Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱللَّهُ
Allah
يَبۡسُطُ
melapangkan/meluaskan
ٱلرِّزۡقَ
rezki
لِمَن
bagi siapa
يَشَآءُ
Dia kehendaki
وَيَقۡدِرُۚ
dan Dia menyempitkan
وَفَرِحُواْ
dan mereka bergembira
بِٱلۡحَيَوٰةِ
dengan kehidupan
ٱلدُّنۡيَا
dunia
وَمَا
dan/padahal
ٱلۡحَيَوٰةُ
kehidupan
ٱلدُّنۡيَا
dunia
فِي
dalam
ٱلۡأٓخِرَةِ
kehidupan akhirat
إِلَّا
hanyalah
مَتَٰعٞ
kesenangan
ٱللَّهُ
Allah
يَبۡسُطُ
melapangkan/meluaskan
ٱلرِّزۡقَ
rezki
لِمَن
bagi siapa
يَشَآءُ
Dia kehendaki
وَيَقۡدِرُۚ
dan Dia menyempitkan
وَفَرِحُواْ
dan mereka bergembira
بِٱلۡحَيَوٰةِ
dengan kehidupan
ٱلدُّنۡيَا
dunia
وَمَا
dan/padahal
ٱلۡحَيَوٰةُ
kehidupan
ٱلدُّنۡيَا
dunia
فِي
dalam
ٱلۡأٓخِرَةِ
kehidupan akhirat
إِلَّا
hanyalah
مَتَٰعٞ
kesenangan
Terjemahan
Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia dibandingkan akhirat hanyalah kesenangan (yang sedikit).
Tafsir
(Allah meluaskan rezeki) melebarkannya (bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkannya) artinya Allah pun menyempitkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (Mereka bergembira) yang dimaksud ialah penduduk Mekah, yaitu dengan kegembiraan yang sombong (dengan kehidupan di dunia) dengan apa yang telah mereka peroleh daripada perkara duniawi (padahal kehidupan dunia itu) dibanding dengan (kehidupan di akhirat hanyalah kesenangan yang sedikit) kesenangan yang bersifat sementara lalu lenyap.
Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan di dunia ini (dibandingkan dengan) kehidupan di akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit). Allah ﷻ menyebutkan bahwa Dialah yang meluaskan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia pulalah yang menyempitkannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, karena hal itu mengandung hikmah dan keadilan yang hanya diketahui oleh-Nya. Tetapi orang-orang kafir itu merasa gembira dengan kehidupan duniawi yang diberikan kepada mereka, padahal pemberian itu adalah istidraj dan penangguhan azab bagi mereka, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat lain melalui firman-Nya: Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar. (Al-Muminun: 55-56) Kemudian Allah menghinakan kehidupan dunia bila dibandingkan dengan pahala yang disimpan oleh Allah ﷻ buat hamba-hamba-Nya yang mukmin kelak di hari akhirat.
Untuk itu Allah ﷻ berfirman: padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat hanyalah kesenangan (yang sedikit). (Ar-Ra'd: 26) Sama halnya dengan yang disebutkan oleh Allah dalam ayat lain melalui firman-Nya: Katakanlah, "Kesenangan dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kalian tidak akan dianiaya sedikit pun. (An-Nisa: 77) Tetapi kalian (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (Al-A'la: 16-17) Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki' dan Yahya ibnu Sa'id; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abu Khalid, dari Qais, dari Al-Mustawrid (saudara lelaki Bani Fihr) yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Tiadalah kehidupan dunia bila dibanding dengan kehidupan di akhirat melainkan seperti seseorang di antara kalian yang mencelupkan jari telunjuknya ke laut ini, maka perhatikanlah apakah yang dihasilkannya.
