Ayat
Terjemahan Per Kata
كَمَآ
sebagaimana
أَنزَلۡنَا
Kami telah menurunkan
عَلَى
atas
ٱلۡمُقۡتَسِمِينَ
orang-orang yang membagi-bagi
كَمَآ
sebagaimana
أَنزَلۡنَا
Kami telah menurunkan
عَلَى
atas
ٱلۡمُقۡتَسِمِينَ
orang-orang yang membagi-bagi
Terjemahan
Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami (juga) telah menurunkan (azab) kepada orang yang memilah-milah (Kitab Allah),
Tafsir
(Sebagaimana Kami telah menurunkan) azab (kepada orang-orang yang membagi-bagi kitab Allah) yaitu Yahudi dan Nasrani.
Tafsir Surat Al-Hijr: 89-93
Dan katakanlah, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan. Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah), (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi. Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. Allah ﷻ memerintahkan Nabi-Nya untuk mengatakan kepada'manusia: Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan. (Al-Hijr: 89) Yakni yang jelas peringatannya. Ia memberi peringatan kepada manusia akan adanya azab yang pedih supaya jangan menimpa mereka karena mendustakannya, sebagaimana azab yang telah menimpa orang-orang terdahulu dari kalangan umat-umat yang silam yang mendustakan rasul-rasulnya, yaitu azab dan pembalasan yang diturunkan oleh Allah kepada mereka.
Firman Allah: yang membagi-bagi (Kitab Allah). (Al-Hijr: 90) Maksudnya, yang saling bersumpah di antara sesama mereka; mereka melakukan sumpah atau perjanjian pakta di antara sesama mereka untuk menentang para nabi, mendustakan, dan menyakitinya. Pengertiannya sama dengan yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya tentang berita kaum Saleh, yaitu: Mereka berkata, "Bersumpahlah kalian dengan nama Allah, bahwa kita sungguh-sungguh akan menyerangnya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari. (An-Naml: 49), hingga akhir ayat. Yakni kita akan membunuh mereka di malam hari dengan tiba-tiba. Mujahid mengatakan bahwa makna taqasamu ialah bersumpah, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh.Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati."(An-Nahl: 38) Bukankah kalian telah bersumpah dahulu (di dunia). (Ibrahim: 44) Itukah orang-orang yang kalian telah bersumpah bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah? (Al-A'raf: 49) Dalam kaitannya dengan tafsir ayat ini dapat dikatakan bahwa seakan-akan mereka tidak sekali-kali mendustakan sesuatu dari masalah dunia melainkan mereka bersumpah terhadapnya, sehingga mereka dinamakan kaum yang muqtasim.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, al-muqtasimun adalah kaum Nabi Saleh yang bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka akan membunuhnya di malam hari secara tiba-tiba bersama keluarganya. Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis dari Abu Musa, dari Nabi ﷺ, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya perumpamaanku dan risalah yang diutuskan oleh Allah kepadaku untuk menyampaikannya, sama dengan seorang lelaki yang datang kepada kaumnya, lalu ia berkata (kepada mereka), "Hai kaumku, sesungguhnya aku telah melihat pasukan musuh dengan mata kepalaku sendiri, dan sesungguhnya aku adalah orang yang memberikan peringatan dini kepada kalian, maka selamatkanlah diri kalian, selamatkanlah diri kalian!" Maka sebagian dari kaumnya ada yang menaati peringatannya, lalu mereka pergi di malam harinya dengan tenang untuk menyelamatkan diri, maka selamatlah mereka (dari serangan musuh).
Dan sebagian orang dari kaumnya mendustakannya, sehingga mereka tetap berada di tempatnya pada pagi harinya, akhirnya pasukan musuh datang menyerang mereka di pagi harinya sehingga binasalah mereka karena dibunuh habis-habisan oleh musuh. Yang demikian itulah perumpamaan orang yang taat kepadaku dan mengikuti kebenaran yang aku sampaikan, dan perumpamaan orang yang durhaka kepadaku serta mendustakan kebenaran yang aku sampaikan.
Firman Allah ﷻ: (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi. (Al-Hijr: 91) Yakni mereka menjadikan Kitab yang diturunkan kepada mereka terbagi-bagi. Dengan kata lain, mereka percaya kepada sebagiannya dan ingkar kepada sebagian lainnya. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: mereka menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi. (Al-Hijr: 91) Mereka adalah ahli kitab, mereka membagi-bagi kitabnya menjadi beberapa bagian, lalu mereka percaya kepada sebagiannya dan ingkar kepada sebagian lainnya.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Al-A'masy, dari Abu Zabyan, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: mereka menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi. (Al-Hijr: 91) Bahwa mereka adalah ahli kitab, mereka membagi-baginya menjadi beberapa bagian lalu mereka beriman kepada sebagiannya dan ingkar kepada sebagian yang lainnya. Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Al-A'masy, dari Abu Zabyan, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah). (Al-Hijr: 90) Bahwa mereka beriman kepada sebagiannya dan kafir kepada sebagian yang lainnya, mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan, Ad-Dahhak, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, serta yang lainnya hal yang semisal. Al-Hakam ibnu Aban telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: mereka menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi. (Al-Hijr: 91) Bahwa yang dimaksud dengan 'idin ialah sihir. Ikrimah mengatakan, al-'idah artinya sihir, menurut dialek orang-orang Quraisy; mereka mengatakan al-adihah kepada wanita penyihir.
