dia memberi pengajaran kepada kalian) melalui perintah dan larangan-Nya (agar kalian dapat mengambil pelajaran) mengambil pelajaran dari hal tersebut. Di dalam lafal tadzakkaruuna menurut bentuk asalnya ialah huruf ta-nya diidghamkan kepada huruf dzal. Di dalam kitab Al-Mustadrak disebutkan suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Masud yang telah mengatakan, bahwa ayat ini yakni ayat 90 surah An-Nahl, adalah ayat yang paling padat mengandung anjuran melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan di dalam Al-Qur'an.
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran. Allah ﷻ menyebutkan bahwa Dia memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berlaku adil, yakni pertengahan dan seimbang. Dan Allah memerintahkan untuk berbuat kebajikan, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat yang lain, yaitu: Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. Akan tetapi, jika kalian bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (An-Nahl: 126) Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan Allah. (Asy-Syura: 40) dan luka-luka(pun) ada qisasnya.
Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45) Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan perintah berbuat adil serta anjuran berbuat kebajikan. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil. (An-Nahl: 90) Yakni mengucapkan persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Lain pula dengan Sufyan ibnu Uyaynah, ia mengatakan bahwa istilah adil dalam ayat ini ialah sikap pertengahan antara lahir dan batin bagi setiap orang yang mengamalkan suatu amal karena Allah ﷻ Al-ihsan artinya ialah 'bilamana hatinya lebih baik daripada lahiriahnya'.
Al fahsya serta al-munkar ialah 'bila lahiriahnya lebih baik daripada hatinya'. Dan yang dimaksud dengan firman-Nya: dan memberi kepada kaum kerabat. (An-Nahl: 90) Yaitu hendaknya dia menganjurkan untuk bersilaturahmi, seperti pengertian yang terdapat di dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kalian menghambur-hamburkan (harta kalian) secara boros. (Al-Isra: 26) Firman Allah ﷻ: dan Allah melarang dari perbuatan keji dan kemungkaran. (An-Nahl: 90) Yang dimaksud dengan fahsya ialah hal-hal yang diharamkan, dan munkar ialah segala sesuatu yang ditampakkan dari perkara haram itu oleh pelakunya.
Karena itulah dalam ayat lain disebutkan oleh firman-Nya: Katakanlah, "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi. (Al-A'raf: 33) Adapun yang dimaksud dengan al-bagyu ialah permusuhan dengan orang lain. Di dalam sebuah hadis diterangkan: Tiada suatu dosa pun yang lebih berhak Allah menyegerakan siksaan terhadap (pelaku)nya di dunia ini, di samping siksaan yang disediakan buat pelakunya di akhirat nanti, selain dari permusuhan dan memutuskan tali silaturahmi.
Firman Allah ﷻ: Dia memberi pengajaran kepada kalian. (An-Nahl: 90) Yaitu melalui apa yang diperintahkannya kepada kalian agar berbuat kebaikan dan melarang kalian dari perbuatan yang jahat. agar kalian dapat mengambil pelajaran. (An-Nahl: 90) Asy-Sya'bi telah meriwayatkan dari Basyir ibnuNuhaik, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Mas'ud mengatakan, "Sesungguhnya ayat yang paling mencakup dalam Al-Qur'an adalah ayat surat An-Nahl," yaitu firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berbuat adil dan berbuat kebajikan. (An-Nahl: 90), hingga akhir ayat. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Sa'id ibnu Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berbuat adil dan berbuat kebajikan. (An-Nahl: 90), hingga akhir ayat. Bahwa tiada suatu akhlak baik pun yang dahulu dilakukan oleh orang-orang Jahiliah dan mereka memandangnya sebagai perbuatan yang baik, melainkan Allah ﷻ menganjurkannya. Dan tiada suatu akhlak buruk pun yang dahulu mereka pandang sebagai suatu keaiban di antara sesama mereka melainkan Allah melarangnya. Yang paling diprioritaskan ialah, sesungguhnya Allah melarang akhlak yang buruk dan yang tercela. Karena itulah menurut kami di dalam sebuah hadis disebutkan: Sesungguhnya Allah menyukai akhlak-akhlak yang tinggi dan benci terhadap akhlak-akhlak yang rendah.
Al-Hafiz Abu Ya'la dalam kitab Ma'rifatus Sahabah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad ibnul Fath A!-Hambali, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Muhammad maula (pelayan) Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Daud Al-Munkadiri, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Ali Al-Maqdami, dari Ali ibnu Abdul Malik ibnu Umair, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Aksam ibnu Saifi sampai di tempat Nabi ﷺ biasa keluar, maka dia bermaksud datang langsung menemui Nabi ﷺ tetapi kaumnya tidak membiarkannya berbuat begitu. Mereka berkata, "Engkau adalah pemimpin kami, tidaklah pantas bila engkau datang sendiri kepadanya." Aksam ibnu Saifi berkata, "Kalau begitu, carilah seseorang yang menjadi perantara untuk menyampaikan dariku dan seseorang perantara untuk menyampaikan darinya." Maka ditugaskanlah dua orang lelaki, lalu keduanya datang menghadap kepada Nabi ﷺ dan berkata, "Kami berdua adalah utusan Aksam ibnu Saifi, dia ingin bertanya kepadamu, siapakah kamu dan apakah kedudukanmu?" Nabi ﷺ bersabda, "Aku adalah Muhammad ibnu Abdullah.
Adapun kedudukanku adalah Abdullah (hamba Allah) dan Rasulullah (utusan Allah)." Kemudian Nabi ﷺ membacakan kepada mereka ayat ini, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan. (An-Nahl: 90), hingga akhir ayat. Mereka berkata, "Ulangilah kalimat itu kepada kami." Maka Nabi ﷺ mengulang-ulang sabdanya kepada mereka hingga mereka hafal. Setelah itu keduanya datang menghadap kepada Aksam ibnu Saifi dan mengatakan, "Dia menolak, tidak mau meninggikan nasabnya. Ketika kami tanyakan kepada orang lain tentang nasabnya, ternyata kami jumpai dia (Nabi ﷺ) bersih nasabnya (tinggi), dan dimuliakan di kalangan Mudar. Sesungguhnya dia telah melontarkan kepada kami kalimat-kalimat yang pernah kami dengar." Setelah Aksam mendengar kalimat-kalimat tersebut, ia mengatakan, "Sesungguhnya saya melihat dia adalah orang yang memerintahkan kepada akhlak-akhlak yang mulia dan melarang akhlak-akhlak yang buruk.
