Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِنۡ
dan jika
عَاقَبۡتُمۡ
kamu membalas
فَعَاقِبُواْ
maka balaslah mereka
بِمِثۡلِ
dengan semisal/sebanding
مَا
apa
عُوقِبۡتُم
kamu dibalas/ditimpa
بِهِۦۖ
dengannya
وَلَئِن
dan jika
صَبَرۡتُمۡ
kamu bersabar
لَهُوَ
sesungguhnya itu
خَيۡرٞ
lebih baik
لِّلصَّـٰبِرِينَ
bagi orang-orang yang bersabar
وَإِنۡ
dan jika
عَاقَبۡتُمۡ
kamu membalas
فَعَاقِبُواْ
maka balaslah mereka
بِمِثۡلِ
dengan semisal/sebanding
مَا
apa
عُوقِبۡتُم
kamu dibalas/ditimpa
بِهِۦۖ
dengannya
وَلَئِن
dan jika
صَبَرۡتُمۡ
kamu bersabar
لَهُوَ
sesungguhnya itu
خَيۡرٞ
lebih baik
لِّلصَّـٰبِرِينَ
bagi orang-orang yang bersabar
Terjemahan
Jika kamu membalas, balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Sungguh, jika kamu bersabar, hal itu benar-benar lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
Tafsir
(Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. Akan tetapi jika kalian bersabar) tidak mau membalas (sesungguhnya itulah) bersikap sabar itulah (yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar) kemudian Nabi ﷺ membatalkan sumpahnya itu, dan membayar kafaratnya. Demikianlah menurut hadis yang telah diriwayatkan oleh Imam Bazzar.
Tafsir Surat An-Nahl: 126-128
Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesaharanmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka, dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.
Allah ﷻ memerintahkan untuk berbuat adil dalam qisas (pembalasan) dan seimbang dalam menunaikan hak, seperti yang disebutkan dalam riwayat Abdur Razzaq, dari As-Sauri, dari Khalid, dari Ibnu Sirin yang telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. (An-Nahl: 126) Bahwa jika seseorang mengambil sesuatu dari kalian, maka ambillah darinya yang semisal. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ibrahim, Al-Hasan Al-Basri, dan lain-lainnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Ibnu Zaid mengatakan bahwa pada mulanya kaum muslim diperintahkan memaaf terhadap sikap orang-orang musyrik.
Tetapi setelah masuk Islam, banyak lelaki yang mempunyai kekuatan, maka mereka mengatakan, "Wahai Rasulullah, sekiranya Allah memberi izin kepada kita (untuk membalas), tentulah kami akan balas anjing-anjing itu." Maka turunlah ayat ini, yang kemudian di-mansukh oleh ayat jihad. Muhammad ibnu lshaq telah meriwayatkan dari salah seorang temannya, dari Ata ibnu Yasar yang mengatakan bahwa surat An-Nahl seluruhnya diturunkan di Mekah, maka ia termasuk surah Makkiyyah; kecuali tiga ayatyang tertetak di akhirnya, ketigaayat tersebut diturunkan di Madinah sesudah Perang Uhud, ketika Hamzah r.a. gugur dalam keadaan tercincang.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya jika Allah memberikan kemenangan kepadaku atas mereka, sesungguhnya aku akan balas mencincang tiga puluh orang lelaki dari kalangan mereka (sebagai pembalasan atas kematian Hamzah). Ketika kaum muslim mendengar hal tersebut, mereka berkata, "Demi Allah, seandainya Allah memenangkan kita atas mereka, sungguh kita akan mencincang mereka dengan cincangan yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan orang-orang Arab." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan 'yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. (An-Nahl: 126), hingga akhir surat. Hadis ini mursal di dalam sanadnya terdapat seorang lelaki yang tidak disebutkan namanya.
