Ayat

Terjemahan Per Kata
وَيَوۡمَ
dan dihari
نَبۡعَثُ
Kami membangkitkan
فِي
pada
كُلِّ
tiap-tiap
أُمَّةٖ
umat
شَهِيدًا
seorang saksi
عَلَيۡهِم
atas mereka
مِّنۡ
dari
أَنفُسِهِمۡۖ
diri mereka
وَجِئۡنَا
dan Kami datangkan
بِكَ
dengan kamu
شَهِيدًا
menjadi saksi
عَلَىٰ
atas
هَٰٓؤُلَآءِۚ
mereka itu
وَنَزَّلۡنَا
dan Kami turunkan
عَلَيۡكَ
atasmu
ٱلۡكِتَٰبَ
Kitab
تِبۡيَٰنٗا
penjelasan
لِّكُلِّ
bagi tiap-tiap
شَيۡءٖ
sesuatu
وَهُدٗى
dan petunjuk
وَرَحۡمَةٗ
dan rahmat
وَبُشۡرَىٰ
dan kabar gembira
لِلۡمُسۡلِمِينَ
bagi orang-orang yang berserah diri
وَيَوۡمَ
dan dihari
نَبۡعَثُ
Kami membangkitkan
فِي
pada
كُلِّ
tiap-tiap
أُمَّةٖ
umat
شَهِيدًا
seorang saksi
عَلَيۡهِم
atas mereka
مِّنۡ
dari
أَنفُسِهِمۡۖ
diri mereka
وَجِئۡنَا
dan Kami datangkan
بِكَ
dengan kamu
شَهِيدًا
menjadi saksi
عَلَىٰ
atas
هَٰٓؤُلَآءِۚ
mereka itu
وَنَزَّلۡنَا
dan Kami turunkan
عَلَيۡكَ
atasmu
ٱلۡكِتَٰبَ
Kitab
تِبۡيَٰنٗا
penjelasan
لِّكُلِّ
bagi tiap-tiap
شَيۡءٖ
sesuatu
وَهُدٗى
dan petunjuk
وَرَحۡمَةٗ
dan rahmat
وَبُشۡرَىٰ
dan kabar gembira
لِلۡمُسۡلِمِينَ
bagi orang-orang yang berserah diri
Terjemahan

(Ingatlah) hari (ketika) Kami menghadirkan seorang saksi (rasul) kepada setiap umat dari (kalangan) mereka sendiri dan Kami mendatangkan engkau (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas mereka. Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.
Tafsir

(Dan) ingatlah (akan hari ketika Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri) yakni nabi mereka sendiri (dan Kami datangkan kamu) hai Muhammad (menjadi saksi atas mereka) bagi kaummu. (Dan Kami turunkan kepadamu Alkitab) yakni Al-Qur'an (untuk menjelaskan) untuk menerangkan (segala sesuatu) yang diperlukan oleh umat manusia menyangkut masalah syariat (dan petunjuk) supaya jangan tersesat (serta rahmat dan kabar gembira) memperoleh surga (bagi orang-orang yang beriman) bagi orang-orang yang mentauhidkan Allah.
Tafsir Surat An-Nahl: 89
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (muslim).
Allah ﷻ berfirman kepada hamba dan rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ: “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas mereka.” (An-Nahl: 89) Yakni atas umatmu. Maksudnya, ingatlah kamu tentang hari itu dan kengerian yang ada padanya serta kemuliaan yang besar dan kedudukan yang tinggi yang diberikan oleh Allah kepadamu pada hari itu.
Ayat ini mempunyai makna yang mirip dengan ayat yang sahabat Abdullah ibnu Mas'ud menghentikan bacaannya pada ayat tersebut. Ayat yang dimaksud adalah ayat surat An-Nisa, yaitu firman-Nya: “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti) apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu.” (An-Nisa: 41). Ketika bacaan sahabat Ibnu Mas'ud sampai pada ayat ini, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, "Cukup," yakni hentikan bacaanmu. Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa lalu ia berpaling melihat Rasulullah ﷺ, tiba-tiba ia melihat kedua mata Rasulullah ﷺ mencucurkan air matanya.”
Firman Allah ﷻ: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (An-Nahl: 89)
Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa telah dijelaskan kepada kita di dalam Al-Qur'an ini semua ilmu dan segala sesuatu. Menurut Mujahid, telah dijelaskan di dalam Al-Qur'an semua perkara halal dan haram.
Pendapat Ibnu Mas'ud lebih umum dan lebih mencakup, karena sesungguhnya Al-Qur'an itu mencakup semua ilmu yang bermanfaat, menyangkut berita yang terdahulu dan pengetahuan tentang masa mendatang. Disebutkan pula semua perkara halal dan haram, serta segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia dalam urusan dunia, agama, penghidupan, dan akhiratnya.
