Ayat
Terjemahan Per Kata
ذَٰلِكَ
demikian itu
بِأَنَّهُمُ
bahwasanya mereka
ٱسۡتَحَبُّواْ
sangat mencintai
ٱلۡحَيَوٰةَ
kehidupan
ٱلدُّنۡيَا
dunia
عَلَى
atas
ٱلۡأٓخِرَةِ
akhirat
وَأَنَّ
dan bahwasanya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يَهۡدِي
memberi petunjuk
ٱلۡقَوۡمَ
kaum
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang yang kafir
ذَٰلِكَ
demikian itu
بِأَنَّهُمُ
bahwasanya mereka
ٱسۡتَحَبُّواْ
sangat mencintai
ٱلۡحَيَوٰةَ
kehidupan
ٱلدُّنۡيَا
dunia
عَلَى
atas
ٱلۡأٓخِرَةِ
akhirat
وَأَنَّ
dan bahwasanya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يَهۡدِي
memberi petunjuk
ٱلۡقَوۡمَ
kaum
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang yang kafir
Terjemahan
Yang demikian itu disebabkan mereka lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat dan sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.
Tafsir
(Yang demikian itu) ancaman yang ditujukan kepada mereka itu (disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia) mereka memilihnya (lebih dari akhirat dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.).
Tafsir Surat An-Nahl: 106-109
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih daripada akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.
Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran, dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah; dan mereka itulah orang-orang yang lalai. Pastilah bahwa mereka di akhirat nanti adalah orang-orang yang merugi. Allah ﷻ menyebutkan perihal orang yang kafir sesudah beriman dan menyaksikan kebenaran, lalu ia melegakan dadanya untuk kekafiran dan merasa tenang dengan kekafirannya. Allah ﷻ murka terhadap orang tersebut, karena ia telah beriman, tetapi kemudian menggantikannya dengan kekafiran. Di hari akhirat nanti mereka akan mendapat siksa yang besar, disebabkan mereka lebih menyukai kehidupan dunia daripada akhirat.
Sebagai buktinya ialah mereka rela murtad dari Islam demi memperoleh imbalan duniawi. Allah tidak memberi petunjuk kepada hati mereka serta tidak mengukuhkan mereka pada agama yang hak, karenanya hati mereka terkunci mati, dan mereka tidak dapat memikirkan sesuatu pun yang bermanfaat bagi diri mereka (di hari kemudian); pendengaran serta penglihatan mereka terkunci pula, sehingga mereka tidak dapat memanfaatkan secara semestinya, dan pendengaran serta penglihatan mereka tidak dapat memberikan suatu manfaat pun kepada mereka.
Mereka dalam keadaan lalai akan akibat buruk yang ditakdirkan atas diri mereka. Pastilah bahwa mereka di akhirat nanti adalah orang-orang yang merugi. (An-Nahl: 109) Yakni sudah pasti dan tidak mengherankan, begitulah sifatnya, mereka adalah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya kelak di hari kiamat. Adapun mengenai makna firman-Nya: kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). (An-Nahl: 106) Hal ini merupakan pengecualian, ditujukan kepada orang yang kafir hanya dengan lisannya saja; dan kata-katanya menuruti orang-orang musyrik, sebab ia dipaksa dan dalam keadaan tekanan, pukulan, dan penindasan, sedangkan hatinya menolak apa yang diucapkannya, serta dalam keadaan tetap tenang dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa yang dialami oleh Ammar ibnu Yasir di saat ia disiksa oleh orang-orang musyrik sehingga ia kafir kepada Nabi Muhammad ﷺ Ia mau menuruti kemauan mereka dalam hal tersebut karena terpaksa. Setelah itu Ammar datang menghadap kepada Nabi ﷺ seraya meminta maaf, maka Allah menurunkan ayat ini. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Asy-Sya'bi, Qatadah, dan Abu Malik. [] Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saur, dari Ma'mar, dari Abdul Karim Al-Jazari, dari Abu Ubaidah Muhammad ibnu Ammar ibnu Yasir yang mengatakan bahwa orang-orang musyrik menangkap Ammar, lalu mereka menyiksanya sehingga Ammar terpaksa mau mendekati sebagian dari apa yang dikehendaki oleh mereka karena dalam tekanan siksaan.
Setelah itu Ammar mengadukan perkaranya kepada Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ bersabda, "Bagaimanakah kamu jumpai hatimu?" Ammar menjawab, "Tetap tenang dalam keadaan beriman." Nabi ﷺ bersabda: Jika mereka kembali menyiksamu, maka lakukanlah pula hal itu. Imam Baihaqi telah meriwayatkan hadis ini secara panjang lebar, lebih panjang daripada hadis ini; antara lain disebutkan di dalamnya: ". bahwa Ammar terpaksa mencaci Nabi ﷺ dan menyebut tuhan-tuhan mereka dengan sebutan yang baik. Sesudah itu Ammar datang menghadap kepada Nabi ﷺ dan mengadukan perihal apa yang telah dilakukannya, "Wahai Rasulullah, saya terus-menerus disiksa hingga saya terpaksa mencacimu dan menyebutkan tuhan-tuhan mereka dengan sebutan yang baik." Nabi ﷺ bertanya, "Bagaimanakah dengan hatimu?" Ammar menjawab bahwa hatinya tetap tenang dalam beriman. Maka Nabi ﷺ bersabda: Jika mereka (orang-orang musyrik) kembali menyiksamu, maka lakukan pula hal itu. Sehubungan dengan peristiwa ini Allah menurunkan firman-Nya: kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman. (An-Nahl: 106) Karena itulah para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa untuk melakukan kekufuran diperbolehkan berpura-pura menuruti kemauan si pemaksa demi menjaga keselamatan jiwanya.
Ia diperbolehkan pula tetap menolak, seperti apa yang pernah dilakukan oleh sahabat Bilal r.a.; dia menolak keinginan mereka yang memaksanya untuk kafir. Karena itulah mereka menyiksanya dengan berbagai macam siksaan, sehingga mereka meletakkan batu besar di atas dadanya di hari yang sangat panas. Mereka memerintahkan Bilal untuk musyrik (mempersekutukan Allah), tetapi Bilal menolak seraya mengucapkan, "Esa, Esa (yakni Allah Maha Esa)." Bilal r.a. mengatakan, "Demi Allah, seandainya saya mengetahui ada kalimat yang lebih membuat kalian marah, tentulah aku akan mengatakannya." Semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada Bilal dan memberinya pahala yang memuaskannya.