Tetapi hadis ini telah diriwayatkan pula melalui jalur lain secara muttasil oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar. [] -: Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Saleh Al-Murri, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah ﷺ berdiri di dekat jenazah Hamzah ibnu Abdul Muttalib r.a. setelah ia gugur sebagai syuhada. Nabi ﷺ melihat suatu pemandangan yang belum pernah beliau lihat sangat menyakitkan seperti pemandangan kala itu. Nabi ﷺ melihat jenazah Hamzah dalam keadaan telah dicincang (dirobek dadanya). Beliau bersabda: Semoga rahmat Allah lerlimpahkan kepadamu, sesungguhnya engkau menurut sepengetahuanku tiada lain seorang yang suka menghubungkan tali silaturahmi lagi banyak berbuat kebaikan. Demi Allah, seandainya tiada kesedihan atas dirimu karena tidak tega melihat keadaanmu, tentulah aku suka bila kubiarkan engkau, hingga Allah membangkitkanmu dari perut binatang-binatang buas (atau dengan kalimat yang semisal).
Ingatlah, demi Allah, atas kejadian ini; sungguh aku akan mencincang tujuh puluh orang (dari mereka) seperti cincangan yang dialami olehmu. Maka Malaikat Jibril a.s. turun kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan membawa ayat ini, lalu ia membacakannya: Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. (An-Nahl: I26), hingga akhir surat. Lalu Rasulullah ﷺ membayar kifarat sumpahnya dan menahan diri dari apa yang diniatkannya itu. Sanad hadis ini mengandung ke-daif-an, karena sesungguhnya Saleh Al-Murri orangnya daif menurut pendapat para imam ahli hadis. Bahkan Imam Bukhari mengatakan bahwa hadisnya berpredikat munkar.
Asy-Sya'bi dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan ucapan kaum muslim dalam Perang Uhud sehubungan dengan orang-orang mereka yang gugur dalam keadaan tercincang. Mereka mengatakan, "Sungguh kami akan mencincang mereka sebagaimana mereka mencincang kami." Lalu Allah ﷻ menurunkan ayat-ayat ini berkenaan dengan hal tersebut. Abdullah (putra Imam Ahmad) mengatakan di dalam kitab musnad ayahnya, telah menceritakan kepada kami Hudbah ibnu Abdul Wahhab Al-Marwazi, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Ubaid, dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa dalam Perang Uhud telah gugur dari kalangan Ansar sebanyak enam puluh orang lelaki, sedangkan dari kalangan Muhajirin hanya enam orang.
Maka para sahabat Rasulullah ﷺ berkata, "Seandainya kita mendapat kemenangan dalam perang berikutnya dari orang-orang musyrik, sungguh kami akan balas mencincang mereka." Dan ketika hari kemenangan atas kota Mekah terjadi, seorang lelaki berkata, "Sesudah hari ini Quraisy tidak akan dikenal lagi." Maka terdengarlah suara seruan yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah memberikan jaminan keamanan kepada semua orang, baik yang berkulit hitam maupun yang berkulit putih, kecuali si anu dan si anu. Disebutkan nama sejumlah orang yang dimaksud. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. (An-Nahi: 126), hingga akhir surat.
Dan Rasulullah ﷺ bersabda: Kami akan bersabar dan tidak akan membalas. Ayat ini mempunyai persamaan dengan ayat-ayat lain, yang intinya mengandung perintah untuk bersikap adil dan dianjurkan bersikap pemurah (memaaf), seperti yang disebutkan dalam firman-Nya: Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. (Asy-Syura: 40) Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan: maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. (Asy-Syura: 40), hingga akhir ayat. Dan firman Allah ﷻ: dan luka-luka (pun) ada qisasnya. (Al-Maidah: 45) Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan: Barang siapa yang melepaskan (hak qisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45) Dan dalam ayat berikut ini disebutkan oleh firman-Nya: Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. (An-Nahl: 126) Kemudian dalam firman berikutnya disebutkan: Tetapi jika kalian bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (An-Nahl: 126) Adapun firman Allah ﷻ: Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah. (An-Nahl: 127) Hal ini mengukuhkan perintah bersabar, sekaligus sebagai pemberitaan bahwa kesabaran itu tidak dapat diraih melainkan berkat kehendak Allah dan pertolongan-Nya, serta berkat upaya dan kekuatan-Nya.
