Ayat
Terjemahan Per Kata
جَهَنَّمَ
neraka jahanam
يَصۡلَوۡنَهَاۖ
mereka memasukinya
وَبِئۡسَ
dan seburuk-buruk
ٱلۡقَرَارُ
tempat ketetapan/kediaman
جَهَنَّمَ
neraka jahanam
يَصۡلَوۡنَهَاۖ
mereka memasukinya
وَبِئۡسَ
dan seburuk-buruk
ٱلۡقَرَارُ
tempat ketetapan/kediaman
Terjemahan
(yaitu neraka) Jahanam? Mereka masuk ke dalamnya. (Itulah) seburuk-buruknya tempat kediaman.
Tafsir
(Yaitu neraka Jahanam) lafal Jahanam merupakan athaf bayan (mereka masuk ke dalamnya) dijebloskan ke dalamnya (dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman) tempat yang paling buruk ialah Jahanam itu.
Tafsir Surat Ibrahim: 28-30
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka Jahannam, mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman. Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah, "Bersenang-senanglah kalian, karena sesungguhnya tempat kembali kalian ialah neraka." Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran. (Ibrahim: 28).
Yang dimaksud dengan kalimat 'Tidakkah kamu perhatikan' ialah tidakkah kamu ketahui. Perihalnya sama dengan makna yang terdapat di dalam ayat lain: Apakah kamu belum memperhatikan bagaimana. (Al-Fajr: 6) dan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar. (Al-Baqarah: 243) Al-Bawar, artinya kebinasaan, berasal dari kata bara, yaburu, bauran, bawaran, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya pada ayat lain, yaitu: Kaum yang binasa. (Al-Furqan: 18) Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ata yang telah mendengar Ibnu Abbas berkata sehubungan dengan makna firman Allah ﷻ: Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran. (Ibrahim: 28).
Bahwa mereka adalah orang-orang kafir penduduk kota Mekah. Menurut riwayat Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan makna ayat ini, mereka adalah Jabalah ibnul Aiham dan para pengikutnya dari kalangan orang-orang Arab Badui, kemudian mereka menggabungkan diri bersama kerajaan Romawi. Tetapi pendapat yang terkenal dan benar dari Ibnu Abbas adalah yang pertama tadi, sekalipun maknanya menyeluruh mencakup semua orang kafir.
Karena sesungguhnya Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺ untuk segenap umat manusia dan sebagai nikmat buat mereka. Barang siapa yang menerimanya dan mengamalkannya sebagai rasa syukurnya, niscaya masuk surga. Dan barang siapa yang menolaknya serta mengingkarinya, tentulah ia masuk neraka. Telah diriwayatkan pula dari Ali hal yang semisal dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dalam riwayat pertamanya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Qasim ibnu Abu Buzzah, dari Abut-Tufail, bahwa Ibnul Kawa pernah bertanya kepada sahabat Ali tentang makna firman-Nya: orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan. (Ibrahim: 28).
Ali mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir Quraisy pada peristiwa Perang Badar. Ibnu Abu Hatim mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu Ubaid, telah rnenceritakan kepada kami Bassam (yakni As-Sairafi), dari Abut-Tufail yang menceritakan bahwa pernah seorang lelaki datang kepada Khalifah Ali, lalu bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, siapakah orang-orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekafiran dan menjerumuskan kaumnya ke lembah kehinaan?" Khalifah Ali menjawab, "Mereka adalah orang-orang munafik dari kalangan kabilah Quraisy." Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Nufail yang mengatakan bahwa ia pernah belajar kepada Ma'qal yang menceritakan hal berikut dari Ibnu Abu Husain, bahwa Khalifah Ali ibnu Abu Talib berdiri, lalu bertanya, "Tidakah seseorang yang menanyakan kepadaku tentang makna Al-Qur'an.