Hal yang sama dilakukan oleh Habib ibnu Zaid Al-Ansari. Ketika Musailamah berkata kepadanya, "Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?" Habib menjawab, "Ya." Musailamah bertanya, "Apakah kamu bersaksi bahwa diriku adalah utusan Allah?" Habib menjawab, "Saya tidak mendengar." Lalu Musailamah memotongi anggota tubuh Habib sedikit demi sedikit, sedangkan Habib tetap pada pendirian imannya. ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Ikrimah, bahwa Ali r.a. pernah membakar hidup-hidup sejumlah orang yang murtad dari agama Islam.
Ketika berita itu sampai kepada Ibnu Abbas, maka Ibnu Abbas mengatakan, "Jika aku, maka sesungguhnya aku tidak akan menghukum mereka dengan membakar mereka, karena sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah bersabda: 'Janganlah kalian menyiksa dengan memakai siksaan Allah (yakni memakai api).' Sedangkan engkau perangi mereka atas dasar sabda Rasulullah ﷺ pula yang mengatakan: 'Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia'. Ketika berita ucapan Ibnu Abbas sampai kepada Ali, maka ia berkata, "Beruntunglah ibu Ibnu Abbas!" Imam Bukhari telah meriwayatkan hadis ini pula. -: Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Humaid ibnu Hilal Al-Adawi, dari Abu Burdah yang menceritakan bahwa Mu'az ibnu Jabal datang kepada Abu Musa di negeri Yaman, tiba-tiba ia menjumpai seorang lelaki sedang bersama Abu Musa.
Maka Mu'az bertanya, "Apakah yang telah terjadi dengan orang ini?" Abu Musa menjawab, "Dia adalah seorang Yahudi dan masuk Islam, kemudian kembali memeluk agama Yahudi, sedangkan kami menginginkan agar dia tetap Islam sejak dia mengatakannya dua bulan yang silam." Maka sahabat Anas berkata, "Demi Allah, aku tidak akan duduk sebelum kamu penggal lehernya." Maka lelaki itu dipenggal lehernya.
Setelah itu Mu'az ibnu Jabal mengatakan bahwa Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan bahwa barang siapa yang murtad dari agamanya, maka kalian harus membunuhnya. Atau Mu'az mengatakan: Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia oleh kalian. Kisah ini yang terdapat di dalam kitab Sahihain disebutkan dengan lafaz yang lain. Tetapi yang lebih afdal dan paling utama hendaknya seorang muslim tetap pada agamanya, sekalipun sikap ini akan membuatnya mati terbunuh.
Al-Hafiz ibnu Asakir dalam biografi Abdullah ibnu Huzafah As-Sahmi salah seorang sahabat menceritakan bahwa Ibnu Huzafah ditawan oleh orang-orang (pasukan) Romawi, lalu mereka menghadapkannya kepada raja mereka. Raja mereka berkata, "'Masuk Nasranilah kamu, maka aku akan menjadikanmu sekutuku dalam kerajaanku. dan aku akan mengawinkanmu dengan anak perempuanku." Ibnu Huzafah menjawab, "Seandainya engkau berikan kepadaku semua yang engkau miliki dan semua apa yang dimiliki oleh bangsa Arab agar aku murtad dari agama Muhammad ﷺ, barang sekejap saja saya tetap menolak." Raja Romawi berkata, "Kalau begitu, saya akan membunuhmu." Ibnu Huzafah menjawab, "Itu terserah kamu." Maka Raja Romawi memerintahkan agar Ibnu Huzafah disalib, dan memerintahkan para juru pemanah agar memanahinya pada sasaran yang berdekatan dengan kedua tangan dan kedua kakinya, sedangkan si Raja Romawi itu sendiri terus menawarkan, kepadanya untuk menjadi seorang Nasrani.
Tetapi Ibnu Huzafah tetap menolak. Kemudian Raja Romawi memerintahkan agar Ibnu Huzafah diturunkan dari penyalibannya, dan ia memerintahkan agar disediakan sebuah ketel besarmenurut riwayat lain panci tembaga yang besar lalu dipanaskan. Dan didatangkanlah seorang tawanan dari pasukan kaum muslim, kemudian dilemparkan ke dalam panci panas itu, sedangkan Ibnu Huzafah melihat kejadian itu. Tiba-tiba orang yang dimasukkan ke dalamnya itu tulang-tulangnya kelihatan dalam waktu tidak lama.
Raja Romawi menawarkan kepada Ibnu Huzafah untuk masuk Nasrani, tetapi Ibnu Huzafah tetap menolak, maka Raja Romawi memerintahkan agar Ibnu Huzafah dicampakkan ke dalam panci tersebut. Lalu tubuhnya diangkat memakai pelontar untuk dimasukkan ke dalam panci yang mendidih itu. Maka menangislah Ibnu Huzafah, hal ini membuat Raja Romawi ingin tahu penyebabnya, lalu dia memanggilnya (memerintahkan agar dia diturunkan dan menghadap kepadanya).
Maka Ibnu Huzafah berkata, "Sesungguhnya saya menangis tiada lain karena jiwaku hanya satu yang akan dilemparkan ke dalam panci panas ini demi membela agama Allah. Padahal aku menginginkan bila setiap helai rambut dari tubuhku memiliki jiwa yang disiksa dengan siksaan ini demi membela agama Allah." Menurut riwayat yang lainnya, Raja Romawi memenjarakannya dan tidak memberinya makan dan minum selama beberapa hari.
Kemudian dikirimkan kepadanya khamr dan daging babi, tetapi Ibnu Huzafah jangankan menjamah, mendekatinya pun tidak. Lalu Raja Romawi memanggilnya dan berkata, "Apakah gerangan yang menghalang-halangi dirimu untuk makan?" Ibnu Huzafah menjawab, "Ingatlah, sesungguhnya makanan tersebut sebenarnya boleh kumakan (karena keadaan darurat), tetapi aku tidak ingin menjadi penyebab kamu menertawakan diriku." Maka Raja Romawi mencium kepalanya dan berkata kepadanya, "Aku akan melepaskanmu menjadi bebas." Ibnu Huzafah berkata, "Apa kamu bebaskan pula bersamaku semua tawanan kaum muslim?" Raja Romawi menjawab, "Ya." Lalu Raja Romawi mencium kepala Ibnu Huzafah dan membebaskannya bersama-sama dengan semua tawanan kaum muslim yang ada padanya.