Selanjutnya Allah ﷻ berfirman: dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka. (An-Nahl: 127) Yakni terhadap orang-orang yang menentangmu, karena sesungguhnya Allah telah menakdirkan hal tersebut. dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. (An-Nahl: 127) Artinya, janganlah kamu merasa duka cita terhadap upaya keras mereka dalam memusuhimu dan memasukkan kemusyrikan terhadapmu, karena sesungguhnya Allah-lah yang mencukupi, menolongmu, mendukungmu, menampakkan kamu, dan memenangkan kamu atas mereka. Firman Allah ﷻ: Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (An-Nahl: 128) Yakni Allah beserta mereka melalui dukungan-Nya, pertolongan-Nya, bantuan-Nya, petunjuk dan upaya-Nya.
Makna kebersamaan ini bersifat khusus, seperti pengertian kebersamaan yang terdapat di dalam ayat lain melalui firman-Nya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.(Al-Anfal: 12) Dan firman Allah ﷻ kepada Musa dan Harun, yaitu: Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. (Thaha: 46) Demikian pula dalam sabda Nabi ﷺ kepada Abu Bakar As-Siddiq di dalam gua: Janganlah engkau berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita. (At-Taubah: 40) Adapun kebersamaan yang mengandung makna umum, maka pengertiannya hanya melalui pendengaran, penglihatan, dan pengetahuan; seperti pengertian yang terdapat di dalam firman Allah ﷻ: Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.
Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan. (Al-Hadid: 4) Juga seperti yang ada di dalam firman-Nya: Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. (Al-Mujadilah: 7) Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca ayat dari Al-Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan melainkan Kami menjadi saksi atasmu. (Yunus: 61).
Hingga akhir ayat. Adapun firman Allah ﷻ: orang-orang yang bertakwa. (An-Nahl: 128) Maksudnya, orang-orang yang meninggalkan hal-hal yang diharamkan. dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (An-Nahl: 128) Yakni orang-orang yang mengerjakan ketaatan. Mereka adalah orang-orang yang dijaga oleh Allah, dipelihara-Nya, ditolong-Nya, didukungNya, dan dimenangkan-Nya atas musuh-musuh mereka dan orang-orang yang menentang mereka. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basyar, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubair, telah menceritakan kepada kami Mis'ar, dari Ibnu Aun, dari Muhammad ibnu Hatib yang mengatakan bahwa Khalifah Usman ibnu Affan termasuk orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.
Demikianlah akhir dari tafsir surat An-Nahl. Segala puji bagi Allah dan semua karunia dari-Nya. semoga salawat dan salam-Nya terlimpah-kan kepada junjungan kita Nabi Muhammad beserta segenap keluarga dan sahabat-sahabatnya. [Demikianlah akhir juz 14]"
Ayat ini memberi tuntunan kepada Nabi Muhammad tentang tata
cara berdakwah dan membalas perbuatan orang yang menyakitinya,
Dan jika kamu membalas terhadap siapa pun yang telah menyakiti atau
menyiksamu dalam berdakwah, maka balas dan hukum-lah mereka dengan balasan yang sama, yakni setimpal, dengan siksaan atau kesalahan
yang ditimpakan kepadamu; jangan kaubalas mereka lebih dari itu. Tetapi jika kamu bersabar dan tidak membalas apa yang mereka lakukan kepadamu, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar. Sabar adalah sikap yang mulia, karena itu Allah memerintahkan
Nabi Muhammad untuk bersabar. Allah berfirman, Dan bersabarlah,
wahai Nabi Muhammad, dalam menghadapi tantangan dan cobaan
hidup serta penolakan orang kafir terhadap seruanmu, dan ketahuilah
bahwa kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah. Dan janganlah engkau bersedih hati terhadap penolakan dan kekafiran mereka, dan
jangan pula engkau bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan untuk menghalagi seruanmu.