Mujahid mengatakan, 'idwahun a'ddun menurut mereka artinya sihir. Mereka mengatakan pula tukang tenung, juga mengatakannya dongengan-dongengan orang-orang dahulu. Ata mengatakan bahwa sebagian dari mereka mengatakan sihir, ada yang mengatakannya gila, ada pula yang mengatakannya tukang tenung, yang demikian itulah makna lafaz 'idin. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ad-Dahhak dan lain-lainnya. Muhammad ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Al-Walid ibnul Mugirah menghimpun sejumlah orang dari kalangan kabilah Quraisy; dia adalah orang yang terhormat di kalangan mereka, saat itu telah datang musim haji.
Lalu Al-Walid ibnul Mugirah berkata kepada mereka, "Hai orang-orang Quraisy, sesungguhnya musim haji tahun ini telah tiba, dan sesungguhnya para delegasi dari kalangan orang-orang Arab semuanya akan datang bertamu kepada kalian, mereka telah mendengar perihal urusan teman kalian ini (yakni Nabi Muhammad ﷺ). Maka bersepakatlah kalian dalam suatu pendapat sehubungan dengannya, dan janganlah kalian bertentangan, sehingga sebagian dari kalian mendustakan dengan sebagian yang lainnya, dan pendapat sebagian dari kalian bertentangan dengan pendapat sebagian yang lainnya." Lalu mereka berkata, "Dan engkau, hai Abdu Syams (nama julukan Al-Walid ibnul Mugirah), kemukakanlah pendapatmu yang nanti akan kami jadikan sebagai pegangan." Al-Walid balik bertanya, "Tidak, tetapi kalianlah yang mengatakannya, nanti saya akan menurutinya." Mereka berkata, "Kami katakan dia adalah tukang tenung." Al-Walid menjawab, "Dia bukanlah tukang tenung." Mereka berkata, "Dia gila." Al-Walid berkata, "Dia tidak gila." Mereka berkata, "Dia seorang penyair." Al-Walid berkata, "Dia bukan penyair." Mereka berkata, "Dia seorang penyihir." Al-Walid berkata, "Dia bukan penyihir." Mereka berkata, "Lalu apakah yang harus kami katakan?" Al-Walid berkata, "Demi Allah, sesungguhnya ucapan Muhammad benar-benar manis.
Tidak sekali-kali kalian mengatakan sesuatu darinya melainkan pasti diketahui bahwa perkataanmu itu batil. Dan sesungguhnya pendapat yang paling dekat untuk kalian katakan sehubungan dengannya ialah dia adalah seorang penyihir." Akhirnya mereka berpisah dengan kesepakatan yang bulat akan hal tersebut dalam bersikap terhadap Nabi ﷺ Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya sehubungan dengan mereka: (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi. Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (Al-Hijr: 91-93) Yang dimaksud dengan mereka ialah orang-orang yang mengatakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ Atiyyah Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Umar sehubungan dengan firman-Nya: Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (Al-Hijr: 92-93) Yakni tentang kalimah 'Tidak ada Tuhan selain Allah'.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid sehubungan dengan firman Allah ﷻ: Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (Al-Hijr: 92-93) Yaitu tentang kalimah 'Tidak ada Tuhan selain Allah'. Imam Turmuzi, Abu Ya'la Al-Mausuli, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan melalui hadis Syarik Al-Qadi, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Basyir ibnu Nuhaik, dari Anas, dari Nabi ﷺ sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua. (Al-Hijr: 92) Bahwa yang dipertanyakan kepada mereka ialah tentang kalimah 'Tidak ada Tuhan selain Allah'.
Ibnu Idris telah meriwayatkannya dari Lais, dari ibnu Basyir, dari Anas secara mauquf. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Hilal, dari Abdullah ibnu Hakim. Imam Turmuzi serta lain-lainnya telah meriwayatkannya pula melalui hadis Anas secara marfu. Abdullah (yakni Ibnu Mas'ud) mengatakan, "Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan selain Dia, tiada seorang pun di antara kalian melainkan akan diajak berbicara secara tersendiri oleh Allah pada hari kiamat nanti, sebagaimana seseorang di antara kalian memandang bulan di malam purnama.
