Ayat

Terjemahan Per Kata
إِنَّمَا
sesungguhnya hanyalah
يَفۡتَرِي
mengada-adakan
ٱلۡكَذِبَ
kedustaan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
لَا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
mereka beriman
بِـَٔايَٰتِ
kepada ayat-ayat
ٱللَّهِۖ
Allah
وَأُوْلَٰٓئِكَ
dan mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلۡكَٰذِبُونَ
orang-orang pendusta
إِنَّمَا
sesungguhnya hanyalah
يَفۡتَرِي
mengada-adakan
ٱلۡكَذِبَ
kedustaan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
لَا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
mereka beriman
بِـَٔايَٰتِ
kepada ayat-ayat
ٱللَّهِۖ
Allah
وَأُوْلَٰٓئِكَ
dan mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلۡكَٰذِبُونَ
orang-orang pendusta
Terjemahan

Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Mereka itulah para pembohong.
Tafsir

(Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah) yakni Al-Qur'an; melalui tuduhan mereka yang mengatakan, bahwa Al-Qur'an adalah perkataan manusia (dan mereka itulah orang-orang pendusta) pengertian taukid di sini disimpulkan dari pengulangan dhamir. Ayat ini merupakan sanggahan terhadap perkataan mereka sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya yang lain, yaitu, "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ada saja." (Q.S. An-Nahl 101).
Tafsir Surat An-Nahl: 104-105
Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah (Al-Qur'an), Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka dan bagi mereka azab yang pedih.
Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itu adalah pembohong.
Ayat 104-105
Allah ﷻ menyebutkan bahwa Dia tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang berpaling dari mengingat-Nya dan berpura-pura tidak tahu terhadap apa yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya, serta tidak ada niat dalam dirinya untuk beriman kepada apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya dari sisi-Nya. Manusia yang berkarakter seperti ini tidak akan diberi petunjuk oleh Allah untuk beriman kepada ayat-ayat-Nya dan apa yang disampaikan oleh rasul-rasul-Nya di dunia. Dan bagi mereka di akhirat nanti ada azab yang pedih lagi sangat menyakitkan.
Kemudian Allah ﷻ menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bukanlah orang yang mengada-ada, bukan pula pembohong, bahkan sebaliknya hanyalah makhluk yang jahatlah yang berani membuat kebohongan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah “orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah.” (An-Nahl: 104) dari kalangan orang-orang kafir dan orang-orang ateis yang terkenal kebohongannya di kalangan manusia. Sedangkan utusan Allah yaitu Nabi Muhammad ﷺ adalah orang yang paling benar, paling bertakwa, serta paling sempurna ilmu, pengamalan, iman, dan keyakinannya. Dia terkenal dengan kejujurannya di kalangan kaumnya. Tiada seorang pun yang meragukan hal ini dari kalangan mereka, sehingga mereka memberinya julukan di antara sesama mereka dengan panggilan "Al-Amin" (terpercaya).
Ketika Heraklius, Raja Romawi, bertanya kepada Abu Sufyan tentang sifat yang dimiliki oleh Rasulullah ﷺ, yaitu antara lain Heraklius mengatakan, "Apakah kalian pernah menuduhnya sebagai pembohong sebelum dia mempermaklumatkan seruannya?" Abu Sufyan menjawab, "Tidak pernah." Maka Heraklius berkata, "Tidaklah logis bila dia meninggalkan kebohongan terhadap manusia, lalu ia pergi dan berbuat kebohongan terhadap Allah ﷻ
Selain menuduh Nabi Muhammad sebagai pembohong, orang kafir juga meyakini ayat-ayat yang beliau sampaikan adalah hasil karyanya
sendiri, bukan dari Allah. Menepis tuduhan itu Allah menegaskan sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang
tidak mau beriman kepada ayat-ayat Allah, baik yang termaktub dalam
Al-Qur'an maupun terbentang di alam semesta, dan mereka itulah pembohong sejati, bukan Nabi Muhammad. Barang siapa kembali kafir kepada Allah setelah dia beriman kepada
ajaran-Nya dengan bukti-bukti kebenaran-Nya'kecuali orang yang dipaksa kafir lalu menyatakan kekafirannya di bawah paksaan itu, padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman, maka dia tidaklah berdosa'tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran dan menyatakannya
dengan suka rela, maka kemurkaan Allah yang amat besar akan menimpanya di dunia, dan mereka pun akan mendapat azab yang besar berupa
siksa neraka di akhirat.
Ayat ini menyanggah tuduhan orang-orang kafir yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah ciptaan Muhammad. Sesungguhnya yang membuat-buat kebohongan itu bukan Rasul saw, tetapi orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat kauniyah yang menjelaskan keesaan dan kekuasaan Allah yang terdapat pada alam semesta ini, maupun ayat-ayat qur'aniyah yang memberi petunjuk dalam kehidupan ini. Jadi sebenarnya mereka yang menjadi pendusta, bukan Rasul ﷺ karena beliau adalah orang yang paling jujur, sempurna ilmu dan amal perbuatannya, kuat keyakinan, dan paling terpercaya. Karena kejujuran dan kebersihan jiwanya, ia diberi nama al-Amin (orang yang jujur).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 105
“Tiada lain, orang-orang yang mengada-adakan kedustaan itu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah,"
Pangkal ayat ini adalah satu ilmu penting. Kalau dalam dada seseorang tidak ada dasar iman, dia mudah saja membuat dusta dan mengada-ada. Mereka tidak mempunyai rasa tanggung jawab. Mereka tidak memedulikan ayat-ayat, yang di sini artinya tanda-tanda kekuasaan Allah, yang dapat menghukum suatu kedustaan. Oleh sebab itu pokok pangkal dari segala dosa ialah dusta. Barangkali seluruh manusia pernah terlibat dalam dusta kecil-kecilan pelemakkan cakap. Tetapi apabila iman tidak ada dalam dada, sudahlah orang menjadikan dusta itu jadi pakaian hidupnya. Sebab itu ujung ayat mengatakan,
“Mereka itulahorang-orang pendusta."