Demi Allah, seandainya saya hari ini mengetahui ada seseorang yang lebih alim daripada aku, niscaya aku akan datang kepadanya (untuk belajar), sekalipun dia berada di belakang lautan." Maka berdirilah Abdullah ibnul Kawa, lalu bertanya, "Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekafiran dan menjerumuskan kaumnya ke dalam lembah kebinasaan?" Maka Khalifah Ali menjawab, "Mereka adalah orang-orang musyrik Quraisy, Allah telah memberikan nikmat iman kepada mereka, tetapi mereka menukar nikmat Allah itu dengan kekafiran dan menjerumuskan kaumnya ke dalam lembah kebinasaan." As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran. (Ibrahim: 28), hingga akhir ayat.
Bahwa Muslim Al-Mustaufa telah menceritakan dari Ali yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'mereka' itu adalah dua golongan orang-orang yang sangat durhaka dari kalangan kabilah Quraisy, yaitu Bani Umayyah dan Bani Mugirah. Adapun Bani Mugirah, karena mereka menjerumuskan kaumnya ke lembah kebinasaan dalam Perang Badar; sedangkan Bani Umayyah, karena mereka menjerumuskan kaumnya ke lembah kebinasaan dalam Perang Uhud.
Dalam Perang Badar yang memimpin adalah Abu Jahal, sedangkan dalam Perang Uhud adalah Abu Sufyan. Adapun yang dimaksud dengan lembah kebinasaan ialah neraka Jahannam. Ibnu Abu Hatim rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Al-Haris Abu Mansur, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Amr ibnu Murrah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Khalifah Ali membaca ayat berikut, yaitu firman Allah ﷻ: dan menjerumuskan kaumnya ke dalam lembah kebinasaan. (Ibrahim: 28) Bahwa mereka adalah dua kelompok manusia yang durhaka dari kalangan kabilah Quraisy, yaitu Bani Umayyah dan Banil Mugirah.
Orang-orang Banil Mugirah binasa dalam Perang Badar, sedangkan Bani Umayyah diberi kesenangan hidup sampai waktu tertentu. Abu Ishaq telah meriwayatkannya dari Amr ibnu Murrah, dari Ali dengan lafaz yang semisal. Hal ini telah diriwayatkan pula melalui berbagai jalur bersumberkan darinya (Ali). Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Sa'd, dari Umar ibnul Khattab sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran. (Ibrahim: 28) Bahwa mereka adalah dua kelompok orang-orang durhaka dari kalangan kabilah Quraisy, yaitu Banil Mugirah dan Bani Umayyah.
Banil Mugirah telah kalian tumpas dalam Perang Badar, sedangkan Bani Umayah mendapat kesenangan hidup sampai waktu tertentu. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Hamzah Az-Zayyat, dari Amr ibnu Murrah yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah bertanya kepada Umar ibnul Khattab tentang makna ayat berikut, yaitu firman Allah ﷻ: Tidakkahkamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? (Ibrahim: 28).
Umar ibnul Khattab menjawab, "Mereka adalah dua kelompok orang-orang durhaka dari kalangan kabilah Quraisy, paman-pamanku, juga paman-pamanmu. Paman-pamanku telah dibinasakan oleh Allah dalam Perang Badar; sedangkan paman-pamanmu, maka Allah menangguhkan mereka sampai waktu tertentu." Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, Qatadah, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir Quraisy yang terbunuh dalam Perang Badar.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Malik di dalam kitab tafsirnya, dari nafi', dari Ibnu Umar. Firman Allah ﷻ: Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. (Ibrahim:30) Maksudnya, mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah yang mereka sembah di samping menyembah Allah, dan mereka mengajak manusia kepada hal tersebut. Kemudian Allah ﷻ mengancam mereka dengan ancaman yang keras melalui lisan Nabi-Nya: Katakanlah, "Bersenang-senanglah kalian, karena sesungguhnya tempat kembali kalian ialah neraka." (Ibrahim: 30) Yakni selagi kalian mampu melakukannya di dunia, lakukanlah.