“Dan sebagai petunjuk.” (An-Nahl: 89) buat manusia yang berhati “serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (muslim).” (An-Nahl: 89)
Al-Auza'i mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (An-Nahl: 89). Yang dimaksud dengan menjelaskan dalam ayat ini adalah menjelaskan Al-Qur'an dengan sunnah.
Hubungan yang terdapat antara firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab.” (An-Nahl: 89) dengan firman-Nya yang mengatakan: “Dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas mereka.” (An-Nahl: 89) Hanya Allah Yang lebih mengetahui maksudnya bahwa Tuhan yang mewajibkan atas kamu untuk menyampaikan Al-Qur'an yang diturunkan kepadamu, kelak Dia akan menanyakan hal tersebut kepadamu pada hari kiamat.
“Maka sungguh Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sungguh Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” (Al-A'raf: 6)
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93)
“(Ingatlah) pada hari di waktu Allah mengumpulkan para rasul, lalu Allah bertanya (kepada mereka), ‘Apa jawaban kaum kalian terhadap (seruan) kalian?’ Para rasul menjawab, ‘Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu); sesungguhnya Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib’." (Al-Maidah: 109)
Adapun Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.” (Al-Qashash: 85) Maksudnya, sesungguhnya Tuhan Yang telah mewajibkan atas kamu untuk menyampaikan Al-Qur'an benar-benar akan mengembalikan kamu kepada-Nya. Dia akan mengembalikan kamu pada hari kiamat dan akan menanyai kamu tentang tugas penyampaian yang telah diwajibkan atas dirimu. Demikianlah menurut salah satu pendapat yang ada, dan pendapat ini mengemukakan alasan yang cukup baik.
Dan ingatlah pada hari ketika Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas mereka, yaitu seorang nabi atau tokoh yang diakui kesalehan dan ketakwaannya, dari golongan mereka sendiri, yang memberi
kesaksian dengan jujur; dan Kami datangkan pula engkau, wahai Nabi
Muhammad, menjadi saksi atas mereka semua. Dan Kami turunkan Kitab
Al-Qur'an kepadamu secara berangsur untuk menjelaskan kepada manusia prinsip-prinsip umum segala sesuatu, sebagai petunjuk menuju jalan
kebenaran dan kedamaian, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang
yang berserah diri sepenuh hati kepada Allah. Ayat sebelumnya menjelaskan bahwa Al-Qur'an adalah penjelasan,
petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri
kepada Allah. Ayat ini kemudian mengiringinya dengan petunjuk-petunjuk dalam Al-Qur'an bagi mereka. Petunjuk pertama adalah perintah untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Allah menyatakan,
Sesungguhnya Allah selalu menyuruh semua hamba-Nya untuk berlaku
adil dalam ucapan, sikap, tindakan, dan perbuatan mereka, baik kepada
diri sendiri maupun orang lain, dan Dia juga memerintahkan mereka
berbuat kebajikan, yakni perbuatan yang melebihi perbuatan adil; memberi bantuan apa pun yang mampu diberikan, baik materi maupun nonmateri secara tulus dan ikhlas, kepada kerabat, yakni keluarga dekat,
keluarga jauh, bahkan siapa pun. Dan selain itu, Dia melarang semua
hamba-Nya melakukan perbuatan keji yang tercela dalam pandangan
agama, seperti berzina dan membunuh; melakukan kemungkaran yaitu
hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam adat kebiasaan dan
agama; dan melakukan permusuhan dengan sesama yang diakibatkan
penzaliman dan penganiayaan. Melalui perintah dan larangan ini Dia
memberi pengajaran dan tuntunan kepadamu tentang hal-hal yang terkait dengan kebajikan dan kemungkaran agar kamu dapat mengambil pelajaran yang berharga.
Dalam ayat ini, Allah ﷻ menjelaskan kembali apa yang akan terjadi pada hari kiamat atas setiap umat, yakni kehadiran seorang nabi dari kalangan mereka sendiri, yang akan menjadi saksi atas perbuatan mereka.
Nabi Muhammad ﷺ menjadi saksi pula atas umatnya. Pada hari akhir itu, dia menjelaskan sikap kaumnya terhadap risalah yang dibawanya, apakah mereka beriman dan taat kepada seruannya, ataukah mereka melawan dan mendustakannya. Para nabi itulah yang paling patut untuk menjawab segala alasan dari kaumnya.
Ketika memberikan kesaksian, para rasul tentu berdasarkan penghayatan mereka sendiri atau dari keterangan Allah ﷻ sebab mereka tidak lagi mengetahui apa yang terjadi atas umatnya sesudah mereka wafat.