Siapa dia pendusta?
Ayat 106
“(Yaitu) orang-orang yang tidak percaya kepada Allah sesudah imannya."
Inilebihberbahayadanlebihjahatdaripada orang pendusta karena belum beriman. Orang yang dahuiu pernah merasakan kelezatan iman, kemudian karena hawa nafsu lalu meninggalkan iman dan kembali jadi kafir, ini lebih jahat lagi. Sebab dia telah membuka pintu gerbang kejahatannya dengan mengkhianati pendiriannya sendiri. Inilah manusia yang sudah pecah berderai, tidak diharap sembuh lagi. Segala macam bohong akan dipakainya untuk mendinding keadaan pribadinya yang sebenarnya. Tetapi bertambah didindingnya bertambah tampaklah bohongnya."Kecuali orang-orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap dalam keimanan." Kalau demikian tidaklah dipandang berdosa oleh Allah. Sebab hal ini pernah terjadi seketika mula-mula Islam diajarkan Nabi ﷺ di Mekah itu, kaum musyrikin pernah menangkapi pengikut-pengikut Nabi dari golongan lemah yang tidak ada pembelanya di dalam negeri Mekah, di antaranya ialah Bilal yang ketika itu menjadi hamba sahaya dari orang musyrik, Khabbab, Amar dan Ibu Amar, mereka disiksa, dianiaya dengan sangat kejam. Bilal dijemur ke tengah cahaya matahari di padang pasir yang sangat terik dan dihimpit badannya dengan batu besar, namun dia tetap mengucapkan “Allah, Ahad" “Allah Satu, Satu!" Ibu Amar dianiaya demikian kejam oleh Abu Jahal, sampai dimasukkan tombak ke dalam kemaluannya dan mati. Dan Bilal sehingga hampir mati, mujur datang Abu Bakar lalu membeli Bilal kepada yang empunya dan diambilnya untuk budaknya, lalu dimerdekakannya. Khabbab ditarik-tarik di atas duri, tetapi tidak sampai mati. Tetapi Amar dipaksa mengucapkan perkataan yang memungkiri Allah dan Rasul. Karena tidak tahan disiksa, diucapkannya perkataan itu, maka dia pun dilepaskan. Terus dia lari kepada Rasu-lullah ﷺ mengadukan halnya dan menyatakan bahwa dia telah mengeluarkan ucapan kufur karena terpaksa, padahal tidak timbul dari hatinya. Buktinya, dia segera lari kepada Rasul. Maka datanglah ayat ini menyatakan bahwa Amar tidak salah, sebab semuanya itu diucapkannya dengan ikrah, karena dipaksa.
Berkata Ibnu Abbas, “Ayat ini diturunkan mengenai diri Amar bin Yasir seketika dia di-siksa oleh kaum musyrikin, sampai dia mengeluarkan perkataan yang menyatakan kafir terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Kemudian dia segera datang mengadukan halnya itu kepada Rasulullah."
Berkata Ibnu Jarir dalam tafsirnya, “Kaum musyrikin menangkap Amar lalu menyiksanya, dan mereka paksa Amar memungkiri kenabian Muhammad. Kemudian Amar datang kepada Rasulullah mengatakan apa yang telah terjadi atas dirinya. Maka bertanyalah Nabi ﷺ kepadanya, “Bagaimana hatimu ketika itu?" Amar menjawab, “Hatiku tetap dalam iman!" Maka bersabda Rasulullah ﷺ, “Kalau mereka ulangi lagi memaksa, maka ulang pulalah pengakuan seperti itu."