Lalu Allah ﷻ berfirman, 'Hai anak Adam, apakah yang memperdayakanmu (berbuat durhaka) terhadap-Ku. Hai anak Adam, apakah yang telah engkau lakukan? Hai anak Adam, apakah engkau memperkenankan seruan para rasul?' ." Abu Ja'far telah meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (Al-Hijr: 92-93) Di hari kiamat kelak Allah menanyai semua hamba tentang dua perkara, yaitu tentang apa yang mereka sembah, dan apakah mereka memperkenankan ajakan para rasul.
Menurut Ibnu Uyaynah, ditanyakan tentang amal perbuatan dan harta benda. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abul Hawari, telah menceritakan kepada kami Yunus Al-Hazza, dari Abu Hamzah Asy-Syaibani, dari Mu'az ibnu Jabal yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Hai Mu'az, sesungguhnya seseorang itu akan ditanyai pada hari kiamat tentang semua usahanya hingga tentang celak matanya, dan tentang serpihan tanah liat yang ada di jari tangannya.
Semoga tidak dijumpai di hari kiamat nanti ada orang lain yang lebih bahagia daripada kamu dengan apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (Al-Hijr: 92-93) Kemudian Allah ﷻ berfirman: Pada waktu itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya. (Ar-Rahman: 39) Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah tidak menanyai mereka dengan pertanyaan. Apakah kalian mengerjakan anu dan anu?" Karena sesungguhnya Dia lebih mengetahui hal itu daripada mereka sendiri. Melainkan Dia menanyai mereka dengan pertanyaan, "Mengapa kalian mengerjakan anu dan anu?""
Memperingatkan kaum kafir Mekah tentang datangnya azab
akibat penolakan mereka terhadap dakwah Nabi Muhammad, Allah
berfirman, Sebagaimana Kami telah memberi kamu peringatan, sesungguhnya Kami telah menurunkan azab kepada orang yang memilahmilah Kitab Allah dan menyifatinya dengan berbagai macam sifat yang
batil, yaitu orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi
ke dalam berbagai macam penamaan, seperti sihir, syair, tenung, atau
lainnya, dan dengan berbagai sikap; sebagiannya mereka benarkan dan
sebagian yang lain mereka ingkari. Memperingatkan kaum kafir Mekah tentang datangnya azab
akibat penolakan mereka terhadap dakwah Nabi Muhammad, Allah
berfirman, Sebagaimana Kami telah memberi kamu peringatan, sesungguhnya Kami telah menurunkan azab kepada orang yang memilahmilah Kitab Allah dan menyifatinya dengan berbagai macam sifat yang
batil, yaitu orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi
ke dalam berbagai macam penamaan, seperti sihir, syair, tenung, atau
lainnya, dan dengan berbagai sikap; sebagiannya mereka benarkan dan
sebagian yang lain mereka ingkari.
Ayat ini menerangkan bahwa sebagaimana Allah telah meng-anugerahkan as-sab'ul-matsani kepada umat Nabi Muhammad, Dia juga telah menganugerahkan yang serupa itu kepada umat-umat sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabi yang telah diutus kepada mereka. Seperti halnya sikap dan tindakan umat yang terdahulu terhadap kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka, demikian pula sikap orang-orang musyrik di Mekah yang telah menamakan Al-Qur'an dengan nama yang bermacam-macam, seperti syair, sihir, dongeng-dongeng orang purbakala, buatan Muhammad, dan sebagainya.
Para mufasir berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan perkataan "al-muqtasimin" (orang yang membagi-bagi).
Pendapat pertama mengartikan al-muqtasimin dengan orang-orang kafir yang telah bersumpah bahwa Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati. Perkataan ini sesuai dengan firman Allah swt:
Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah yang sungguh-sungguh, "Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati." Tidak demikian (pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (an-Nahl/16: 38)
Dan firman Allah swt:
Itukah orang-orang yang kamu telah bersumpah, bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah? (al-A'raf/7: 49)
Pendapat kedua mengartikan al-muqtasimin dengan "orang-orang yang membagi-bagi" kitab Allah, yaitu mengurangi, menukar, dan menambah isi kitab Allah yang telah diturunkan kepada para rasul-Nya. Dasar pendapat mereka ialah firman Allah swt:
?Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang lain)?... (al-Baqarah/2: 85)
Dan firman Allah swt:
(Yaitu) di antara orang Yahudi, yang mengubah perkataan dari tempat-tempatnya? (an-Nisa'/4: 46)
Pendapat ketiga mengartikan al-muqtasimin dengan "orang-orang yang membagi-bagi". Maksudnya ialah mereka menamakan Al-Qur'an sesuai dengan nama yang mereka ingini, sehingga orang tidak mempercayai sebagai kitab yang diturunkan Allah. Alasan mereka ialah firman Allah swt:
Bahkan mereka mengatakan, "(Al-Qur'an itu buah) mimpi-mimpi yang kacau, atau hasil rekayasanya (Muhammad), atau bahkan dia hanya seorang penyair. (al-Anbiya/21: 5)
Firman Allah swt:
Lalu dia berkata, "(Al-Qur'an) ini hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). (al-Muddatstsir/74: 24)
Setiap pendapat di atas mempunyai dalil-dalil yang kuat, tetapi yang lebih tepat dan sesuai dengan ayat-ayat ini ialah pendapat ketiga, apalagi jika dihubungkan dengan ayat-ayat selanjutnya, yaitu firman Allah yang artinya: "Yaitu orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi".