Rasulullah mencucurkan air mata sewaktu sahabatnya, 'Abdullah bin Mas'ud, membaca ayat yang serupa maknanya dengan ayat di atas:
Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka. (an-Nisa'/4: 41)
'Abdullah bin Mas'ud berhenti membaca ketika sampai ayat ini, karena Rasul ﷺ berkata kepadanya, "Cukup." 'Abdullah bin Mas'ud kemudian menoleh kepada Rasul saw, dan melihatnya mencucurkan air mata.
Menjadi saksi pada hari kiamat adalah kedudukan yang mulia, tetapi berat. Rasul ﷺ akan menjelaskan kepada Allah pada hari kiamat keadaan umatnya sampai sejauh mana mereka mengamalkan petunjuk Al-Qur'an yang diwahyukan kepadanya. Pada hari itu, tak ada alasan lagi bagi umat untuk tidak mempertanggungjawabkan amal perbuatan mereka di dunia, sebab Al-Qur'an telah menjelaskan kepada mereka segala sesuatu, yang baik ataupun yang buruk, yang halal dan yang haram, serta yang benar dan yang salah. Al-Qur'an memberikan pedoman bagi manusia jalan mana yang lurus dan yang sesat, serta arah mana yang membawa bahagia dan mana yang membawa kesengsaraan.
Barang siapa membenarkan Al-Qur'an dan mengamalkan segala petunjuk yang terdapat di dalamnya, tentulah ia memperoleh rahmat dalam kehidupan dunia dan akhirat. Al-Qur'an memberi kabar yang menyenangkan kepada orang yang taat dan bertobat kepada Allah dengan pahala yang besar di akhirat dan kemuliaan yang tinggi bagi mereka.
Rasul ﷺ yang diberi tugas untuk menyampaikan Al-Qur'an, kelak akan dimintai pertanggungjawaban tentang tugas dan kewajibannya itu pada hari kiamat, sebagaimana firman Allah:
Maka pasti akan Kami tanyakan kepada umat yang telah mendapat seruan (dari rasul-rasul) dan Kami akan tanyai (pula) para rasul. (al-A'raf/7: 6)
Di antara tugas Rasulullah adalah menjelaskan Al-Qur'an kepada manusia tentang masalah-masalah agama karena ayat-ayat Al-Qur'an ada yang terperinci dan ada pula yang umum isinya. Rasulullah menjelaskan ayat-ayat Allah yang masih bersifat umum itu.
Firman Allah swt:
Dan Kami turunkan Adz-dzikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (an-Nahl/16: 44)
Selain menjelaskan ayat-ayat yang masih bersifat umum, Rasulullah menetapkan pula petunjuk-petunjuk dan hukum-hukum yang bertalian dengan urusan agama dan akhlak.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 81
“Dan Allah telah menjadikan untuk kamu, dari apa-apa yang telah dijadikan-Nya, untuk tempat berlindung."
Dengan sedikit kata ini, perhatian orang musafir yang tengah kepanasan dalam perjalanan jauh, telah diperingatkan pula akan nikmat Allah yang tampaknya kecil saja, tetapi amat diperlukan oleh musafir itu. Dalam perjalanan yang jauh, dalam panas sangat teriknya, Dan jauh telah kelihatan serumpun pohon tumbuh di padang, atau pinggir tebing. Mereka dapat berhenti sebentar ke sana melepaskan lelah dan berlindung dari teriknya panas."Dan dijadikan-Nya untuk kamu dari gunung-gunung akan tempat berteduh." Berlindung ketika kepanasan, berteduh ketika kehujanan atau kemalaman. Juga mengenai orang musafir tadi. Gunung-gunung itu banyak mempunyai lubang-lubang luas yang dinamai gua atau ngalau, yang dapat dijadikan tempat berteduh kalau hujan datang atau bermalam kalau kemalaman."Dan dijadikan-Nya untuk kamu pakaian-pakaian yang menjaga kamu dari panas." Yang meskipun memang manusia yang menenunnya, namun bahan yang akan ditenun, baik berupa kapas atau berupa bulu-bulu binatang, adalah dari Allah belaka."Dan pakaian penjaga kamu di waktu peperangan kamu." Baik baju besi, ketopong, zirah ataupun pakaian seragam tentara yang kita pergunakan di zaman sekarang untuk berperang, yang bahannya ataupun warnanya sudah tentu berbeda dengan pakaian di waktu damai."Demikianlah disempunnakan-Nya nikmat-Nya kepada kamu, supaya kamu menyenah dini."
Ayat 82
“Namun apabila mereka berpaling, lain tidak kewajiban engkau hanyalah menyampaikan yang terang."
Artinya menjadi kewajibanlah bagi Nabi Muhammad ﷺ menyampaikan seruan itu, menablighkannya, dengan terang, meskipun mereka akan berpaling juga. Dengan mem-peringatkan manusia akan hubungan hidupnya sehari-hari dengan alam yang ada di sekelilingnya, mudah-mudahan dia insaf akan kebesaran Allah dan kedudukan dirinya di tengah-tengah alam itu. Alam keliling ini adalah jadi pertanda akan adanya Allah. Manusia mesti diinsafkan kepada yang demikian. Kewajiban Nabi Muhammad ﷺ sebagai rasul ialah menyampaikan yang demikian itu.
