Ayat

Terjemahan Per Kata
ٱدۡعُ
serulah
إِلَىٰ
kepada
سَبِيلِ
jalan
رَبِّكَ
Tuhanmu
بِٱلۡحِكۡمَةِ
dengan hikmah
وَٱلۡمَوۡعِظَةِ
dan pelajaran
ٱلۡحَسَنَةِۖ
yang baik
وَجَٰدِلۡهُم
dan bantahlah mereka
بِٱلَّتِي
dengan (cara) yang
هِيَ
ia
أَحۡسَنُۚ
baik
إِنَّ
sesungguhnya
رَبَّكَ
Tuhanmu
هُوَ
Dia
أَعۡلَمُ
lebih mengetahui
بِمَن
dengan/pada siapa
ضَلَّ
tersesat
عَن
dari
سَبِيلِهِۦ
jalanNya
وَهُوَ
dan Dia
أَعۡلَمُ
lebih mengetahui
بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
dengan/pada orang-orang yang mendapat petunjuk
ٱدۡعُ
serulah
إِلَىٰ
kepada
سَبِيلِ
jalan
رَبِّكَ
Tuhanmu
بِٱلۡحِكۡمَةِ
dengan hikmah
وَٱلۡمَوۡعِظَةِ
dan pelajaran
ٱلۡحَسَنَةِۖ
yang baik
وَجَٰدِلۡهُم
dan bantahlah mereka
بِٱلَّتِي
dengan (cara) yang
هِيَ
ia
أَحۡسَنُۚ
baik
إِنَّ
sesungguhnya
رَبَّكَ
Tuhanmu
هُوَ
Dia
أَعۡلَمُ
lebih mengetahui
بِمَن
dengan/pada siapa
ضَلَّ
tersesat
عَن
dari
سَبِيلِهِۦ
jalanNya
وَهُوَ
dan Dia
أَعۡلَمُ
lebih mengetahui
بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
dengan/pada orang-orang yang mendapat petunjuk
Terjemahan

Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.
Tafsir

(Serulah) manusia, hai Muhammad (kepada jalan Rabbmu) yakni agama-Nya (dengan hikmah) dengan Al-Qur'an (dan pelajaran yang baik) pelajaran yang baik atau nasihat yang lembut (dan bantahlah mereka dengan cara) bantahan (yang baik) seperti menyeru mereka untuk menyembah Allah dengan menampilkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran-Nya atau dengan hujah-hujah yang jelas. (Sesungguhnya Rabbmu Dialah Yang lebih mengetahui) Maha Mengetahui (tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk) maka Dia membalas mereka; ayat ini diturunkan sebelum diperintahkan untuk memerangi orang-orang kafir. Dan diturunkan ketika Hamzah gugur dalam keadaan tercincang; ketika Nabi ﷺ melihat keadaan jenazahnya, lalu beliau ﷺ bersumpah melalui sabdanya, "Sungguh aku bersumpah akan membalas tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu.".
Tafsir Surat An-Nahl: 125
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Allah ﷻ memerintahkan kepada Rasul-Nya Nabi Muhammad ﷺ agar menyeru manusia untuk menyembah Allah dengan cara yang bijaksana. Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang diserukan kepada manusia ialah wahyu yang diturunkan kepadanya berupa Al-Qur'an, Sunnah, dan pelajaran yang baik; yakni semua yang terkandung di dalamnya berupa larangan-larangan dan kejadian-kejadian yang menimpa manusia (di masa lalu). Pelajaran yang baik itu agar dijadikan peringatan buat mereka tentang pembalasan Allah ﷻ (terhadap mereka yang durhaka).
Firman Allah ﷻ: “Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)
Yakni terhadap orang-orang yang dalam rangka menyeru mereka diperlukan perdebatan dan bantahan. Maka hendaklah hal ini dilakukan dengan cara yang baik, yaitu dengan lemah lembut, tutur kata yang baik, serta cara yang bijak. Ayat ini sama pengertiannya dengan ayat lain yang disebutkan oleh firman-Nya: “Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka.” (Al-'Ankabut: 46), hingga akhir ayat.