Berkata Ibnu Ishaq penyusun riwayat hidup Rasulullah yang terkenal dari riwayat Ibnu Hisyam itu, “Kaum musyrikin telah menyakiti sahabat-sahabat Rasulullah yang telah Islam itu. Tiap-tiap kabilah menangkapi anggota kabilahnya yang telah Islam. Mereka kurung dan mereka siksa dengan memukul atau tidak diberi makan minum, dan dijemur di padang pasir Mekah di waktu sangat panas. Mereka dianiaya karena agama mereka. Maka ada di antara mereka yang tidak tahan lagi karena sangatnya siksaan, bahkan ada yang dinaikkan ke kayu palang hendak dibunuh, namun diselamatkan Allah. Bilal adalah hamba sahaya dari Bani Jumah. Dia ditangkap oleh Umayyah bin Khalaf, di waktu sangat panas mendeking, dijemurlah dia di pasir Mekah, kemudian itu disuruhnya orang menghimpitkan sebuah batu besar di atas dadanya, lalu dikatakan kepadanya, “Engkau akan tetap dibiarkan tinggal begitu, sampai engkau mati atau engkau ingkari kembali Muhammad dan mengaku percaya dan bertuhan kepada Latta dan Uzza!" Tetapi dalam siksaan yang hebat itu Bilal masih tetap mengucapkan, “Allah, Ahad, Ahad." (Allah, Esa, Esa). Sehingga datanglah Abu Bakar membelinya dan langsung memerdekakannya!" Bani Makhzum mengeluarkan pula Amar bin Yasir bersama ayahnya dan ibunya (moga-moga Allah meridhai mereka semuanya). Ketika hari telah pertengahan siang, mereka pun dijemur pula di pasir Mekah. Ketika itu Rasulullah ﷺ ada lewat di situ, maka bersabdalah beliau, “Sabar hai keluarga Yasir; untuk kamu telah dijanjikan surga." Ibu Yasir langsung mereka bunuh sebab dia tidak mau beranjak sedikit pun dari pendirian Islamnya." Sekian lbnu Ishaq, Said bin Jubair berkata bahwa dia pernah bertanya kepada lbnu Abbas, “Pernahkah kaum musyrikin itu menyiksa sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ demikian hebatnya sehingga mereka terpaksa mengucapkan perkataan keluar dari Islam?" lbnu Abbas menjawab, “Memang! Demi Allah, mereka pukuli mereka itu, mereka tangani, tidak diberi makan dan minum, sehingga ada yang tidak sanggup berdiri lagi karena sangatnya penderitaan yang menimpa mereka, sehingga mereka setujui saja apa yang dipaksakan kepada mereka. Sampai dikatakan oleh musyrikin itu kepada mereka, “Allah kamu ialah Latta dan bukan Allah, mengerti?" Mereka menjawab, “Baik!" Sehingga ada sebangsa kumbang menjalar di tanah, maka musyrikin itu berkata, “Kumbang ini tuhan kamu, bukan Allah, mengerti?" Mereka jawab, “Mengerti!" Hanya karena tidak tahan sakit saja:
lbnu Hisyam banyak menceritakan penganiayaan dan paksaan ini dalam suratnya.
Lantaran itu maka lbnu Katsir mengambil kesimpulan di dalam tafsirnya bahwa ulama-ulama telah sependapat bahwa orang yang dipaksa mengeluarkan kalimat kufur untuk memungkiri keyakinannya sendiri, boleh saja dia mengaku kalau dia tidak tahan, dan boleh pula dia bertahan terus pada pendiriannya, walaupun nyawa akan cerai dari badan seperti yang dilakukan oleh Sayyidina Bilal itu.
Keberanian pada pendirian ini pun telah terjadi pada diri Habib bin Zaib al-Anshari tatkala dia dapat ditangkap oleh nabi palsu Musailamah al-Kazzab. Musailamah mulanya bertanya, “Apakah engkau naik saksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?" Habib menjawab, “Memang, saya naik saksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah!" Lalu Musailamah meneruskan pertanyaannya, “Apakah engkau naik saksi bahwa aku pun adalah rasul Allah?" Dia menjawab dengan tegas, “Saya tidak pernah mendengar itu!" Maka marahlah Musailamah, sehingga dipotong-potongnya badan Habib bin Zaib, namun sampai putus nyawanya, dia tetap pada pendiriannya.
Ada lagi seorang sahabat Rasulullah ﷺ menurut riwayat dari al-Hafizh lbnu Asakir dan disalinkan oleh lbnu Katsir dalam tafsirnya. Sahabat Nabi itu ialah Abdullah bin Huzaifah as-Sahni, yang dia itu ditawan oleh bangsa Romawi ketika terjadi peperangan, dan dia dibawa menghadap kepada Raja Romawi.
Setelah dia dihadapkan ke dalam majelis raja, berkatalah raja membujuknya, “Masuklah ke dalam agama Nasrani. Kalau engkau masuk Nasrani, engkau saya bawa bersama berkuasa dengan daku dan engkau aku kawinkan dengan anak perempuanku."
Abdullah menjawab, “Walaupun tuan berikan kepadaku sekalian kekuasaan tuanku, ditambah lagi dengan sekalian kekuasaan Arab, tetapi untuk itu saya mesti keluar dari agama Muhammad, tidaklah akan saya terima walaupun sekejap mata."
Mendengar itu raja menyambut, “Kalau begitu pendirianmu, engkau akan aku bunuh."
Dia menjawab, “Tuan boleh berbuat sekehendak tuan!"
Maka raja pun memerintahkan orang untuk menangkapnya, lalu dinaikkan ke atas kayu palang. Setelah itu diperintahkan pula orang memanah dia, dekat-dekat dari kakinya atau tangannya. Dalam pada itu selalu juga diserukan dari bahwa supaya dia tukar saja agamanya, namun dia tetap tidak mau. Kemudian datang perintah raja supaya dia diturunkan dari kayu palang itu. Lalu disuruh jerangkan sebuah periuk belanga besar dan dinyalakan api di bawahnya. Lalu diambil seorang tawanan Islam yang lain, dan dilemparkan ke dalam periuk belanga itu, di hadapan mata Abdullah. Dia lihat sendiri seketika orang tawanan itu hancur, tinggal tulang-tulang di dalam air menggelegak. Lalu dia dibujuk kembali agar masuk Nasrani, namun dia masih tetap menggelengkan kepala. Maka raja pun memerintahkan orang melemparkan Abdullah ke dalam periuk belanga yang sedang terjerang itu. Lalu dia hendak diangkat dengan satu takaran. Dia menangis! Melihat dia menangis itu, raja menyuruh menurunkannya kembali, barangkali ada harapan dia masuk Nasrani. Setelah ditanyai, mengapa dia menangis, dia menjawab, “Saya menangis, karena diriku ini hanya satu saja, yang akan dimasukkan dan ditanak dalam periuk belanga ini. Padahal saya ingin sekali, sekiranya saya mempunyai napas sebanyak rambut yang ada pada badanku, supaya semuanya itu merasakan bagaimana nikmatnya disiksa pada jalan Allah!"