Al-Maragi, menukil pendapat Ibnu Abbas, mengatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menjadikan pula Al-Qur'an itu terbagi-bagi, ada bagian yang mereka percayai, dan ada pula bagian yang mereka ingkari.
Hasan al-Basri berpendapat bahwa orang-orang musyrik Mekah telah membagi-bagi jalan yang akan dilalui manusia, kemudian mereka berdiri di jalan yang akan dilalui manusia dan menakut-nakuti orang-orang yang akan menempuh jalan yang telah dibentangkan oleh Nabi ﷺ
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PENDUDUK AIKAH DAN AL-HIJR
Ayat 78
“Dan sesungguhnya penduduk Alkah itu adalah sangat zalim."
Penduduk Aikah ialah kaum Nabi Syu'aib. Setengah ahli tafsir mengatakan bahwa Nabi Syu'aib itu datang kepada dua kaum, yaitu Madyan dan Aikah. Hanya seorang Nabi Syu'aiblah di antara nabi-nabi yang terdahulu itu yang mendatangi dua kaum. Tetapi setengah ahli tafsir lagi mengatakan bahwa orang Madyan itulah juga yang disebut orang Aikah. Sebab arti Aikah ialah tempat yang banyak tumbuh pohon kayu karena subur.
Ayat 79
“Maka Kami balas kepada mereka."
Karena kezaliman kaum itu, mereka telah mendapat balasan Allah yang setimpal, sebagaimana telah diterangkan juga di dalam surah Huud dan surah yang lain-lain. "Dan sesungguhnya keduanya itu." Yaitu kaum Aikah dan kaum Nabi Luth yang telah dibinasakan seperti tersebut di ayat-ayat sebelumnya.
“Adalah dijalan raya yang tenang “
Yang setiap waktu dapat dilalui oleh kafilah dan dapat dilihat dengan mata serta di-perhatikan.
Ayat 80
“Dan sesungguhnya telah mendustakan penduduk al-Hijr akan rasul-rasul."
Sebagaimana telah diriyatakan pada pendahuluan tafsir surah ini, arti al-Hijr ialah batu gunung atau batu besar. Tetapi menjadi nama juga dari negeri tempat berdiam kaum Tsamud. Terkenal dan selalu disebutkan di dalam Al-Qur'an bahwa kaum itu amat pandai membuat bangunan rumah-rumah yang kukuh dan batu-batu gunung itu. Disebut di sini bahwa mereka telah mendustakan rasul-rasul, padahal rasul yangdiutus kepada mereka hanya seorang,yaitu Nabi Shalih. Maka dapatlah dipahamkan bahwa suatu kaum yang mendustakan seorang rasul Allah berarti mendustakan juga akan sekalian rasul, sebab ajaran yang dibawa oleh sekalian rasul Allah itu hanyalah satu juga hakikatnya. Membantah Shalih berarti membantah Musa. Mengingkari risalah Muhammad, sama juga dengan mengingkari risalah Isa al-Masih dan seterusnya.
Ayat 81
“Dan telah Kami datangkan kepada mereka tanda-tanda."
Satu di antara tanda-tanda itu ialah unta besar yang terkenal, yang dinamai Unta Allah (Naaqat Allah).
“Maka adalah mereka itu berpaling darinya."
Mungkin sebab yang utama dari mereka memalingkan diri dari peringatan nabi mereka ialah lantaran hidup yang mewah dan kepandaian yang tinggi, sehingga memandang enteng saja kepada seruan rasul Allah. Sebab di antara keistimewaan mereka ialah
Ayat 82
“Dan adalah mereka memahat rumah-rumah di gunung-gunung dengan keadaan aman."
Letak tanah mereka yang berlembah dan bergunung dan berudara bagus, dan kekayaan serta kemakmuran, menyebabkan kepandaian memahat batu menjadi tinggi. Batu gunung yang terjal itu, tentunya terdiri dari batu-batu granit yang keras. Itu telah mereka pahat dan dikeping-keping dijadikan dinding rumah, yang tegak dengan megahnya. Mereka merasa aman tenteram, tinggal dalam rumah-rumah yang indah itu. Tetapi karena hidup yang telah serba mewah, kebenaran tidak diingat lagi. Nasihat Nabi Shalih tidak diacuhkan. Sebagaimana disebut di dalam surah Huud, surah asy-Syu'araa' dan lain-lain, mereka bunuh unta Allah, mereka juga bersekongkol beberapa orang hendak membunuh rasul Allah, Shalih.
Ayat 83
“Lalu dikenallah, mereka oleh adzab di waktu pagi-pagi."