Berdasarkan riwayat Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Nabi ﷺ berdiri di hadapan Hamzah ketika terbunuh sebagai syahid dalam Perang Uhud. Tidak ada pemandangan yang paling menyakitkan hati Nabi daripada melihat jenazah Hamzah yang dicincang (mutilasi). Lalu Nabi bersabda, "Semoga Allah mencurahkan rahmat kepadamu. Sesungguhnya engkau?sepengetahuanku?adalah orang yang senang silaturrahim dan banyak berbuat kebaikan. Kalau bukan karena kesedihan berpisah denganmu, sungguh aku lebih senang bersamamu sampai di Padang Mahsyar bersama para arwah. Demi Allah, aku akan membalas dengan balasan yang setimpal tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu." Maka Jibril turun dengan membawa ayat-ayat di akhir Surah an-Nahl, "Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar." Pada saat itu Rasulullah berdiri di hadapan jenazah Hamzah.
Dalam ayat ini Allah ﷻ menegaskan kepada kaum Muslimin, yang akan mewarisi perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan agama Islam, untuk menjadikan sikap Rasul di atas sebagai pegangan mereka dalam menghadapi lawan.
Pedoman dakwah yang diberikan Allah pada ayat yang lalu, adalah pedoman dalam medan dakwah dengan lisan, hujjah lawan hujjah. Dakwah berjalan dalam suasana damai. Akan tetapi, jika dakwah mendapat perlawanan yang kasar, misalnya para dai disiksa atau dibunuh, Islam menetapkan sikap tegas untuk menghadapi keadaan demikian dengan tetap menjunjung tinggi kebenaran. Dua macam jalan yang diterangkan Allah dalam ayat ini, pertama: membalas dengan balasan yang seimbang. Kedua: menerima tindakan permusuhan itu dengan hati yang sabar dan memaafkan kesalahan itu jika bisa memberi pengaruh yang lebih baik bagi jalannya dakwah.
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini mempunyai makna dan tujuan yang sama dengan beberapa ayat dalam Al-Qur'an yaitu mengandung keharusan adil dan dorongan berbuat keutamaan, seperti firman Allah:
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim. (asy-Syura/42: 40)
Firman Allah swt:
?Dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. (al-Ma'idah/5: 45).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TENTANG HARI SABTU
Menurut syari'at Yahudi, Sabtu dijadikan hari perhentian bekerja, hari untuk istirahat. Karena menurut kepercayaan mereka, pada hari itu jualah Allah istirahat setelah selesai mencipta alam. Ini pun masuk dalam Hukum Sepuluh. Oleh sebab itu maka istirahat pada hari Sabtu itu dipegang teguh oleh orang Yahudi. Tidak ada kegiatan hidup sama sekali pada hari Sabtu, sampai pun kepada zaman kita ini. Sehingga karena demikian besar pengaruh orang Yahudi dalam perekonomian negeri Amerika Serikat, meskipun orang Yahudi Amerika hanya kira-kira dua juta saja di antara 170 juta orang Amerika Serikat, maka istirahat terpaksa dua hari, yaitu Sabtu dan Ahad. Hari Ahad adalah hari istirahat orang Nasrani.