Maka jadilah kalian semua dalam urusan ini sebagai pemimpin-pemimpin dan janganlah kalian menjadi pengekor-pengekor." Disebutkan di dalam hadis yang berpredikat hasan sehubungan dengan penyebab turunnya ayat ini, diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid, telah menceritakan kepada kami Syahr, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ berada di halaman rumahnya sedang duduk-duduk, tiba-tiba lewatlah Usman ibnu Maz'un (yang tuna netra).
Lalu Usman ibnu Maz'un tersenyum kepada Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, "Mengapa engkau tidak duduk (bersamaku)?" Usman ibnu Maz'un menjawab, "Baiklah." Maka duduklah Usman ibnu Maz'un berhadapan dengan Rasulullah ﷺ Ketika Rasulullah ﷺ sedang berbincang-bincang dengannya, tiba-tiba Rasulullah ﷺ menatapkan pandangan matanya ke arah langit, lalu memandang ke arah langit sesaat, setelah itu beliau menurunkan pandangan matanya ke arah sebelah kanannya, dan saat itu juga Rasulullah ﷺ beralih duduk ke tempat yang tadi dipandang oleh matanya, sedangkan teman duduknya (yaitu Usman ibnu Maz'un) ditinggalkannya. Setelah itu Rasulullah ﷺ menundukkan kepalanya, seakan-akan sedang mencerna apa yang diucapkan kepadanya, sementara itu Ibnu Maz'un terus mengamatinya (dengan indera perasanya). Sesudah keperluannya selesai dan memahami apa yang diucapkan kepadanya, maka Rasulullah ﷺ kembali menatapkan pandangannya ke arah langit, sebagaimana tatapannya yang pertama kali tadi. Nabi ﷺ menatapkan pandangan matanya ke arah langit seakan-akan mengikuti kepergian (malaikat) hingga malaikat itu tidak kelihatan tertutup oleh langit. Kemudian Rasulullah ﷺ menghadap kepada Usman di tempat duduknya yang semula tadi. Maka Usman ibnu Maz'un bertanya, "Hai Muhammad, selama saya duduk denganmu saya belum pernah melihatmu melakukan perbuatan seperti yang kamu lakukan siang hari ini." Rasulullah ﷺ balik bertanya, "Apa sajakah yang kamu lihat aku melakukannya?" Usman ibnu Maz'un berkata, "Saya lihat engkau menatapkan pandanganmu ke arah langit, kemudian kamu turunkan pandangan matamu ke suatu tempat di sebelah kananmu, lalu kamu pindah ke tempat itu seraya meninggalkan diriku.
Setelah itu engkau menundukkan kepala seakan-akan sedang menerima sesuatu yang diucapkan kepadamu." Rasulullah ﷺ bertanya, "Apakah kamu (yang tuna netra) dapat melihat hal tersebut?" Usman ibnu Maz'un menjawab, "Ya." Rasulullah ﷺ bersabda, "Aku baru saja kedatangan utusan Allah saat kamu sedang duduk." Usman Ibnu Maz'un bertanya, "Utusan Allah?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya." Usman ibnu Maz'un bertanya, "Apa sajakah yang dia sampaikan kepadamu?" Rasulullah ﷺ bersabda membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan. (An-Nahl: 90), hingga akhir ayat. Usman ibnu Maz'un mengatakan, "Yang demikian itu terjadi di saat imanku telah mantap dalam hatiku dan aku mulai mencintai Muhammad ﷺ" Sanad hadis ini cukup baik, muttasil lagi hasan, telah disebutkan di dalamnya sima'i secara muttasil. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui hadis Abdul Hamid ibnu Bahram secara ringkas. Hadis lain mengenai hal tersebut berasal dari Usman ibnu Abul As As-Saqafi.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Harim, dari Lais, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Usman ibnu Abul As yang mengatakan, "Dahulu saya pernah duduk di hadapan Rasulullah ﷺ, tetapi tiba-tiba Rasulullah ﷺ menatapkan pandangan matanya (ke arah langit). Setelah itu Rasulullah ﷺ bersabda, 'Jibril baru datang kepadaku, dan memerintahkan kepadaku agar meletakkan ayat berikut pada suatu tempat dari surat (An-Nahl) ini,' yaitu firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan. (An-Nahl: 90), hingga akhir ayat." Sanad hadis ini tidak ada celanya, dan barangkali hadis ini yang ada pada Syahr ibnu Hausyab diriwayatkan melalui dua jalur."
Ayat sebelumnya menjelaskan bahwa Al-Qur'an adalah penjelasan,
petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri
kepada Allah. Ayat ini kemudian mengiringinya dengan petunjuk-petunjuk dalam Al-Qur'an bagi mereka. Petunjuk pertama adalah perintah untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Allah menyatakan,
Sesungguhnya Allah selalu menyuruh semua hamba-Nya untuk berlaku
adil dalam ucapan, sikap, tindakan, dan perbuatan mereka, baik kepada
diri sendiri maupun orang lain, dan Dia juga memerintahkan mereka
berbuat kebajikan, yakni perbuatan yang melebihi perbuatan adil; memberi bantuan apa pun yang mampu diberikan, baik materi maupun nonmateri secara tulus dan ikhlas, kepada kerabat, yakni keluarga dekat,
keluarga jauh, bahkan siapa pun. Dan selain itu, Dia melarang semua
hamba-Nya melakukan perbuatan keji yang tercela dalam pandangan
agama, seperti berzina dan membunuh; melakukan kemungkaran yaitu
hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam adat kebiasaan dan
agama; dan melakukan permusuhan dengan sesama yang diakibatkan
penzaliman dan penganiayaan. Melalui perintah dan larangan ini Dia
memberi pengajaran dan tuntunan kepadamu tentang hal-hal yang terkait dengan kebajikan dan kemungkaran agar kamu dapat mengambil pelajaran yang berharga. Petunjuk berikutnya adalah perintah untuk menepati janji. Allah
berpesan, Dan tepatilah janji yang telah kalian ikrarkan dengan Allah
secara sungguh-sungguh apabila kamu berjanji, dan janganlah kamu melanggar sumpah, yaitu perjanjian yang kamu teguhkan setelah janji itu
diikrarkan dengan menyebut nama-Nya. Bagaimana kamu tidak menepati janji dan sumpah yang telah diikrarkan dan diteguhkan, sedang
kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu atas janji dan sumpah tersebut. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang kamu perbuat. Baik
niat yang terpintas dalam hati maupun tindakan dan perbuatan yang
kamu lakukan, baik yang rahasia maupun yang nyata, termasuk janji
dan sumpah yang kamu ikrarkan, tidak ada yang samar bagi Allah.