Di sini tampak bahwa pembangunan dan pembinaan rumah-rumah yang indah mewah, bagaimanapun giatnya dan bagaimanapun megahnya, tidaklah berarti kalau sekiranya tidak disertai dengan pembangunan ruhari yaitu hubungan diri pribadi dengan Allah. Adzab siksaan Ilahi bisa saja datang dengan tiba-tiba, entah berlaku di waktu petang hari, entah berlaku di waktu pagi hari. Kadang-kadang dengan tidak disadarinya, kesombongan manusia itu sendirilah yang meruntuhkan apa yang mereka bina.
Kehendak Allah berlaku menurut apa yang telah digariskan-Nya.
Sebagaimana tersebut di dalam surah al-Haaqqah ayat 5, dan surah Huud ayat 67 dan pada surah yang lain, mereka dibinasakan dengan pekik atau sorak yang amat keras dan dahsyat dari malaikat Demikian keras sorak dan pekikan malaikat itu, sehingga terbongkar tulang belulang mereka dari badan. Dan negeri mereka pun hancur.
Ayat 84
“Maka tidaklah menolong kepada mereka segala apa yang telah mereka usahakan."
Rumah-rumah bertingkat, gedung-gedung dari batu berpahat, habis runtuh. Bangunan-bangunan yang didirikan dengan susah payah tidak dapat ditolong. Maka tersebutlah di dalam beberapa hadits, bahwasanya Nabi kita Muhammad ﷺ ke Peperangan Tabuk, yaitu perang jauh yang terakhir beliau pimpin. Di tengah jalan berjumpalah bekas negeri al-Hijr dari kaum Tsamud itu. Di sana berjumpa air tergenang. Lalu sahabat-sahabat Rasulullah mencoba hendak memasak air di tempat itu dan juga hendak mengisi tempat-tempat air mereka. Setelah diketahui oleh Rasulullah, beliau suruh tumpahkan air itu kembali dan pecahkan periuk tempat air itu dimasak. Dan beliau larang berhenti lama di situ. Padahal jarak kebinasaan kaum Tsamud di negeri al-Hijr dengan zaman Nabi kita Muhammad ﷺ sudah ribuan tahun. Sampai beliau berkata menurut hadits yang dirawikan oleh Bukhari dari Ibnu Umar,
“Janganlah kamu masuk ke tempat kaum yang tersiksa itu, melainkan dengan menangis, jika kamu tidak menangis, buatlah tangisan, supaya jangan sampai menimpa pula kepada kamu seperti yang menimpa kepada kaum itu." (HR Bukhari)
Ayat 85
“Dan tidaklah Kami menjadikan semua langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar."
Artinya bukan dijadikan dengan semau-mau, dengan kucar-kacir, melainkan dengan serba teratur, teratur yang benar."Dan sesungguhnya saat itu pasti datang." Saat ialah Kiamat, baik Kiamat kecil dengan lahirnya seseorang ke dunia dan kemudian mati, atau Kiamat menengah besar yaitu timbulnya suatu kerajaan atau suatu bangsa, kemudian runtuh. Atau Kiamat kubra, yaitu semua langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya itu pun akan hancur. Lantaran segala alam ini ada permulaan, pun ada kesudahan. Ada masa naik dan ada masa menurun, ada masa datang dan ada masa pergi, maka dapatlah segala kejadian di sekeliling ditinjau dengan ukuran yang demikian. Kalau kiranya orang-orang kafir itu tidak mau percaya kepada kebenaran dan keras bertahan pada pendiriannya yang salah, namun sudahlah pasti akan datang saat kejatuhannya.
“Lantaran itu memberi maaflah dengan pemaafan yang elok."
Inilah peringatan Allah kepada Rasul-Nya. Memberi maaflah dan berlapang dadalah. Jangan lekas marah melihat keras kepala mereka. Mereka bersikap demikian ialah karena tidak ingat bahwa segala sesuatu menunggu saat. Mereka pasti kalah. Pendirian mereka pasti datang saatnya tidak dapat dipertahankan lagi. Betapapun mereka berkeras mulut, namun ujung perjalanan mereka sudah terang.
Ayat 86
“Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Mahakuasa Menjadikan. Yang Maha Mengetahui"
Perbanyaklah maaf! Betapapun mereka menentang, namun Allah Yang Mencipta segala sesuatu telah lebih dahulu mengetahui sehingga mana, sejauh mana kekuatan mereka. Allah telah lebih dahulu mengetahui mana yang saleh dari mereka dan mana yang thalih.
Ayat 87
"Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada engkau teguh dari yang diulang-ulang dan Al-Qur'an yang agung."