Menurut anggapan dan ajaran Islam, yang menjadi pokok sendi atau i'tikad ialah tentang Allah itu Esa. Adapun istirahat hari Sabtu, atau hari Ahad, atau hari Jum'at bukanlah termasuk ftikad, tetapi termasuk dalam syari'at, yang dapat berubah-ubah karena perubahan rasul yang datang. Tetapi setelah Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa beliau ialah menegakkan kembali ajaran tauhid Nabi Ibrahim, orang Yahudi teringat hari Sabtu mereka. Mereka selalu merangkaikan tauhid dengan hari Sabtu. Tidak sah tauhid kalau tidak hari Sabtu istirahat. Di sinilah pangkal selisih dengan orang Nasrani dan juga dengan orang Islam. Mengapa mereka tidak mau membicarakan dasar (prinsip) terlebih dahulu?
Dengan orang Kristen mereka berselisih. Orang Kristen menetapkan hari Ahad jadi hari istirahat, yaitu hari pertama dalam seminggu, yang menurut kepercayaan ialah hari pertama Allah mencipta alam. Orang Yahudi bertahan, mengatakan mesti hari Sabtu, karena pada hari itulah Allah istirahat sesudah menjadikan langit dan bumi. Tentang menjadikan alam dalam enam hari itu pun tidak dimungkiri oleh ajaran yang dibawa Muhammad. Tetapi penafsiran Al-Qur'an da-lam pikiran bebas orang Islam, jauh lebih berani daripada penafsiran penganut Taurat dan Injil, yaitu bahwa yang dimaksud dengan enam hari, bukan mesti dan bukan pasti enam hari dalam hitungan kita karena perjalanan falak matahari ini, sebab Al-Qur'an juga ada menyebut bahwa satu hari Allah yang sama dengan 1.000 tahun hitungan kita manusia, (surah as-Sajdah ayat 5 dan surah al-Hajj ayat 47), dan ada juga hitungan sehari Allah sama dengan 50.000 tahun hitungan insan (surah al-Ma'aarij ayat 4). Sebab itu maka Allah menjadikan alam dalam enam hari itu, ialah hari menurut perhitungan Allah sendiri, yang menguasai alam cakrawala yang amat luas ini. Sehingga pengukuran hari Allah bukanlah semata-mata tergantung kepada perhitungan perjalanan matahari. Maka Nabi Muhammad ﷺ menetapkan hari Jum'at buat hari besar Islam, hari yang diistimewakan dalam sepekan itu. Bukan dinamai hari istirahat, tetapi hari Jum'at, artinya hari berkumpul beribadah bersama-sama.
Maka datanglah ayat menjelaskan kedudukan hari Sabtu yang dijadikan pertahanan dasar oleh orang Yahudi itu.
Ayat 124
“Tidak lain, Sabtu itu hanya dijadikan untuk orang-orang yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Allah engkau akan menghukum di antena mereka pada hari Kiamat, pada apa yang mereka pensetisihkan itu"
Soal penetapan hari Sabtu sebagai hari besar, belumlah tersebut dalam ajaran Nabi Ibrahim, sedang orang Yahudi menyatakan sudah. Dan kalau diminta keterangan dari kitab mereka sendiri, adalah Nabi Ibrahim menentukan itu, mereka tidak dapat memberikan. Inilah pangkal perselisihan. Dalam kitab Perjanjian Lama yang sekarang pun tidak tersebut bahwa hari Sabtu jadi hari istirahatnya Nabi Ibrahim, Sebab itu Allah memberi keterangan bahwa perselisihan itu kelak akan diselesaikan di hadapan Allah di akhirat. Adapun di dunia ini, setiap golongan agama memegang setia hari besarnya karena itu bukan pokok dasar aqidah. Yang pokok dasar adalah bahwa Tiada Allah melainkan Allah, Yang Esa adanya.