Rasulullah ﷺ bersabda demikian seraya berisyarat dengan jari telunjuknya. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab Sahih-nya. Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ melewati bangkai seekor kambing yang kedua telinganya kecil (kurus), lalu beliau ﷺ bersabda: Demi Allah, sesungguhnya dunia ini lebih diremehkan oleh Allah daripada kambing ini menurut pandangan pemiliknya ketika ia mencampakkan (bangkai)nya"
Allah yang Maha Pemurah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia
kehendaki dan membatasi rezeki siapa yang Dia kehendaki dari hambahamba-Nya. Mereka yang ingkar bergembira ria dengan kebahagian hidup yang mereka peroleh di kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia
hanyalah kesenangan yang berlangsung begitu singkat dibanding kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Demikianlah Allah menjelaskan balasan bagi orang yang enggan
menerima kebenaran dan orang kafir yang hanya mengejar kesenangan duniawi. Dan tidak hanya menolak kebenaran, orang-orang kafir juga
berkata dengan nada mengejek, Mengapa tidak diturunkan kepadanya
(Nabi Muhammad) tanda berupa mukjizat yang dapat dilihat secara
kasat mata dari Tuhannya, seperti halnya mukjizat Nabi Musa dan Isa'
Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, Sesungguhnya Allah menyesatkan'membiarkan sesat'siapa yang Dia kehendaki karena keingkarannya sendiri, betapapun banyak mukjizat yang dilihatnya, dan Allah memberi petunjuk bagi orang yang bertobat dan kembali kepada-Nya,.
Allah melapangkan dan memudahkan rezeki bagi sebagian hamba yang dikehendaki-Nya, sehingga mereka memperoleh rezeki yang lebih dari keperluan sehari-hari. Mereka adalah orang-orang yang rajin dan terampil dalam mencari harta, dan melakukan bermacam-macam usaha. Selain itu, mereka hemat dan cermat serta pandai mengelola dan mempergunakan harta bendanya itu.
Sebaliknya, Allah juga membatasi rezeki bagi sebagian hamba-Nya, sehingga rezeki yang mereka peroleh tidak lebih dari apa yang diperlukan sehari-hari. Mereka biasanya adalah orang-orang pemalas dan tidak terampil dalam mencari harta, atau tidak pandai mengelola dan mempergunakan harta tersebut.
Allah melapangkan dan menyempitkan rezeki hamba-Nya berdasarkan hikmah serta pengetahuan-Nya tentang masing-masing hamba itu. Kedua hal tersebut tidak ada hubungannya dengan kadar keimanan dan kekafiran hamba-Nya. Oleh karena itu, ada kalanya Allah menganugerahkan rezeki yang banyak kepada hamba-Nya yang kafir. Sebaliknya, kadang-kadang Allah menyempitkan rezeki bagi hamba yang beriman untuk menambah pahala yang kelak akan mereka peroleh di akhirat. Maka kekayaan dan kemiskinan adalah dua hal yang dapat terjadi pada orang-orang beriman maupun yang kafir, yang saleh ataupun yang fasik.
Ayat ini selanjutnya menceritakan bahwa kaum musyrik Mekah yang suka memungkiri janji Allah, sangat bergembira dengan banyaknya harta benda yang mereka miliki, dan kehidupan duniawi yang berlimpah-ruah, dan mereka mengira bahwa harta benda tersebut merupakan nikmat dan keberuntungan terbesar.
Oleh sebab itu, pada akhir ayat ini Allah menunjukkan kekeliruan mereka, dan menegaskan bahwa kenikmatan hidup duniawi ini hanyalah merupakan kenikmatan yang kecil, pendek waktunya, serta mudah dan cepat hilang, dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat yang besar nilainya dan sepanjang masa. Dengan demikian, tidaklah pada tempatnya bila mereka bangga dengan kenikmatan di dunia yang mereka rasakan itu.
Dalam hubungan ini, riwayat yang disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ibnu Masud menyebutkan sebagai berikut:
Pernah Rasulullah tidur di atas sehelai tikar kemudian beliau bangun dari tidurnya, dan kelihatan bekas tikar itu pada lambungnya, lalu kami berkata, "Ya Rasulullah seandainya kami ambilkan tempat tidur untukmu?" Rasulullah bersabda, "Apalah artinya dunia ini bagiku. Aku hidup di dunia ini hanya laksana seorang pengendara yang berteduh sejenak di bawah pohon, kemudian ia berangkat lagi dan meninggalkan pohon itu." (Riwayat at-Tirmidzi dari Ibnu Masud)
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 19
“Apakah orang-orang yang mengetahui hanyasaja yang diturunkan kepada engkau dari Tuhan engkau itu adalah kebenaran, akan sama seperti orang yang dianya buta? Yang memikirkan hal itu hanyalah orang-orang yang pikirannya berisi."