Allah ﷻ memerintahkan Nabi ﷺ untuk bersikap lemah lembut, seperti halnya yang telah Dia perintahkan kepada Musa dan Harun, ketika keduanya diutus oleh Allah ﷻ kepada Fir'aun, yang kisahnya disebutkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44)
Adapun firman Allah ﷻ: Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya.” (An-Nahl: 125), hingga akhir ayat. Maksudnya, Allah telah mengetahui siapa yang celaka dan siapa yang berbahagia di antara mereka, dan hal tersebut telah dicatat di sisi-Nya serta telah dirampungkan kepastiannya. Maka serulah mereka untuk menyembah Allah, dan janganlah kamu merasa kecewa (bersedih hati) terhadap orang yang sesat di antara mereka. Karena sesungguhnya bukanlah tugasmu memberi mereka petunjuk. Sesungguhnya tugasmu hanyalah menyampaikan, dan Kamilah yang akan menghisab (memperhitungkan).
Dalam ayat yang lain disebutkan oleh firman-Nya: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi.” (Al-Qashash: 56) “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 272).
Usai menyebut keteladanan Nabi Ibrahim sebagai imam, nabi, dan
rasul, dan meminta Nabi Muhammad untuk mengikutinya, pada ayat
ini Allah meminta beliau menyeru manusia ke jalan Allah dengan cara
yang baik, Wahai Nabi Muhammad, seru dan ajak-lah manusia kepada
jalan yang sesuai tuntunan Tuhanmu, yaitu Islam, dengan hikmah, yaitu
tegas, benar, serta bijak, dan dengan pengajaran yang baik. Dan berdebatlah dengan mereka, yaitu siapa pun yang menolak, menentang, atau meragukan seruanmu, dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Yang
Maha Memberi petunjuk dan bimbingan, Dialah yang lebih mengetahui
siapa yang sesat dan menyimpang dari jalan-Nya, dan Dialah pula yang
lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk dan berada di jalan yang
benar. Ayat ini memberi tuntunan kepada Nabi Muhammad tentang tata
cara berdakwah dan membalas perbuatan orang yang menyakitinya,
Dan jika kamu membalas terhadap siapa pun yang telah menyakiti atau
menyiksamu dalam berdakwah, maka balas dan hukum-lah mereka dengan balasan yang sama, yakni setimpal, dengan siksaan atau kesalahan
yang ditimpakan kepadamu; jangan kaubalas mereka lebih dari itu. Tetapi jika kamu bersabar dan tidak membalas apa yang mereka lakukan kepadamu, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.
Dalam ayat ini, Allah ﷻ memberikan pedoman kepada Rasul-Nya tentang cara mengajak manusia (dakwah) ke jalan Allah. Jalan Allah di sini maksudnya ialah agama Allah yakni syariat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ
Allah ﷻ meletakkan dasar-dasar dakwah untuk pegangan bagi umatnya di kemudian hari dalam mengemban tugas dakwah.
Pertama, Allah ﷻ menjelaskan kepada Rasul-Nya bahwa sesungguhnya dakwah ini adalah dakwah untuk agama Allah sebagai jalan menuju rida-Nya, bukan dakwah untuk pribadi dai (yang berdakwah) ataupun untuk golongan dan kaumnya. Rasul ﷺ diperintahkan untuk membawa manusia ke jalan Allah dan untuk agama Allah semata.
Kedua, Allah ﷻ menjelaskan kepada Rasul ﷺ agar berdakwah dengan hikmah. Hikmah itu mengandung beberapa arti:
a. Pengetahuan tentang rahasia dan faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan itu sesuatu dapat diyakini keberadaannya.
b. Perkataan yang tepat dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang batil atau syubhat (meragukan).
c. Mengetahui hukum-hukum Al-Qur'an, paham Al-Qur'an, paham agama, takut kepada Allah, serta benar perkataan dan perbuatan.
Arti hikmah yang paling mendekati kebenaran ialah arti pertama yaitu pengetahuan tentang rahasia dan faedah sesuatu, yakni pengetahuan itu memberi manfaat.