Tentang keutamaan dan kelebihan hari Jum'at telah bersabda Nabi Muhammad ﷺ,
“Dari Abu Hurairah (moga-moga ridha Allah atasnya) bahwasanya Rasulullah ﷺ telah bersabda, “Kita adalah umat yang terakhir, tetapi yang terdahulu di hari Kiamat, meskipun kepada mereka yang terlebih dahulu diturunkan kitab sebelum kita. Kemudian itu; inilah hari yang di-fardhukan Allah atas mereka, lalu mereka berselisih padanya, sedang kita diberi petunjuk oleh Allah. Sebab itu maka manusia pun adalah pengikut kita, Yahudi beresok dan ... lepas beresok." (HR Bukhari)
Sabda beliau pula,
“Dari Abu Hurairah dan Huzaifah (ridha Allah atas keduanya), bersabda Rasulullah ﷺ, “Setelah disesatkan Allah dari hari Jum'at mereka yang sebelum kita. Maka adalah bagi orang Yahudi hari Sabtu dan bagi orang ‘Nashara hari Ahad. Setelah itu kita pun didatangkan Allah dan diberi petunjuk kepada hari Jum'at. Maka jadilah berturut-turut Jum' a t, Sabtu dan Ahad. Demikian pula mereka di belakang kita di hari Kiamat. Kita umat terakhir di dunia ini, tetapi yang terdahulu di hari Kiamat. Kita yang akan lebih dahulu diperiksa di antara mereka itu sebelum makhluk-makhluk yang lain." (HR Muslim)
DAKWAH
Ayat 125
“Serulah kepada jalan Allah engkau dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik."
Ayat ini adalah mengandung ajaran kepada Rasul ﷺ tentang cara melancarkan dakwah, atau seruan terhadap manusia agar mereka berjalan di atas jalan Allah (Sabilillah). Sabilillah, atau Shirathal Mustaqim atau ad-Dinul Haqqu. Agama yang benar. Nabi ﷺ memegang tampuk pimpinan dalam melakukan dakwah itu. Kepadanya dituntunkan oleh Allah bahwa di dalam melakukan dakwah hendaklah memakai tiga macam cara atau tiga tingkat cara. Pertama hikmah (kebijaksanaan). Yaitu dengan secara bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih menarik perhatian orang kepada agama, atau kepada kepercayaan terhadap Allah. Contoh-contoh kebijaksanaan itu selalu pula ditunjukkan Allah.
Kata hikmah itu kadang-kadang diartikan orang dengan filsafat. Padahal dia adalah inti yang lebih halus dari filsafat. Filsafat hanya dapat dipahamkan oleh orang-orang yang telah terlatih pikirannya dan tinggi pendapat logikanya. Tetapi hikmat dapat menarik orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar. Kebijaksanaan itu bukan saja dengan ucapan mulut, melainkan termasuk juga dengan tindakan dan sikap hidup. Kadang-kadang lebih berhikmah diam daripada berkata.
Yang kedua ialah al-Mau'izhatul Hasanah, yang kita artikan pengajaran yang baik, atau pesan-pesan yang baik, yang disampaikan sebagai nasihat. Sebagai pendidikan dan tuntunan sejak kecil. Sebab itu termasuklah dalam bidang al-Mau'izhatul Hasanah, pendidikan ayah-bunda dalam rumah tangga kepada anak-anaknya, yang menunjukkan contoh beragama di hadapan anak-anaknya, sehingga menjadi kehidupan mereka pula. Termasuk juga pendidikan dan pengajaran dalam perguruan-perguruan.
Pengajaran-pengajaran yang baik lebih besar kepada kanak-kanak yang belum ditumbuhi atau belum diisi lebih dahulu oleh ajaran-ajaran yang lain.