Tetapi apa pun yang akan terjadi: maka sesungguhnya tempat kembali kalian ialah neraka." (Ibrahim: 30) Tempat kembali dan tempat menetap kalian ialah neraka. Makna ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat yang lain melalui firman-Nya: Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras. (Lukman: 24) (Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kamilah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksayang berat, disebabkan kekafiran mereka. (Yunus: 70)"
Lembah kebinasaan tersebut yaitu neraka Jahanam; mereka yang
mengingkari Allah dan nikmat-nikmat-Nya akan masuk ke dalamnya dan
merasakan betapa pedih siksa di dalamnya; dan Jahanam itulah seburukburuk tempat kediaman. Dan tidak hanya mengingkari Allah dan nikmat-nikmat-Nya, mereka (orang kafir) itu telah menjadikan dan menyembah berhala-berhala
sebagai tandingan bagi Allah yang seharusnya mereka imani dan esakan.
Mereka melakukan hal tersebut untuk menyesatkan manusia dari jalan
dan agama-Nya. Wahai Nabi Muhammad, katakanlah kepada mereka,
Bersenang-senanglah di dunia ini dengan keingkaran kamu, karena
sesungguhnya dunia ini akan segera sirna dan tempat kembalimu adalah
ke neraka. Di sanalah kamu akan menerima balasan setimpal atas keingkaranmu.
Ayat ini disampaikan dalam bentuk pertanyaan, tetapi bukan untuk dijawab, melainkan hanyalah sebagai peringatan bagi kaum Muslimin agar mereka jangan sekali-kali berbuat dan bertindak seperti yang dilakukan oleh orang kafir. Hendaklah mereka selalu taat, tunduk, dan patuh kepada perintah-perintah Allah dan menghentikan semua larangan-Nya. Jika mereka ingkar kepada Allah, mereka pasti akan diazab di dunia dan di akhirat seperti yang ditimpakan kepada orang kafir.
Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud dengan "orang-orang yang telah menukar nikmat Allah" dalam ayat ini ialah orang-orang kafir Mekah. Mereka telah dianugerahi bermacam-macam nikmat yang tidak diberikan Allah kepada bangsa lain. Negeri Mekah telah dijadikan sebagai tanah haram yakni tanah yang dihormati, tanah yang terjamin keamanannya, dan tempat berdirinya Kabah yang dikunjungi manusia dari segala penjuru dunia setiap tahun. Allah ﷻ telah mendatangkan air, makanan, dan buah-buahan ke tanah yang tandus itu. Nikmat yang lebih besar lagi ialah diangkatnya Muhammad dari bangsa mereka sendiri sebagai nabi dan rasul penutup, yang membawa agama Allah, yang menjadi petunjuk dan pegangan hidup bagi seluruh manusia.
Semua nikmat yang telah dilimpahkan itu mereka ingkari. Bahkan mereka menyiksa Nabi Muhammad ﷺ dan kaum Muslimin dan menghambat tersiarnya agama Islam. Oleh karena itu, Allah ﷻ menimpakan azab dan siksa kepada mereka berupa musim kemarau yang kering dan lama, sehingga mereka banyak yang mati kelaparan. Menurut riwayat, ada di antara mereka yang sampai memakan tulang karena tidak ada lagi makanan yang akan dimakan.
Allah menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dan telah menempatkan kaum mereka yang jadi pengikut-pengikut mereka di tempat yang penuh kesengsaraan, yaitu neraka Jahanam yang menyala-nyala, yang bahan bakarnya adalah batu dan manusia.
Dari ayat ini dipahami bahwa Allah ﷻ memerintahkan manusia agar selalu mensyukuri nikmat-Nya dengan mengikuti perintah-perintah-Nya dan menghentikan larangan-larangan-Nya. Seluruh manusia dan makhluk sangat tergantung kepada nikmat itu, baik nikmat dalam bentuk lahir, maupun nikmat dalam bentuk batin atau yang tidak nampak.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 28
“Apakah tidak engkau lihat orang-orang yang telah mengganti nikmat Allah dengan kufur dan telah menempatkan kaum mereka dalam kebinasaan."