Dakwah dengan hikmah adalah dakwah dengan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan rahasia, faedah, dan maksud dari wahyu Ilahi, dengan cara yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi, agar mudah dipahami umat.
Ketiga, Allah ﷻ menjelaskan kepada Rasul agar dakwah itu dijalankan dengan pengajaran yang baik, lemah lembut, dan menyejukkan, sehingga dapat diterima dengan baik.
Tidak patut jika pengajaran dan pengajian selalu menimbulkan rasa gelisah, cemas, dan ketakutan dalam jiwa manusia. Orang yang melakukan perbuatan dosa karena kebodohan atau ketidaktahuan, tidak wajar jika kesalahannya itu dipaparkan secara terbuka di hadapan orang lain sehingga menyakitkan hati.
Khutbah atau pengajian yang disampaikan dengan bahasa yang lemah lembut, sangat baik untuk melembutkan hati yang liar dan lebih banyak memberikan ketenteraman daripada khutbah dan pengajian yang isinya ancaman dan kutukan-kutukan yang mengerikan. Namun demikian, menyampaikan peringatan dan ancaman dibolehkan jika kondisinya memungkinkan dan memerlukan.
Untuk menghindari kebosanan dalam pengajiannya, Rasul ﷺ menyisipkan dan mengolah bahan pengajian yang menyenangkan dengan bahan yang menimbulkan rasa takut. Dengan demikian, tidak terjadi kebosanan yang disebabkan uraian pengajian yang berisi perintah dan larangan tanpa memberikan bahan pengajian yang melapangkan dada atau yang merangsang hati untuk melakukan ketaatan dan menjauhi larangan.
Keempat, Allah ﷻ menjelaskan bahwa bila terjadi perdebatan dengan kaum musyrikin ataupun ahli kitab, hendaknya Rasul membantah mereka dengan cara yang baik.
Suatu contoh perdebatan yang baik ialah perdebatan Nabi Ibrahim dengan kaumnya yang mengajak mereka berpikir untuk memperbaiki kesalahan mereka sendiri, sehingga menemukan kebenaran.
Tidak baik memancing lawan dalam berdebat dengan kata yang tajam, karena hal demikian menimbulkan suasana yang panas. Sebaiknya dicipta-kan suasana nyaman dan santai sehingga tujuan dalam perdebatan untuk mencari kebenaran itu dapat tercapai dengan memuaskan.
Perdebatan yang baik ialah perdebatan yang dapat menghambat timbulnya sifat manusia yang negatif seperti sombong, tinggi hati, dan berusaha mempertahankan harga diri karena sifat-sifat tersebut sangat tercela. Lawan berdebat supaya dihadapi sedemikian rupa sehingga dia merasa bahwa harga dirinya dihormati, dan dai menunjukkan bahwa tujuan yang utama ialah menemukan kebenaran kepada agama Allah ﷻ
Kelima, akhir dari segala usaha dan perjuangan itu adalah iman kepada Allah swt, karena hanya Dialah yang menganugerahkan iman kepada jiwa manusia, bukan orang lain ataupun dai itu sendiri. Dialah Tuhan Yang Maha Mengetahui siapa di antara hamba-Nya yang tidak dapat mempertahankan fitrah insaniahnya (iman kepada Allah) dari pengaruh-pengaruh yang menyesatkan, hingga dia menjadi sesat, dan siapa pula di antara hamba yang fitrah insaniahnya tetap terpelihara sehingga dia terbuka menerima petunjuk (hidayah) Allah ﷻ
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TENTANG HARI SABTU
Menurut syari'at Yahudi, Sabtu dijadikan hari perhentian bekerja, hari untuk istirahat. Karena menurut kepercayaan mereka, pada hari itu jualah Allah istirahat setelah selesai mencipta alam. Ini pun masuk dalam Hukum Sepuluh. Oleh sebab itu maka istirahat pada hari Sabtu itu dipegang teguh oleh orang Yahudi. Tidak ada kegiatan hidup sama sekali pada hari Sabtu, sampai pun kepada zaman kita ini. Sehingga karena demikian besar pengaruh orang Yahudi dalam perekonomian negeri Amerika Serikat, meskipun orang Yahudi Amerika hanya kira-kira dua juta saja di antara 170 juta orang Amerika Serikat, maka istirahat terpaksa dua hari, yaitu Sabtu dan Ahad. Hari Ahad adalah hari istirahat orang Nasrani.