Dengan diantarkan oleh beberapa ayat yang menarik buat berpikir, sampailah pada ayat ini. Yang diterangkan bahwa yang mengerti apa yang diturunkan kepada Muhammad ﷺ itu adalah kebenaran sejati, hanyalah UluI Albaab, orang yang mempunyai isi. Albaab kata jamak dari lubb, dan lubb, artinya isi, inti atau teras. Sebagai lawannya ialah orang yang kepalanya kosong, otaknya tidak berisi. Orang-orang yang kepala kosong dari inti pikiran itu sama juga dengan buta. Sebab jiwanyalah yang buta. Apa pun misal yang dikemukakan kepada mereka, tidaklah mereka akan dapat menangkap. Orang-orang yang “berisi", itulah yang mengerti akan kebenaran. Itulah yang akan menyambut seruan Rasul.
Di dalam ayat 14 di atas sudah diterangkan tentang seruan kepada kebenaran. Dan kebenaran yang sejati itu ialah tauhid. (Kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib). Ialah Kalimat La Ilaha (Kata Sayyidina Abbas). Maka buat sampai kepada hakikat tauhid itu lain tidak ialah orang yang mempunyai inti pengertian melihat alam yang ada di kelilingnya. Karena mata yang lahir ini hanya alat saja untukmenembus dan melihat apa yang dapat ditangkap oleh akal dan pikiran. Sebab itu orang yang buta mata batinnya, orang yang jiwanya tidaklah melihat hakikat kebenaran itu. Itu sebabnya maka mereka menyembah kepada yang lain, selain Allah.
Kemudian disebutlah keutamaan dari orang-orang yang berisi dan berakal budi itu selanjutnya,
Jadi berakal budi itu selanjutnya, yaitu ayat,
Ayat 20
“Orang-orang yang meneguhi perjanjian dengan Allah, dan tidak merusak ikatan janji"
Adapun janji yang tertua di antara kita dengan Allah, ialah sebagaimana yang tersebut dalam surah al-A'raaf ayat 172, selagi kita seluruhnya masih dalam sulbi Nabi Adam, lalu dikeluarkan kita dari tulang-tulang punggung, dan kita ditanyai oleh Allah, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Maka menjawablah semuanya, “Memang, Engkaulah ya Allah, Tuhan kami!" Maka segala janji kita yang lain, janji mengikut perintah, janji menghentikan larangan, dan janji melaksanakan ibadah, pendeknya semua janji, berpusatlah kepada janji yang pertama itu, jauh sebelum kita diciptakan dengan hidup yang nyata ini. Maka orang yang pikirannya berisi, akalnya mempunyai teras yang hidup, selalu dia ingat akan janji itu, ingat dengan tidak disadari, tidak diselaputi janjinya oleh hawa nafsunya, sehingga bila didengarnya saja seruan Rasul, mengertilah dia akan kebenarannya dan taat patuhlah dia mengikutinya seakan-akan telah pernah didengarnya, tetapi dia tidak ingat entah di mana. Dan tidaklah sekali-kali janji yang telah diikat dengan Allah itu dimungkirinya. Itulah pokok yang pertama dari orang yang pikirannya berisi itu.
Kemudian itu dipenuhinyalah segala janjinya dengan sesamanya manusia; bukan sebagai orang munafik yang apabila berjanji mungkir, apabila bercakap bohong. Dan ingatlah bahwasanya segala jurusan dari masyarakat kita manusia ini adalah paduan janji belaka, sampai kepada jual beli, sampai kepada akad nikah. Malahan akad nikah, yang menyebabkan kesetiaan suami istri adalah dimulai dengan ijab kabul, janji si mempelai akan menerima dan menampung istrinya yang diserahkan tanggung jawabnya oleh mertuanya kepadanya. Sampai kepada janji yang bisa diikat dengan sumpah oleh pejabat-pejabat ketika dia diserahi tanggung jawab.
Ayat 21
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah dengan dia supaya dihubungkan."
Adapun yang sangat diperintahkan Allah supaya dihubungkan ialah silaturahim dengan sesama manusia, budi pekerti yang mulia, tolong-menolong, kasih mengasihi, sehingga di samping pertalian dengan Allah, bertali pula jiwanya dengan sesama manusia. Maka orang yang suka memutuskan silaturahim, mengganti kasih sayang dengan kebencian, adalah termasuk orang yang pikirannya tidak berisi atau buta tadi.
“Dan yang takut mereka kepada Tuhan mereka, dan yang gentar akan kengerian Hari Perhitungan."
