Ayat
Terjemahan Per Kata
هُوَ
Dia-lah
ٱلَّذِي
yang
يُرِيكُمُ
memperlihatkan kepadamu
ٱلۡبَرۡقَ
kilat
خَوۡفٗا
ketakutan
وَطَمَعٗا
dan harapan
وَيُنشِئُ
dan Dia mengadakan
ٱلسَّحَابَ
awan
ٱلثِّقَالَ
tebal/mendung
هُوَ
Dia-lah
ٱلَّذِي
yang
يُرِيكُمُ
memperlihatkan kepadamu
ٱلۡبَرۡقَ
kilat
خَوۡفٗا
ketakutan
وَطَمَعٗا
dan harapan
وَيُنشِئُ
dan Dia mengadakan
ٱلسَّحَابَ
awan
ٱلثِّقَالَ
tebal/mendung
Terjemahan
Dialah yang memperlihatkan kepadamu kilat (untuk menimbulkan) ketakutan dan harapan (akan turun hujan) serta menjadikan awan yang berat (mendung).
Tafsir
(Dialah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepada kalian untuk menimbulkan ketakutan) terhadap orang-orang yang sedang musafir disebabkan suara halilintar (dan harapan) bagi orang yang bermukim terhadap turunnya hujan (dan Dia mengadakan) menciptakan (awan yang tebal) karena mengandung air hujan.
Tafsir Surat Ar-Ra'd: 12-13
Dialah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepada kalian untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung.
Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia Maha Keras siksa-Nya.
Ayat 12
Allah ﷻ menceritakan bahwa Dia yang menundukkan kilat, yaitu cahaya kemilau yang menyilaukan dari sela-sela awan. Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah berkirim surat kepada Abul Jalad, bertanya kepadanya tentang kilat. Maka Abul Jalad menjawab bahwa kilat adalah air (hujan).
Firman Allah ﷻ: “Ketakutan dan harapan.” (Ar-Ra'd: 12)
Qatadah mengatakan bahwa ketakutan bagi orang yang sedang dalam perjalanan yakni takut terhadap bahayanya. Dan harapan bagi orang yang bermukim (ada di tempat tinggalnya) adalah berharap berkah dan manfaat dari kilat, serta mengharapkan rezeki Allah (yaitu hujan).
“Dan Dia mengadakan awan mendung.” (Ar-Ra'd: 12)
Yakni Allah menciptakannya dalam bentuk yang baru. Awan mendung ini karena banyaknya air yang dikandungnya maka berada dekat dengan permukaan bumi.
Mujahid mengatakan bahwa as-sahabussiqal artinya awan yang mengandung air.
Ayat 13
Firman Allah ﷻ: “Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah.” (Ar-Ra'd: 13)
Ayat ini semakna dengan firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan tidak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.” (Al-Isra: 44)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepadaku ayahku yang mengatakan bahwa ia duduk di sebelah Humaid ibnu Abdur Rahman di masjid, lalu lewatlah seorang syekh dari kalangan Bani Giffar, kemudian Humaid menyuruh seseorang untuk memanggilnya. Setelah syekh itu tiba, ia mengatakan, "Hai anak saudaraku, luaskanlah tempat duduk antara aku dan engkau." Syekh itu pernah menemani Rasulullah ﷺ (yakni berpredikat seorang sahabat). Syekh itu datang, lalu duduk di antara aku dan Humaid. Humaid bertanya kepadanya, "Hadis apakah yang akan engkau ceritakan kepadaku dari Rasulullah ﷺ?" Syekh menjawab bahwa ia pernah mendengar dari seorang syekh dari kalangan Bani Giffar bercerita bahwa syekh yang kedua ini pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah mengadakan awan, maka awan itu dapat berbicara dengan suara yang paling baik dan dapat tertawa dengan tawa yang paling baik.”
Makna yang dimaksud hanya Allah yang lebih mengetahui bahwa ucapan awan adalah petirnya, dan tertawanya ialah kilatnya.
Musa ibnu Ubaidah telah meriwayatkan dari Sa'd ibnu Ibrahim yang mengatakan bahwa Allah mengirimkan hujan, maka tiada tawa yang lebih baik daripada tawanya, dan tiada bicara yang lebih indah daripada bicaranya. Tertawanya adalah kilat, dan bicaranya adalah petir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ubaidillah Ar-Razi, dari Muhammad ibnu Muslim yang mengatakan, "Telah sampai kepada kami, suatu berita bahwa kilat adalah seorang malaikat yang memiliki empat muka, yaitu muka manusia, muka banteng, muka elang, dan muka singa; apabila mengibaskan ekornya, maka itulah kilatnya."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Abu Matar, dari Salim, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ apabila mendengar suara guruh dan petir, beliau mengucapkan doa berikut: “Ya Allah, janganlah Engkau bunuh kami dengan murka-Mu, dan janganlah Engkau binasakan kami dengan azab-Mu, dan maafkanlah kami sebelum itu.” Hadis ini merupakan riwayat Imam Turmuzi dan Imam Bukhari di dalam Kitabul Adab, serta Imam Nasai di dalam Bab "Zikir Malam dan Siang Hari". Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-Hya meriwayatkannya melalui hadis Al-Hajjaj ibnu Artah, dari Abu Mathar, tetapi ia tidak menyebutkan namanya.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Israil, dari ayahnya, dari seorang lelaki, dari Abu Hurairah yang me-rafa'-kannya (sampai kepada Nabi ﷺ). Disebutkan bahwa Nabi ﷺ membaca doa berikut apabila mendengar suara guruh: “Maha Suci Tuhan yang guruh bertasbih dengan memuji-Nya.”