Diingatkan oleh Allah bahwa dalam hebatnya perjuangan menegakkan ajaran Allah dan bagaimana pula tantangan dari kaum beliau sendiri, namun Nabi kita Muhammad ﷺ telah diberi bekal atau senjata ruhari oleh Allah yaitu, yang terpenting sekali, tujuh yang diulang-ulang, yaitu surah al-Faatihah, yang terdiri daripada tujuh ayat ialah modal perjuangan yang pertama. Dalam ketujuh ayat yang diulang-ulang, tidak kurang tujuh belas kali sehari semalam dalam shalat yang fardhu, ditambah lagi dengan setiap rakaat dari setiap shalat yang sunnah (nawafil), di daiamnyalah tersimpul Pandangan Hidup Seorang Muslim. Al-Faatihah adalah sebagian atau satu surah saja dari Al-Qur'an, tetapi dia adalah al-Faatihah, yaitu pembuka dari Al-Qur'an, dan dia pun “Ummul Kitab" ibu dari kitab Al-Qur‘an. Itulah sebabnya maka disebut terlebih dahulu tujuh yang diulang-ulang, kemudian baru disebut Al-Qur'an yang agung. Sebab sekalian isi Al-Qur'an itu pada hakikatnya bisa dihimpunkan ke dalam al-Faatihah (lihat kembali tasfir surah al-Faatihah). Sebab di sanalah pangkal i'tikad, yaitu tauhid. Maka di dalam menghadapi kewajibanmu memimpin kaummu dengan sabar, sekali-kali janganlah dilupakan al-Faatihah itu sebagai pendirian hidup.
Ayat 88
“Janganlah engkau perpanjang pandang kedua matamu, kepada nikmat yang Kami berikan dia kepada beberapa golongan dari antara mereka."
Mentang-mentang ada di antara mereka yang kaya raya, hidup mewah dan berbangga dengan harta benda mereka, maka engkau wahai Utusan-Ku, janganlah sampai terpesona oleh itu. Selama engkau tidak tunduk atau silau kepada mereka lantaran mereka kaya raya, selama itu pula mereka tidak akan dapat memasukkan pengaruhnya kepada engkau. Kebanyakan, orang yang lemah imannya, menjadi kendur perjuangannya sebab disilaukan orang dengan harta benda. Ada orang yang menjadi merasa rendah harga diri mentang-mentang berhadapan dengan orang kaya. Namun engkau ya Utusan-Ku, janganlah sampai demikian. Apabila mereka sudah tahu bahwa engkau tidak bisa dibeli atau engkau yang penting ialah menegakkan agama, bukan mencari harta, mereka pasti tunduk. Sebab seorang kaya merasa dirinya lebih tinggi ialah karena si miskin merasa dirinya lebih rendah."Dan janganlah engkau berduka cita tentang hal merekaMisalnya karena mereka tidak mau menerima kebenaran dan tetap dalam kekafirannya. Biarkan mereka, sampai mereka berjumpa dengan jalan buntu dalam kesombongan hidup.
“Dan rendahkanlah sayapmu terhadap orang-orang yang beriman."
Kepada yang beriman itulah engkau merendahkan sayap, menunjukkan kasih dan sayang, tidak peduli apakah dia kaya ataupun dia miskin. Atau apakah dia seorang tuan atau seorang hamba sahaya. Sebab orang-orang yang telah beriman inilah yang bersedia sehidup semati dengan engkau dalam menempuh suka dan duka.
Adakah tuan lihat induk ayam seketika melindungi anak-anaknya dengan sayapnya, seketika terancam musuh atau karena sangat panas? Adakah tuan lihat burung merendahkan sayap melindungi telurnya yang hendak menetas? Maka dan sinilah diambil kata merendahkan sayap yang disuruhkan Allah kepada Rasul-Nya,
Yaitu agar rasul menjadi pelindung dan menyelimuti umatnya dengan sayap rahmatnya, terutama umat-umat yang kelihatan lemah pada Nabi hendaklah hidup di tengah-tengah mereka, merasakan apa yang mereka rasakan. Dan ini dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ, sehingga bagi beliau sama saja penyelenggaraannya kepada sahabat-sahabatnya yang lebih kuat dengan yang dianggap lemah dalam masyarakat. Kedudukan Bilal dengan Abu Bakar sama dalam majelis Nabi ﷺ. Oleh sebab itu mereka pun bersikap demikian pula kepada Nabi ﷺ.
Ayat 89
“Dan katakanlah, “Sesungguhnya aku ini ialah pemberi ancaman yang terang."
Di dalam memberi peringatan kepada orang yang tidak mau beriman, bahwa adzab neraka akan menimpa dirinya, siksa Allah akan dirasakannya, nasib malang yang tidak dapat dielakkan, maka aku ini tidak boleh sembunyi-sembunyi. Aku mesti menyatakannya terus terang, jelas, dan nyata. Dalam hal menyampaikan ancaman Ilahi itu, aku tidak boleh tenggang-menenggang. Katakanlah demikian hai Utusan-Ku.
Ayat 90
“Sebagaimana telah Kami turunkan siksa kepada orang-orang yang membagi-bagi."