Dalam setengah riwayat lagi tersebut bahwa dimasukkanlah dia ke dalam penjara. Tidak diberi makan dan minum beberapa hari lamanya. Setelah dia sangat lapar, lalu dikirim ke penjara minuman keras dan daging babi, namun tidak dimakannya sama sekali. Kemudian dibawalah dia kembali menghadap raja. Lalu raja bertanya, “Mengapa engkau tidak mau makan?" Dia menjawab, “Sebenarnya dalam saat sudah sangat lapar seperti itu, makanan tersebut sudah halal aku makan. Tetapi tidaklah aku mau, bahkan akan kujaga, jangan sampai aku menjadi buah cemooh tuan!"
Mendengar jawabannya itu dan menilik keteguhannya pada pendiriannya itu rupanya terpengaruhlah perasaan raja, sampai raja berkata, “Ciumlah kepalaku! Engkau saya lepaskan sekarang juga dari tawanan dan akan saya lepaskan juga bersama engkau sekalian tawanan kaum Muslimin."
Dan mendengar titah raja yang demikian itu, segeralah Abdullah mencium kepala raja, maka raja pun membebaskannya dan membebaskan pula tawanan-tawanan Muslimin yang lain yang ada dalam tahanannya. Dan kembalilah mereka ke Madinah dengan selamat. Setelah mereka sampai di Madinah dan sesudah mendengar segala berita itu berkatalah Sayyidina Umar bin al-Khaththab, “Menjadi kewajiban dari sekalian Muslimin mencium kepala Abdullah bin Huzaifah! Saya akan memulai lebih dahulu." Lalu beliau mencium kepala Abdullah bin Huzaifah.
Dan kesimpulan yang telah diambil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya itu, demikian juga beberapa pasal penafsiran aI-Qurthubi dapatlah kita pahami bahwasanya pada saat yang demikian sangat bergantunglah pada kekuatan jiwa pertahanan dari orang-orang yang bersangkutan. Amar dan beberapa sahabat Rasulullah ﷺ yang lain yang tidak tahan menderita siksaan, sampai memberikan pengakuan palsu; dipaksa mengakui kumbang sebagai Tuhan, mereka terima juga. Itu dimaafkan menurut ayat ini. Demikian juga mendapat pujian tertinggi siapa yang kuat jiwanya seperti Bilal dan Abdullah bin Huzaifah.
Datang lanjutan ayat,
“Tetapi barangsiapa yang terbuka dadanya kepada kufur, maka bagi mereka adalah kemurkaan dari Allah dan untuk mereka adzab yang besar."
Salah satu sebab maka orang dapat mengubah pendirian, bisa menjadi kufur sesudah Islam, memungkiri kebenaran sesudah pernah merasakannya diterangkan pada ayat selanjutnya,
Ayat 107
“Demikianlah itu, karena mereka lebih suka kepada kehidupan dunia daripada akhirat."
Rayuan hidup dunia itulah yang kerapkali menyebabkan orang mengorbankan imannya, sebagaimana ayat-ayat di atas yang telah diterangkan. Biasanya apabila pendirian iman telah ditukar dengan rayuan dunia, jiwa orangnya menjadi rendah sekali. Dalam hati kecilnya timbul sesal yang mendalam, tetapi diri tidak dapat mundur lagi. Serupa saja dengan gadis pingitan yang karena tidak kuat menahan nafsu lalu melacurkan diri. Sehabis zina yang pertama, menyesallah dia atas kehilangan yang paling berharga pada dirinya. Tetapi apa hendak dikata, yang dipertahankan selama ini sudah hilang habis. Sesal timbul tetapi perjalanan menuju kehancuran sudah mesti diteruskan. Setan tidak mau meninggalkan, sebelum dia hancur. Apatah lagi kalau sudah datang pula ketentuan Allah seperti ditegaskan-Nya di ujung ayat,
“Dan sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kaum yang kafir."
Ayat 108
“Itulah orang-orang yang telah dicap Allah atas hati mereka, dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka, dan mereka itulah orang-orangyang lalai."
Alangkah celaka kalau hati, telinga dan mata telah dicap atau dimaterai oleh Allah.
Tak ada pengajaran yang didengarnya, mesti diterimanya salah. Segala sesuatu telah di-pandangnya ‘dengan kacamata berwarna kepunyaannya sendiri, yang putih pun akan di-katakannya merah, sebab kacamatanya berwarna merah. Apa sebab? Di ujung ayat telah diterangkan, yaitu disebabkan lalai dan lengah. Hati yang menjadi sentral disia-siakan telah ditumbuhi penyakit yang sudah mengikatnya, sebagaimana telah diterangkan pada permulaan surah al-Baqarah ayat 10.