Ketika Ibnu Huzafah kembali, maka Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. berkata kepadanya, "Sudah sepantasnya bagi setiap muslim mencium kepala Abdullah ibnu Huzafah. dan sayalah orang yang memulainya." Umar r.a. berdiri, lalu mencium kepala Ibnu Huzafah r.a."
Yang demikian itu, yaitu kemurtadan dan kekafiran mereka, disebabkan karena mereka lebih mencintai dan mengutamakan kehidupan
dunia daripada kehidupan akhirat, padahal kehidupan akhirat dengan
segala kenikmatannya jauh lebih baik daripada kehidupan dunia, dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. Mereka yang berpaling dari kebenaran dan mengesampingkan iman
dan petunjuk itulah orang yang hati, pendengaran, dan penglihatannya telah
dikunci oleh Allah. Allah membiarkan mereka larut dalam kesesatan
dan kekufuran sesuai kemauan mereka sehingga hati mereka terkunci
mati, pendengaran mereka tidak lagi mampu mendengar bimbingan, dan penglihatan mereka tidak dapat melihat tanda-tanda kebesaran
Allah. Mereka itulah orang yang benar-benar lalai dari memperhatikan kehidupan mereka.
Dalam ayat ini, dijelaskan sebab-sebab kemurkaan Allah kepada mereka yang benar-benar kembali kepada kekafiran, sesudah beriman. Mereka dianggap lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat dengan segala kenikmatan yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang benar-benar beriman dan sudah teruji keimanannya dengan berbagai cobaan dan fitnah di dunia. Allah tidak akan memberikan hidayah-Nya bagi orang yang murtad, bukan karena terpaksa. Di akhirat mereka mendapatkan siksaan yang pedih.
Allah tidak akan memberi taufik kepada orang yang ingkar kepada ayat-ayatnya, dan orang yang telah sengaja menghilangkan kesediaan jiwanya untuk menerima kebaikan lalu menukarkannya dengan dosa dan kejahatan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 105
“Tiada lain, orang-orang yang mengada-adakan kedustaan itu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah,"
Pangkal ayat ini adalah satu ilmu penting. Kalau dalam dada seseorang tidak ada dasar iman, dia mudah saja membuat dusta dan mengada-ada. Mereka tidak mempunyai rasa tanggung jawab. Mereka tidak memedulikan ayat-ayat, yang di sini artinya tanda-tanda kekuasaan Allah, yang dapat menghukum suatu kedustaan. Oleh sebab itu pokok pangkal dari segala dosa ialah dusta. Barangkali seluruh manusia pernah terlibat dalam dusta kecil-kecilan pelemakkan cakap. Tetapi apabila iman tidak ada dalam dada, sudahlah orang menjadikan dusta itu jadi pakaian hidupnya. Sebab itu ujung ayat mengatakan,
“Mereka itulahorang-orang pendusta."
Siapa dia pendusta?
Ayat 106
“(Yaitu) orang-orang yang tidak percaya kepada Allah sesudah imannya."
Inilebihberbahayadanlebihjahatdaripada orang pendusta karena belum beriman. Orang yang dahuiu pernah merasakan kelezatan iman, kemudian karena hawa nafsu lalu meninggalkan iman dan kembali jadi kafir, ini lebih jahat lagi. Sebab dia telah membuka pintu gerbang kejahatannya dengan mengkhianati pendiriannya sendiri. Inilah manusia yang sudah pecah berderai, tidak diharap sembuh lagi. Segala macam bohong akan dipakainya untuk mendinding keadaan pribadinya yang sebenarnya. Tetapi bertambah didindingnya bertambah tampaklah bohongnya."Kecuali orang-orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap dalam keimanan." Kalau demikian tidaklah dipandang berdosa oleh Allah. Sebab hal ini pernah terjadi seketika mula-mula Islam diajarkan Nabi ﷺ di Mekah itu, kaum musyrikin pernah menangkapi pengikut-pengikut Nabi dari golongan lemah yang tidak ada pembelanya di dalam negeri Mekah, di antaranya ialah Bilal yang ketika itu menjadi hamba sahaya dari orang musyrik, Khabbab, Amar dan Ibu Amar, mereka disiksa, dianiaya dengan sangat kejam. Bilal dijemur ke tengah cahaya matahari di padang pasir yang sangat terik dan dihimpit badannya dengan batu besar, namun dia tetap mengucapkan “Allah, Ahad" “Allah Satu, Satu!" Ibu Amar dianiaya demikian kejam oleh Abu Jahal, sampai dimasukkan tombak ke dalam kemaluannya dan mati. Dan Bilal sehingga hampir mati, mujur datang Abu Bakar lalu membeli Bilal kepada yang empunya dan diambilnya untuk budaknya, lalu dimerdekakannya. Khabbab ditarik-tarik di atas duri, tetapi tidak sampai mati. Tetapi Amar dipaksa mengucapkan perkataan yang memungkiri Allah dan Rasul. Karena tidak tahan disiksa, diucapkannya perkataan itu, maka dia pun dilepaskan. Terus dia lari kepada Rasu-lullah ﷺ mengadukan halnya dan menyatakan bahwa dia telah mengeluarkan ucapan kufur karena terpaksa, padahal tidak timbul dari hatinya. Buktinya, dia segera lari kepada Rasul. Maka datanglah ayat ini menyatakan bahwa Amar tidak salah, sebab semuanya itu diucapkannya dengan ikrah, karena dipaksa.
Berkata Ibnu Abbas, “Ayat ini diturunkan mengenai diri Amar bin Yasir seketika dia di-siksa oleh kaum musyrikin, sampai dia mengeluarkan perkataan yang menyatakan kafir terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Kemudian dia segera datang mengadukan halnya itu kepada Rasulullah."
Berkata Ibnu Jarir dalam tafsirnya, “Kaum musyrikin menangkap Amar lalu menyiksanya, dan mereka paksa Amar memungkiri kenabian Muhammad. Kemudian Amar datang kepada Rasulullah mengatakan apa yang telah terjadi atas dirinya. Maka bertanyalah Nabi ﷺ kepadanya, “Bagaimana hatimu ketika itu?" Amar menjawab, “Hatiku tetap dalam iman!" Maka bersabda Rasulullah ﷺ, “Kalau mereka ulangi lagi memaksa, maka ulang pulalah pengakuan seperti itu."