Yang kedua ialah Jadilhum biUati hiya ahsart, bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Kalau telah terpaksa timbul perbantahan atau pertukaran pikiran, yang di zaman kita ini disebut polemik, ayat ini menyuruh, agar dalam hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat dielakkan lagi, pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. Di antaranya ialah membedakan pokok soal yang tengah dibicarakan dengan perasaan benci atau sayang kepada pribadi orang yang tengah diajak berbantah. Misalnya seseorang yang masih kufur belum mengerti ajaran Islam, lalu dengan sesuka hatinya saja mengeluarkan celaan kepada Islam, karena bodohnya. Orang ini wajib di-bantah dengan jalan yang sebaik-baiknya, disadarkan dan diajak kepada jalan pikiran yang benar, sehingga dia menerima. Tetapi kalau terlebih dahulu hatinya disakitkan, karena cara kita membantah yang salah, mungkin dia enggan menerima kebenaran, meskipun hati kecilnya mengakui, karena hatinya telah disakitkan.
Ketiga pokok cara melakukan dakwah ini, hikmah, mau'izhah hasanah dan mujadalah biilati hiya ahsan, amatlah diperlukan di segala zaman. Sebab dakwah atau ajakan dan seruan membawa umat manusia kepada jalan yang benar itu, sekali-kali bukanlah propaganda, meskipun propaganda itu sendiri kadang-kadang menjadi bagian dari alat dakwah. Dakwah meyakinkan, sedang propaganda atau di'ayah adalah memaksakan. Dakwah dengan jalan paksa tidaklah akan berhasil menundukkan keyakinan orang. Apatah lagi dalam hal agama Al-Qur'an sudah menegaskan bahwa dalam hal agama sekali-kali tidak ada paksaan (al-Baqarah ayat 256). Dan di ujung ayat ini dengan tegas Allah mengatakan bahwa urusan memberi orang petunjuk atau menyesatkan orang, adalah hak Allah sendiri.
“Sesungguhnya Allah engkau, Dialah yang lebih tahu siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk."
Demikianlah ayat ini telah dijadikan salah satu pedoman perjuangan, menegakkan iman dan Islam di tengah-tengah berbagai ragamnya masyarakat pada masa itu, yang kedatangan Islam adalah buat menarik dan membawa, bukan mengusir dan mengenyahkan orang. Dan sampai sekarang, ketiga pokok ini masih tetap dipakai, menurutperkembangan-perkembang-an zaman yang modern.
PEMBALASAN
Ayat 126
“Dan jika kamu membalas, hendaklah pembalasan sebanding dengan apa yang mereka siksakan kepada kamu. Dan jika kamu sabar, maka itulah dia yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar."
Baik ketika masih di Mekah, apatah lagi setelah Hijrah ke Madinah, macam-macamlah penderitaan Rasulullah ﷺ karena kejahatan musuh-musuhnya terhadapnya. Kadang-kadang karena sakitnya pukulan itu berniatlah beliau bahwa kelak kalau menang memang hendak membalas kepada musuh-musuh itu. Ayat ini menjelaskan, Memang! Itu adalah hak beliau! Jika membalas, balas dengan balasan yang setimpal, nyawa bayar nyawa. Ini kejadian dengan Wahsyi, budak yang membunuh Sayyidina Hamzah. Ketika Rasulullah ﷺ tahu bahwa Wahsyi itulah yang membunuh Hamzah dan merobek dada Hamzah lalu mengeluarkan jantungnya dan digigit oleh Hindun, istri Abu Sufyan, buat melepaskan sakit hatinya, sebab saudara-saudaranya mati di Peperangan Badar karena kena pedang Hamzah. Rasulullah ﷺ bertekad, bahwa kelak kalau Wahsyi itu dapat dalam satu peperangan, akan disiksa setimpal dengan kejahatannya. Sebab kalau menurut kita sekarang ini, cara yang dilakukan oleh Wahsyi itu ialah kejahatan, penjahat perang, karena dalam peraturan perang di zaman Jahiliyyah sendiri pun, amat hina menganiaya mayat.