Allah ﷻ memerintahkan kaum Muslimin untuk berbuat adil dalam semua aspek kehidupan serta melaksanakan perintah Al-Qur'an, dan berbuat ihsan (keutamaan). Adil berarti mewujudkan kesamaan dan keseimbangan di antara hak dan kewajiban. Hak asasi tidak boleh dikurangi disebabkan adanya kewajiban. Ayat ini termasuk ayat yang sangat luas dalam pengertiannya. Ibnu Mas'ud berkata:
Dan ayat paling luas lingkupnya dalam Al-Qur'an tentang kebaikan dan kejahatan ialah ayat dalam Surah An-Nahl (yang artinya): "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan". (Riwayat Bukhari dari Ibnu Masud dalam kitab al-Adab al-Mufrad)
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ikrimah bahwa Nabi Muhammad ﷺ membacakan ayat ini kepada al-Walid. "Ulang kembali hai saudaraku," kata al-Walid, maka Rasul ﷺ mengulang kembali membaca ayat itu. Lalu al-Walid berkata, "Demi Allah sungguh Al-Qur'an ini memiliki kelezatan dan keindahan, di atasnya berbuah, di bawahnya berakar, dan bukanlah dia kata-kata manusia.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ada seorang sahabat yang semula kurang senang kepada Rasul ﷺ Sewaktu dibacakan kepadanya ayat ini oleh Rasul saw, maka iman dalam jiwanya menjadi teguh dan dia menjadi sayang kepada Nabi ﷺ
Pada ayat ini disebutkan tiga perintah dan tiga larangan. Tiga perintah itu ialah berlaku adil, berbuat kebajikan (ihsan), dan berbuat baik kepada kerabat. Sedangkan tiga larangan itu ialah berbuat keji, mungkar, dan permusuhan.
Kezaliman lawan dari keadilan, sehingga wajib dijauhi. Hak setiap orang harus diberikan sebagaimana mestinya. Kebahagiaan barulah dirasakan oleh manusia bilamana hak-hak mereka dijamin dalam masyarakat, hak setiap orang dihargai, dan golongan yang kuat mengayomi yang lemah. Penyimpangan dari keadilan adalah penyimpangan dari sunnah Allah dalam menciptakan alam ini. Hal ini tentulah akan menimbulkan kekacauan dan kegoncangan dalam masyarakat, seperti putusnya hubungan cinta kasih sesama manusia, serta tertanamnya rasa dendam, kebencian, iri, dengki, dan sebagainya dalam hati manusia.
Semua yang disebutkan itu akan menimbulkan permusuhan yang menyebabkan kehancuran. Oleh karena itu, agama Islam menegakkan dasar-dasar keadilan untuk memelihara kelangsungan hidup masyarakat. Dalam Al-Qur'an banyak ditemukan ayat-ayat yang turun di Mekah maupun di Medinah, yang memerintahkan manusia berbuat adil dan melarang kezaliman. Di antaranya adalah:
Firman Allah swt:
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (al-Ma'idah/5: 8)
Allah ﷻ menetapkan keadilan sebagai landasan umum bagi kehidupan masyarakat untuk setiap bangsa di segala zaman. Keadilan merupakan tujuan dari pengutusan rasul-rasul ke dunia serta tujuan dari syariat dan hukum yang diturunkan kepada mereka.
Firman Allah swt:
Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil. Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan banyak manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat, Mahaperkasa. (al-hadid/57: 25)
Menurut Mahmud Syaltut, Allah ﷻ menyebutkan besi dalam rangkaian pembinaan keadilan, mengandung isyarat yang kuat dan jelas bahwa pembinaan dan pelaksanaan keadilan adalah ketentuan Ilahi yang wajib dikerjakan. Para pelaksananya dapat mempergunakan kekuatan yang dibenarkan Tuhan, seperti dengan peralatan besi (senjata) yang punya daya kekuatan yang dahsyat.
Adapun macam-macam keadilan yang dikemukakan oleh Islam antara lain sebagai berikut:
Pertama: Keadilan dalam Kepercayaan
Menurut Al-Qur'an kepercayaan syirik itu suatu kezaliman. Sebagaimana firman Allah swt:
Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Luqman/31: 13)
Mengesakan Tuhan adalah suatu keadilan, sebab hanya Dialah yang menjadi sumber hidup dan kehidupan. Dia memberi nikmat lahir dan batin. Segala ibadah, syukur, dan pujian hanya untuk Allah ﷻ Mengarahkan ibadah dan pujian kepada selain Allah adalah perbuatan yang tidak adil atau suatu kezaliman. Hak manusia mendapatkan rahmat dan nikmat dari Allah, karena itu manusia berkewajiban mengesakan Allah dalam itikad dan ibadah.
Kedua: Keadilan dalam Rumah Tangga
Rumah tangga merupakan bagian dari masyarakat. Bilamana rumah tangga sejahtera, masyarakat pun akan sejahtera dan negara akan kuat.
Dari rumah tangga yang baik lahir individu-individu yang baik pula. Oleh karena itu, Islam menetapkan peraturan-peraturan dalam pembinaan rumah tangga yang cukup luwes dan sempurna. Keadilan tidak hanya mendasari ketentuan-ketentuan formal yang menyangkut hak dan kewajiban suami istri, tetapi juga keadilan mendasari hubungan kasih sayang dengan istri.