Berkata Ibnu Ishaq penyusun riwayat hidup Rasulullah yang terkenal dari riwayat Ibnu Hisyam itu, “Kaum musyrikin telah menyakiti sahabat-sahabat Rasulullah yang telah Islam itu. Tiap-tiap kabilah menangkapi anggota kabilahnya yang telah Islam. Mereka kurung dan mereka siksa dengan memukul atau tidak diberi makan minum, dan dijemur di padang pasir Mekah di waktu sangat panas. Mereka dianiaya karena agama mereka. Maka ada di antara mereka yang tidak tahan lagi karena sangatnya siksaan, bahkan ada yang dinaikkan ke kayu palang hendak dibunuh, namun diselamatkan Allah. Bilal adalah hamba sahaya dari Bani Jumah. Dia ditangkap oleh Umayyah bin Khalaf, di waktu sangat panas mendeking, dijemurlah dia di pasir Mekah, kemudian itu disuruhnya orang menghimpitkan sebuah batu besar di atas dadanya, lalu dikatakan kepadanya, “Engkau akan tetap dibiarkan tinggal begitu, sampai engkau mati atau engkau ingkari kembali Muhammad dan mengaku percaya dan bertuhan kepada Latta dan Uzza!" Tetapi dalam siksaan yang hebat itu Bilal masih tetap mengucapkan, “Allah, Ahad, Ahad." (Allah, Esa, Esa). Sehingga datanglah Abu Bakar membelinya dan langsung memerdekakannya!" Bani Makhzum mengeluarkan pula Amar bin Yasir bersama ayahnya dan ibunya (moga-moga Allah meridhai mereka semuanya). Ketika hari telah pertengahan siang, mereka pun dijemur pula di pasir Mekah. Ketika itu Rasulullah ﷺ ada lewat di situ, maka bersabdalah beliau, “Sabar hai keluarga Yasir; untuk kamu telah dijanjikan surga." Ibu Yasir langsung mereka bunuh sebab dia tidak mau beranjak sedikit pun dari pendirian Islamnya." Sekian lbnu Ishaq, Said bin Jubair berkata bahwa dia pernah bertanya kepada lbnu Abbas, “Pernahkah kaum musyrikin itu menyiksa sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ demikian hebatnya sehingga mereka terpaksa mengucapkan perkataan keluar dari Islam?" lbnu Abbas menjawab, “Memang! Demi Allah, mereka pukuli mereka itu, mereka tangani, tidak diberi makan dan minum, sehingga ada yang tidak sanggup berdiri lagi karena sangatnya penderitaan yang menimpa mereka, sehingga mereka setujui saja apa yang dipaksakan kepada mereka. Sampai dikatakan oleh musyrikin itu kepada mereka, “Allah kamu ialah Latta dan bukan Allah, mengerti?" Mereka menjawab, “Baik!" Sehingga ada sebangsa kumbang menjalar di tanah, maka musyrikin itu berkata, “Kumbang ini tuhan kamu, bukan Allah, mengerti?" Mereka jawab, “Mengerti!" Hanya karena tidak tahan sakit saja:
lbnu Hisyam banyak menceritakan penganiayaan dan paksaan ini dalam suratnya.
Lantaran itu maka lbnu Katsir mengambil kesimpulan di dalam tafsirnya bahwa ulama-ulama telah sependapat bahwa orang yang dipaksa mengeluarkan kalimat kufur untuk memungkiri keyakinannya sendiri, boleh saja dia mengaku kalau dia tidak tahan, dan boleh pula dia bertahan terus pada pendiriannya, walaupun nyawa akan cerai dari badan seperti yang dilakukan oleh Sayyidina Bilal itu.
Keberanian pada pendirian ini pun telah terjadi pada diri Habib bin Zaib al-Anshari tatkala dia dapat ditangkap oleh nabi palsu Musailamah al-Kazzab. Musailamah mulanya bertanya, “Apakah engkau naik saksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?" Habib menjawab, “Memang, saya naik saksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah!" Lalu Musailamah meneruskan pertanyaannya, “Apakah engkau naik saksi bahwa aku pun adalah rasul Allah?" Dia menjawab dengan tegas, “Saya tidak pernah mendengar itu!" Maka marahlah Musailamah, sehingga dipotong-potongnya badan Habib bin Zaib, namun sampai putus nyawanya, dia tetap pada pendiriannya.
Ada lagi seorang sahabat Rasulullah ﷺ menurut riwayat dari al-Hafizh lbnu Asakir dan disalinkan oleh lbnu Katsir dalam tafsirnya. Sahabat Nabi itu ialah Abdullah bin Huzaifah as-Sahni, yang dia itu ditawan oleh bangsa Romawi ketika terjadi peperangan, dan dia dibawa menghadap kepada Raja Romawi.
Setelah dia dihadapkan ke dalam majelis raja, berkatalah raja membujuknya, “Masuklah ke dalam agama Nasrani. Kalau engkau masuk Nasrani, engkau saya bawa bersama berkuasa dengan daku dan engkau aku kawinkan dengan anak perempuanku."
Abdullah menjawab, “Walaupun tuan berikan kepadaku sekalian kekuasaan tuanku, ditambah lagi dengan sekalian kekuasaan Arab, tetapi untuk itu saya mesti keluar dari agama Muhammad, tidaklah akan saya terima walaupun sekejap mata."
Mendengar itu raja menyambut, “Kalau begitu pendirianmu, engkau akan aku bunuh."
Dia menjawab, “Tuan boleh berbuat sekehendak tuan!"
Maka raja pun memerintahkan orang untuk menangkapnya, lalu dinaikkan ke atas kayu palang. Setelah itu diperintahkan pula orang memanah dia, dekat-dekat dari kakinya atau tangannya. Dalam pada itu selalu juga diserukan dari bahwa supaya dia tukar saja agamanya, namun dia tetap tidak mau. Kemudian datang perintah raja supaya dia diturunkan dari kayu palang itu. Lalu disuruh jerangkan sebuah periuk belanga besar dan dinyalakan api di bawahnya. Lalu diambil seorang tawanan Islam yang lain, dan dilemparkan ke dalam periuk belanga itu, di hadapan mata Abdullah. Dia lihat sendiri seketika orang tawanan itu hancur, tinggal tulang-tulang di dalam air menggelegak. Lalu dia dibujuk kembali agar masuk Nasrani, namun dia masih tetap menggelengkan kepala. Maka raja pun memerintahkan orang melemparkan Abdullah ke dalam periuk belanga yang sedang terjerang itu. Lalu dia hendak diangkat dengan satu takaran. Dia menangis! Melihat dia menangis itu, raja menyuruh menurunkannya kembali, barangkali ada harapan dia masuk Nasrani. Setelah ditanyai, mengapa dia menangis, dia menjawab, “Saya menangis, karena diriku ini hanya satu saja, yang akan dimasukkan dan ditanak dalam periuk belanga ini. Padahal saya ingin sekali, sekiranya saya mempunyai napas sebanyak rambut yang ada pada badanku, supaya semuanya itu merasakan bagaimana nikmatnya disiksa pada jalan Allah!"