Demikianlah, sampai kepada ayat 81 itu, Allah menarik perhatian manusia yang halus untuk melihat alam sekelilingnya, guna pendekatan hatinya kepada Allah, guna merasakan nikmat kasih Allah. Di sinilah perbedaan anjuran dan tarikan Al-Qur'an dengan berdebat-debat tentang ketuhanan yang dibuat oleh manusia. Maka dengan ayat-ayat seperti ini, timbullah suatu perasaan yang pasti (positif) tentang adanya Allah, demi setelah melihat bekas perbuatan-Nya. Tidaklah Al-Qur'an menyuruh membicarakan tentang zat Allah, cukuplah bicarakan sifat-sifat kemulia-an-Nya karena melihat bekasnya pada per-buatan-Nya. Di ayat 82 Nabi Muhammad ﷺ diperingatkan supaya jangan bosan-bosan me-nyampakkan dan menyadarkan perasaan yang halus itu, yang menimbulkan al-Akhlaq al-Karimah. Budi pekerti yang mulia pada insan terhadap Allah,
Ayat 83
“Mereka mengenal nikmat Allah, kemudian mereka ingkari akan dia."
Apa sebab jadi demikian? Sebabnya kebanyakan karena perhatian hanya tertuju kepada diri sendiri dan pandangan tidak diluaskan, sehingga alam menjadi sempit, padahal begitu lapang.
“Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang melupakan budi."
Apalah arti kemanusiaan kalau budi sudah lupa? Sedang jasa sedikit dari sesama manusia, telah dididik kita oleh pergaulan yang sopan supaya mengucapkan terima kasih; maka betapa terhadap Allah?
Betapa terhadap Allah, padahal sudah pasti kita kelak akan berhadapan juga dengan Dia pada hari yang telah ditentukan? Bagaimana jawaban kalau ditanyakan ke mana engkau pergunakan nikmat yang telah Aku limpahkan?
Ayat 84
“Dan (ingatlah) hari yang akan Kami bangkitkan dari tiap-tiap umat seorang saksi"
Karena kepada setiap umat telah diutus Allah Rasul-Nya, menyampaikan ajaran Allah. Maka pada hari Kiamat, ketika dijalankan pemeriksaan, rasul-rasul itu akan didatangkan sebagai saksi, apakah dia telah menyampaikan ajaran Allah itu kepada mereka? Niscaya ajaran sudah sampai dan orang-orang kafir yang tengah diperiksa itu tidak dapat mengelak lagi dan mencari dalih lagi."Kemudian itu, tidaklah akan diizinkan kepada orang-orang yang tidak percaya itu." Tidak akan diizinkan lagi mengemukakan alasan-alasan untuk membela diri, karena perkaranya sudah terang.
“Dan tidak akan diminta mereka membuat keridhaan."
Artinya, di akhirat itu tidaklah dapat lagi orang berkata sekarang saya hendak tobat dan memohon keridhaan Allah, sebab bukan waktunya lagi, Kalau hendak berbuat amal yang baik bukan di akhirat, tetapi dahulu semasa di dunia. Di dunia beramal, dan balasannya adalah di akhirat. Di akhirat menerima balasan dan tidak ada amal lagi.
Ayat 85
“Dan apabila orang-orang yang zalim itu melihat adzab, maka tidaklah akan diringankan, dan tidaklah mereka akan diberi kesempatan."
Zalim bagaimana yang dimaksud di sini? Apakah karena dia menganiaya orang lain? Adapun zalim karena menganiaya orang lain, sudahlah tersedia sendiri hukumnya. Kezaliman yang paling hebat dan paling zalim, ialah zalim kepada diri sendiri. Bila kita berbuat dosa dan sudah terang bahwa dosa itu akan membawa kita masuk neraka, tidak juga kita mau menghentikan kejahatan itu, bukankah itu zalim namanya? Kejam dan tidak merasa kasihan kepada diri sendiri. Lebih terasalah hendaknya dari hidup kita yang sekarang ini akan kezaliman itu. Sebab bila masanya itu tiba kelak, adzab itu tidak akan diringankan, dan kesempatan untuk kembali ke dunia memperbaiki jalan hidup tidak ada lagi.
Ayat 86
“Dan apabila melihatlah orang-orang yang musyrik akan sekutu-sekutu mereka itu."