Menurut anggapan dan ajaran Islam, yang menjadi pokok sendi atau i'tikad ialah tentang Allah itu Esa. Adapun istirahat hari Sabtu, atau hari Ahad, atau hari Jum'at bukanlah termasuk ftikad, tetapi termasuk dalam syari'at, yang dapat berubah-ubah karena perubahan rasul yang datang. Tetapi setelah Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa beliau ialah menegakkan kembali ajaran tauhid Nabi Ibrahim, orang Yahudi teringat hari Sabtu mereka. Mereka selalu merangkaikan tauhid dengan hari Sabtu. Tidak sah tauhid kalau tidak hari Sabtu istirahat. Di sinilah pangkal selisih dengan orang Nasrani dan juga dengan orang Islam. Mengapa mereka tidak mau membicarakan dasar (prinsip) terlebih dahulu?
Dengan orang Kristen mereka berselisih. Orang Kristen menetapkan hari Ahad jadi hari istirahat, yaitu hari pertama dalam seminggu, yang menurut kepercayaan ialah hari pertama Allah mencipta alam. Orang Yahudi bertahan, mengatakan mesti hari Sabtu, karena pada hari itulah Allah istirahat sesudah menjadikan langit dan bumi. Tentang menjadikan alam dalam enam hari itu pun tidak dimungkiri oleh ajaran yang dibawa Muhammad. Tetapi penafsiran Al-Qur'an da-lam pikiran bebas orang Islam, jauh lebih berani daripada penafsiran penganut Taurat dan Injil, yaitu bahwa yang dimaksud dengan enam hari, bukan mesti dan bukan pasti enam hari dalam hitungan kita karena perjalanan falak matahari ini, sebab Al-Qur'an juga ada menyebut bahwa satu hari Allah yang sama dengan 1.000 tahun hitungan kita manusia, (surah as-Sajdah ayat 5 dan surah al-Hajj ayat 47), dan ada juga hitungan sehari Allah sama dengan 50.000 tahun hitungan insan (surah al-Ma'aarij ayat 4). Sebab itu maka Allah menjadikan alam dalam enam hari itu, ialah hari menurut perhitungan Allah sendiri, yang menguasai alam cakrawala yang amat luas ini. Sehingga pengukuran hari Allah bukanlah semata-mata tergantung kepada perhitungan perjalanan matahari. Maka Nabi Muhammad ﷺ menetapkan hari Jum'at buat hari besar Islam, hari yang diistimewakan dalam sepekan itu. Bukan dinamai hari istirahat, tetapi hari Jum'at, artinya hari berkumpul beribadah bersama-sama.
Maka datanglah ayat menjelaskan kedudukan hari Sabtu yang dijadikan pertahanan dasar oleh orang Yahudi itu.
Ayat 124
“Tidak lain, Sabtu itu hanya dijadikan untuk orang-orang yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Allah engkau akan menghukum di antena mereka pada hari Kiamat, pada apa yang mereka pensetisihkan itu"
Soal penetapan hari Sabtu sebagai hari besar, belumlah tersebut dalam ajaran Nabi Ibrahim, sedang orang Yahudi menyatakan sudah. Dan kalau diminta keterangan dari kitab mereka sendiri, adalah Nabi Ibrahim menentukan itu, mereka tidak dapat memberikan. Inilah pangkal perselisihan. Dalam kitab Perjanjian Lama yang sekarang pun tidak tersebut bahwa hari Sabtu jadi hari istirahatnya Nabi Ibrahim, Sebab itu Allah memberi keterangan bahwa perselisihan itu kelak akan diselesaikan di hadapan Allah di akhirat. Adapun di dunia ini, setiap golongan agama memegang setia hari besarnya karena itu bukan pokok dasar aqidah. Yang pokok dasar adalah bahwa Tiada Allah melainkan Allah, Yang Esa adanya.