Ketiga: Keadilan dalam Perjanjian
Dalam memenuhi kebutuhan hidup, setiap orang ataupun bangsa pasti memerlukan bantuan orang lain. Tolong-menolong dan bantu-membantu sesama manusia dalam usaha mencapai kebutuhan masing-masing merupakan ciri kehidupan kemanusiaan. Agama Islam memberikan tuntunan dalam menyelenggarakan hidup tolong-menolong itu. Umpamanya dalam soal muamalah, seperti utang piutang, jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya, dengan suatu perjanjian, Islam memerintahkan agar perjanjian itu ditulis.
Firman Allah swt:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. ? Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan?. (al-Baqarah/2: 282)
Pada persaksian yang banyak terjadi dalam perjanjian-perjanjian, Islam menetapkan pula adanya keadilan. Keadilan dalam persaksian ialah melaksanakannya secara jujur isi kesaksian itu tanpa penyelewengan dan pemalsuan.
Firman Allah swt:
?Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa)?. (al-Baqarah/2: 283)
Firman Allah swt:
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu?. (an-Nisa'/4: 135)
Keempat : Keadilan dalam Hukum
Dalam Islam semua manusia sama di hadapan Tuhan, tidak ada perbedaan orang kulit putih dan kulit hitam, antara anak raja dengan anak rakyat, semua sama dalam perlakuan hukum. Melaksanakan keadilan hukum dipandang oleh Islam sebagai melaksanakan amanat.
Firman Allah swt:
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil?. (an-Nisa'/4: 58)
Hadis Nabi saw:
Sesungguhnya kehancuran umat sebelummu karena jika orang terpandang yang mencuri mereka tidak menghukumnya, namun jika orang lemah yang mencuri, mereka menghukumnya. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti kupotong tangannya. (Riwayat Muslim)
Di samping berlaku adil, Allah ﷻ memerintahkan pula berbuat ihsan seperti membalas kebaikan orang lain dengan kebaikan yang lebih baik/besar atau memaafkan orang lain.
Firman Allah:
Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (peng-hormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu. (an-Nisa'/4: 86)
Al-Ihsan terbagi dalam tiga kategori:
1. Al-Ihsan dalam ibadah: engkau beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Jika tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.
Hadis Nabi Muhammad saw:
Ihsan itu ialah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, apabila kamu tidak melihat-Nya, Dia pasti melihatmu. (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah)
2. Al-Ihsan dalam balasan dan sanksi dengan seimbang, dan menyempurna-kan hak dalam pembunuhan dan luka dengan qisas.
3. Al-Ihsan dalam menepati hak atau hutang dengan membayarnya tanpa mengulur waktu, atau disertai tambahan yang tidak bersyarat.
Tingkat al-ihsan yang tertinggi ialah berbuat kebaikan terhadap orang yang bersalah. Diriwayatkan bahwa Isa a.s. pernah berkata, "Sesungguhnya al-ihsan itu ialah kamu berbuat baik kepada orang yang bersalah terhadapmu. Bukanlah al-ihsan bila kamu berbuat baik kepada orang yang telah berbuat baik kepadamu."
Allah ﷻ memerintahkan pula dalam ayat ini untuk memberikan sedekah kepada kerabat untuk kebutuhan mereka. Bersedekah kepada kerabat sebenarnya sudah termasuk dalam pengakuan berbuat adil dan al-ihsan. Namun disebutkan secara khusus untuk memberikan pengertian bahwa urusan memberikan bantuan kepada kerabat hendaklah diperhatikan dan diutamakan.
Sesudah menerangkan ketiga perkara yang diperintahkan kepada umat manusia, Allah ﷻ meneruskan dengan menerangkan tiga perkara lagi yang harus ditinggalkan.
Pertama : Melarang berbuat keji (fahisyah), yaitu perbuatan-perbuatan yang didasarkan pada pemuasan hawa nafsu seperti zina, minuman-minuman yang memabukkan, dan mencuri.
Kedua : Melarang berbuat mungkar yaitu perbuatan yang buruk yang berlawanan dengan pikiran yang waras, seperti membunuh dan merampok hak orang lain.
Ketiga : Melarang permusuhan yang sewenang-wenang terhadap orang lain.
Demikianlah dalam ayat ini, Allah ﷻ memerintahkan tiga perkara yang harus dikerjakan, yaitu berbuat adil, al-ihsan, dan mempererat persaudaraan. Allah juga melarang tiga perkara, yaitu berbuat keji, mungkar, dan permusuhan.
Semua itu merupakan pengajaran kepada manusia yang akan membawa mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, maka sewajarnya mereka mengamalkannya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 81
“Dan Allah telah menjadikan untuk kamu, dari apa-apa yang telah dijadikan-Nya, untuk tempat berlindung."
Dengan sedikit kata ini, perhatian orang musafir yang tengah kepanasan dalam perjalanan jauh, telah diperingatkan pula akan nikmat Allah yang tampaknya kecil saja, tetapi amat diperlukan oleh musafir itu. Dalam perjalanan yang jauh, dalam panas sangat teriknya, Dan jauh telah kelihatan serumpun pohon tumbuh di padang, atau pinggir tebing. Mereka dapat berhenti sebentar ke sana melepaskan lelah dan berlindung dari teriknya panas."Dan dijadikan-Nya untuk kamu dari gunung-gunung akan tempat berteduh." Berlindung ketika kepanasan, berteduh ketika kehujanan atau kemalaman. Juga mengenai orang musafir tadi. Gunung-gunung itu banyak mempunyai lubang-lubang luas yang dinamai gua atau ngalau, yang dapat dijadikan tempat berteduh kalau hujan datang atau bermalam kalau kemalaman."Dan dijadikan-Nya untuk kamu pakaian-pakaian yang menjaga kamu dari panas." Yang meskipun memang manusia yang menenunnya, namun bahan yang akan ditenun, baik berupa kapas atau berupa bulu-bulu binatang, adalah dari Allah belaka."Dan pakaian penjaga kamu di waktu peperangan kamu." Baik baju besi, ketopong, zirah ataupun pakaian seragam tentara yang kita pergunakan di zaman sekarang untuk berperang, yang bahannya ataupun warnanya sudah tentu berbeda dengan pakaian di waktu damai."Demikianlah disempunnakan-Nya nikmat-Nya kepada kamu, supaya kamu menyenah dini."