Ayat ini memperlihatkan bahwa di antara kasih kepada sesama manusia dan takut kepada Allah, dan ingat akan balasan Hari Perhitungan; Hari Kiamat, ketiga unsur itu membentuk pribadi seorang Muslim. Lantaran takutnya kepada Allah maka dia menghubungkan silaturahim dengan sesama manusia, sebab sesama manusia itu sama-sama makhluk Allah dengan dia, dan perlu memerlukan di antara satu dengan yang lain. Bukanlah semata-mata karena dia mengharapkan keuntungan benda bagi diri sendiri makanya dia berbuat baik kepada sesama manusia, karena yang demikian bisa menimbulkan sikap yang palsu, yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di hari perhitungan kelak. Sehingga jika pun dia berbuat baik kepada sesama manusia, dan tidak sanggup orang itu membalas baik, dia mengharap Allah yang akan membalasnya kelak.
Tingkat yang ketiga,
Ayat 22
“Dan orang-orang yang sabar karena mengharapkan wajah Tuhan mereka."
Sabar, adalah syarat mutlak dari kejayaan. Danyangsanggup berlaku sabar hanyalah orang-orang yang mempunyai isi pikiran juga. Sebab, baik di dalam berbuat bakti kepada Allah, ataupun di dalam berbuat kebaikan kepada sesama manusia, tidaklah sunyi dari penderitaan. Kadang-kadang apa yang dimohonkan kepada Allah belum lekas dikabulkan-Nya, karena perhitungan Allah lebih sempurna daripada perhitungan manusia. Kadang-kadang pun kita berbuat baik kepada sesama manusia, dibalasnya dengan jahat. Keduanya memerlukan kesabaran, karena dalam segala amal perbuatan, yang kita harapkan hanyalah wajah Allah, artinya ridha Allah. Orang yang tidak sabar, belumlah mempunyai pikiran berisi."Dan mereka mendirikan shalat." Sebab dengan shalat mereka selalu ada hubungan dengan Allah, yang tidak pernah putus, yang diwajibkan sekurang-kurangnya lima kali sehari semalam."Dan mereka menafkahkan sebagian dari yang Kami karuniakan kepada mereka." Akibat dari shalat, ialah murah hati dan hilangnya bakhil. Sebab shalat dimulai dengan ucapan, “Allahu Akbar" kepada Allah dan disudahi dengan “Assalamu'alaikum wa rahmatullah" kepada sesama manusia. Dan dia menafkahkan harta itu “dengan rahasia dan dengan terang." Kadang-kadang dengan rahasia, misalnya karena menenggang perasaan orang yang dibantu, agar kehormatan dirinya jangan tersinggung, karena ada juga manusia bersedia mati kelaparan daripada rahasia kemiskinannya diketahui oleh orang lain. Dan kadang-kadang dinafkahkannya hartanya dengan terang-terang, diketahui orang banyak, misalnya untuk suatu amal bagi kesejahteraan masyarakat, seumpama membangun masjid, mendirikan sekolah, membangun usaha-usaha yang besar dari kemaslahatan umum, semua dikerjakannya dengan terang, bergelanggang di mata orang banyak bukan karena ingin mendapat puji-pujian, melainkan supaya perbuatannya itu dicontoh dan dituruti pula oleh orang lain, berlomba berbuat baik."Dan dengan cara yang baik mereka menolak kejahatan." Suatu perbuatan yang membuktikan mutu iman yang amat tinggi, bukanlah membalas jahat dengan jahat, melainkan dengan cara yang sebaik-baiknya dia menangkis kejahatan yang ditimpakan orang atas dirinya, atau suatu kejahatan yang dilakukan seseorang kepada orang banyak, dia sanggup membendungnya dengan cara yang baik.
Membalas sikap buruk lawan dengan balasan budi yang baik adalah budi yang paling tinggi. Sebagaimana tersebut pula dalam surah Fushshilat (Haamim Sajdah) ayat 34, kita disuruh meladeni lawan dengan cara yang sebaik-baiknya, sehingga lantaran baiknya cara kita menghadapi itu, dapat hendaknya orang yang tadinya musuh atau bersikap memusuhi kita, berganti dengan seorang teman yang se-karib-karibnya. Dan pada lanjutan ayat 35 dikatakan pula bahwasanya yang dapat mencapai yang demikian itu orang yang sabar dan mempunyai kemauan atau jiwa yang besar.