Sebagai lanjutan secara halus dan tidak langsung daripada ayat yang sebelumnya tentang kalimah thayyibah, maka Allah menyuruh Rasul-Nya dan orang yang Mukmin memerhatikan akibat dari orang yang mengganti nikmat Allah dengan kufur, menukar terang dengan gelap, yaitu sebagai contoh yang ada pada masa itu, ialah pemuka-pemuka Quraisy itu. Negeri Mekah tempat mereka tinggal sejak Nabi Ibrahim telah dilimpahi nikmat karunia Ilahi, menjadi pusat perhatian manusia di sekitar Tanah Arab di waktu itu, sebagaimana akan tersebut kelak dalam doa Nabi Ibrahim (ayat 35 sampai ayat 40). Dan Ka'bah telah berdiri sebagai lambang dari umat yang bertauhid, makanan dan buah-buahan berlimpah-limpah. Tetapi setelah Muhammad ﷺ diutus Allah di negeri itu untuk mengajak mereka kembali kepada kepercayaan yang asli, pusaka agama harif Nabi Ibrahim, telah mereka tentang dengan sekuat-kuatnya. Mereka pertahankan berhala dan mereka pegang teguh adat-adat buruk jahiliyyah. Sampai mereka mengusir Rasul dari negeri itu. Bagaimana jadinya? Sampailah puncak tantangan mereka itu kepada perlawanan bersenjata dalam Peperangan Badar. Di sanalah tujuh puluh orang pemuka-pemuka mereka yang menentang itu, tewas binasa. Mereka itulah yang bertanggung jawab membawa kaum mereka kepada negeri kehancuran. Baik kehancuran duniawi tersebab kekalahan, atau kehancuran di akhirat masuk neraka.
Meskipun ayat ini diturunkan di Mekah dan Peperangan Badar terjadi setelah Rasulullah ﷺ dan para sahabat Muhajirin hijrah ke Madinah, namun dia telah membayangkan akibat pasti yang akan ditempuh oleh suatu pimpinan yang salah,
Ayat 29
“Neraka Jahannamlah yang akan mereka masuki, dan itulah seburuk-buruk tempat ketetapan."
Nabi Muhammad ﷺ telah membawa ajaran untuk melepaskan manusia dari gelap-guiita kejahilan dan kezaliman, kepada terang benderang tauhid, yang dimisalkan sebagai Pohon yang Baik, tetapi mereka lebih senang kepada yang gelap. Tetapi mereka memilih kayu yang buruk,
Ayat 30
“Dan mereka adakan bagi Allah sekutu-sekutu, untuk mereka menyesatkan dari jalan-Nya"
Inilah pangkal segala bala dan bencana. Karena mempertahankan kemusyrikan mereka telah berkurban dengan sia-sia, mati dengan tidak mempunyai nilai. Sebab yang dipertahankan bukanlah perkara yang benar, dan jalan yang ditempuh bukan jalan Allah, melainkan jalan setan."Katakanlah"— olehmu wahai Rasul,
— “Bersenang -senanglah kamu." — sementara “Karena sesungguhnya tempat kembali kamu ialah ke neraka."
Itulah ancaman yang diberikan kepada kaum itu, kaum yang memimpin kepada jalan yang salah. Ujung terakhir dari perjalanan itu, tidak lain melainkan neraka.
Dengan demikian dapatlah orang yang beriman menahankan bahwasanya iman yang telah mereka dapat itu hendaklah diperlihat baik-baik dan dipupuk, jangan disia-siakan. Tunjukkanlah kehidupan sebagai Mukmin, supaya nampak jelas perbedaan di antara hidup yang beroleh nur, cahaya, karena iman, dengan hidup yang menganjurkan masuk neraka itu!
