Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّا
sesungguhnya Kami
نَحۡنُ
Kami
نَزَّلۡنَا
Kami menurunkan
ٱلذِّكۡرَ
peringatan
وَإِنَّا
dan sesungguhnya Kami
لَهُۥ
baginya/kepadanya
لَحَٰفِظُونَ
penjaga/pemelihara
إِنَّا
sesungguhnya Kami
نَحۡنُ
Kami
نَزَّلۡنَا
Kami menurunkan
ٱلذِّكۡرَ
peringatan
وَإِنَّا
dan sesungguhnya Kami
لَهُۥ
baginya/kepadanya
لَحَٰفِظُونَ
penjaga/pemelihara
Terjemahan
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.
Tafsir
(Sesungguhnya Kamilah) lafal nahnu mentaukidkan atau mengukuhkan makna yang terdapat di dalam isimnya inna, atau sebagai fashl (yang menurunkan Adz-Dzikr) Al-Qur'an (dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya) dari penggantian, perubahan, penambahan dan pengurangan.
Tafsir Surat Al-Hijr: 6-9
Mereka berkata.Hai orang-orang yang diturunkan Al-Qur'an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila. Mengapa kamu tidak mendatangkan malaikat kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar? Kami tidak menurunkan malaikat melainkan dengan benar (untuk membawa azab) dan tiadalah mereka ketika itu diberi tangguh. Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. Allah ﷻ menceritakan tentang kekafiran dan keingkaran mereka dalam ucapannya yang disitir oleh firman-Nya: Hai orang yang diturunkan Al-Qur'an kepadanya. (Al-Hirj: 6) Maksudnya, orang yang mengakui Al-Qur'an diturunkan kepadanya.
sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila. (Al-Hijr. 6) Yakni dalam seruanmu yang kamu tujukan kepada kami agar kami mengikutimu dan meninggalkan apa yang kami jumpai nenek moyang kami melakukannya. Mengapa kamu tidak mendatangkan malaikat kepada kami. (Al-Hijr: 7) Yaitu para malaikat yang mempersaksikan kebenaran dari apa yang kamu sampaikan itu. Perihalnya sama dengan ucapan Fir'aun yang disitir oleh firman-Nya: Mengapa tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas atau malaikat datang bersama-sama dia untuk mengiringkannya? (Az-Zukhruf: 53) Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuannya) dengan Kami, "Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?" Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman.
Pada hari mereka melihat malaikat di hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa dan mereka berkata, "Hijram Mahjura. (Al-Furqan: 21 -22) Dan dalam ayat berikut ini disebutkan oleh firman-Nya: Kami tidak menurunkan malaikat melainkan dengan benar (untuk membawa azab) dan tiadalah mereka ketika itu diberi tangguh. (Al-Hijr: 8) Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah ﷻ: Kami tidak menurunkan malaikat melainkan dengan benar. (Al-Hijr: 8) untuk membawa risalah dan azab. Kemudian Allah ﷻ menetapkan bahwa Dialah yang menurunkan Al-qur'an, dan Dia pulalah yang memeliharanya dari perubahan dan penggantian.
Di antara ulama tafsir ada yang merujukkan damir yang ada dalam firman-Nya, "Lahu Lahafizun," kepada Nabi Muhammad ﷺ, bukan kepada Al-Qur'an. Yakni sama dengan pengertian yang terdapat di dalam ayat lain melalui firman-Nya: Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. (Al-Maidah: 67) Tetapi makna yang pertama lebih utama karena bersesuaian dengan makna lahiriah konteks ayat."
Untuk membuktikan kebenaran pengakuan Nabi Muhammad bahwa ayat-ayat yang disampaikannya benar-benar berasal dari Allah, Dia
berfirman, Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an melalui
perantara Malaikat Jibril yang diragukan oleh kaum kafir itu, dan
pasti Kami pula bersama Malaikat Jibril dan kaum mukmin yang selalu
memelihara keaslian, kesucian, dan kekekalan-nya hingga akhir zaman. Pendustaan yang dialami oleh Nabi Muhammad juga terjadi pada
para rasul sebelumnya. Allah menyatakan, Dan sungguh, Kami
telah mengutus beberapa rasul sebelum Kami mengutus engkau, wahai
Nabi Muhammad. Kami telah mengutus mereka kepada umat-umat terdahulu.