Dalam setengah riwayat lagi tersebut bahwa dimasukkanlah dia ke dalam penjara. Tidak diberi makan dan minum beberapa hari lamanya. Setelah dia sangat lapar, lalu dikirim ke penjara minuman keras dan daging babi, namun tidak dimakannya sama sekali. Kemudian dibawalah dia kembali menghadap raja. Lalu raja bertanya, “Mengapa engkau tidak mau makan?" Dia menjawab, “Sebenarnya dalam saat sudah sangat lapar seperti itu, makanan tersebut sudah halal aku makan. Tetapi tidaklah aku mau, bahkan akan kujaga, jangan sampai aku menjadi buah cemooh tuan!"
Mendengar jawabannya itu dan menilik keteguhannya pada pendiriannya itu rupanya terpengaruhlah perasaan raja, sampai raja berkata, “Ciumlah kepalaku! Engkau saya lepaskan sekarang juga dari tawanan dan akan saya lepaskan juga bersama engkau sekalian tawanan kaum Muslimin."
Dan mendengar titah raja yang demikian itu, segeralah Abdullah mencium kepala raja, maka raja pun membebaskannya dan membebaskan pula tawanan-tawanan Muslimin yang lain yang ada dalam tahanannya. Dan kembalilah mereka ke Madinah dengan selamat. Setelah mereka sampai di Madinah dan sesudah mendengar segala berita itu berkatalah Sayyidina Umar bin al-Khaththab, “Menjadi kewajiban dari sekalian Muslimin mencium kepala Abdullah bin Huzaifah! Saya akan memulai lebih dahulu." Lalu beliau mencium kepala Abdullah bin Huzaifah.
Dan kesimpulan yang telah diambil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya itu, demikian juga beberapa pasal penafsiran aI-Qurthubi dapatlah kita pahami bahwasanya pada saat yang demikian sangat bergantunglah pada kekuatan jiwa pertahanan dari orang-orang yang bersangkutan. Amar dan beberapa sahabat Rasulullah ﷺ yang lain yang tidak tahan menderita siksaan, sampai memberikan pengakuan palsu; dipaksa mengakui kumbang sebagai Tuhan, mereka terima juga. Itu dimaafkan menurut ayat ini. Demikian juga mendapat pujian tertinggi siapa yang kuat jiwanya seperti Bilal dan Abdullah bin Huzaifah.
Datang lanjutan ayat,
“Tetapi barangsiapa yang terbuka dadanya kepada kufur, maka bagi mereka adalah kemurkaan dari Allah dan untuk mereka adzab yang besar."
Salah satu sebab maka orang dapat mengubah pendirian, bisa menjadi kufur sesudah Islam, memungkiri kebenaran sesudah pernah merasakannya diterangkan pada ayat selanjutnya,
Ayat 107
“Demikianlah itu, karena mereka lebih suka kepada kehidupan dunia daripada akhirat."
Rayuan hidup dunia itulah yang kerapkali menyebabkan orang mengorbankan imannya, sebagaimana ayat-ayat di atas yang telah diterangkan. Biasanya apabila pendirian iman telah ditukar dengan rayuan dunia, jiwa orangnya menjadi rendah sekali. Dalam hati kecilnya timbul sesal yang mendalam, tetapi diri tidak dapat mundur lagi. Serupa saja dengan gadis pingitan yang karena tidak kuat menahan nafsu lalu melacurkan diri. Sehabis zina yang pertama, menyesallah dia atas kehilangan yang paling berharga pada dirinya. Tetapi apa hendak dikata, yang dipertahankan selama ini sudah hilang habis. Sesal timbul tetapi perjalanan menuju kehancuran sudah mesti diteruskan. Setan tidak mau meninggalkan, sebelum dia hancur. Apatah lagi kalau sudah datang pula ketentuan Allah seperti ditegaskan-Nya di ujung ayat,
“Dan sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kaum yang kafir."
Ayat 108
“Itulah orang-orang yang telah dicap Allah atas hati mereka, dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka, dan mereka itulah orang-orangyang lalai."
Alangkah celaka kalau hati, telinga dan mata telah dicap atau dimaterai oleh Allah.
Tak ada pengajaran yang didengarnya, mesti diterimanya salah. Segala sesuatu telah di-pandangnya ‘dengan kacamata berwarna kepunyaannya sendiri, yang putih pun akan di-katakannya merah, sebab kacamatanya berwarna merah. Apa sebab? Di ujung ayat telah diterangkan, yaitu disebabkan lalai dan lengah. Hati yang menjadi sentral disia-siakan telah ditumbuhi penyakit yang sudah mengikatnya, sebagaimana telah diterangkan pada permulaan surah al-Baqarah ayat 10.
Ayat 109
“Tak ayat lagi, bahwasanya di akhirat adalah mereka orang-orang yang rugi."
Sudah barang tentu rugilah dia di akhirat, sebab di kala hidup di dunia yang dikejarnya hanya keuntungan dunia dan melupakan akhirat. Niscaya sesudah dia mati, segala kemegahan dunia tinggallah di dunia dan yang dibawanya ke akhirat adalah tangan kosong.
Keadaan orang yang kufur demikian rupa, berbeda sekali dengan orang yang sudi ber-hijrah karena didorong oleh iman.
Ayat 110
“Kemudian itu, sesungguhnya Allah engkau terhadap orang-orang yang benhijnah, sesudah mereka diberi cobaan, kemudian itu mereka bensungguh-sungguh dan saban. Sesungguhnya Allah engkau, sesudah begitu, adalah Maha Pengampun, Maha, Penyayang."
Bacalah dengan saksama ayat ini. Ini menunjukkan betapa hebatnya perjuangan di antara tauhid dengan syirik, iman dengan kufur, di negeri Mekah pada waktu itu. Orang-orang musyrik tegak pada pendirian yang salah, dengan hati dan mata dan telinga yang telah dicap Allah. Orang-orang Muslim yang lemah penghidupannya, yang miskin tetapi setia memegang iman telah dianiaya oleh Quraisy sampai perempuan dibunuh, yang laki-laki diseret-seret di pasir panas, malahan ada yang dipaksa memaki-maki Nabi dan memuji berhala mereka, seperti Amar bin Yasir itu. Namun Rasulullah ﷺ selalu memberikan semangat kepada para pengikut beliau agar tabah menghadapi penderitaan pahit itu, jangan sampai ada yang menyeberang karena mengharapkan kehidupan dunia. Sampai, Abu Sufyan sendiri, musuh besar Islam waktu itu (kemudian masuk Islam) mengakui kekagumannya di hadapan Heraclius, Raja Romawi yang memerintah negeri Syam, bahwa menurut setahunya belum pernah pengikut Muhammad itu yang kembali kepada agamanya yang lama, Betapapun penderitaan mereka.