Bagaimana teknik melakukannya, terserahlah kepada kebijaksanaan orang yang bersangkutan, sebab ayat ini adalah menunjukkan sifat-sifat yang mulia dari orang yang akalnya mempunyai teras dan inti.
“Mereka itu, bagi mereka adalah batasan yang baik (di Akhirat)"
Balasan yang baik di akhirat,
“Surga-surga yang kekal (surga ‘Adn) yang mereka akan masuk ke dalamnya bersama-
Ayat 23
sama yang baik dari bapak-bapak mereka."
Bapak-bapak mereka, nenek moyang mereka yang banyak di antara mereka tidak berjumpa lagi dengan mereka di dunia ini, akan berjumpalah olehnya kelak di dalam surga itu, yaitu mana yang beramal baik pula."Dan istri-istri mereka dan keturunan-keturunan mereka." Berkumpul kembali suatu keluarga yang besar, baik nenek moyang yang di dunia belum pernah dikenal, atau istri, atau anak-cucu yang belum diketahui, karena mereka lahir ke dunia lama sesudah neneknya yang beriman itu meninggal, semuanya berkumpul di dalam surga, dibawa oleh iman dan amal masing-masing menurut tingkat yang teiah disebutkan pada ayat-ayat yang tersebut itu.
“Surga Adn," yaitu surga yang kekal. Adh-Dhahhak mentafsirkan bahwa surga Adn yang kekal itu ialah suatu negeri dalam surga. Di sanalah tinggalnya rasul-rasul dan nabi-nabi dan orang-orang yang mati syahid dan imam-imam ikutan umat pembawa petunjuk; manusia ada di sekeliling mereka dan surga-surga yang lain mengelilingnya pula; demikian tersebut dalam riwayat Ibnu Jarir.
Diterangkan pula dalam ayat bahwa di sana pun akan turut berkumpul bapak-bapak atau nenek moyang mereka yang baik, yaitu yang beriman dan beramal seperti itu. Di sini ditekankan yang baik-baik raja, yang sama amalnya. Bukan hanya semata-mata keturunan. Walaupun ayah kandung, kalau tidak sama-sama beramal yang baik tidaklah bertemu kembali. Demikian juga tentunya istri dan anak-anak.
Sebab itu maka Abus Su'ud merekankan dalam tafsirnya, bahwa dalam ayat ini diberi penjelasan yaitu yang baik-baik dari bapak-bapak atau nenek moyang, untuk memotong keinginan kosong orang-orang yang membanggakan keturunan.
Dan penafsir az-Zajjaj menerangkan lagi, “Di ayat ini Allah Ta'aala menjelaskan bahwa nasab keturunan tidaklah ada manfaatnya kalau tidak disertai amalan yang saleh, dan istri-istri ataupun anak-anak tidaklah pula akan masuk ke dalam surga kalau tidak dengan amalan yang saleh jua adanya."
“Sedang malaikat akan masuk ke tempat mereka dari tiap-tiap pintu."
Tetamu-tetamu yang mulia dan akan jadi penghuni tetap dari surga telah datang, suatu keluarga besar, maka malaikat-malaikat itu pun datanglah menziarahi mereka, masuk dari tiap-tiap pintu, mengucapkan,
Ayat 24
“Selamatlah atas kamu, lantaran kesabaran kamu! Maka alangkah nikmatnya balasan akhirat."
Ucapan selamat datang yang disampaikan malaikat, dan kebahagiaan yang mereka rasa, rupanya bertiang kepada sabar jua. Ada beberapa kelebihan mereka telah disusun tadi, meneguhi janji, menghubungkan tali kasih sayang kepada manusia, shalat, menafkahkan harta, tetapi tiang dari semuanya itu adalah sabar. Kalau tidak ada, segala kelebihan dan keistimewaan tadi tidak dapat ditegakkan. Kemudian diterangkan pula yang sebaliknya,
Ayat 25
“Dan orang-orang yang menusukkan janji Allah sesudah diikatkan."