Maka berfirman Allah kepada Rasul-Nya,
Ayat 31
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku Yang beriman supaya mereka mendirikan shalat."
Setelah Allah menyatakan betapalah jadinya orang-orang yang menukar janji Allah ke-bahagiaan hidup dunia dan akhirat itu dengan neraka Jahannam, karena tidak mau menerima ajakan kebenaran, maka Allah menyuruh Rasul-Nya menyampaikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman supaya mereka teguh memegang ajaran Allah, agar mereka selamat. Pertama sekali janganlah disia-siakan shalat, mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah menurut yang diajarkan oleh Rasul supaya jiwa mereka selamat."Dan membelanjakan apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka." Jangan bakhil! Sebab harta benda yang didapat itu sebagai anugerah dari Allah, hendaklah dialirkan pula kepada hal yang memberi manfaat, baik membantu fakir dan miskin atau berbuat amal yang saleh, sehingga rezeki yang diberikan Allah itu ada faedahnya bagi diri sendiri."Secara sembunyi-sembunyi dan terang-terang." Sembunyi-sembunyi kalau sekiranya pemberian yang diberikan itu dapat menyinggung perasaan orang yang diberi dan terang-terang kalau sekiranya akan menjadi perlombaan sama-sama berbuat baik menegakkan amalan yang berfaedah bagi bersama.
“Sebelum datang Suatu hari yang tidak ada jual-beli padanya dan tidak pula ada kawan-kawan."
Artinya, baiklah di waktu hidup ini beramal, baik menguatkan shalat kepada Allah atau melebarkan rezeki yang dianugerahkan Allah. Karena jika telah mati kelak, terutama di kampung akhirat, derma-menderma itu tidak berguna lagi. Teman, sahabat-sahabat, kawan karib atau sebagainya tidak akan ada faedahnya untuk diberi atau menerima daripadanya pemberian. Sebab dunia inilah kampung tempat beramal, dan akhirat tempat menerima hasilnya.
Perhatikanlah di sini, bahwa pesan yang utama terlebih dahulu ialah shalat. Karena shalat itulah pokok utama dan pertama pertalian kita dengan Allah. Shalat membuka hati buat menghubungkan silaturahim dengan sesama manusia. Terutama bila kita ingat keutamaan shalat berjamaah, membanyakkan bertemu dengan orang, sehingga hati terbuka buat berkasih sayang dengan sesama manusia. Orang yang suka memencil sendirian itulah yang kerapkali ditimpa penyakit mementingkan diri sendiri, yang akhir kelaknya membawa penyakit bakhil. Dan bakhil adalah permulaan dari syirik, yaitu mempersekutukan Allah dengan harita yang dianugerahkan oleh Allah.
Dengan membaca sampai ke ujung ayat bertambah pahamlah kita bahwa ayat ini benar-benar ditujukan kepada orang yang telah mengaku beriman. Ayat ini memang pesan Allah kepada Mukmin, pesan kasih sayang yang disuruh sampaikan kepada Rasul-Nya, bahwa kalau sekiranya iman atau agama itu disia-siakan, terutama shalat dilalaikan, kedua bakhil, kikir, enggan mengeluarkan harta bagi kepentingan umum atau membantu orang yang patut dibantu, niscaya akan disuruh mempertanggungjawabkan juga di hadapan Allah di akhirat nanti. Pada waktu itu tidak ada jual beli. Dan tidak pula laku berkawan-kawan. Artinya, mentang-mentang kita bersahabat dengan seorang yang saleh misalnya, lalu dengan perantaraan orang yang saleh itu kita minta kepada Allah supaya hukum diringankan. Keduanya tidak mungkin, karena kita tidak akan membawa harta benda ke akhirat. Uang dunia akan tinggal di dunia dan tidak laku di akhirat. Harta yang laku ketika itu ialah amal itu sendiri, yang telah kita kirimkan terlebih dahulu, sebagai-mana tersebut dalam surah al-Baqarah ayat 100,