Tentang keutamaan dan kelebihan hari Jum'at telah bersabda Nabi Muhammad ﷺ,
“Dari Abu Hurairah (moga-moga ridha Allah atasnya) bahwasanya Rasulullah ﷺ telah bersabda, “Kita adalah umat yang terakhir, tetapi yang terdahulu di hari Kiamat, meskipun kepada mereka yang terlebih dahulu diturunkan kitab sebelum kita. Kemudian itu; inilah hari yang di-fardhukan Allah atas mereka, lalu mereka berselisih padanya, sedang kita diberi petunjuk oleh Allah. Sebab itu maka manusia pun adalah pengikut kita, Yahudi beresok dan ... lepas beresok." (HR Bukhari)
Sabda beliau pula,
“Dari Abu Hurairah dan Huzaifah (ridha Allah atas keduanya), bersabda Rasulullah ﷺ, “Setelah disesatkan Allah dari hari Jum'at mereka yang sebelum kita. Maka adalah bagi orang Yahudi hari Sabtu dan bagi orang ‘Nashara hari Ahad. Setelah itu kita pun didatangkan Allah dan diberi petunjuk kepada hari Jum'at. Maka jadilah berturut-turut Jum' a t, Sabtu dan Ahad. Demikian pula mereka di belakang kita di hari Kiamat. Kita umat terakhir di dunia ini, tetapi yang terdahulu di hari Kiamat. Kita yang akan lebih dahulu diperiksa di antara mereka itu sebelum makhluk-makhluk yang lain." (HR Muslim)
DAKWAH
Ayat 125
“Serulah kepada jalan Allah engkau dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik."
Ayat ini adalah mengandung ajaran kepada Rasul ﷺ tentang cara melancarkan dakwah, atau seruan terhadap manusia agar mereka berjalan di atas jalan Allah (Sabilillah). Sabilillah, atau Shirathal Mustaqim atau ad-Dinul Haqqu. Agama yang benar. Nabi ﷺ memegang tampuk pimpinan dalam melakukan dakwah itu. Kepadanya dituntunkan oleh Allah bahwa di dalam melakukan dakwah hendaklah memakai tiga macam cara atau tiga tingkat cara. Pertama hikmah (kebijaksanaan). Yaitu dengan secara bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih menarik perhatian orang kepada agama, atau kepada kepercayaan terhadap Allah. Contoh-contoh kebijaksanaan itu selalu pula ditunjukkan Allah.
Kata hikmah itu kadang-kadang diartikan orang dengan filsafat. Padahal dia adalah inti yang lebih halus dari filsafat. Filsafat hanya dapat dipahamkan oleh orang-orang yang telah terlatih pikirannya dan tinggi pendapat logikanya. Tetapi hikmat dapat menarik orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar. Kebijaksanaan itu bukan saja dengan ucapan mulut, melainkan termasuk juga dengan tindakan dan sikap hidup. Kadang-kadang lebih berhikmah diam daripada berkata.
Yang kedua ialah al-Mau'izhatul Hasanah, yang kita artikan pengajaran yang baik, atau pesan-pesan yang baik, yang disampaikan sebagai nasihat. Sebagai pendidikan dan tuntunan sejak kecil. Sebab itu termasuklah dalam bidang al-Mau'izhatul Hasanah, pendidikan ayah-bunda dalam rumah tangga kepada anak-anaknya, yang menunjukkan contoh beragama di hadapan anak-anaknya, sehingga menjadi kehidupan mereka pula. Termasuk juga pendidikan dan pengajaran dalam perguruan-perguruan.
Pengajaran-pengajaran yang baik lebih besar kepada kanak-kanak yang belum ditumbuhi atau belum diisi lebih dahulu oleh ajaran-ajaran yang lain.