Ayat ini merupakan peringatan keras bagi orang-orang yang mengabaikan Al-Qur'an dan tidak percaya bahwa Al-Qur'an itu diturunkan Allah kepada rasul-Nya Muhammad. Seakan-akan Allah mengatakan kepada mereka, "Kamu ini hai orang-orang kafir sebenarnya adalah orang-orang yang sesat yang memperolok-olokkan nabi dan rasul yang telah Kami utus untuk menyampaikan agama Islam kepadamu. Sesungguhnya sikap kamu yang demikian itu tidak akan mempengaruhi sedikit pun terhadap kemurnian dan kesucian Al-Qur'an karena Kamilah yang menurunkannya. Kamu menuduh Muhammad seorang yang gila tetapi Kami menegaskan bahwa Kami sendirilah yang memelihara Al-Qur'an itu dari segala macam usaha untuk mengotorinya dan usaha untuk menambah, mengurangi dan mengubah ayat-ayatnya. Kami akan memeliharanya dari segala macam bentuk campur tangan manusia terhadapnya. Akan datang saatnya nanti manusia akan menghafal, membaca, mempelajari, dan menggali isinya, agar mereka memperoleh dari Al-Qur'an itu petunjuk dan hikmah, tuntunan akhlak dan budi pekerti yang baik, ilmu pengetahuan dan pedoman berpikir bagi para ahli dan cerdik pandai, serta petunjuk ke jalan hidup di dunia dan di akhirat nanti."
Jaminan Allah ﷻ terhadap pemeliharaan Al-Qur'an itu ditegaskan lagi dalam firman-Nya:
Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. (as-shaff/61: 8)
Mengenai jaminan Allah terhadap kesucian dan kemurnian Al-Qur'an serta penegasan bahwa Allah sendirilah yang memeliharanya terbukti dengan memperhatikan dan mempelajari sejarah turunnya Al-Qur'an, cara-cara yang dilakukan Nabi ﷺ ketika menyiarkan, memelihara, dan membetulkan bacaan para sahabat, melarang menulis selain ayat-ayat Al-Qur'an, dan sebagainya. Kemudian usaha pemeliharaan Al-Qur'an ini dilanjutkan oleh para sahabat, tabiin, dan oleh setiap generasi kaum Muslimin yang datang sesudahnya, sampai sekarang ini.
Untuk mengetahui dan membuktikan bahwa Al-Qur'an yang sampai kepada kita sekarang terpelihara kemurniannya, diterangkan dalam sejarah Al-Qur'an, baik di masa Rasulullah, maupun di zaman sahabat, dan usaha kaum Muslimin memeliharanya pada saat ini. Di sisi lain otentisitas Al-Qur'an dapat dilacak dari sejarah penulisan dan bacaannya.
Pertama:
Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad ﷺ dalam waktu kurang lebih 23 tahun. Setiap turun ayat, Nabi menyuruh para sahabatnya menghafal dan menuliskannya di batu, kulit binatang, dan pelepah korma. Nabi memiliki beberapa orang sahabat yang bertugas menulis wahyu dan mendampingi beliau ketika turun ayat. Di antara penulis wahyu itu adalah Zaid bin sabit, Ali bin Abi thalib, Utsman bin 'Affan, Ubay bin Ka'ab, dan lain-lain.
Setiap ayat turun, Nabi menjelaskan kepada para penulis wahyu di bagian mana dari ayat-ayat yang turun lebih dulu atau di surah apa ayat itu diletakkan dan ditulis. Beliau melarang para sahabat menulis selain Al-Qur'an, baik itu penjelasannya yang menjadi tafsir dari ayat atau keterangan yang ditulis oleh para sahabat itu sendiri. Hadis Nabi ﷺ seperti diriwayatkan Abu Sa'id al-Khudri:
Jangan kalian menulis dariku apapun selain Al-Qur'an. Barang siapa yang menulis selain Al-Qur'an, hendaklah dia menghapusnya. (Riwayat Muslim)
Larangan secara umum itu adalah untuk menjaga kemurnian tulisan Al-Qur'an agar tidak bercampur-baur dengan tulisan-tulisan lain selain Al-Qur'an, baik bersumber dari Nabi ﷺ maupun sahabat. Namun demikian, ada beberapa sahabat yang memang pandai baca tulis, menuliskan ucapan-ucapan Rasul sebagai penafsiran Al-Qur'an dan catatan mereka, seperti 'Abdullah bin 'Umar, 'Abdullah bin Mas'ud, Ali bin Abi thalib, Ibnu Abbas, dan lain-lain.