Ayat 109
“Tak ayat lagi, bahwasanya di akhirat adalah mereka orang-orang yang rugi."
Sudah barang tentu rugilah dia di akhirat, sebab di kala hidup di dunia yang dikejarnya hanya keuntungan dunia dan melupakan akhirat. Niscaya sesudah dia mati, segala kemegahan dunia tinggallah di dunia dan yang dibawanya ke akhirat adalah tangan kosong.
Keadaan orang yang kufur demikian rupa, berbeda sekali dengan orang yang sudi ber-hijrah karena didorong oleh iman.
Ayat 110
“Kemudian itu, sesungguhnya Allah engkau terhadap orang-orang yang benhijnah, sesudah mereka diberi cobaan, kemudian itu mereka bensungguh-sungguh dan saban. Sesungguhnya Allah engkau, sesudah begitu, adalah Maha Pengampun, Maha, Penyayang."
Bacalah dengan saksama ayat ini. Ini menunjukkan betapa hebatnya perjuangan di antara tauhid dengan syirik, iman dengan kufur, di negeri Mekah pada waktu itu. Orang-orang musyrik tegak pada pendirian yang salah, dengan hati dan mata dan telinga yang telah dicap Allah. Orang-orang Muslim yang lemah penghidupannya, yang miskin tetapi setia memegang iman telah dianiaya oleh Quraisy sampai perempuan dibunuh, yang laki-laki diseret-seret di pasir panas, malahan ada yang dipaksa memaki-maki Nabi dan memuji berhala mereka, seperti Amar bin Yasir itu. Namun Rasulullah ﷺ selalu memberikan semangat kepada para pengikut beliau agar tabah menghadapi penderitaan pahit itu, jangan sampai ada yang menyeberang karena mengharapkan kehidupan dunia. Sampai, Abu Sufyan sendiri, musuh besar Islam waktu itu (kemudian masuk Islam) mengakui kekagumannya di hadapan Heraclius, Raja Romawi yang memerintah negeri Syam, bahwa menurut setahunya belum pernah pengikut Muhammad itu yang kembali kepada agamanya yang lama, Betapapun penderitaan mereka.
Maka datanglah perintah hijrah dan negeri kufur itu ke negeri Habsyi dua kali dan akhirnya ke Madinah, sesudah mereka mendapat berbagai cobaan. Mereka pun hijrah, meninggalkan kampung halaman dan rumah tangga dan harta benda, pergi dengan lolos tidak mempunyai apa-apa ke tempat kediaman baru, kecuali hanya iman. Di antaranya termasuk Bilal itu sendiri, Khabbab, Amar bin Yasir yang ibunya sebagai syahid pertama karena keyakinan. Mereka bersungguh-sungguh memelihara iman mereka dan mengerjakan ibadah dan mereka pun sabar menderita. Dengan kontan Allah janjikan, bahwa kalau sudah sampai demikian halnya tak ayat lagi, Allah pasti memberi ampun mereka, kalau ada dosa berkecil-kecil. Sebab Allah adalah Maha Pengampun. Dan Allah pasti sayang kepada mereka. Sebab Allah Maha Penyayang. Kebahagiaan jiwa pasti mereka terima di dunia dan sambutan mulia dari Allah pasti akan mereka terima pula di akhirat.
Ayat 111
“Pada hari yang akan datang tiap-tiap diri membela dirinya, dan disempurnakan bagi tiap-tiap dini apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka tidak akan dianiaya."
Di situlah dan di waktu itulah kelak tiap-tiap diri menerima apa balasan dan penghargaan Ilahi atas kepayahan perjuangan yang telah ditempuh menegakkan kalimat-Nya di dalam dunia ini. Terus-menerus, sejak zaman Nabi dan sahabat-sahabatnya, sampai ke akhir zaman, selama umat Muhammad masih merasakan nur iman di dalam dadanya.
Karena sudah terang bahwa menegakkan iman tidaklah perkara mudah. Tiap-tiap diri pada hari itu akan membela diri, jiwa akan membela jiwa. Pembelaan diri yang dikemukakan oleh setiap diri di hadapan hadhrat Ilahi akan dibandingkan dengan catatan yang ada pada Allah sendiri. Sebab itu tidak ada orang yang akan teraniaya.
Pada ayat yang akan datang ini diterang-kanlah bahwa dosa-dosa kedurhakaan kepada Allah bukan saja jadi tanggungan orang seorang, tetapi membawa pengaruh juga kepada masyarakat seumumnya dalam negeri yang mereka diami.
Ayat 112
“Dan dibuat Allah suatu penumpamaan, suatu negeri yang aman sentosa, datang kepadanya rezekinya dengan luas dari tiap-tiap tempat. Maka mereka pun kufur akan nikmat Allah, lantunan itu Allah rasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, lantaran apa yang telah mereka usahakan."