Ayat 82
“Namun apabila mereka berpaling, lain tidak kewajiban engkau hanyalah menyampaikan yang terang."
Artinya menjadi kewajibanlah bagi Nabi Muhammad ﷺ menyampaikan seruan itu, menablighkannya, dengan terang, meskipun mereka akan berpaling juga. Dengan mem-peringatkan manusia akan hubungan hidupnya sehari-hari dengan alam yang ada di sekelilingnya, mudah-mudahan dia insaf akan kebesaran Allah dan kedudukan dirinya di tengah-tengah alam itu. Alam keliling ini adalah jadi pertanda akan adanya Allah. Manusia mesti diinsafkan kepada yang demikian. Kewajiban Nabi Muhammad ﷺ sebagai rasul ialah menyampaikan yang demikian itu.
Demikianlah, sampai kepada ayat 81 itu, Allah menarik perhatian manusia yang halus untuk melihat alam sekelilingnya, guna pendekatan hatinya kepada Allah, guna merasakan nikmat kasih Allah. Di sinilah perbedaan anjuran dan tarikan Al-Qur'an dengan berdebat-debat tentang ketuhanan yang dibuat oleh manusia. Maka dengan ayat-ayat seperti ini, timbullah suatu perasaan yang pasti (positif) tentang adanya Allah, demi setelah melihat bekas perbuatan-Nya. Tidaklah Al-Qur'an menyuruh membicarakan tentang zat Allah, cukuplah bicarakan sifat-sifat kemulia-an-Nya karena melihat bekasnya pada per-buatan-Nya. Di ayat 82 Nabi Muhammad ﷺ diperingatkan supaya jangan bosan-bosan me-nyampakkan dan menyadarkan perasaan yang halus itu, yang menimbulkan al-Akhlaq al-Karimah. Budi pekerti yang mulia pada insan terhadap Allah,
Ayat 83
“Mereka mengenal nikmat Allah, kemudian mereka ingkari akan dia."
Apa sebab jadi demikian? Sebabnya kebanyakan karena perhatian hanya tertuju kepada diri sendiri dan pandangan tidak diluaskan, sehingga alam menjadi sempit, padahal begitu lapang.
“Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang melupakan budi."
Apalah arti kemanusiaan kalau budi sudah lupa? Sedang jasa sedikit dari sesama manusia, telah dididik kita oleh pergaulan yang sopan supaya mengucapkan terima kasih; maka betapa terhadap Allah?
Betapa terhadap Allah, padahal sudah pasti kita kelak akan berhadapan juga dengan Dia pada hari yang telah ditentukan? Bagaimana jawaban kalau ditanyakan ke mana engkau pergunakan nikmat yang telah Aku limpahkan?
Ayat 84
“Dan (ingatlah) hari yang akan Kami bangkitkan dari tiap-tiap umat seorang saksi"
Karena kepada setiap umat telah diutus Allah Rasul-Nya, menyampaikan ajaran Allah. Maka pada hari Kiamat, ketika dijalankan pemeriksaan, rasul-rasul itu akan didatangkan sebagai saksi, apakah dia telah menyampaikan ajaran Allah itu kepada mereka? Niscaya ajaran sudah sampai dan orang-orang kafir yang tengah diperiksa itu tidak dapat mengelak lagi dan mencari dalih lagi."Kemudian itu, tidaklah akan diizinkan kepada orang-orang yang tidak percaya itu." Tidak akan diizinkan lagi mengemukakan alasan-alasan untuk membela diri, karena perkaranya sudah terang.
“Dan tidak akan diminta mereka membuat keridhaan."
Artinya, di akhirat itu tidaklah dapat lagi orang berkata sekarang saya hendak tobat dan memohon keridhaan Allah, sebab bukan waktunya lagi, Kalau hendak berbuat amal yang baik bukan di akhirat, tetapi dahulu semasa di dunia. Di dunia beramal, dan balasannya adalah di akhirat. Di akhirat menerima balasan dan tidak ada amal lagi.
Ayat 85
“Dan apabila orang-orang yang zalim itu melihat adzab, maka tidaklah akan diringankan, dan tidaklah mereka akan diberi kesempatan."
Zalim bagaimana yang dimaksud di sini? Apakah karena dia menganiaya orang lain? Adapun zalim karena menganiaya orang lain, sudahlah tersedia sendiri hukumnya. Kezaliman yang paling hebat dan paling zalim, ialah zalim kepada diri sendiri. Bila kita berbuat dosa dan sudah terang bahwa dosa itu akan membawa kita masuk neraka, tidak juga kita mau menghentikan kejahatan itu, bukankah itu zalim namanya? Kejam dan tidak merasa kasihan kepada diri sendiri. Lebih terasalah hendaknya dari hidup kita yang sekarang ini akan kezaliman itu. Sebab bila masanya itu tiba kelak, adzab itu tidak akan diringankan, dan kesempatan untuk kembali ke dunia memperbaiki jalan hidup tidak ada lagi.
Ayat 86
“Dan apabila melihatlah orang-orang yang musyrik akan sekutu-sekutu mereka itu."
Yaitu berhala-berhala atau orang-orang yang mereka jadikan sebagai tuhan pula di samping Allah."Mereka akan berkata, “Ya Allah! Mereka inilah sekutu-sekutu kami, yang telah kami seru selain Engkau." Dengan demikian tergambarlah penyesalan terhadap diri sendiri dan rasa kejengkelan kepada orang yang telah menyesatkan mereka. Tetapi apa lagi daya, semua sudah percuma.",Maka mereka" sekutu-sekutu yang dituhankan itu
“hadapkanlah kepada mereka itu perkataan,
“Sesungguhnya kamu adalah pendusta!"