Yaitu berhala-berhala atau orang-orang yang mereka jadikan sebagai tuhan pula di samping Allah."Mereka akan berkata, “Ya Allah! Mereka inilah sekutu-sekutu kami, yang telah kami seru selain Engkau." Dengan demikian tergambarlah penyesalan terhadap diri sendiri dan rasa kejengkelan kepada orang yang telah menyesatkan mereka. Tetapi apa lagi daya, semua sudah percuma.",Maka mereka" sekutu-sekutu yang dituhankan itu
“hadapkanlah kepada mereka itu perkataan,
“Sesungguhnya kamu adalah pendusta!"
Dengan terus terang di hadapan Allah, orang-orang yang telah dijadikan sekutu, yang disembah dipuja oleh orang-orang yang kufur itu mengatakan bahwa segala perkataan mereka adalah dusta. Sebab mereka, sekutu itu, tidak pernah mengajak orang buat mengatakan dirinya Allah. Sebagaimana kejadian dengan diri Nabi Isa sendiri misalnya, tidaklah bertemu satu kalimat dalam Injil, walau Injil yang mereka sahkan sekarang sekalipun, yang menyuruh manusia menyembah dirinya sebab dia tuhan! Melainkan sesudah beliau meninggal pengikut-pengikutnya membuat berbagai keputusan, konferensi dan konsili buat merumuskan supaya dia dijadikan tuhan pula di samping Allah, malahan dia yang dikatakan Allah.
Ayat 87
“Dan mereka hadapkan kepada Allah, pada hari itu, penyerahan."
Mengakui terus terang kesalahan diri dan menyerah kepada Allah, apa yang akan ditimpakan oleh Allah!
“Dan hilanglah dari mereka apa yang mereka ada-adakan itu,"
Tinggallah diri masing-masingberhadapan dengan Allah, menunggu keputusan. Dan su-dah terang pula apa yang akan diputuskan oleh Allah.
Sebab perbuatan buruk tidaklah akan dibalas dengan baik. Dan berhala atau pujaan-pujaan yang dipertahankan dengan segenap tenaga di waktu hidup itu, mana dia? Sudah hilang! Tidak kelihatan lagi, karena semuanya itu pada hakikatnya memang tidak ada.
Ancaman Allah ditegaskan dari sekarang.
Ayat 88
"Orang-orangyang tidak pencaya."
Kepada keesaan Allah, tidak percaya kepada rasul-rasul, tidak percaya akan hari Pem-balasan."Dan berpaling dari jalan Allah." Lebih suka menuruti jalan setan.
“Kami tambah untuk mereka adygb di atas adzgb, kanena mereka telah mengadakan kenusakan."
Demikianlah ancaman itu, yang sebab turunnya (Nuzulnya) ialah kekufuran kaum musyrikin di Mekah seketika Rasulullah Muhammad ﷺ menyampaikan seruan, maka sampai kepada saat kita ini pun dapatlah kita mengukur diri kita sendiri, kalau-kalau masih ada sisa yang demikian dalam batin kita, yaitu tidak mau percaya dan berpaling dari jalan Allah, menuruti jalan hawa nafsu dan rayuan setan, walaupun kita masih memakai nama seperti orang Islam.
Ayat 89
“Dan (ingatlah) hari yang akan kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi di antara mereka."
Saksi itu ialah rasul yang dibangkitkan dalam kalangan keluarga mereka sendiri sebagai Muhammad anak Quraisy, dibangkitkan dalam keluarga Quraisy."Dan Kami datangkan (pula) engkau jadi saksi atas mereka." jadi saksi atas umat yang mengaku percaya kepada Muhammad sebagai rasul, yaitu umat Muhammad ini, adakah benar-benar mereka pegang teguh ajaran Muhammad itu, atau bohong saja:
“Dan telah Kami turunkan kepada engkau kitab yang menerangkan tiap-tiap sesuatu, petunjuk, rahmat dan kaban gembira bagi Muslimin."
Dengan ayat ini, mulailah ditukikkan pandang kepada kaum Muslimin sendiri. Jika sebelumnya telah dinyatakan adzab siksa yang akan diderita oleh musyrikin, maka kelak di hadapan Allah, Muhammad akan dipanggil menjadi saksi tentang caranya Muslimin menyambut dan menjalankan agama yang dibawa Muhammad, yang telah diterimanya dengan iman. Niscaya tidaklah cukup kalau hanya pengakuan, tidak diiringi bukti dan bakti. Sedang Nabi Muhammad ﷺ telah datang membawa keterangan lengkap dengan kitab A)-Qur'an itu. Apa saja keperluan Muslimin, telah cukup dijelaskan di dalamnya, urusan dunia dan akhiratnya, sampai urusan nikah dan faraidh, urusan perang dan damai, pemerintahan dan musyawarah, ibadah dan muamalah; dan petunjuk menempuh jalan yang diridhai Allah, dan rahmat untuk persaudaraan sesama manu-sia, dan kabar gembira, yaitu janji surga bagi Muslimin.
Kaum Muslimin akan disaksikan oleh Nabi Muhammad ﷺ kelak di akhirat. Apakah yang telah diamalkan sekarang?