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa nikmat yang dikaruniakan Allah kepada suatu negeri, yang aman lagi sentosa, yang subur lagi makmur, yang dilimpahi rezeki dari mana-mana pun datangnya, dari setiap penjuru, dari langit disebabkan hujan teratur, dari bumi disebabkan ikannya banyak, dari negeri lain karena mudah perhubungan, “rimbah ripah loh jinawi". Semuanya itu mudah saja mencabutnya oleh Allah, bertukar dengan kelaparan dan ketakutan. Kering dan kemarau, hujan tidak membawa subur tetapi membawa banjir. Panas tidak memasak padi, tetapi menghancurkan berih. Kelaparan akan datang menimpa, akan terjadi apa yang kita namakan busung lapar. Keamanan pun hilang, sebab yang tidak tahan lapar akan merampas ke-punyaan orang yang berada. Orang jadi ketakutan selalu, takut dirampok, takut garong dan takut serangan dari luar. Yang kuat menganiaya yang lemah sehingga tempat berlindung tak ada lagi. Sebab-musababnya telah dijelaskan dalam ayat ini, yaitu karena penduduk telah kufur, atau tidak menyambut dengan sepantasnya nikmat yang diberikan Allah. Tidak tahu berterima kasih. Hanya pandai menghabiskan yang telah ada dan tidak sanggup memelihara sumber nikmat itu. Semua berebut mencari keuntungan untuk diri sendiri. Lantaran itu maka kutuk laknat yang didatangkan AJlah adalah satu hal yang sewajarnya, disebabkan kesalahan mereka sendiri.
Menilik Asbabun Nuzul, atau sebab turunnya ayat, menurut keterangan al-Aufi yang diterima dari ibnu Abbas, kejadian ini adalah dalam kota Mekah sendiri. Hidup mereka yang subur aman tenteram selama ini dicabut oleh Allah, sehingga negeri menjadi kering, binatang ternak habis mati, tanam-tanaman tiada tumbuh, yaitu beberapa waktu lamanya setelah mereka mengusir Nabi ﷺ dari Mekah dan terpaksa pindah ke Madinah. Sampai suatu waktu Abu Sufyan sendiri meminta dengan sungguh-sungguh supaya Nabi Muhammad mempergunakan pengaruh doanya, memohonkan kepada Allah agar kemarau dan malapetaka itu dicabut oleh Allah.
Seketika terjadi kekacauan dalam kota Madinah sendiri ketika Sayyidina Utsman di-kepung dalam rumahnya oleh kaum pengacau, padahal beliaulah yang menjadi khalifah ketiga ketika itu.
Ibu orang yang beriman, Siti Hafshah binti Umar, istri Rasulullah ﷺ, dalam perjalanan mengerjakan haji ke Mekah. Ketika beliau dengar berita sedih itu, teringatlah beliau akan ayat ini. Keamanan telah dicabut Allah dari dalam negeri karena kufur dengan nikmat Allah. Maka terlepas daripada sebab turun ayat dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa ayat ini adalah undang-undang yang tetap dari Allah, bahwasanya dosa suatu masyarakat dari satu negeri bisa menyebabkan datangnya kutuk All&h kepada negeri itu. Mungkin dalam
negeri itu ada juga orang baik-baik; namun mereka telah terbawa rendong dan menjadi korban dari kesalahan orang-orang yang berbuat durjana.
Di dalam ayat ini Allah ada menyebut “Allah rasakan kepada mereka pakaian kelaparan (Libaasal juu'i)." Ini adalah satu ungkapan yang fasih sekali. Merasakan pakaian kelaparan. Padahal biasanya pakaian bukanlah dirasakan, melainkan dipakai. Tetapi kalau direnungkan, memang kelaparan itu bisa dilihat dipakai oleh yang menderita. Orang lapar tidak berketentuan lagi pakaiannya, mukanya pun pucat lesi. Orang yang lapar tidak segan-segan lagi memakai karung guni, bagor, kulit kayu terap, tikar tua, robekan kain kasur dan sebagainya seperti kita lihat di zaman pendudukan Jepang. Di waktu itu benar-benar kelaparan telah jadi pakaian tiap hari.
Ayat 113
“Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka semang rasul dari (kalangan) mereka sendiri, lalu mereka dustakan."
Begitulah sikap kaum musyrikin Quraisy menerima kedatangan Nabi Muhammad ﷺ sebagai rasul. Meskipun Nabi Muhammad itu adalah dari kalangan mereka sendiri, dari suku dan kabilah mereka, senenek semoyang, tidaklah mereka terima dengan baik, bahkan mereka tolak dan dustakan.
“Maka mengenallah kepada mereka adzab, sedang mereka adalah orang-orang yang zalim."
Artinya, tidak ada alasan yang benar yang dapat mereka kemukakan tentang apa sebab mereka mendustakan Nabi Allah itu. Dia adalah dari kalangan mereka sendiri. Dia adalah mereka kenal sejak dari masa kecilnya. Oleh sebab itu sudah sepatutnyalah mereka mendapat adzab siksaan dari Allah karena penolakan itu. Sebab perlakuan mereka itu adalah zalim, artinya jalan yang gelap. Sebab kalimat zalim yang kita artikan aniaya itu, pokok asal artinya ialah kegelapan, tidak tentu ujung pangkal. Sesuai dengan sikap kaum musyrikin itu, yang membantah dan yang mendustakan asal mendustakan saja. Maka tersebutlah di dalam riwayat yang dibawakan oleh al-Aufi yang diterimanya dari Ibnu Abbas yang telah kita sebutkan sebagai sebab turun ayat tadi, pernahlah penduduk Mekah yang zalim aniaya itu ditimpa kelaparan, sehingga sampai melarat dan kesepian. Sedang Nabi Muhammad dan kaum Muslimin yang dahulunya mereka hinakan itu, kian lama kian naik bintangnya, kian semarak kemuliaannya, sampai melebar dan meluas, sampai kemudian dapat menaklukkan negeri Mekah yang menyombong itu sendiri.