Ayat 91
“Yang telah menjadikan mereka akan Al-Qur'an bertumpuk-umpuk."2
Di ayat 89 Rasulullah saut disuruh menegaskan bahwa dia wajib menyampaikan ancaman Allah kepada siapa yang menentang hukum Allah. Dalam hal ini dia harus bersikap terus terang. Mengancam dengan terang. Dan ancaman ini pun telah pernah juga beliau disuruh menyampaikannya dengan terus-terang kepada orang-orang yang membagi-bagi. Siapa orang-orang yang membagi-bagi itu? Dan apa yang mereka bagi-bagikan? Mereka ialah pemuka-pemuka Quraisy, orang-orang hartawan, disegani orang dan sangat berpengaruh. Merekalah yang dengan keras menentang Rasulullah ﷺ di Mekah. Itulah Ash bin Wail, Utaibah dan Syatbah, keduanya anak Rabf ah, Abu Jahal bin Hisyam, an-Nadhr bin Harits, Umayyah bin Khalaf, Munabbih bin al-Hajjaj dan beberapa orang lain. Mereka dengan sombongnya telah membagi-bagi daerah pengaruh dalam kota Mekah itu. Si anu mewilayahi kampung anu. Si fulan menguasai daerah anu. Daerah-daerah yang tidak ditentukan bagi mereka masing-masing, mereka bertanggung jawab menghalangi orang datang kepada Nabi ﷺ buat mendengar Al-Qur'an. Terutama terhadap orang yang datang dari tempat-tempat jauh. Mereka itu pulalah yang telah mengumpuk-umpuk Al-Qur'an. Kata mereka bahwa isi Al-Qur'an itu seumpuk sihir, seumpuk syi'ir seumpuk kahanah (tenung) dan lain-lain. Dan mereka tidak mau mengakui bahwa Al-Qur'an itu nur bagi jiwa dan hudan atau petunjuk menempuh jalan menuju Allah.
Orang-orang itu, pemuka-pemuka Quraisy itu, telah diancam terus-terang oleh Rasulullah ﷺ seketika masih di Mekah, bahwa kalau mereka masih terus-menerus bersikap menentang dengan kasar juga, mereka akan celaka. Pasti celaka. Tetapi mereka tiada peduli. Maka benar-benarlah mereka semuanya dan beberapa puluh kawan-kawan mereka yang lain binasa semua di Peperangan Badar.
Ayat 92
“Maka demi Tuhanmu! Sesungguhnya akan Kami tanyai mereka itu sekalian."
Ayat 93
“Dari hal apa yang mereka kerjakan."
Setelah kesengsaraan dunia dan kekalahan yang mereka derita di Perang Badar, sampai tewas semuanya, di akhirat kelak pun mereka akan ditanyai dan diperiksa dari hal apa yang telah mereka perbuat menentang agama itu.
Ayat 94
“Sebab itu, jalan luruslah engkau dengan apa yang diperintahkan kepada engkau “
Jangan peduli akan hambatan dan rintangan mereka.
“Dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrikin."
Sebab bagaimanapun seruan yang hendak engkau sampaikan, namun mereka tidak juga hendak beriman.
Ayat 95
“Sesungguhnya Kami akan memelihana engkau dari orang-orang yang mempenotok-otokkanitu."
Bagaimana mereka mengolok-olok dan mengejek, tidaklah itu akan berkesan kepada perjuanganmu yang besar ini. Malahan merekalah sebagian besar dari tukang mengolok-olok itu yang binasa di dalam Peperangan Badar yang terkenal dan tidak mereka sangka-sangka itu, yaitu
Ayat 96
“Yang telah mengada-ada bersama Allah akan Tuhan yang lain. Mereka kelak akan tahu sendini."
Mereka kelak akan tahu sendiri, dari sebab mereka memperserikatkan yang lain dengan Allah, betapa adzab siksa yang akan mereka derita di akhirat esok. Sebab memperserikatkan Allah dengan yang lain, adalah induk dari segala dosa, sehingga tidak dapat diampuni.
Kemudian, sebagai penawar hati Rasulullah ﷺ Allah membujuk beliau dengan firman-Nya,
Ayat 97
“Dan sesungguhnya Kami tahu, bahwa engkau, sempit dadamu lantaran apa yang mereka percakapkan."
Dituduh gila, tukang sihir, tukang tenung; dikatakan akan putus keturunan (abtar), karena tidak beranak laki-laki. Diriwayatkan penyebar kabar bohong dan lain-lain. Sebagai manusia pastilah Rasul kadang-kadang merasa sempit dada, artinya merasa sakit hati, iba hati, karena serangan-serangan yang demikian terhadap dirinya. Malahan dalam beberapa ayat telah kita ketahui, pernah terlintas dalam ingatan beliau, lebih baik mati saja, lompati tebing curam. Semuanya tidaklah dianggap sebagai kesalahan dari beliau, karena rasa-rasa yang demikian termasuk “jibillat" manusia. Yang pasti ada pada setiap manusia yang berperasaan. Rasa sedih kehilangan yang dicintai, rasa iba hati karena diejek dan diolok-olok, rasa marah karena dihinakan, semuanya itu termasuk perangai asli manusia, yang tidak bisa dikikis dan tidak dapat dihilangkan. Cuma akal budi manusia disuruh mengendalikan dirinya, sehingga rasa-rasa yang demikian jangan sampai mendorongnya akan bersikap yang salah. Maka perasaan hati luka, atau dada sempit lantaran celaan dan hinaan orang-orang yang mempercakapkannya itu telah diketahui oleh Allah, dan Allah tetap melindunginya. Dan untuk menguatkan jiwa menghadapi perjuangan, Allah ingatkan kepada beliau.