TIGA PERINTAH TIGA LARANGAN
Ayat 90
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan) dan memberi kepada keluanga yang terdekat."
Tiga hal yang diperintahkan oleh Allah supaya dilakukan sepanjang waktu sebagai tanda dari taat kepada Allah. Pertama jalan adil, yaitu menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan mana yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim aniaya. Lawan dan adil ialah zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri, mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri. Maka selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat pergaulan hidup manusia, selama itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanah dan percaya-mempercayai.
Sesudah itu diperintahkan pula melatih diri berbuat ihsan. Arti ihsan ialah mengandung dua maksud. Pertama selalu mempertinggi mutu amalan, berbuatyang lebih baik daripada yang sudah-sudah, sehingga kian lama tingkat iman itu kian naik. Di dalam hadits Rasulullah ﷺ yang shahih disebut
“Al-lhsan ialah bahwa engkau sembah Allah, seakan-akan engkau lihat Allah itu. Maka jika engkau tidak lihat Dia, namun Dia tetap melihat engkau. “
Maksud ihsan yang kedua ialah kepada sesama makhluk, yaitu berbuat lebih tinggi lagi dari keadilan. Misalnya kita memberi upah kepada seseorang mengerjakan sesuatu pekerjaan. Kita berikan kepadanya upah yang setimpal dengan tenaganya. Pembayaran upah yang setimpaKtu adalah sikap yang adil. Tetapi jika kita lebihi daripada yang semestinya, sehingga hatinya besar dan dia gembira, maka pemberian yang berlebih itu dinamai ihsan. Lantaran itu maka ihsan adalah latihan budi yang lebih tinggi tingkatnya daripada adil. Misalnya pula ialah seorang yang berutang kepada kita. Adalah suatu sikap yang adil jika utangnya itu kita tagih. Tetapi dia menjadi ihsan kalau utang itu kita maafkan.
Yang ketiga ialah memberi kepada keluarga yang terdekat. Ini pun adalah lanjutan daripada ihsan. Karena kadang-kadang orang yang berasal dari satu ayah dan satu ibu sendiri pun tidak sama nasibnya. Ada yang murah rezekinya lalu menjadi kaya raya dan ada yang hidupnya tidak sampai-menyampai. Maka orang yang mampu itu dianjurkan berbuat ihsan kepada keluarganya yang terdekat, sebelum dia mementingkan orang lain.
Al-Qurthubi menulis dalam tafsirnya,
“Maka sesungguhnya Allah suka sekali hamba-Nya berbuat ihsan sesama makhluk, sampai pun kepada burung yang engkau pelihara dalam sangkarnya, dan kucing di dalam rumah. Jangan sampai mereka itu tidak merasakan ihsan dari engkau."
“Dan melarang dari yang keji dan yang dibenci dan aniaya." Inilah pula tiga larangan Allah yang seyogianya dijauhi oleh orang yang mengaku beriman kepada Allah. Allah melarang segala perbuatan yang keji-keji, yaitu dosa yang amat merusak pergaulan dan keturunan. Biasa di dalam Al-Qur'an, kalau disebut al-Fahsyaa' yang dituju ialah segala yang berhubungan dengan zina. Segala pintu yang menuju kepada zina, baik berhubungan dengan pakaian yang membukakan aurat, atau cara-cara lain yang menimbulkan nafsu syahwat yang menuju ke sana. Itu hendaklah ditutup mati. Dan yang dibenci atau yang mungkar ialah segala perbuatan yang tidak dapat diterima baik oleh masyarakat yang memupuk budi yang luhur, dan segala laku tingkah perangai yang membawa pelanggaran atau aturan agama. Dan aniaya, yaitu segala perbuatan yang sikapnya menimbulkan permusuhan terhadap sesama manusia, karena mengganggu hak dan kepunyaan orang lain.
“Dimslhati-Nya kamu, supaya kamu ingat."
Ketiga perintah yang wajib kamu kerjakan itu dan larangan yang wajib kamu jauhi itu ialah untuk keselamatan dirimu sendiri supaya kamu selamat dalam pergaulan hidup. Pengajaran dan nasihat ini adalah langsung datang dari Allah sendiri. Kalau kamu kerjakan tiga yang disuruhkan, kamu pun selamat. Kalau kamu jauhi tiga yang dilarang, hidupmu pun akan bahagia.
Menurut riwayat dari Ibnu Jarir bahwasanya Abdullah bin Mas'ud pernah mengatakan bahwa ayat ini adalah ayat yang paling jelas memberi petunjuk mana yang baik dan mana yang jahat.