Selain ditulis oleh para penulis wahyu dan sebagian sahabat, Al-Qur'an juga dihafal oleh para sahabat dan diwajibkan membacanya dalam salat.
Mengingat pentingnya peran tulis baca dalam menjaga otentisitas atau kemurnian Al-Qur'an, Nabi sangat menghargai orang-orang yang bisa tulis baca, dan menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk mempelajarinya. Setelah Perang Badar, Nabi memanfaatkan para tawanan perang Badar yang pandai baca tulis untuk menebus dirinya dengan mengajar baca tulis 10 orang anak-anak muslim. Dengan keputusan Rasul ini, semakin banyak orang yang bisa baca tulis, semakin banyak pula orang yang bisa mencatat dan menghafal Al-Qur'an.
Dengan demikian, ada tiga faktor yang membantu menjaga kelestarian tulisan dan bacaan Al-Qur'an:
1. Tulisan atau naskah yang ditulis para penulis wahyu.
2. Hafalan dari para sahabat yang sangat antusias menghafalnya.
3. Tulisan atau naskah pribadi yang ditulis oleh para sahabat yang sudah lebih dulu pandai baca tulis seperti 'Abdullah bin 'Umar, 'Abdullah bin Mas'ud, Ali bin Abi thalib, dan lain-lain.
Selain tiga faktor di atas, Malaikat Jibril selalu mengecek bacaan Al-Qur'an Rasulullah setiap tahun. Ketika pengecekan, Rasulullah disuruh mengulang bacaan Al-Qur'an yang telah diturunkan. Bahkan sebelum wafat, Malaikat Jibril mengecek dua kali.
Nabi sendiri sering mengecek bacaan sahabatnya. Mereka disuruh membaca Al-Qur'an di hadapannya, dan beliau membetulkan bacaan mereka.
Nabi wafat sesudah Al-Qur'an selesai diturunkan dan telah dihafal oleh orang banyak menurut tertib susunan Al-Qur'an yang kita baca sekarang ini, sesuai dengan petunjuk yang diberikannya ketika membaca Al-Qur'an, baik di dalam maupun di luar salat. Dengan cara pengamalan yang praktis di atas, Al-Qur'an bisa terpelihara kemurniannya dan tersebar dengan mudah di masyarakat.
Sesudah Rasulullah ﷺ wafat, para sahabat sepakat memilih Abu Bakar sebagai khalifah. Pada permulaan masa pemerintahannya banyak di antara orang-orang Islam yang belum kuat imannya menjadi murtad dan ada pula di antara mereka mendakwakan diri menjadi nabi. Oleh karena itu, Abu Bakar memerangi mereka. Dalam peperangan ini telah gugur 70 orang penghafal Al-Qur'an dan sebelum itu telah gugur pula beberapa orang. Atas anjuran Umar bin Khaththab dan diterima oleh Abu Bakar, maka Zaid bin sabit ditugaskan menulis kembali Al-Qur'an yang naskahnya telah ditulis pada masa Nabi dan didukung oleh hafalan para sahabat yang masih hidup. Setelah selesai menuliskannya dalam lembaran-lembaran, diikat dengan benang, tersusun menurut urutan yang telah ditetapkan Rasulullah, mushaf itu kemudian diserahkan kepada Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal, mushaf ini diserahkan kepada penggantinya Umar bin al-Khaththab. Setelah Umar meninggal mushaf ini disimpan di rumah Hafsah, putri Umar dan istri Rasulullah, sampai kepada masa pembukuan Al-Qur'an di masa khalifah Utsman bin 'Affan.