Sebagaimana telah diketahui di atas tadi, kita manusia sejak semula telah membuat janji dengan Allah, akan tunduk kepada pe-rintah-Nya dan setia menghentikan larangan-Nya, lalu kita pun mengikat janji pula dengan sesama manusia, karena hubungan hidup di antara satu dengan yang lain ialah janji. Rupanya janji itu yang dimungkiri."Dan memutuskan apa yang diperintahkan. Allah supaya dihubungkan." Yaitu tali kasih sayang, silaturahim dengan sesama manusia. Sebab sekali-kali tidaklah akan sanggup manusia
hidup seorang dirinya di atas permukaan bumi ini kalau kiranya dia tidak menghubungkan kasih sayang dengan sesamanya manusia. Oleh sebab itu maka memutuskan tali silaturahim dan menyebarkan kebencian serta hasad dan dengki dalam masyarakat, fitnah memfitnah semuanya itu adalah dosa besar.
Bersabda Rasulullah ﷺ,
“Tidaklah akan masuk ke dalam surga seorang pemutus." (HR Bukhari dan Muslim dari Jubair bin Muth'im)
Sufyan menjelaskan dalam riwayatnya bahwa yang dimaksud dengan pemutus itu ialah pemutus silaturahim.
“Dan membuat kerusakan di bumi." Barang yang aman dikacaukannya dan yang damai dihuru-harakannya, kezaliman dibiarkannya bersimaharajalela, orang tidak dibiarkannya tenteram, senang diam, selalu ada saja yang akan menggoncangkan hubungan sesama manusia. Maka orang-orang yang demikian itu, “Itulah orang-orang yang untuk mereka adalah laknat." Yaitu kutuk dan sumpah serapah yang akan diterimanya, baik dari Allah ataupun dari sesamanya manusia, sehingga walaupun pada lahir orangnya kelihatan bersenang-senang dengan kedudukannya yang tinggi atau pangkat dan jabatan ataupun kekayaan, namun jiwanya tidaklah akan merasa tenteram dalam hidup ini. Dia akan merasa terpencil dan kesepian, walaupun dia berenang di dalam kemewahan dan kemegahan.
“Dan untuk mereka adalah seburuk-buruk tempat."
Seburuk-buruk tempat yang disediakan bagi mereka itu ialah dalam neraka Jahannam. Kehidupan di dunia ini tidaklah selesai hingga dunia ini saja. Kalau semasa di dunia dia menjadi timpaan segala kutuk dan laknat, di akhirat disediakanlah baginya tempat yang paling buruk itu yaitu neraka jahannam.
Karena dalam ayat-ayat di atas tadi telah diterangkan tentang nikmat yang akan dirasakan oleh orang yang taat dan menghubungkan silaturahim, setia memegang janji, shalat dan sabar, tampaklah di sini perbandingan di antara UIul Albaab, orang yang mempunyai pandangan jauh dengan orang yang A'mua, yaitu buta hati. Yang hanya melihat hidup sekarang, tidak ingat akan kelanjutan hidup di belakang hari.
Ayat 26
“Allah yang melebar-luaskan rezeki bagi barang siapa yang Dia kehendaki, dan Dia yang membatasi “
Setengah orangdiberi rezeki kekayaan berlimpah-limpah, dan setengahnya lagi terbatas. Yang setengah, oleh karena berlimpah kekayaannya, dapatlah dia mencapai apa yang di-kehendakinya, tetapi yangsetengahditakdirkan bahwa langkahnya terbatas, dibatasi oleh per-sediaan yang tidak sampai-menyampai. Mulai saja melangkah sudah tertumbuk, mulai merencana sudah gagal, sebab persediaan tidak cukup. Mungkin dalam hal pembagian rezeki benda, manusia dapat berusaha mengadakan keadilan sosial yang merata, sehingga yang kaya jangan terlalu kaya dan yang miskin jangan terlalu melarat, sebagaimana yang diteorikan oleh kaum komunis dan sosialis. Tetapi rezeki itu bukanlah harta benda saja. Kecerdasan pikiran, keluasan ilmu pengetahuan, atau yang disebut dalam bahasa Arab dengan Abqariyah atau dalam bahasa asing “Genial", keluarbiasaan, masih tetap berbeda di antara manusia. Ini menjadi bukti bahwa memang mesti ada yang mengatur dan memimpin dan menjadi pelopor dan mesti pula ada yang mengikut dan yang diatur.
“Dan mereka berbesar hati dengan kehidupan dunia, padahal tidaklah kehidupan dunia itu (dibandingkan) kepada akhirat, hanyalah satu bekal (belaka)."