“Dan dirikanlah olehmu shalat dan bayarkanlah zakat. Karena apa yang kamu dahulukan untuk diri kamu dari amal baik, nanti akan kamu dapati dianya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah, atas apa-apa yang kamu amalkan, adalah amat Melihat." (al-Baqarah: 100)
Tak ubahnya kehidupan akhirat itu dengan perjalanan ke negeri lain di zaman sekarang (ketika tafsir ini disusun). Uang negeri kita tidak laku di luar negeri, walaupun kita membawanya satu keranjang. Supaya kita dapat berbelanja di negeri lain itu, hendaklah tukarkan terlebih dahulu uang kita kepada salah satu bank dengan persetujuan pemerintah, dan terima tanda pembayaran. Di luar negeri, dengan mengemukakan tanda pembayaran (deviezen) itu, barulah bank di sana mengeluarkan ganti uang kita dengan uang negeri itu. Maka harta dunia ini tidak laku lagi di akhirat, kalau tidak ditukarkan dari sekarang. Itulah sebabnya maka jika kita meninggal dunia, tidak perlu dimasukkan ke dalam kubur kita harta benda. Cukup tiga lapis kafan saja, karena perbelanjaan di sana sudah kita kirim terlebih dahulu. Dan telah disimpan baik-baik oleh Allah menunggu kita datang. Tanda penerimaan pun sudah ada dalam catatan Allah.
Perhatikanlah ayat ini, untuk memikirkan kebodohan kita beragama, kalau ada orang yang mati, lalu berebut warisnya membayar fidyah shalat, dan terjadi tawar menawar dengan lebai yang mengurus jenazah karena ada orang yang mengatakan bahwa shalat yang tinggal bisa dibayar dengan beras! Atau bisa dimintakan doa oleh orang yang diupah membaca surah Yaasiin di kuburan, Ma syaa Allah!
Ayat 32
“Allah-lah Yang menciptakan semua langit dan bumi, dan yang menurunkan ai, dari langit, maka keluarlah dengan sebabnya buah-buahan akan jadi rezeki bagi kamu."
Lintuh rasanya tulang, lunglai segala persendian apabila Allah memperingatkan ini kepada kita. Betapa pun lengah dan lalai makhluk, betapa pun mereka melupakan Allah, bahkan kadang-kadang mempersekutukan-Nya dengan yang lain, namun hujan turun juga dan bumi pun subur, pohon-pohon berbuah. Kita hanya tinggal memetik buah.
Kehidupan manusia di seluruh dunia sangat bergantung kepada turunnya air hujan; kesuburan bumi yang akan mendatangkan hasil, demikian juga makanan bagi manusia sendiri dan binatang-binatang ternak. Bahaya besar menimpa suatu negara kalau sekiranya di sana terjadi kemarau panjang, sehingga manusia kelaparan dan binatang ternak pun habis mati. Sedang zaman modern yang disebut tergantung kepada industri itu pun masih menghendaki hujan. Misalkan saja Pabrik Wool (bulu) yang akan dijadikan orang pakaian, yang begitu besar di benua Australia, akan terkaparlah segala pabrik itu kalau sekiranya hujan lama tidak turun sehingga binatang ternak habis mati. Manusia sendiri pun bagaimana majunya di zaman modern ini, masih saja menghendaki memakan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang segar. Gandum, beras, dan segala makanan yang menghasilkan vitamin dan kalori, semua pada akhirnya bergantung kepada hujan. Maka diatur Allah langit yang berada di atas kita, lalu menurunkan hujan, dan bumi menampungnya dan makhluk hidup di atasnya.