Dengan terus terang di hadapan Allah, orang-orang yang telah dijadikan sekutu, yang disembah dipuja oleh orang-orang yang kufur itu mengatakan bahwa segala perkataan mereka adalah dusta. Sebab mereka, sekutu itu, tidak pernah mengajak orang buat mengatakan dirinya Allah. Sebagaimana kejadian dengan diri Nabi Isa sendiri misalnya, tidaklah bertemu satu kalimat dalam Injil, walau Injil yang mereka sahkan sekarang sekalipun, yang menyuruh manusia menyembah dirinya sebab dia tuhan! Melainkan sesudah beliau meninggal pengikut-pengikutnya membuat berbagai keputusan, konferensi dan konsili buat merumuskan supaya dia dijadikan tuhan pula di samping Allah, malahan dia yang dikatakan Allah.
Ayat 87
“Dan mereka hadapkan kepada Allah, pada hari itu, penyerahan."
Mengakui terus terang kesalahan diri dan menyerah kepada Allah, apa yang akan ditimpakan oleh Allah!
“Dan hilanglah dari mereka apa yang mereka ada-adakan itu,"
Tinggallah diri masing-masingberhadapan dengan Allah, menunggu keputusan. Dan su-dah terang pula apa yang akan diputuskan oleh Allah.
Sebab perbuatan buruk tidaklah akan dibalas dengan baik. Dan berhala atau pujaan-pujaan yang dipertahankan dengan segenap tenaga di waktu hidup itu, mana dia? Sudah hilang! Tidak kelihatan lagi, karena semuanya itu pada hakikatnya memang tidak ada.
Ancaman Allah ditegaskan dari sekarang.
Ayat 88
"Orang-orangyang tidak pencaya."
Kepada keesaan Allah, tidak percaya kepada rasul-rasul, tidak percaya akan hari Pem-balasan."Dan berpaling dari jalan Allah." Lebih suka menuruti jalan setan.
“Kami tambah untuk mereka adygb di atas adzgb, kanena mereka telah mengadakan kenusakan."
Demikianlah ancaman itu, yang sebab turunnya (Nuzulnya) ialah kekufuran kaum musyrikin di Mekah seketika Rasulullah Muhammad ﷺ menyampaikan seruan, maka sampai kepada saat kita ini pun dapatlah kita mengukur diri kita sendiri, kalau-kalau masih ada sisa yang demikian dalam batin kita, yaitu tidak mau percaya dan berpaling dari jalan Allah, menuruti jalan hawa nafsu dan rayuan setan, walaupun kita masih memakai nama seperti orang Islam.
Ayat 89
“Dan (ingatlah) hari yang akan kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi di antara mereka."
Saksi itu ialah rasul yang dibangkitkan dalam kalangan keluarga mereka sendiri sebagai Muhammad anak Quraisy, dibangkitkan dalam keluarga Quraisy."Dan Kami datangkan (pula) engkau jadi saksi atas mereka." jadi saksi atas umat yang mengaku percaya kepada Muhammad sebagai rasul, yaitu umat Muhammad ini, adakah benar-benar mereka pegang teguh ajaran Muhammad itu, atau bohong saja:
“Dan telah Kami turunkan kepada engkau kitab yang menerangkan tiap-tiap sesuatu, petunjuk, rahmat dan kaban gembira bagi Muslimin."
Dengan ayat ini, mulailah ditukikkan pandang kepada kaum Muslimin sendiri. Jika sebelumnya telah dinyatakan adzab siksa yang akan diderita oleh musyrikin, maka kelak di hadapan Allah, Muhammad akan dipanggil menjadi saksi tentang caranya Muslimin menyambut dan menjalankan agama yang dibawa Muhammad, yang telah diterimanya dengan iman. Niscaya tidaklah cukup kalau hanya pengakuan, tidak diiringi bukti dan bakti. Sedang Nabi Muhammad ﷺ telah datang membawa keterangan lengkap dengan kitab A)-Qur'an itu. Apa saja keperluan Muslimin, telah cukup dijelaskan di dalamnya, urusan dunia dan akhiratnya, sampai urusan nikah dan faraidh, urusan perang dan damai, pemerintahan dan musyawarah, ibadah dan muamalah; dan petunjuk menempuh jalan yang diridhai Allah, dan rahmat untuk persaudaraan sesama manu-sia, dan kabar gembira, yaitu janji surga bagi Muslimin.
Kaum Muslimin akan disaksikan oleh Nabi Muhammad ﷺ kelak di akhirat. Apakah yang telah diamalkan sekarang?
TIGA PERINTAH TIGA LARANGAN
Ayat 90
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan) dan memberi kepada keluanga yang terdekat."
Tiga hal yang diperintahkan oleh Allah supaya dilakukan sepanjang waktu sebagai tanda dari taat kepada Allah. Pertama jalan adil, yaitu menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan mana yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim aniaya. Lawan dan adil ialah zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri, mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri. Maka selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat pergaulan hidup manusia, selama itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanah dan percaya-mempercayai.
Sesudah itu diperintahkan pula melatih diri berbuat ihsan. Arti ihsan ialah mengandung dua maksud. Pertama selalu mempertinggi mutu amalan, berbuatyang lebih baik daripada yang sudah-sudah, sehingga kian lama tingkat iman itu kian naik. Di dalam hadits Rasulullah ﷺ yang shahih disebut
“Al-lhsan ialah bahwa engkau sembah Allah, seakan-akan engkau lihat Allah itu. Maka jika engkau tidak lihat Dia, namun Dia tetap melihat engkau. “
Maksud ihsan yang kedua ialah kepada sesama makhluk, yaitu berbuat lebih tinggi lagi dari keadilan. Misalnya kita memberi upah kepada seseorang mengerjakan sesuatu pekerjaan. Kita berikan kepadanya upah yang setimpal dengan tenaganya. Pembayaran upah yang setimpaKtu adalah sikap yang adil. Tetapi jika kita lebihi daripada yang semestinya, sehingga hatinya besar dan dia gembira, maka pemberian yang berlebih itu dinamai ihsan. Lantaran itu maka ihsan adalah latihan budi yang lebih tinggi tingkatnya daripada adil. Misalnya pula ialah seorang yang berutang kepada kita. Adalah suatu sikap yang adil jika utangnya itu kita tagih. Tetapi dia menjadi ihsan kalau utang itu kita maafkan.