Maka datanglah perintah hijrah dan negeri kufur itu ke negeri Habsyi dua kali dan akhirnya ke Madinah, sesudah mereka mendapat berbagai cobaan. Mereka pun hijrah, meninggalkan kampung halaman dan rumah tangga dan harta benda, pergi dengan lolos tidak mempunyai apa-apa ke tempat kediaman baru, kecuali hanya iman. Di antaranya termasuk Bilal itu sendiri, Khabbab, Amar bin Yasir yang ibunya sebagai syahid pertama karena keyakinan. Mereka bersungguh-sungguh memelihara iman mereka dan mengerjakan ibadah dan mereka pun sabar menderita. Dengan kontan Allah janjikan, bahwa kalau sudah sampai demikian halnya tak ayat lagi, Allah pasti memberi ampun mereka, kalau ada dosa berkecil-kecil. Sebab Allah adalah Maha Pengampun. Dan Allah pasti sayang kepada mereka. Sebab Allah Maha Penyayang. Kebahagiaan jiwa pasti mereka terima di dunia dan sambutan mulia dari Allah pasti akan mereka terima pula di akhirat.
Ayat 111
“Pada hari yang akan datang tiap-tiap diri membela dirinya, dan disempurnakan bagi tiap-tiap dini apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka tidak akan dianiaya."
Di situlah dan di waktu itulah kelak tiap-tiap diri menerima apa balasan dan penghargaan Ilahi atas kepayahan perjuangan yang telah ditempuh menegakkan kalimat-Nya di dalam dunia ini. Terus-menerus, sejak zaman Nabi dan sahabat-sahabatnya, sampai ke akhir zaman, selama umat Muhammad masih merasakan nur iman di dalam dadanya.
Karena sudah terang bahwa menegakkan iman tidaklah perkara mudah. Tiap-tiap diri pada hari itu akan membela diri, jiwa akan membela jiwa. Pembelaan diri yang dikemukakan oleh setiap diri di hadapan hadhrat Ilahi akan dibandingkan dengan catatan yang ada pada Allah sendiri. Sebab itu tidak ada orang yang akan teraniaya.
Pada ayat yang akan datang ini diterang-kanlah bahwa dosa-dosa kedurhakaan kepada Allah bukan saja jadi tanggungan orang seorang, tetapi membawa pengaruh juga kepada masyarakat seumumnya dalam negeri yang mereka diami.
Ayat 112
“Dan dibuat Allah suatu penumpamaan, suatu negeri yang aman sentosa, datang kepadanya rezekinya dengan luas dari tiap-tiap tempat. Maka mereka pun kufur akan nikmat Allah, lantunan itu Allah rasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, lantaran apa yang telah mereka usahakan."
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa nikmat yang dikaruniakan Allah kepada suatu negeri, yang aman lagi sentosa, yang subur lagi makmur, yang dilimpahi rezeki dari mana-mana pun datangnya, dari setiap penjuru, dari langit disebabkan hujan teratur, dari bumi disebabkan ikannya banyak, dari negeri lain karena mudah perhubungan, “rimbah ripah loh jinawi". Semuanya itu mudah saja mencabutnya oleh Allah, bertukar dengan kelaparan dan ketakutan. Kering dan kemarau, hujan tidak membawa subur tetapi membawa banjir. Panas tidak memasak padi, tetapi menghancurkan berih. Kelaparan akan datang menimpa, akan terjadi apa yang kita namakan busung lapar. Keamanan pun hilang, sebab yang tidak tahan lapar akan merampas ke-punyaan orang yang berada. Orang jadi ketakutan selalu, takut dirampok, takut garong dan takut serangan dari luar. Yang kuat menganiaya yang lemah sehingga tempat berlindung tak ada lagi. Sebab-musababnya telah dijelaskan dalam ayat ini, yaitu karena penduduk telah kufur, atau tidak menyambut dengan sepantasnya nikmat yang diberikan Allah. Tidak tahu berterima kasih. Hanya pandai menghabiskan yang telah ada dan tidak sanggup memelihara sumber nikmat itu. Semua berebut mencari keuntungan untuk diri sendiri. Lantaran itu maka kutuk laknat yang didatangkan AJlah adalah satu hal yang sewajarnya, disebabkan kesalahan mereka sendiri.
Menilik Asbabun Nuzul, atau sebab turunnya ayat, menurut keterangan al-Aufi yang diterima dari ibnu Abbas, kejadian ini adalah dalam kota Mekah sendiri. Hidup mereka yang subur aman tenteram selama ini dicabut oleh Allah, sehingga negeri menjadi kering, binatang ternak habis mati, tanam-tanaman tiada tumbuh, yaitu beberapa waktu lamanya setelah mereka mengusir Nabi ﷺ dari Mekah dan terpaksa pindah ke Madinah. Sampai suatu waktu Abu Sufyan sendiri meminta dengan sungguh-sungguh supaya Nabi Muhammad mempergunakan pengaruh doanya, memohonkan kepada Allah agar kemarau dan malapetaka itu dicabut oleh Allah.
Seketika terjadi kekacauan dalam kota Madinah sendiri ketika Sayyidina Utsman di-kepung dalam rumahnya oleh kaum pengacau, padahal beliaulah yang menjadi khalifah ketiga ketika itu.
Ibu orang yang beriman, Siti Hafshah binti Umar, istri Rasulullah ﷺ, dalam perjalanan mengerjakan haji ke Mekah. Ketika beliau dengar berita sedih itu, teringatlah beliau akan ayat ini. Keamanan telah dicabut Allah dari dalam negeri karena kufur dengan nikmat Allah. Maka terlepas daripada sebab turun ayat dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa ayat ini adalah undang-undang yang tetap dari Allah, bahwasanya dosa suatu masyarakat dari satu negeri bisa menyebabkan datangnya kutuk All&h kepada negeri itu. Mungkin dalam
negeri itu ada juga orang baik-baik; namun mereka telah terbawa rendong dan menjadi korban dari kesalahan orang-orang yang berbuat durjana.