Di masa khalifah Utsman bin 'Affan, daerah pemerintahan Islam telah sampai ke Armenia dan Azerbaijan di sebelah timur dan Tripoli di sebelah barat. Dengan demikian, para sahabat waktu itu telah terpencar-pencar di Mesir, Syria, Irak, Persia, dan Afrika. Ke mana mereka pergi dan di mana mereka tinggal, Al-Qur'an Al-Karim itu tetap menjadi imam mereka, di antara mereka banyak yang hafal Al-Qur'an. Mereka mempunyai naskah-naskah Al-Qur'an, tetapi naskah-naskah yang mereka miliki itu tidak sama susunan surah-surahnya karena dicatat sesuai dengan pemahaman mereka atau masih bercampur dengan penjelasan-penjelasan Rasul sebagai tafsirnya.
Hal ini menimbulkan pertikaian tentang bacaan Al-Qur'an di antara mereka. Asal mula perbedaan bacaan ini ialah karena Rasulullah sendiri memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab yang berada di masanya, untuk membacakan dan melafazkan Al-Qur'an itu menurut dialek mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan Nabi supaya mereka mudah mengucapkan dan menghafal Al-Qur'an.
Tetapi kemudian timbul kekhawatiran bahwa pertikaian tentang bacaan Al-Qur'an ini kalau dibiarkan saja akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan di kalangan kaum Muslimin.
Orang yang mula-mula menunjukkan perhatiannya tentang hal ini adalah seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman. Beliau ikut dalam peperangan menaklukkan Armenia dan Azerbaijan. Selama dalam perjalan-an, ia pernah mendengar kaum Muslimin bertikai tentang bacaan beberapa ayat Al-Qur'an dan pernah mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya, "Bacaan saya lebih baik daripada bacaanmu."
Ketika hal ini disampaikan kepada Khalifah Utsman bin 'Affan, beliau langsung menyetujui dilakukannya penulisan Al-Qur'an, maka segera dibentuk tim yang terdiri dari para penulis wahyu, seperti Zaid bin sabit yang menjadi ketua tim, 'Abdullah bin Zubair, Sa'id bin 'As dan 'Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, dan lain-lain.
Mushaf yang berisi lembaran bertuliskan Al-Qur'an, yang pernah disusun oleh Khalifah Abu Bakar, dan disimpan di rumah hafsah, diminta kembali oleh Utsman. Karena tim ini bertugas menyalin kembali tulisan Al-Qur'an yang ada di mushaf tersebut dan menyeragamkan bacaan dan tulisannya. Hasil kerja tim ini akan menjadi acuan dan rujukan bagi bacaan Al-Qur'an umat Islam di seluruh dunia.
Dalam menjalankan tugasnya, tim ini memberlakukan syarat-syarat berikut:
1. Tidak ditulis kecuali yang diyakini betul-betul Al-Qur'an, dengan mengacu pada tulisan dan hafalan sahabat.
2. Tidak ditulis kecuali ayat-ayat yang diyakini tidak pernah dinasakh.
3. Jika ada kata yang memiliki beberapa bacaan berbeda, maka ditulis dengan dialek Quraisy karena mayoritas Al-Qur'an ditulis dalam dialek itu.
4. Jika ada dua bacaan berbeda tetapi bisa ditampung dalam satu tulisan, ditulis dalam satu tulisan seperti malik dan malik.
Mushaf yang sudah diseragamkan bacaannya itu dikenal dengan nama al-Mushaf al-Imam atau al-Mushaf al-'Utsmani. Mushaf ini digandakan menjadi lima mushaf, masing-masing dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah, Kufah, dan sebuah ditinggalkan di Medinah.
Demikianlah Al-Qur'an itu dibukukan pada masa sahabat. Semua mushaf yang diterbitkan kemudian harus disesuaikan dengan al-Mushaf al-Imam. Kemudian usaha menjaga kemurnian Al-Qur'an itu tetap dilakukan oleh kaum Muslimin di seluruh dunia, sampai kepada generasi yang sekarang ini.
Untuk menjaga kemurnian Al-Qur'an itu di Indonesia dilakukan dalam bermacam-macam usaha, di antaranya ialah:
1. Membentuk "Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an" yang bertugas antara lain meneliti semua mushaf yang akan dicetak sebelum diedarkan ke masyarakat. Tim berada di bawah pengawasan Menteri Agama.