Yang kedua ialah Jadilhum biUati hiya ahsart, bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Kalau telah terpaksa timbul perbantahan atau pertukaran pikiran, yang di zaman kita ini disebut polemik, ayat ini menyuruh, agar dalam hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat dielakkan lagi, pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. Di antaranya ialah membedakan pokok soal yang tengah dibicarakan dengan perasaan benci atau sayang kepada pribadi orang yang tengah diajak berbantah. Misalnya seseorang yang masih kufur belum mengerti ajaran Islam, lalu dengan sesuka hatinya saja mengeluarkan celaan kepada Islam, karena bodohnya. Orang ini wajib di-bantah dengan jalan yang sebaik-baiknya, disadarkan dan diajak kepada jalan pikiran yang benar, sehingga dia menerima. Tetapi kalau terlebih dahulu hatinya disakitkan, karena cara kita membantah yang salah, mungkin dia enggan menerima kebenaran, meskipun hati kecilnya mengakui, karena hatinya telah disakitkan.
Ketiga pokok cara melakukan dakwah ini, hikmah, mau'izhah hasanah dan mujadalah biilati hiya ahsan, amatlah diperlukan di segala zaman. Sebab dakwah atau ajakan dan seruan membawa umat manusia kepada jalan yang benar itu, sekali-kali bukanlah propaganda, meskipun propaganda itu sendiri kadang-kadang menjadi bagian dari alat dakwah. Dakwah meyakinkan, sedang propaganda atau di'ayah adalah memaksakan. Dakwah dengan jalan paksa tidaklah akan berhasil menundukkan keyakinan orang. Apatah lagi dalam hal agama Al-Qur'an sudah menegaskan bahwa dalam hal agama sekali-kali tidak ada paksaan (al-Baqarah ayat 256). Dan di ujung ayat ini dengan tegas Allah mengatakan bahwa urusan memberi orang petunjuk atau menyesatkan orang, adalah hak Allah sendiri.
“Sesungguhnya Allah engkau, Dialah yang lebih tahu siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk."
Demikianlah ayat ini telah dijadikan salah satu pedoman perjuangan, menegakkan iman dan Islam di tengah-tengah berbagai ragamnya masyarakat pada masa itu, yang kedatangan Islam adalah buat menarik dan membawa, bukan mengusir dan mengenyahkan orang. Dan sampai sekarang, ketiga pokok ini masih tetap dipakai, menurutperkembangan-perkembang-an zaman yang modern.
PEMBALASAN
Ayat 126
“Dan jika kamu membalas, hendaklah pembalasan sebanding dengan apa yang mereka siksakan kepada kamu. Dan jika kamu sabar, maka itulah dia yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar."
Baik ketika masih di Mekah, apatah lagi setelah Hijrah ke Madinah, macam-macamlah penderitaan Rasulullah ﷺ karena kejahatan musuh-musuhnya terhadapnya. Kadang-kadang karena sakitnya pukulan itu berniatlah beliau bahwa kelak kalau menang memang hendak membalas kepada musuh-musuh itu. Ayat ini menjelaskan, Memang! Itu adalah hak beliau! Jika membalas, balas dengan balasan yang setimpal, nyawa bayar nyawa. Ini kejadian dengan Wahsyi, budak yang membunuh Sayyidina Hamzah. Ketika Rasulullah ﷺ tahu bahwa Wahsyi itulah yang membunuh Hamzah dan merobek dada Hamzah lalu mengeluarkan jantungnya dan digigit oleh Hindun, istri Abu Sufyan, buat melepaskan sakit hatinya, sebab saudara-saudaranya mati di Peperangan Badar karena kena pedang Hamzah. Rasulullah ﷺ bertekad, bahwa kelak kalau Wahsyi itu dapat dalam satu peperangan, akan disiksa setimpal dengan kejahatannya. Sebab kalau menurut kita sekarang ini, cara yang dilakukan oleh Wahsyi itu ialah kejahatan, penjahat perang, karena dalam peraturan perang di zaman Jahiliyyah sendiri pun, amat hina menganiaya mayat.