Di dalam ayat ini Allah ada menyebut “Allah rasakan kepada mereka pakaian kelaparan (Libaasal juu'i)." Ini adalah satu ungkapan yang fasih sekali. Merasakan pakaian kelaparan. Padahal biasanya pakaian bukanlah dirasakan, melainkan dipakai. Tetapi kalau direnungkan, memang kelaparan itu bisa dilihat dipakai oleh yang menderita. Orang lapar tidak berketentuan lagi pakaiannya, mukanya pun pucat lesi. Orang yang lapar tidak segan-segan lagi memakai karung guni, bagor, kulit kayu terap, tikar tua, robekan kain kasur dan sebagainya seperti kita lihat di zaman pendudukan Jepang. Di waktu itu benar-benar kelaparan telah jadi pakaian tiap hari.
Ayat 113
“Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka semang rasul dari (kalangan) mereka sendiri, lalu mereka dustakan."
Begitulah sikap kaum musyrikin Quraisy menerima kedatangan Nabi Muhammad ﷺ sebagai rasul. Meskipun Nabi Muhammad itu adalah dari kalangan mereka sendiri, dari suku dan kabilah mereka, senenek semoyang, tidaklah mereka terima dengan baik, bahkan mereka tolak dan dustakan.
“Maka mengenallah kepada mereka adzab, sedang mereka adalah orang-orang yang zalim."
Artinya, tidak ada alasan yang benar yang dapat mereka kemukakan tentang apa sebab mereka mendustakan Nabi Allah itu. Dia adalah dari kalangan mereka sendiri. Dia adalah mereka kenal sejak dari masa kecilnya. Oleh sebab itu sudah sepatutnyalah mereka mendapat adzab siksaan dari Allah karena penolakan itu. Sebab perlakuan mereka itu adalah zalim, artinya jalan yang gelap. Sebab kalimat zalim yang kita artikan aniaya itu, pokok asal artinya ialah kegelapan, tidak tentu ujung pangkal. Sesuai dengan sikap kaum musyrikin itu, yang membantah dan yang mendustakan asal mendustakan saja. Maka tersebutlah di dalam riwayat yang dibawakan oleh al-Aufi yang diterimanya dari Ibnu Abbas yang telah kita sebutkan sebagai sebab turun ayat tadi, pernahlah penduduk Mekah yang zalim aniaya itu ditimpa kelaparan, sehingga sampai melarat dan kesepian. Sedang Nabi Muhammad dan kaum Muslimin yang dahulunya mereka hinakan itu, kian lama kian naik bintangnya, kian semarak kemuliaannya, sampai melebar dan meluas, sampai kemudian dapat menaklukkan negeri Mekah yang menyombong itu sendiri.
Ayat 114
“Maka makanlah olehmu apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu, dengan halal dan baik."
Ini diperingatkan oleh Allah kepada manusia, baik sebagai persiapan sebelum bahaya kelaparan dan ketakutan itu datang, supaya jangan sampai dia datang, atau setelah bahaya itu terlepas. Karena makanan yang halal dan yang baik, sangat besar pengaruhnya kepada jiwa; membuat jiwa jadi tenang. Tidak asal masuk perut saja, sehingga tidak mengkaji lagi halalnya dan baiknya.
Di sini disebut dua pokok yang terpenting, yaitu halal dan baik. Yang halal ialah yang tidak dilarang oleh agama; seumpama memakan daging babi, memakan atau meminum darah, memakan bangkai dan memakan makanan yang disembelih bukan karena Allah, semuanya itu telah dinyatakan haramnya. Kemudian itu disebut pula makanan yang baik, yaitu yang diterima oleh selera, yang tidak menjijikkan. Misalnya anak kambing yang telah disembelih adalah halal dimakan, tetapi kalau tidak dimasak terlebih dahulu, langsung saja dimakan daging mentah itu, mungkin sekali tidak baik.
Lantaran itu maka kata-kata yang baik atau dalam asal kata yang thayyib adalah ukuran dari kebiasaan kita sendiri-sendiri atau kemajuan masyarakat kita.
Selanjutnya diperingatkan “Dan syuku-rilah nikmat Allah." Kandungan kalimat Allah yang sedikit ini luas sekali maksudnya. Misalnya, penduduk suatu negeri yang sawahnya subur dapat menghasilkan padi sekian kuintal setiap tahun yang memuaskan. Sebabnya ialah karena tentunya pengairan. Maka sebelum bahaya datang, hendaklah selalu dijaga pengairan itu jangan sampai rusak, jangan bocor atau runtuh bandaran atau paritnya. Hendaklah dijaga hutan-hutan sekeliling jangan ditebangi kayu-kayunya sehingga menimbulkan erosi, habisnya bunga tanah sehingga menjadi tanah kering dan kalau hujan menjadi banjir sehingga pematang-pematang sawah menjadi rusak dan runtuh pula, atau padi yang sedang menguning menjadi hancur berantakan disebabkan banjir. Sampai kepada pemeliharaan peralatan persawahan, seumpama cangkul, bajak, luku, garu dan sabit. Memeliharanya baik-baik itu pun termasuk mensyukuri nikmat, yaitu memelihara baik-baik nikmat yang telah dikaruniakan Allah, jangan disia-siakan. Demikianlah hendaknya.
"Jika benar kepada-Nya kamu menyembah."
Tentang makanan yang halal, dijelaskan bahwa semuanya halal, asal dari sumber yang baik, bukan dari dicuri dan dirampok, bukan dari menipu dan merugikan orang lain.
Ayat 115
‘Tidak lain yang diharamkan-Nya atas kamu, hanyalah bangkai."
Yaitu segala ternak mati tidak disembelih.",Dan darah." Segala macam darah, walaupun darah dari binatang yang halal disembelih dan dimakan itu."Dan daging babi, dan apa yang disembelih, untuk yang lain dari Allah." Yaitu untuk berhala-berhala, meskipun yang kalimat zalim yang kita artikan aniaya itu, pokok asal artinya ialah kegelapan, tidak tentu ujung pangkal. Sesuai dengan sikap kaum musyrikin itu, yang membantah dan yang mendustakan asal mendustakan saja. Maka tersebutlah di dalam riwayat yang dibawakan oleh al-Aufi yang diterimanya dari Ibnu Abbas yang telah kita sebutkan sebagai sebab turun ayat tadi, pernahlah penduduk Mekah yang zalim aniaya itu ditimpa kelaparan, sehingga sampai melarat dan kesepian. Sedang Nabi Muhammad dan kaum Muslimin yang dahulunya mereka hinakan itu, kian lama kian naik bintangnya, kian semarak kemuliaannya, sampai melebar dan meluas, sampai kemudian dapat menaklukkan negeri Mekah yang menyombong itu sendiri.