2. Pemerintah telah mempunyai naskah Al-Qur'an yang menjadi standar dalam penerbitan Al-Qur'an di Indonesia, yang telah disesuaikan dengan Mushaf al-Imam.
3. Mengadakan Musabaqah Tilawatil Qur'an setiap tahun yang ditangani dan diurus oleh negara.
4. Usaha-usaha lain yang dilakukan oleh masyarakat muslim, seperti membentuk lembaga pendidikan, kajian, dan tahfiz Al-Qur'an
Kedua:
Setelah 'Utsman bin 'Affan wafat, al-Mushaf al-Imam tetap dianggap sebagai pegangan satu-satunya oleh umat Islam dalam bacaan Al-Qur'an. Meskipun demikian, terdapat juga beberapa perbedaan dalam bacaan tersebut. Sebab-sebab timbulnya perbedaan itu dapat disimpulkan dalam dua hal:
Pertama : Penulisan Al-Qur'an itu sendiri yang belum sempurna.
Kedua : Perbedaan dialek orang-orang Arab.
Penulisan Al-Qur'an itu dapat menimbulkan perbedaan karena al-Mushaf al-Imam ditulis oleh sahabat-sahabat yang tulisannya belum dapat dikatakan tulisan yang sempurna karena belum mendapat tanda baca dan titik. Sebagaimana yang diterangkan Ibnu Khaldun dalam bukunya "Muqaddimah Ibnu Khaldun", ia berkata, "Perhatikanlah akibat-akibat yang terjadi karena tulisan mushaf yang ditulis sendiri oleh para sahabat dengan tangannya. Tulisan itu belum sempurna, sehingga kadang-kadang terjadi beberapa kesalahan dalam memahami bacaan dari tulisan tersebut karena tanpa titik dan baris."
Adapun perbedaan dialek orang-orang Arab yang telah ditoleransi oleh Rasulullah menimbulkan macam-macam qira'at (bacaan), sehingga pada tahun 200 Hijriah muncullah ahli-ahli qira'at yang tidak terhitung banyaknya.
Di antara dialek-dialek bahasa Arab yang terkenal ialah lahjah Quraisy, Hudzail, Tamim, Asad, Rabiah, Hawazin, dan Sa'ad. Pada waktu itu muncullah para ahli qiraat yang masyhur, dan yang termasyhur ada tujuh orang, yaitu: 'Abdullah bin Amir, Abu Ma'bad 'Abdullah bin Katsir, Abu Bakar Asim bin Abi an-Najud, Abu Amr bin A'la, Nafi' bin Abi Nu'aim, Abul Hasan 'Ali bin Hamzah al-Kisa'i, Abu Jarah bin Habib Ibnu Zayyat/Hamzah. Qiraat-qiraat itu dipopulerkan orang dengan nama "Qiraat Sab'ah" (bacaan yang tujuh).
Sebagaimana diterangkan di atas, Al-Qur'an mula-mula ditulis tanpa titik dan baris, namun hal ini tidak mempengaruhi bacaan Al-Qur'an karena para sahabat dan para tabiin selain hafal Al-Qur'an juga orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Oleh sebab itu, mereka dapat membacanya dengan baik dan tepat. Tetapi setelah agama Islam tersiar dan banyak bangsa yang bukan Arab memeluk agama Islam, sulit bagi mereka membaca Al-Qur'an tanpa titik dan baris. Sangat dikhawatirkan bahwa hal ini akan menimbulkan kesalahan dalam bacaan Al-Qur'an.
Maka Abul Aswad Ad-Duali mengambil inisiatif untuk memberi tanda-tanda baca dalam Al-Qur'an dengan tinta yang berlainan warnanya. Tanda titik ialah titik di atas untuk fathah, titik di bawah untuk kasrah, titik sebelah kiri atas untuk dhamah, dan dua titik untuk tanwin. Hal ini terjadi pada masa Ali bin Abi thalib.