Tetapi setelah kemarahan beliau mulai reda menurun, membalas kepada Wahsyi itu mulai menurun pula, sebab ingat akan ujung ayat ini."Dan jika kamu sabar, maka itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." Apa yang kejadian kemudian? Wahsyi masuk Islam ketika Futuh Mekah, dan dia menjadi Muslim yang baik, dan kemudian dia telah ikut dalam peperangan-peperangan yang besar dan penting dalam Islam. Bahkan ketika Rasulullah ﷺ telah wafat dan Abu Bakar menjadi Khalifah, telah dikirim oleh khalifah tentara untuk membasmi pemberontakan orang-orang yang murtad di bawah nabi-nabi palsu, Wahsyi turut terkirim dalam tentara yang memerangi Musailamah al-Kazzab, nabi palsu di Yamamah (Nejd). Wahsyi yang dahulu di zaman jahiliyyah membunuh Hamzah itu, sekarang dia pulalah yang membunuh Musailamah nabi palsu itu dalam peperangan yang hebat.
Banyak lagi contoh-contoh demikian yang terjadi dalam sejarah nabi kita Muhammad ﷺ! Seumpama orang Yahudi yang datang memaki-makinya, dituduh pelambat membayar utang, diterimanya dengan senyum dan dibayarnya utangnya, padahal Umar bin Khaththab sudah nyaris menyentak pedang hendak membunuh orang Yahudi itu. Apa jadinya? Dia masuk Islam di saat itu juga, karena tertawan oleh kesabaran dan kelemahlembutan sikap Nabi ﷺ.
Di akhirnya Allah tekankan lagi,
Ayat 127
“Dan bersabarlah engkau! Dan tidaklah sabar engkau itu melainkan dengan Allah."
Macam-macam yang akan engkau hadapi dalam sikap dan cara kaummu yang bodoh itu, yang kasar budinya, sombong sikapnya. Syarat kemenangan ialah sabar. Sabarmu bukanlah kelemahan, tetapi itulah dia yang sebenarnya kekuatan, sebab engkau kuat mengendalikan diri. Dalam hal yang demikian, engkau adalah dengan Allah. Engkau tidak dibiarkan Allah sendirian."Dan jangan engkau berdukacita terhadap mereka." Mentang-mentang mereka belum mau engkau ajak, tetapi gembiralah hatimu. Sebab di sampingyangmasih berkeras tidak mau mengakui, yang telah tunduk pun banyak pula dan telah menjadi pengikutmu yang setia,
“Dan jangan engkau bersempit hati lantaran tipu daya mereka."
Semuanya hadapi dengan dada lapang. Kelak apabila engkau menang menghadapi mereka, sedang mereka masih hidup, mereka akan tunduk tersipu-sipu kepadamu.
Ayat 128
“Sesungguhnya Allah adalah beserta orang-orang yang bertakwa dan beserta orang yang berbuat kebajikan."
Bertakwa pakaian hati, beramal kebajikan (ihsan), pekerjaan badan. Takwa menjadi sebab buat selalu berbuat ihsan. Sebab takwa sebagai minyak pelancar hidup. Ihsan ialah selalu berbuat baik dan memperbaiki. Ihsan di dalam pekerjaan dan ihsan terhadap orang lain.
Demikianlah tuntunan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya.
Demikian pula tuntunan yang diberikan Rasul kepada umatnya.
PENUTUP
Ketika seorang budiman bernama Harim bin Hibban akan meninggal dunia, segala yang mengelilinginya meminta kepadanya supaya dia meninggalkan wasiat.
Maka berkatalah beliau,
“Aku mewasiatkan kepada kamu supaya selalu membaca ayat-ayat Allah di akhin sunah an-Nahl, mulai dari ayat “lld'u Uaa sabiti nahbika."
“Serulah kepada jalan Allah engkau dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Allah engkau, Dia yang lebih tahu siapa yang sesat dari jalannya, dan Dialah yang lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk."
Dimulai pada hari Kamis, 18 Ramadhan 1384 21 Januari 1965
Selesai pada hari Sabtu,
27 Ramadhan 1384 30 Januari 1965
Di Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta (masih dalam tahanan).