Yang ketiga ialah memberi kepada keluarga yang terdekat. Ini pun adalah lanjutan daripada ihsan. Karena kadang-kadang orang yang berasal dari satu ayah dan satu ibu sendiri pun tidak sama nasibnya. Ada yang murah rezekinya lalu menjadi kaya raya dan ada yang hidupnya tidak sampai-menyampai. Maka orang yang mampu itu dianjurkan berbuat ihsan kepada keluarganya yang terdekat, sebelum dia mementingkan orang lain.
Al-Qurthubi menulis dalam tafsirnya,
“Maka sesungguhnya Allah suka sekali hamba-Nya berbuat ihsan sesama makhluk, sampai pun kepada burung yang engkau pelihara dalam sangkarnya, dan kucing di dalam rumah. Jangan sampai mereka itu tidak merasakan ihsan dari engkau."
“Dan melarang dari yang keji dan yang dibenci dan aniaya." Inilah pula tiga larangan Allah yang seyogianya dijauhi oleh orang yang mengaku beriman kepada Allah. Allah melarang segala perbuatan yang keji-keji, yaitu dosa yang amat merusak pergaulan dan keturunan. Biasa di dalam Al-Qur'an, kalau disebut al-Fahsyaa' yang dituju ialah segala yang berhubungan dengan zina. Segala pintu yang menuju kepada zina, baik berhubungan dengan pakaian yang membukakan aurat, atau cara-cara lain yang menimbulkan nafsu syahwat yang menuju ke sana. Itu hendaklah ditutup mati. Dan yang dibenci atau yang mungkar ialah segala perbuatan yang tidak dapat diterima baik oleh masyarakat yang memupuk budi yang luhur, dan segala laku tingkah perangai yang membawa pelanggaran atau aturan agama. Dan aniaya, yaitu segala perbuatan yang sikapnya menimbulkan permusuhan terhadap sesama manusia, karena mengganggu hak dan kepunyaan orang lain.
“Dimslhati-Nya kamu, supaya kamu ingat."
Ketiga perintah yang wajib kamu kerjakan itu dan larangan yang wajib kamu jauhi itu ialah untuk keselamatan dirimu sendiri supaya kamu selamat dalam pergaulan hidup. Pengajaran dan nasihat ini adalah langsung datang dari Allah sendiri. Kalau kamu kerjakan tiga yang disuruhkan, kamu pun selamat. Kalau kamu jauhi tiga yang dilarang, hidupmu pun akan bahagia.
Menurut riwayat dari Ibnu Jarir bahwasanya Abdullah bin Mas'ud pernah mengatakan bahwa ayat ini adalah ayat yang paling jelas memberi petunjuk mana yang baik dan mana yang jahat.
Dan tersebut pula dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad bahwa asal mula Utsman bin Mazh'un akan menjadi salah seorang sahabat setia dari Rasulullah ﷺ ialah disebabkan ayat ini. Pada suatu hari dia lewat di hadapan rumah Rasulullah ﷺ sedang Rasul duduk-duduk. Mulanya Utsman acuh tak acuh saja, malahan diseringaikannya giginya. Dia dipanggil Nabi dan disuruh ke dekat beliau. Tiba-tiba Jibril turun membawa ayat ini lalu dibaca oleh Rasulullah ﷺ supaya didengar oleh Utsman. Berkata Utsman, “Menyelinaplah ayat itu ke dalam hatiku hingga meneguhkan imanku, dan menjadi sangat cintalah aku kepada Muhammad ﷺ"
Tersebut pula di dalam tafsir Ibnu Katsir bahwasanya Aktsam bin Shaifi yang terkenal dan dahulunya pemeluk agama Nasrani mengatakan kepada kaum keluarganya yang pernah menemui Nabi Muhammad ﷺ lalu diterangkan Nabi Muhammad ﷺ ayat ini kepada mereka. Setelah mereka kembali kepada Aktsam bin Shaifi, berkatalah dia kepada kaumnya itu, “Kalau demikian dia ini adalah menyuruhkan kita agar berpegang kepada akhlak yang mulia dan mencegah kita dari akhlak yang hina. Oleh sebab itu saya anjurkan kepada kamu semuanya supaya segeralah kita terima ajakan orang ini, kita langsung menjadi pengikutnya. Hendaklah kamu semuanya dalam hal ini menjadi kepala-kepala yang terkemuka, jangan hanya menjadi ekor-ekor yang di belakang-belakang.
lkrimah bercerita bahwa ayat ini pun pernah dibaca Rasulullah di hadapan seorang pe-muka Quraisy yang termasuk penentangnya selama ini, bernama Walid bin Mughirah. Setelah didengarnya, dia pun berkata, “Hai anaksaudaraku! Ulang sekali lagi!" Lalu diulang oleh Nabi ﷺ. Maka berkatalah Walid, “Demi Allah, susun katanya lemak manis. Senang sekali telinga mendengarkannya. Pucuknya mendatangkan buah, uratnya penuh dengan kesuburan. Ini bukan kata sembarang kata, ini bukan kata-kata manusia."
Artinya, meskipun dia seorang penentang, payah dia buat memungkiri bahwa perkataan ini bukanlah perkataan Muhammad, melainkan wahyu.
Setelah terjadi pertentangan yang begitu hebat di antara golongan Ali dengan Mu'awiyah, yang berakhir dengan kemenangan Mu'awiyah, terutama setelah Ali bin Abi Thalib mati terbunuh, maka kaum Bani Uma-yyah, telah mempergunakan khutbah-khut-bah Jum'at untuk maksud-maksud politik. Lalu pada khutbah yang kedua di seluruh mimbar masjid yang dikuasai oleh Bani Umayyah, ditambahkanlah khutbah mengutuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Dan berlakulah yang demikian itu bertahun-tahun lamanya. Maka setelah jabatan khalifah jatuh ke atas diri Sayyidina Umar bin Abdul Aziz, beliau perintahkan menghentikan ucapan mencela dan mengutuk Ali bin Abi Thalib itu, dan beliau suruh menggantinya dengan ayat 90 dari surah an-Nahl ini. Menjadi kebiasaanlah pada tiap-tiap khutbah Jum'at yang kedua menutupnya dengan ayat ini, dan berlakulah pusaka Umar bin Abdul Aziz itu pada khutbah yang kedua di serata-rata negeri Islam yang memegang sunnah sampai masa sekarang ini. Sehingga terhitunglah ini salah satu bekas yang mulia dan tangan beliau.