Kemudian di masa khalifah Abdul Malik bin Marwan, Nasr bin Asim, dan Yahya bin Ya'mar menambahkan tanda-tanda untuk huruf-huruf yang bertitik dengan tinta yang sama dengan tulisan Al-Qur'an untuk membedakan antara maksud dari titik Abul Aswad Ad-Duali dengan titik yang baru ini. Titik Abul Aswad adalah untuk tanda baca dan titik Nasr bin Asim adalah titik huruf. Cara penulisan semacam ini tetap berlaku pada masa Bani Umayyah, dan pada permulaan kerajaan Abbasiyah, bahkan tetap pula dipakai di Spanyol sampai pertengahan abad keempat hijriah. Kemudian ternyata cara pemberian tanda seperti ini masih menimbulkan kesulitan bagi para pembaca Al-Qur'an karena terlalu banyak titik, sedang titik itu lama kelamaan hampir menjadi serupa warnanya.
Maka al-Khalil mengambil inisiatif untuk membuat tanda-tanda yang baru, yaitu wau kecil di atas untuk dhammah, huruf alif kecil untuk tanda fathah, huruf ya kecil untuk tanda kasrah, kepala huruf sin untuk tanda syiddah, kepala ha untuk sukun dan kepala 'ain untuk hamzah.
Kemudian tanda-tanda ini dipermudah dengan dipotong dan ditambah sehingga menjadi bentuk yang ada sekarang.
Demikianlah usaha Nabi Muhammad ﷺ dan kaum Muslimin memelihara dan menjaga Al-Qur'an dari segala macam campur tangan manusia, sehingga Al-Qur'an yang ada pada tangan kaum Muslimin pada masa kini, persis sama dengan Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ Ini merupakan bukti dari jaminan Allah yang akan tetap memelihara Al-Qur'an untuk selamanya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-HIJR
(BATU BESAR)
SURAH KE-15, 99 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
(AYAT 1 -99)
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih
Ayat 1
Alif Laam Ra. Inilah ayat-ayat dari kitab itu, dan Al-Qur'an yang nyata.
Ayat 2
Kadang-kadang inginlah orang-orang yang kafir itu, kalau adalah mereka menjadi orang Muslimin.
Ayat 3
“Berikanlah mereka makan-makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan mereka."
Yang menyebabkan mereka tenggelam dalam kufur tidak lain hanyalah “angan-angan", bahwa mereka akan tetap dalam kemegahan yang sekarang dan tidak akan berhasil Muhammad mengubah kedudukan mereka yang kukuh dalam masyarakat jahiliyyah itu. Mereka berangan-angan bahwa kedaulatan mereka akan terus, dan mereka tidak mempunyai perhitungan tentang kekuatan mereka sendiri dengan pendirian mereka.
Biarkanlah mereka dalam keadaan yang demikian, hidup yang tak tentu arah, hanya memikirkanmakandanharta,tidakmempunyai cita-cita dan tidak mempunyai tujuan hidup. Hidup sambil main-main, hidup yang hanya mengejar benda, menghabiskan usia dan membiarkan segala kesempatan berlalu dengan percuma. Biarkanlah mereka itu, jangan engkau ambil pusing lagi dengan orang-orang yang seperti itu, yang menghabiskan usianya dalam kesombongannya dan kelobaannya. Menyangka panas akan sampai petang, tidak insaf bahwa hujan pun bisa turun tengah hari, menyangka apa saja yang mereka kehendaki akan tercapai, kemegahan di awak, kekayaan ada di awak, tidak ada orang yang akan dapat merintang, menghalangi. Biarkanlah mereka dalam persangkaan bahwa mereka akan berjaya terus, bahwa perjalanan mereka tidak akan menuju'akhir. Biarkanlah mereka.
“Dan mereka akan tahu sendiri kelak."
Mereka akan tahu sendiri kelak apabila mereka telah ditimpa oleh keruntuhan dan tidak dapat mengelak sama sekali.
Ayat 4
“Dan tidaklah Kami binasakan satu negeri, melainkan ada baginya satu tulisan yang telah ditetapkan"
Kebinasaan negeri itu ada yang binasa hancur sama sekali, negeri itu sendiri dan ada pula yang runtuh kekuasaan dan susunan masyarakat dari golongan yang menguasainya. Maka kebinasaan itu telah ada tulisannya di sisi Allah.