Ayat 114
“Maka makanlah olehmu apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu, dengan halal dan baik."
Ini diperingatkan oleh Allah kepada manusia, baik sebagai persiapan sebelum bahaya kelaparan dan ketakutan itu datang, supaya jangan sampai dia datang, atau setelah bahaya itu terlepas. Karena makanan yang halal dan yang baik, sangat besar pengaruhnya kepada jiwa; membuat jiwa jadi tenang. Tidak asal masuk perut saja, sehingga tidak mengkaji lagi halalnya dan baiknya.
Di sini disebut dua pokok yang terpenting, yaitu halal dan baik. Yang halal ialah yang tidak dilarang oleh agama; seumpama memakan daging babi, memakan atau meminum darah, memakan bangkai dan memakan makanan yang disembelih bukan karena Allah, semuanya itu telah dinyatakan haramnya. Kemudian itu disebut pula makanan yang baik, yaitu yang diterima oleh selera, yang tidak menjijikkan. Misalnya anak kambing yang telah disembelih adalah halal dimakan, tetapi kalau tidak dimasak terlebih dahulu, langsung saja dimakan daging mentah itu, mungkin sekali tidak baik.
Lantaran itu maka kata-kata yang baik atau dalam asal kata yang thayyib adalah ukuran dari kebiasaan kita sendiri-sendiri atau kemajuan masyarakat kita.
Selanjutnya diperingatkan “Dan syuku-rilah nikmat Allah." Kandungan kalimat Allah yang sedikit ini luas sekali maksudnya. Misalnya, penduduk suatu negeri yang sawahnya subur dapat menghasilkan padi sekian kuintal setiap tahun yang memuaskan. Sebabnya ialah karena tentunya pengairan. Maka sebelum bahaya datang, hendaklah selalu dijaga pengairan itu jangan sampai rusak, jangan bocor atau runtuh bandaran atau paritnya. Hendaklah dijaga hutan-hutan sekeliling jangan ditebangi kayu-kayunya sehingga menimbulkan erosi, habisnya bunga tanah sehingga menjadi tanah kering dan kalau hujan menjadi banjir sehingga pematang-pematang sawah menjadi rusak dan runtuh pula, atau padi yang sedang menguning menjadi hancur berantakan disebabkan banjir. Sampai kepada pemeliharaan peralatan persawahan, seumpama cangkul, bajak, luku, garu dan sabit. Memeliharanya baik-baik itu pun termasuk mensyukuri nikmat, yaitu memelihara baik-baik nikmat yang telah dikaruniakan Allah, jangan disia-siakan. Demikianlah hendaknya.
"Jika benar kepada-Nya kamu menyembah."
Tentang makanan yang halal, dijelaskan bahwa semuanya halal, asal dari sumber yang baik, bukan dari dicuri dan dirampok, bukan dari menipu dan merugikan orang lain.
Ayat 115
‘Tidak lain yang diharamkan-Nya atas kamu, hanyalah bangkai."
Yaitu segala ternak mati tidak disembelih.",Dan darah." Segala macam darah, walaupun darah dari binatang yang halal disembelih dan dimakan itu."Dan daging babi, dan apa yang disembelih, untuk yang lain dari Allah." Yaitu untuk berhala-berhala, meskipun yang kalimat zalim yang kita artikan aniaya itu, pokok asal artinya ialah kegelapan, tidak tentu ujung pangkal. Sesuai dengan sikap kaum musyrikin itu, yang membantah dan yang mendustakan asal mendustakan saja. Maka tersebutlah di dalam riwayat yang dibawakan oleh al-Aufi yang diterimanya dari Ibnu Abbas yang telah kita sebutkan sebagai sebab turun ayat tadi, pernahlah penduduk Mekah yang zalim aniaya itu ditimpa kelaparan, sehingga sampai melarat dan kesepian. Sedang Nabi Muhammad dan kaum Muslimin yang dahulunya mereka hinakan itu, kian lama kian naik bintangnya, kian semarak kemuliaannya, sampai melebar dan meluas, sampai kemudian dapat menaklukkan negeri Mekah yang menyombong itu sendiri.
Ayat 114
“Maka makanlah olehmu apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu, dengan halal dan baik."
Ini diperingatkan oleh Allah kepada manusia, baik sebagai persiapan sebelum bahaya kelaparan dan ketakutan itu datang, supaya jangan sampai dia datang, atau setelah bahaya itu terlepas. Karena makanan yang halal dan yang baik, sangat besar pengaruhnya kepada jiwa; membuat jiwa jadi tenang. Tidak asal masuk perut saja, sehingga tidak mengkaji lagi halalnya dan baiknya.
Di sini disebut dua pokok yang terpenting, yaitu halal dan baik. Yang halal ialah yang tidak dilarang oleh agama; seumpama memakan daging babi, memakan atau meminum darah, memakan bangkai dan memakan makanan yang disembelih bukan karena Allah, semuanya itu telah dinyatakan haramnya. Kemudian itu disebut pula makanan yang baik, yaitu yang diterima oleh selera, yang tidak menjijikkan. Misalnya anak kambing yang telah disembelih adalah halal dimakan, tetapi kalau tidak dimasak terlebih dahulu, langsung saja dimakan daging mentah itu, mungkin sekali tidak baik.