Ayat 98
“Maka bertasbihlah, dengan memuji Allah engkau, dan jadilah engkau dari orang-orang yang bersigud."
Bertasbih memuji Allah, dan sujud kepada-Nya, Dekati Allah terus. Asalkan engkau tetap membuat hubungan yang rapat dengan Ilahi, tidak suatu pun di dunia ini yang akan dapat menggoncangkan engkau dan mengganggu engkau.
Ayat 99
“Dan sembahlah Tuhanmu, sampai datang kepadamu yakin."
Jangan berhenti-henti menyembah Allah, baik secara shalat atau secara dzikir, yaitu mengingat Dia selalu waktu dalam segala usaha dan pekerjaan. Sampai datang yakin. Apa arti yakin di ayat ini?
Keterangan yang masyhur dari ahli-ahli tafsir ialah sampai datang maut. Karena maut itu yakin akan datang, pasti ditempuh. Artinya sampai mati jangan lepas dari beribadah. Dengan demikian jiwa yang lemah jadi kuat. Betapapun banyak penderitaan yang tidak teratasi lagi oleh kekuatan kita sebagai manusia, namun dengan beribadah jiwa kita menjadi tabah, sebab sandaran kita adalah Allah sendiri. Kita mendapat keyakinan bahwa segala yang terjadi ini adalah atas kehendak Allah jua, baru bisa terjadi. Allah tidak akan mengecewakan hamba-Nya, Pegang pendirian demikian sampai engkau mati.
Ada juga yang menafsirkan lurus saja. Ibadah terus kepada Allah, sampai engkau yakin, jangan berhenti. Dan kalau engkau telah yakin, bagaimana? Jawabnya ialah, “Kalau engkau telah yakin lantaran bersungguh-sung-guhnya engkau beribadah, niscaya engkau tidak menghentikan ibadah lagi." Ditegakkan orang beribadah misalnya, engkau tentu tidak akan mau berhenti lagi, sebab engkau mengerjakannya dengan yakin. Bukan seperti perkataan setengah orang yang sesat pahamnya, yang mengatakan “Saya sekarang telah yakin, sebab itu saya tidak hendak beribadah lagi." Tandanya bahwa dia belum sekali juga merasakan apa arti keyakinan itu.
Orang yang mempersenda-sendakan agama atau yang hendak menyimpangkannya dari maksudnya yang asal dan ada pula yang berkata bahwa beribadahlah kepada Allah sampai telah datang rasa yakin. Kalau hati sudah mulai yakin katanya — ibadah itu tidak perlu lagi. Ada di antara mereka yang mengatakan bahwa beribadah, shalat, puasa dan sebagainya itu hanyalah amalan orang yang sedang baru mencari-cari. Kalau yang dicari telah dapat, yaitu keyakinan, guna apa beribadah lagi. Paham ini sudah nyata sesatnya. Sebab tidak ada orang yang lebih yakin daripada Nabi kita Muhammad ﷺ dan para sahabat. Tidak pernah seorang pun di antara mereka menghentikan ibadahnya, walaupun keyakinan mereka akan Allah sudah tidak sedikit jua diragukan lagi.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh ad-Dailami dan al-Hakim dan lain-lain dari Abu Muslim al-Khaulani, setelah rasu-lullah ﷺ menerima wahyu ayat-ayat ini, beliau berkata,
“Tidaklah Allah, mewahyukan kepadaku supaya aku mengumpul harta, dan supaya aku masuk menjadi salah seorang saudagar, tetapi diwahyukannya kepadaku supaya engkau bertasbih memuji Allah engkau, dan hendaklah engkau termasuk dari orang-orang yang bersujud, dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yakin." (HR ad-Dailami dan al-Hakim)
Demikianlah wahyu Allah kepada Rasul-Nya,yangakan menjadi pegangan dan pedoman di dalam menghadapi kewajiban menegakkan
titah Ilahi di muka orang-orang yang ingkar dan tidak percaya. Pedoman dan pegangan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya ini pulalah yang selalu patut menjadi pegangan kita umat Muhammad ﷺ yang tetap tidak pernah padam cita-citanya menegakkan agama Allah dalam dunia ini. Sampai datang keyakinan yang sejati, yaitu mati.