Ayat 5
“Tidaklah suatu umat mendahului ajalnya dan tidak bisa mereka terkemudian."
Inilah aturan Allah yang telah berlaku pada setiap negeri atau setiap bangsa, yang telah diberikan garis tetapnya oleh Allah kepada Nabi kita Muhammad ﷺ di dalam menghadapi kekufuran kaum Quraisy itu. Masyarakat jahiliyyah sudah pasti akan runtuh dan kedaulatan berhala sudah pasti akan hilang dan sinar Islam pasti naik. Itu sudah menjadi ketetapan dalam tulisan. Jarum sejarah tidak dapat dikembalikan ke belakang. Bagaimanapun kepala batunya orang-orang Quraisy itu, biarkanlah! Biar mereka makan-makan, senang dininabobokan oleh angan-angan tentang kebesaran diri sendiri. Namun apabila perhitungan telah sampai dan janji te-lah tiba, mereka pasti runtuh. Tidak terdahulu dari waktunya dan tidak pula terkemudian. Ini hanya soal kesabaran menunggu waktu itu.
Lalu di ayat yang seterusnya Allah memperlihatkan satu contoh dari kesombongan mereka terhadap Rasulullah.
Ayat 6
“Dan mereka berkata, “Hai orang yang diturunkan kepadanya peringatan, sesungguhnya engkau ini adalah seorang gila."
Nabi kita Muhammad ﷺ selalu menyatakan kepada mereka, bahwa beliau adalah membawa peringatan dari Allah, ancaman bagi siapa yang durhaka dan kabar gembira bagi siapa yang percaya. Kata nabi itulah yang mereka ulangi dengan penuh cemooh, “Hai orang yang diturunkan kepadanya peringatan!" Tetapi kemudian diiringkannya dengan kata-kata yang sangat kasar, timbul dari budi yang sangat rendah, “Engkau ini adalah gila!" Kesombongan seperti ini pulalah yang dilakukan oleh Fir'aun kepada Musa seketika beliau mengatakan di hadapan majelis Fir'aun bahwa beliau adalah rasul Allah, lalu dikemukakannya siapa dan apa arti Allah itu. Lalu sambil membuang muka Fir'aun berkata kepada orang besar-besarnya,
“Sesungguhnya utusan yang diutus kepada kamu ini, betul-betul gila!" (asy-Syuuraa: 27) Corak kesombongan itu sama saja di segala zaman.
Lalu ada lagi kata mereka yang lain untuk menghina Rasulullah.
Ayat 7
“Mengapa tidak engkau bawakan kepada kami malaikat, kalau adalah engkau dari golongan orang-orang yang benar."
Apa kesombongan yang tersimpan dalam kata ini? Mereka mengatakan bahwa apa-apa yang engkau serukan itu mungkin ada juga kebenarannya. Tetapi apalah lebih engkau daripada kami, sama-sama manusia, bukan? Bahkan kedudukanmu dalam masyarakat kami tidaklah begitu tinggi selama ini. Sejak bila saja engkau jadi nabi? Lantaran itu, kalau memang benar apa yang engkau serukan itu, lebih baik janganlah engkau. Sebab engkau ini tidak ada harga bagi kami. Engkau hanya kami anggap orang gila saja. Katakanlah kepada Tuhanmu yang mengutus engkau itu supaya malaikat saja kirim memberi penerangan kepada kami. Kalau sudah malaikat yang datang, mungkin kami pertimbangkan buat mempercayainya.
Kesombongan ini disuruh sambut kepada Rasul.
Ayat 8
“Tidaklah Kami menurunkan malaikat melainkan dengan kebenaran"
Artinya, satu waktu permintaan mereka itu akan terlaksana juga, tetapi bukan buat mengerjakan tugas sebagai rasul manusia, melainkan membawa kebenaran adzab. Atau membawa kebenaran maut bagi mereka.
“Dan tidaklah memeka — jika memang begitu — akan diberi tempo."
Maka kalau malaikat itu datang, dan kebenaran sebagai ketentuan Allah telah berlaku, nyawa mereka dicabut, tidaklah mereka akan diberi tempo atau meminta pengunduran.