Lantaran itu maka kata-kata yang baik atau dalam asal kata yang thayyib adalah ukuran dari kebiasaan kita sendiri-sendiri atau kemajuan masyarakat kita.
Selanjutnya diperingatkan “Dan syuku-rilah nikmat Allah." Kandungan kalimat Allah yang sedikit ini luas sekali maksudnya. Misalnya, penduduk suatu negeri yang sawahnya subur dapat menghasilkan padi sekian kuintal setiap tahun yang memuaskan. Sebabnya ialah karena tentunya pengairan. Maka sebelum bahaya datang, hendaklah selalu dijaga pengairan itu jangan sampai rusak, jangan bocor atau runtuh bandaran atau paritnya. Hendaklah dijaga hutan-hutan sekeliling jangan ditebangi kayu-kayunya sehingga menimbulkan erosi, habisnya bunga tanah sehingga menjadi tanah kering dan kalau hujan menjadi banjir sehingga pematang-pematang sawah menjadi rusak dan runtuh pula, atau padi yang sedang menguning menjadi hancur be-rantakan disebabkan banjir. Sampai kepada pemeliharaan peralatan persawahan, seumpama cangkul, bajak, luku, garu dan sabit. Memeliharanya baik-baik itu pun termasuk mensyukuri nikmat, yaitu memelihara baik-baik nikmat yang telah dikaruniakan Allah, jangan disia-siakan. Demikianlah hendaknya.
"Jika benar kepada-Nya kamu menyembah."
Tentang makanan yang halal, dijelaskan bahwa semuanya halal, asal dari sumber yang baik, bukan dari dicuri dan dirampok, bukan dari menipu dan merugikan orang lain.
Ayat 115
“Tidak lain yang diharamkan-Nya atas kamu, hanyalah bangkai."
Yaitu segala ternak mati tidak disembelih.",Dan darah." Segala macam darah, walaupun darah dari binatang yang halal disembelih dan dimakan itu."Dan daging babi, dan apa yang disembelih, untuk yang lain dari Allah." Yaitu untuk berhala-berhala, meskipun yang disembelih itu sapi, kambing dan segala binatang ternak yang halal,
“Tetapi barangsiapa terpaksa, padahal dia tidak ingin dan tidak melewati batas, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Tegasnya, kalau terpaksa karena makanan yang lain tidak ada lagi, padahal kita sudah sangat lapar, dan bukan karena kita ingin akan makanan itu bolehlah atau rukhshah, dibolehkan kita memakannya. Melainkan sekadar untuk menghilangkan lapar saja. Tetapi jangan melewati batas, sudah kenyang dihantam juga. Maka sependapatlah sebagian besar dari ulama fiqih Islam, kalau kita sudah sangat lapar, hampir mati, padahal makanan lain tidak ada, hanyalah makanan-makanan yang haram itu saja (darah, daging babi, bangkai, sembelihan berhala), maka kalau kita mati lantaran tidak memakannya, berdosalah kita. Bisa dihukumkan sama dengan mati mem-bunuh diri. Demikianlah Pengampun Allah dan Penyayang-Nya kepada kita.
“Dan janganlah kamu ucapkan bagi batang yang disifatkan oleh lidahmu yang dusta,
Ayat 116
“Ini halal, ini haram," kaiena hendak mengada-adakan dusta atas nama Allah, sesungguhnya otang-orang yang mengada-adakan dusta atas nama Allah, tidaklah akan berbahagia."
Di ayat yang sebelumnya sudah dijelaskan mana-mana makanan yang haram dimakan. Tetapi orang-orang musyrikin Mekah menambah lagi beberapa binatang ternak yang mereka haramkan sendiri, sebagaimana telah disebutkan di dalam surah al-An'aam yang diturunkan di Mekah juga. Sebagaimana disebutkan misalnya di ayat 138, mereka ada menentukan kebun larangan, binatang larangan, dan pula binatang ternak yang mereka haramkan menungganginya, dan di ayat 139 ada disebutkan bahwa mereka membuat pula peraturan bahwa binatang yang masih dalam kandungan telah ditentukan hanya laki-laki yang boleh memakannya, sedang perempuan tidak boleh. Dan berbagai larangan yang lain, mereka bikin-bikin. Apatah lagi ada pula binatang yang disembelih untuk Allah, dan ada yang disembelih untuk berhala. Yang disembelih untuk Allah sampai juga kepada berhala, tetapi yang disembelih untuk berhala, tidak sampai kepada Allah (ayat 136).
Peraturan halal haram cara jahiliyyah itu tidak dianggap sah, dan orang-orang yang telah beriman tidak dapat menuruti, sebab peraturan itu adalah buatan mereka sendiri. Mereka adakan peraturan sendiri, lalu mereka katakan bahwa itu adalah peraturan dari Allah. Mereka mengada-adakan di atas nama Allah, perkara yang Ailah tidak pernah memerintahkan. Lantaran itu tidaklah mereka akan beroleh bahagia satu kejayaan atas kemenangan. Kalaupun ada kelihatan pada zahirnya mereka bahagia.
“(Hanya) perhiasan yang sedikit. Dan untuk mereka adalah adzab yang besar."
(ayat 117)