Ayat 91
“Dan sempurnakanlah perjanjian dengan Allah apabila kamu telah berjanji."
Artinya, apabila telah bersumpah dengan memakai nama Allah akan mengerjakan sesuatu pekerjaan atau tidak mengerjakan sesuatu, itu namanya telah berjanji dengan Allah sendiri. Maka hendaklah janji dengan Allah itu dipenuhi. Sebab itu lanjutan ayat lebih menjelaskan lagi."Dan jangan kamu pecahkan sumpah sesudah kamu teguhkan, dan telah kamu jadikan Allah sebagai peneguh.'' Artinya janganlah seenaknya saja melalaikan sumpah yang telah diteguhkan dengan memakai nama Allah, seumpama “Demi Allah", atau “utangku kepada Allah" dan sebagainya.
“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat."
Dalam ayat ini terdapatlah tuntunan bagi Mukmin yang menghargai diri sendiri supaya sumpahnya jangan dipermain-mainkannya. Sumpah adalah termasuk taat dan kebajikan dan takwa juga. Maka tersebutlah dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim,
“Berkata Nabi ﷺ, “Sesungguhnya aku, demi Allah, in syaa Allah, tidaklah aku bersumpah dengan suatu persampahan, lalu kemudian aku pandang ada perbuatan lain yang lebih baik daripada yang telah aku sumpahkan itu, melainkan segeralah aku kerjakan yang lebih baik itu, lalu aku lepaskan diriku dari ikatan sumpah pertama." Dalam satu riwayat lagi," Lalu aku bayar kaffarah sumpahku itu." (HR Bukhari dan Muslim)
Kaffarah atau denda dari sumpah itu telah tersebut dengan jelas di dalam surah al-Maa'idah ayat 89, yaitu memberi makan sepuluh orang miskin dengan pertengahan yang kamu berikan kepada ahli kamu atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan budak. Kalau semuanya itu tidak sanggup hendaklah puasa tiga hari berturut-turut.
Ayat 92
“Dan janganlah kamu jadi seperti perempuan yang merombak tenunannya selembar -selembar sesudah selesai."
Demikianlah dalam ayat ini tentang orang-orang yang tadinya telah mengikat janji yang teguh, misalnya tidak akan berperang atau akan tetap berdamai. sehingga kuat teguhlah janji itu laksana teguhnya kain yang baru selesai ditenun. Tetapi kemudian kain tenunan yang telah kuat dan selesai itu mereka orak kembali satu demi satu. Atau serupalah keadaannya dengan perempuan menenun kain. Setelah selesai tenunan itu dirombaknya sehelai demi sehelai, sehingga terbuang percuma tenaganya selama ini."(Yaitu) kamu jadikan sumpah-sumpah kamu sebagai tipu daya di antara kamu." Untuk melepaskan diri ketika terdesak saja dan kalau sudah dapat jalan untuk mengelakkan diri, tidak merasa berat melanggar janji yang telah diikat “Lantaran satu golongan lebih banyak dari satu golongan." Yaitu tidak segan-segan mengikat pula perjanjian yang baru dengan golongan lain yang lebih besar, lebih kuat, lebih banyak orangnya dan lebih kaya, karena mengharapkan keuntungan benda, padahal perjanjian dengan yang dahulu, belum habis waktunya dan mereka setia menjalankan janji.
Tetapi mereka telah ditinggalkan karena golongannya kecil dan keuntungan yang diha-rapkan darinya tidak seberapa, “Lain tidak, Allah hanya hendak menguji kamu dengan dia." Manakah yang kamu pentingkan, harga budikah atau benda? Keuntungan besar dengan melengahkan janjikah atau keuntungan kecil tetapi setia memegang janji? Sampai hatikah kamu merombak janjimu dengan tidak semena-mena, hanya karena mengharapkan keuntungan yang lebih besar, padahal kamu kerugian dalam hal harga iman dalam hubungan manusia sesama manusia?
“Dan niscaya akan ditenangkan-Nya kepada kamu di hari Kiamat dari hal apa yang kamu perselisihkan."
Merombak apa yang telah dijanjikan dengan cara yang demikian karena mengharapkan membuat janji dengan yang lebih kuat dan lebih banyak, sehingga tidak memedulikan lagi nilai sopan santun adalah perangai orang jahiliyyah yang tidak mempunyai pokok-pokok kepercayaan, maka tidaklah sepatutnya dia menjadi akhlak Muslim. Sebab itu maka diberikanlah perumpamaan dalam ayat ini dengan halus sekali kecelaan perbuatan demikian, yaitu laksana perempuan bertenun kain. Telah selesai tenunannya lalu dirombaknya kembali, diaraknya barang selembar demi selembar, dan habis terbuanglah tenaganya dengan tidak ada sebab yang lain, hanyalah karena pikirannya yang kacau saja.
Maka tersebutlah dalam satu riwayat bahwasanya seketika Mu'awiyah berkuasa, beliau telah membuat suatu perjanjian dengan Raja Romawi, tidak akan serang-menyerang selama sekian waktu. Maka tatkala telah dekat habis masa perjanjian itu Mu'awiyah membawa ten-taranya ke dekat negeri Raja Romawi tersebut, dengan maksud menyerbu tiba-tiba apabila waktu yang dijangkakan itu habis, dan pihak musuh niscaya diserang sedang tidak bersedia.
Mendengar maksud yang demikian, berkatalah Amer bin Anbasah kepada Mu'awiyah, “Allahu Akbar, ya Mu'awiyah! Pegang teguhlah janji yang telah diperbuat, jangan dikhianati. Sebab saya mendengar dari Rasulullah ﷺ,
“Barangsiapa ada di antaranya dengan suatu kaum suatu janji, maka janganlah dia buka sendiri buhul janji itu sebelum habis waktunya."
Mendengar teguran Amer bin Anbasah itu, mundurlah Mu'awiyah dengan tentaranya, dan tidak jadi menyerang secara tiba-tiba ke negeri Romawi sebab yang demikian adalah mungkir janji.