Walaupun sudah sampai sedemikian rupa sanggahan orang-orang yang kafir itu, namun peringatan Allah, yaitu Al-Qur'an yang dibawa dan disebarkan oleh utusan Allah mesti jalan terus, sebab
Ayat 9
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan peringatan itu, dan sesungguhnya Kamilah yang menjaga baginya."
Maka kalau Allah yang menurunkannya dan Allah pula yang menjaganya, tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menghambat.
Ayat 10
"Dan sesungguhnya, telah Kami utus dari sebelum engkau di antara golongan-golongan yang dahulu."
Ayat 11
“Dan tidak seorang pun rasul yang datang kepada memeka, melainkan adalah mereka memperolok-olokkan dia."
Ditegaskanlah dengan ayat 10 dan ayat 11 ini bahwa jika beliau, Nabi Muhammad ﷺ sebagai rasul mendapat penghinaan, dituduh gila dan lain-lain oleh kaumnya, demikian jugalah yang telah diderita oleh rasul-rasul yang telah lalu, yang dilakukan oleh kaum mereka terhadap diri mereka, rasul-rasul itu diolok-olok seperti Muhammad ﷺ sekarang ini juga."Demikianlah Kami masukkan dia." Yaitu perangai suka memperolok-olok rasul yang datang membawa kebenaran,
Ayat 12
“ke dalam hati orang-orang yang durhaka itu."
Sebab telah biasa orang-orang yang kafir memagar dirinya dengan berolok-olok, tidak berani bersungguh-sungguh. Sehingga ayat ini telah menunjukkan satu pelajaran ilmu jiwa yang mendalam sekali. Orang-orang yang mempertahankan perkara yang tidak benar, niscaya akan mempertahankannya dengan olok-olok, sebagaimana orang yang jiwanya telah rendah bila bertemu dengan orang benar, sebentar-sebentar tertawa untuk menyatakan kerendahan diri, dan mengambil muka.
Ayat 13
“Tidak mereka akan percaya kepadanya, padahal telah lampau penjalanan orang-orang yang dahulu."
Mereka masih tetap bertahan dalam keku-furan, mereka tetap tidak mau percaya. Padahal telah berulang-ulang dikatakan bahwa umat-umat yang dahulu, golongan dan kaum yang telah lalu, yang bertahan pada pendirian yang salah. Sebab barang yang salah itu pada hakikatnya tidaklah ada. Tidak ada tubuhnya yang akan dapat ditunjukkan dan tidak ada barangnya yang dapat dibuktikan. Dia hanya terletak kepada kesalahan jalan berpikir.
Ayat 14
“Dan kalau Kami bukakan atas suatu pintu dari langit, lalu mereka naik terus padanya."
Ayat 15
“Niscaya akan mereka katakan, “Sesungguhnya telah dimabukkan penglihatan Kami. Malahan kami ini adalah orang-orang yang telah dipukau."
Sampai demikianlah sudah kepala batu mereka dan kerasnya hati mereka mempertahan-kan pendirian yang salah. Tadi mereka minta didatangkan malaikat sebagai rasul. Meskipun malaikat dijadikan rasul, niscaya akan ada lagi mereka mencari dalih untuk menolak iman itu. Bahkan misalnya dibuka pintu langit, dibawa mereka terbang ke atas dan disuruh melihat kenyataan, tidak juga mereka akan percaya. Niscaya mereka akan menolak dengan kata bahwa kami telah dimabukkan ketika dibawa itu, dan kami telah dibacakan mantra-mantra sehingga tidak sadar akan diri lagi. Atau dengan kata-kata lain, kami ini sudah dipukau, kami sudah diperbodoh, disihir dengan kata-kata lemak manis.
Demikianlah gambaran sikap dari kaum yang musyrik di Mekah pada permulaan dakwah itu. Dan ini pun tampaknya terulang lagi pada zaman kita, yakni zaman banyak orang telah menerima Islam sebagai pusaka nenek moyang, tetapi tidak ada pengertian akan isinya, sehingga bila diseru agar kembali kepada inti sari ajaran Islam itu, kembali kafir lagi dan tidak mau menerimanya.