Dan tersebut pula dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad bahwa asal mula Utsman bin Mazh'un akan menjadi salah seorang sahabat setia dari Rasulullah ﷺ ialah disebabkan ayat ini. Pada suatu hari dia lewat di hadapan rumah Rasulullah ﷺ sedang Rasul duduk-duduk. Mulanya Utsman acuh tak acuh saja, malahan diseringaikannya giginya. Dia dipanggil Nabi dan disuruh ke dekat beliau. Tiba-tiba Jibril turun membawa ayat ini lalu dibaca oleh Rasulullah ﷺ supaya didengar oleh Utsman. Berkata Utsman, “Menyelinaplah ayat itu ke dalam hatiku hingga meneguhkan imanku, dan menjadi sangat cintalah aku kepada Muhammad ﷺ"
Tersebut pula di dalam tafsir Ibnu Katsir bahwasanya Aktsam bin Shaifi yang terkenal dan dahulunya pemeluk agama Nasrani mengatakan kepada kaum keluarganya yang pernah menemui Nabi Muhammad ﷺ lalu diterangkan Nabi Muhammad ﷺ ayat ini kepada mereka. Setelah mereka kembali kepada Aktsam bin Shaifi, berkatalah dia kepada kaumnya itu, “Kalau demikian dia ini adalah menyuruhkan kita agar berpegang kepada akhlak yang mulia dan mencegah kita dari akhlak yang hina. Oleh sebab itu saya anjurkan kepada kamu semuanya supaya segeralah kita terima ajakan orang ini, kita langsung menjadi pengikutnya. Hendaklah kamu semuanya dalam hal ini menjadi kepala-kepala yang terkemuka, jangan hanya menjadi ekor-ekor yang di belakang-belakang.
lkrimah bercerita bahwa ayat ini pun pernah dibaca Rasulullah di hadapan seorang pe-muka Quraisy yang termasuk penentangnya selama ini, bernama Walid bin Mughirah. Setelah didengarnya, dia pun berkata, “Hai anaksaudaraku! Ulang sekali lagi!" Lalu diulang oleh Nabi ﷺ. Maka berkatalah Walid, “Demi Allah, susun katanya lemak manis. Senang sekali telinga mendengarkannya. Pucuknya mendatangkan buah, uratnya penuh dengan kesuburan. Ini bukan kata sembarang kata, ini bukan kata-kata manusia."
Artinya, meskipun dia seorang penentang, payah dia buat memungkiri bahwa perkataan ini bukanlah perkataan Muhammad, melainkan wahyu.
Setelah terjadi pertentangan yang begitu hebat di antara golongan Ali dengan Mu'awiyah, yang berakhir dengan kemenangan Mu'awiyah, terutama setelah Ali bin Abi Thalib mati terbunuh, maka kaum Bani Uma-yyah, telah mempergunakan khutbah-khut-bah Jum'at untuk maksud-maksud politik. Lalu pada khutbah yang kedua di seluruh mimbar masjid yang dikuasai oleh Bani Umayyah, ditambahkanlah khutbah mengutuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Dan berlakulah yang demikian itu bertahun-tahun lamanya. Maka setelah jabatan khalifah jatuh ke atas diri Sayyidina Umar bin Abdul Aziz, beliau perintahkan menghentikan ucapan mencela dan mengutuk Ali bin Abi Thalib itu, dan beliau suruh menggantinya dengan ayat 90 dari surah an-Nahl ini. Menjadi kebiasaanlah pada tiap-tiap khutbah Jum'at yang kedua menutupnya dengan ayat ini, dan berlakulah pusaka Umar bin Abdul Aziz itu pada khutbah yang kedua di serata-rata negeri Islam yang memegang sunnah sampai masa sekarang ini. Sehingga terhitunglah ini salah satu bekas yang mulia dan tangan beliau.
Ayat 91
“Dan sempurnakanlah perjanjian dengan Allah apabila kamu telah berjanji."
Artinya, apabila telah bersumpah dengan memakai nama Allah akan mengerjakan sesuatu pekerjaan atau tidak mengerjakan sesuatu, itu namanya telah berjanji dengan Allah sendiri. Maka hendaklah janji dengan Allah itu dipenuhi. Sebab itu lanjutan ayat lebih menjelaskan lagi."Dan jangan kamu pecahkan sumpah sesudah kamu teguhkan, dan telah kamu jadikan Allah sebagai peneguh.'' Artinya janganlah seenaknya saja melalaikan sumpah yang telah diteguhkan dengan memakai nama Allah, seumpama “Demi Allah", atau “utangku kepada Allah" dan sebagainya.
“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat."