“Dan Dia mudahkan untuk kamu kapal, supaya dia belayar di lautan dengan perintah-Nya." Menghubungkan kamu dari benua ke benua, pulau ke pulau, mencari sesamamu manusia, tukar menukar kepentingan. Berlayar kapal itu, baik menunggu angin yang selesai atau dengan mesin dan stoom atau motor. Semuanya belayar dengan perintah dan izin Allah. Artinya, nakhoda sendiri pun belum berani belayar kalau belum siap, dan persiapan yang sebenarnya ialah keizinan dari Allah.
“Dan Dia mudahkan untuk kamu sungai-sungai."
Maka pada ujung ayat ini, bahwa Allah memudahkan sungai-sungai untuk manusia, mengingatkan kita akan pentingnya sungai sebagai urat nadi kehidupan, kemajuan, kebudayaan, sejak manusia mengenal pergaulan dalam alam ini. Teringatlah kita apa yang dihasilkan oleh Sungai Nil di Mesir, Sungai Furat dan Dajlah di Irak; Sungai Indus dan Gangga di India. Dan sejak zaman modern betapa peranan sungai di Eropa Barat, seperti Rhin, Donaw, dan lain-lain. Dan sungai-sungai itu pulalah yang dituju oleh nenek moyang bangsa Melayu dan Kepulauan Indonesia ketika berpindah dari India Belakang berpuluh abad yang lalu. Allah telah memudahkan sungai-sungai untuk tamaddun manusia.
Pembicaraan tentang sungai-sungai dalam Al-Qur'an ini menambah iman kita bahwa Nabi Muhammad ﷺ diutus buat seluruh manusia dan seluruh benua. Bukan buat kaumnya saja. Sebab di Hejaz, (Mekah dan Madinah) tidak ada sungai-sungai.
Ayat 33
“Dan Dia mudahkan untuk kamu matahari dan bulan yang tetap (beredar)"
Sehingga ketetapan peredaran matahari dan bulan itu membuka pikiran bagi kita untuk menilai waktu; menghitung jam, hari, bulan dan tahun, untuk jadi peringatan dari
masa-masa yang kita lalui dalam hidup ini.
“Dan Dia mudahkan untuk kamu malam dan siang."
Dengan peredaran malam dan siang, kita pun dapat membagi hari dalam bekerja. Malam kita istirahat mengumpul kekuatan lahir dan batin, dan kita Tahajjud. Dan siang kita bekerja keras mencari rezeki, menuntut ilmu, mengatur masyarakat, dan beribadah kepada Allah.
Ayat 34
“Dan Dia datangkan kepada kamu dari tiap-tiap apa yang kamu minta."
Artinya, sebagaimana dikuatkan juga oleh ayat-ayat yang lain, semuanya yang kita per-lukan di dalam hidup kita, telah disediakan oleh Allah, asal kita memakai pikiran kita mencarinya dan mempergunakannya. Karena kadang-kadang ada juga barang yang ada di sekitar kita, ada faedahnya bagi kita, tetapi kita tidak mempergunakan pikiran buat menyelidiki akan gunanya, sehingga terbuang percuma saja. Oleh sebab itu bunyi ayat “apayang kamu minta," boleh juga diartikan “Apa yang kamu tanyakan." (Saaltumuhu). Tanyakan kepada Allah, dengan mengadakan penyelidikan seksama, niscaya barang-barang yang tadinya kita sangka tidak berguna, akan ternyata ada gunanya."Dan jika kamu hitunglah nikmat Allah, tidaklah akan dapat kamu bilang dia." Misalnya telah dihitung sampai seratus. Maka sampai di seratus itu diadakan satu tanda, setiap sampai seratus satu tanda; ataupun setiap sampai seribu diadakan satu tanda. Akhirnya tanda-tanda bilangan yang banyak itu pun tidak akan dapat dijumlahkan lagi, lantaran banyaknya nikmat. Cobalah sekali-sekali menghitung nikmat Allah pada dirimu sendiri, sejak engkau lahir ke dunia, sampai kini. Dapatkah engkau jumlahkan? Pasti tidak! Namun demikian,
“Sungguh manusia itu sangat zalim dan tidak kenal terima kasih."