Ayat 114
“Maka makanlah olehmu apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu, dengan halal dan baik."
Ini diperingatkan oleh Allah kepada manusia, baik sebagai persiapan sebelum bahaya kelaparan dan ketakutan itu datang, supaya jangan sampai dia datang, atau setelah bahaya itu terlepas. Karena makanan yang halal dan yang baik, sangat besar pengaruhnya kepada jiwa; membuat jiwa jadi tenang. Tidak asal masuk perut saja, sehingga tidak mengkaji lagi halalnya dan baiknya.
Di sini disebut dua pokok yang terpenting, yaitu halal dan baik. Yang halal ialah yang tidak dilarang oleh agama; seumpama memakan daging babi, memakan atau meminum darah, memakan bangkai dan memakan makanan yang disembelih bukan karena Allah, semuanya itu telah dinyatakan haramnya. Kemudian itu disebut pula makanan yang baik, yaitu yang diterima oleh selera, yang tidak menjijikkan. Misalnya anak kambing yang telah disembelih adalah halal dimakan, tetapi kalau tidak dimasak terlebih dahulu, langsung saja dimakan daging mentah itu, mungkin sekali tidak baik.
Lantaran itu maka kata-kata yang baik atau dalam asal kata yang thayyib adalah ukuran dari kebiasaan kita sendiri-sendiri atau kemajuan masyarakat kita.
Selanjutnya diperingatkan “Dan syuku-rilah nikmat Allah." Kandungan kalimat Allah yang sedikit ini luas sekali maksudnya. Misalnya, penduduk suatu negeri yang sawahnya subur dapat menghasilkan padi sekian kuintal setiap tahun yang memuaskan. Sebabnya ialah karena tentunya pengairan. Maka sebelum bahaya datang, hendaklah selalu dijaga pengairan itu jangan sampai rusak, jangan bocor atau runtuh bandaran atau paritnya. Hendaklah dijaga hutan-hutan sekeliling jangan ditebangi kayu-kayunya sehingga menimbulkan erosi, habisnya bunga tanah sehingga menjadi tanah kering dan kalau hujan menjadi banjir sehingga pematang-pematang sawah menjadi rusak dan runtuh pula, atau padi yang sedang menguning menjadi hancur be-rantakan disebabkan banjir. Sampai kepada pemeliharaan peralatan persawahan, seumpama cangkul, bajak, luku, garu dan sabit. Memeliharanya baik-baik itu pun termasuk mensyukuri nikmat, yaitu memelihara baik-baik nikmat yang telah dikaruniakan Allah, jangan disia-siakan. Demikianlah hendaknya.
"Jika benar kepada-Nya kamu menyembah."
Tentang makanan yang halal, dijelaskan bahwa semuanya halal, asal dari sumber yang baik, bukan dari dicuri dan dirampok, bukan dari menipu dan merugikan orang lain.
Ayat 115
“Tidak lain yang diharamkan-Nya atas kamu, hanyalah bangkai."
Yaitu segala ternak mati tidak disembelih.",Dan darah." Segala macam darah, walaupun darah dari binatang yang halal disembelih dan dimakan itu."Dan daging babi, dan apa yang disembelih, untuk yang lain dari Allah." Yaitu untuk berhala-berhala, meskipun yang disembelih itu sapi, kambing dan segala binatang ternak yang halal,
“Tetapi barangsiapa terpaksa, padahal dia tidak ingin dan tidak melewati batas, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Tegasnya, kalau terpaksa karena makanan yang lain tidak ada lagi, padahal kita sudah sangat lapar, dan bukan karena kita ingin akan makanan itu bolehlah atau rukhshah, dibolehkan kita memakannya. Melainkan sekadar untuk menghilangkan lapar saja. Tetapi jangan melewati batas, sudah kenyang dihantam juga. Maka sependapatlah sebagian besar dari ulama fiqih Islam, kalau kita sudah sangat lapar, hampir mati, padahal makanan lain tidak ada, hanyalah makanan-makanan yang haram itu saja (darah, daging babi, bangkai, sembelihan berhala), maka kalau kita mati lantaran tidak memakannya, berdosalah kita. Bisa dihukumkan sama dengan mati mem-bunuh diri. Demikianlah Pengampun Allah dan Penyayang-Nya kepada kita.
“Dan janganlah kamu ucapkan bagi batang yang disifatkan oleh lidahmu yang dusta,
Ayat 116
“Ini halal, ini haram," kaiena hendak mengada-adakan dusta atas nama Allah, sesungguhnya otang-orang yang mengada-adakan dusta atas nama Allah, tidaklah akan berbahagia."
Di ayat yang sebelumnya sudah dijelaskan mana-mana makanan yang haram dimakan. Tetapi orang-orang musyrikin Mekah menambah lagi beberapa binatang ternak yang mereka haramkan sendiri, sebagaimana telah disebutkan di dalam surah al-An'aam yang diturunkan di Mekah juga. Sebagaimana disebutkan misalnya di ayat 138, mereka ada menentukan kebun larangan, binatang larangan, dan pula binatang ternak yang mereka haramkan menungganginya, dan di ayat 139 ada disebutkan bahwa mereka membuat pula peraturan bahwa binatang yang masih dalam kandungan telah ditentukan hanya laki-laki yang boleh memakannya, sedang perempuan tidak boleh. Dan berbagai larangan yang lain, mereka bikin-bikin. Apatah lagi ada pula binatang yang disembelih untuk Allah, dan ada yang disembelih untuk berhala. Yang disembelih untuk Allah sampai juga kepada berhala, tetapi yang disembelih untuk berhala, tidak sampai kepada Allah (ayat 136).
Peraturan halal haram cara jahiliyyah itu tidak dianggap sah, dan orang-orang yang telah beriman tidak dapat menuruti, sebab peraturan itu adalah buatan mereka sendiri. Mereka adakan peraturan sendiri, lalu mereka katakan bahwa itu adalah peraturan dari Allah. Mereka mengada-adakan di atas nama Allah, perkara yang Ailah tidak pernah memerintahkan. Lantaran itu tidaklah mereka akan beroleh bahagia satu kejayaan atas kemenangan. Kalaupun ada kelihatan pada zahirnya mereka bahagia.
Ayat 117
“(Hanya) perhiasan yang sedikit. Dan untuk mereka adalah adzab yang besar."