Tetapi setelah kemarahan beliau mulai reda menurun, membalas kepada Wahsyi itu mulai menurun pula, sebab ingat akan ujung ayat ini."Dan jika kamu sabar, maka itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." Apa yang kejadian kemudian? Wahsyi masuk Islam ketika Futuh Mekah, dan dia menjadi Muslim yang baik, dan kemudian dia telah ikut dalam peperangan-peperangan yang besar dan penting dalam Islam. Bahkan ketika Rasulullah ﷺ telah wafat dan Abu Bakar menjadi Khalifah, telah dikirim oleh khalifah tentara untuk membasmi pemberontakan orang-orang yang murtad di bawah nabi-nabi palsu, Wahsyi turut terkirim dalam tentara yang memerangi Musailamah al-Kazzab, nabi palsu di Yamamah (Nejd). Wahsyi yang dahulu di zaman jahiliyyah membunuh Hamzah itu, sekarang dia pulalah yang membunuh Musailamah nabi palsu itu dalam peperangan yang hebat.
Banyak lagi contoh-contoh demikian yang terjadi dalam sejarah nabi kita Muhammad ﷺ! Seumpama orang Yahudi yang datang memaki-makinya, dituduh pelambat membayar utang, diterimanya dengan senyum dan dibayarnya utangnya, padahal Umar bin Khaththab sudah nyaris menyentak pedang hendak membunuh orang Yahudi itu. Apa jadinya? Dia masuk Islam di saat itu juga, karena tertawan oleh kesabaran dan kelemahlembutan sikap Nabi ﷺ.
Di akhirnya Allah tekankan lagi,
Ayat 127
“Dan bersabarlah engkau! Dan tidaklah sabar engkau itu melainkan dengan Allah."
Macam-macam yang akan engkau hadapi dalam sikap dan cara kaummu yang bodoh itu, yang kasar budinya, sombong sikapnya. Syarat kemenangan ialah sabar. Sabarmu bukanlah kelemahan, tetapi itulah dia yang sebenarnya kekuatan, sebab engkau kuat mengendalikan diri. Dalam hal yang demikian, engkau adalah dengan Allah. Engkau tidak dibiarkan Allah sendirian."Dan jangan engkau berdukacita terhadap mereka." Mentang-mentang mereka belum mau engkau ajak, tetapi gembiralah hatimu. Sebab di sampingyangmasih berkeras tidak mau mengakui, yang telah tunduk pun banyak pula dan telah menjadi pengikutmu yang setia,
“Dan jangan engkau bersempit hati lantaran tipu daya mereka."
Semuanya hadapi dengan dada lapang. Kelak apabila engkau menang menghadapi mereka, sedang mereka masih hidup, mereka akan tunduk tersipu-sipu kepadamu.
Ayat 128
“Sesungguhnya Allah adalah beserta orang-orang yang bertakwa dan beserta orang yang berbuat kebajikan."
Bertakwa pakaian hati, beramal kebajikan (ihsan), pekerjaan badan. Takwa menjadi sebab buat selalu berbuat ihsan. Sebab takwa sebagai minyak pelancar hidup. Ihsan ialah selalu berbuat baik dan memperbaiki. Ihsan di dalam pekerjaan dan ihsan terhadap orang lain.
Demikianlah tuntunan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya.
Demikian pula tuntunan yang diberikan Rasul kepada umatnya.
PENUTUP
Ketika seorang budiman bernama Harim bin Hibban akan meninggal dunia, segala yang mengelilinginya meminta kepadanya supaya dia meninggalkan wasiat.
Maka berkatalah beliau,
“Aku mewasiatkan kepada kamu supaya selalu membaca ayat-ayat Allah di akhin sunah an-Nahl, mulai dari ayat “lld'u Uaa sabiti nahbika."
“Serulah kepada jalan Allah engkau dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Allah engkau, Dia yang lebih tahu siapa yang sesat dari jalannya, dan Dialah yang lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk."
Dimulai pada hari Kamis, 18 Ramadhan 1384 21 Januari 1965
Selesai pada hari Sabtu,
27 Ramadhan 1384 30 Januari 1965
Di Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta (masih dalam tahanan).