Dalam ayat ini terdapatlah tuntunan bagi Mukmin yang menghargai diri sendiri supaya sumpahnya jangan dipermain-mainkannya. Sumpah adalah termasuk taat dan kebajikan dan takwa juga. Maka tersebutlah dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim,
“Berkata Nabi ﷺ, “Sesungguhnya aku, demi Allah, in syaa Allah, tidaklah aku bersumpah dengan suatu persampahan, lalu kemudian aku pandang ada perbuatan lain yang lebih baik daripada yang telah aku sumpahkan itu, melainkan segeralah aku kerjakan yang lebih baik itu, lalu aku lepaskan diriku dari ikatan sumpah pertama." Dalam satu riwayat lagi," Lalu aku bayar kaffarah sumpahku itu." (HR Bukhari dan Muslim)
Kaffarah atau denda dari sumpah itu telah tersebut dengan jelas di dalam surah al-Maa'idah ayat 89, yaitu memberi makan sepuluh orang miskin dengan pertengahan yang kamu berikan kepada ahli kamu atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan budak. Kalau semuanya itu tidak sanggup hendaklah puasa tiga hari berturut-turut.
Ayat 92
“Dan janganlah kamu jadi seperti perempuan yang merombak tenunannya selembar -selembar sesudah selesai."
Demikianlah dalam ayat ini tentang orang-orang yang tadinya telah mengikat janji yang teguh, misalnya tidak akan berperang atau akan tetap berdamai. sehingga kuat teguhlah janji itu laksana teguhnya kain yang baru selesai ditenun. Tetapi kemudian kain tenunan yang telah kuat dan selesai itu mereka orak kembali satu demi satu. Atau serupalah keadaannya dengan perempuan menenun kain. Setelah selesai tenunan itu dirombaknya sehelai demi sehelai, sehingga terbuang percuma tenaganya selama ini."(Yaitu) kamu jadikan sumpah-sumpah kamu sebagai tipu daya di antara kamu." Untuk melepaskan diri ketika terdesak saja dan kalau sudah dapat jalan untuk mengelakkan diri, tidak merasa berat melanggar janji yang telah diikat “Lantaran satu golongan lebih banyak dari satu golongan." Yaitu tidak segan-segan mengikat pula perjanjian yang baru dengan golongan lain yang lebih besar, lebih kuat, lebih banyak orangnya dan lebih kaya, karena mengharapkan keuntungan benda, padahal perjanjian dengan yang dahulu, belum habis waktunya dan mereka setia menjalankan janji.
Tetapi mereka telah ditinggalkan karena golongannya kecil dan keuntungan yang diha-rapkan darinya tidak seberapa, “Lain tidak, Allah hanya hendak menguji kamu dengan dia." Manakah yang kamu pentingkan, harga budikah atau benda? Keuntungan besar dengan melengahkan janjikah atau keuntungan kecil tetapi setia memegang janji? Sampai hatikah kamu merombak janjimu dengan tidak semena-mena, hanya karena mengharapkan keuntungan yang lebih besar, padahal kamu kerugian dalam hal harga iman dalam hubungan manusia sesama manusia?
“Dan niscaya akan ditenangkan-Nya kepada kamu di hari Kiamat dari hal apa yang kamu perselisihkan."
Merombak apa yang telah dijanjikan dengan cara yang demikian karena mengharapkan membuat janji dengan yang lebih kuat dan lebih banyak, sehingga tidak memedulikan lagi nilai sopan santun adalah perangai orang jahiliyyah yang tidak mempunyai pokok-pokok kepercayaan, maka tidaklah sepatutnya dia menjadi akhlak Muslim. Sebab itu maka diberikanlah perumpamaan dalam ayat ini dengan halus sekali kecelaan perbuatan demikian, yaitu laksana perempuan bertenun kain. Telah selesai tenunannya lalu dirombaknya kembali, diaraknya barang selembar demi selembar, dan habis terbuanglah tenaganya dengan tidak ada sebab yang lain, hanyalah karena pikirannya yang kacau saja.
Maka tersebutlah dalam satu riwayat bahwasanya seketika Mu'awiyah berkuasa, beliau telah membuat suatu perjanjian dengan Raja Romawi, tidak akan serang-menyerang selama sekian waktu. Maka tatkala telah dekat habis masa perjanjian itu Mu'awiyah membawa ten-taranya ke dekat negeri Raja Romawi tersebut, dengan maksud menyerbu tiba-tiba apabila waktu yang dijangkakan itu habis, dan pihak musuh niscaya diserang sedang tidak bersedia.
Mendengar maksud yang demikian, berkatalah Amer bin Anbasah kepada Mu'awiyah, “Allahu Akbar, ya Mu'awiyah! Pegang teguhlah janji yang telah diperbuat, jangan dikhianati. Sebab saya mendengar dari Rasulullah ﷺ,
“Barangsiapa ada di antaranya dengan suatu kaum suatu janji, maka janganlah dia buka sendiri buhul janji itu sebelum habis waktunya."
Mendengar teguran Amer bin Anbasah itu, mundurlah Mu'awiyah dengan tentaranya, dan tidak jadi menyerang secara tiba-tiba ke negeri Romawi sebab yang demikian adalah mungkir janji.