Diriwayatkan dari Ali r.a. bahwa apabila ia mendengar suara guruh mengucapkan doa berikut: "Maha Suci Tuhan yang engkau bertasbih kepada-Nya." Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Tawus, dan Al-Aswad ibnu Yazid, bahwa mereka mengucapkan doa tersebut.
Al-Auza'i mengatakan, "Ibnu Zakaria pernah berkata bahwa barang siapa yang mendengar suara guruh, lalu membaca doa ini, 'Maha Suci Allah dan dengan memuji kepada-Nya,' niscaya dia tidak akan disambar petir."
Dari Abdullah ibnuz Zubair, disebutkan bahwa apabila ia mendengar suara guruh, sedangkan ia dalam keadaan berbicara, maka ia menghentikan pembicaraannya dan mengucapkan doa, "Maha Suci Tuhan yang guruh dan para malaikat bertasbih kepada-Nya dengan memuji-Nya karena takut kepada-Nya." Lalu ia berkata, "Sesungguhnya suara ini benar-benar merupakan peringatan yang keras bagi penduduk bumi." Demikianlah menurut riwayat Imam Malik di dalam kitab Muwata-nya dan Imam Bukhari di dalam Kitabul Adab.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Wasi', dari Ma'mar ibnu Nahar, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tuhan kalian telah berfirman, ‘Sekiranya hamba-hamba-Ku taat kepada-Ku, tentulah Aku sirami mereka dengan air hujan di malam hari, dan Aku terbitkan kepada mereka matahari di siang harinya, dan tentulah Aku tidak akan memperdengarkan suara guruh kepada mereka’."
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya As-Saji, telah menceritakan kepada kami Abu Kamil Al-Juhdari, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Katsir Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abdul Karim, telah menceritakan kepada kami Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Apabila kalian mendengar suara guruh, maka berzikirlah kepada Allah, karena sesungguhnya guruh tidak akan mengenai orang yang berzikir.”
Firman Allah ﷻ: “Dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Ar-Ra'd: 13)
Artinya, Allah melepaskan petir sebagai azab-Nya yang Dia timpakan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Karena itulah halilintar banyak terjadi di akhir zaman, seperti apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad. Ia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mus'ab telah menceritakan kepada kami Imarah, dari AbuNadrah, dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a., bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Halilintar akan banyak bila hari kiamat telah dekat, sehingga seorang lelaki datang kepada suatu kaum, lalu ia mengatakan, ‘Siapakah yang telah disambar petir di antara kalian kemarin?’ Maka mereka menjawab, ‘Si Fulan, si Fulan, dan si Fulan’.”
Telah diriwayatkan sebuah hadis berkenaan dengan asbabun nuzul ayat ini oleh Al-Hafiz Abu Yala Al-Mausuli: Telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abu Sarah Asy-Syaibani, telah menceritakan kepada kami Sabit, dari Anas, bahwa Rasulullah ﷺ mengirimkan seorang lelaki kepada seseorang dari kalangan orang-orang Badui yang kafir. Beliau ﷺ memerintahkan kepada pesuruhnya itu, "Pergilah dan serulah dia untuk memeluk (agama)ku!" Pesuruh berangkat menuju tempat lelaki Badui itu. Setelah datang, ia berkata kepadanya, "Rasulullah ﷺ menyerumu!" Lelaki Badui itu bertanya, "Siapakah Rasulullah, dan apakah Allah itu, apakah dari emas ataukah dari perak atau dari tembaga?" Pesuruh Rasulullah ﷺ kembali menghadap kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan apa yang dialaminya. Ia berkata kepada Nabi ﷺ, "Telah aku ceritakan kepadamu bahwa orang itu jauh lebih ingkar daripada apa yang diperkirakan. Dia mengatakan anu dan anu kepadaku (menunjukkan keingkarannya)." Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku, "Pergilah lagi kamu kepadanya!" Pesuruh Rasulullah ﷺ berangkat lagi kepadanya untuk kedua kalinya, dan lelaki Badui yang diserunya mengatakan hal yang sama dengan sebelumnya. Maka pesuruh Rasulullah ﷺ kembali dan berkata kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, telah aku ceritakan kepadamu bahwa dia lebih ingkar daripada itu." Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, “Kembalilah kamu dan serulah dia!" Pesuruh Rasulullah ﷺ kembali kepada lelaki Badui itu untuk yang ketiga kalinya, tetapi lelaki Badui itu mengeluarkan jawaban yang sama kepada utusan Rasulullah.
Ketika sedang berbicara dengan utusan Rasulullah, tiba-tiba Allah mengirimkan awan di atas kepala lelaki Badui itu, lalu awan tersebut mengeluarkan guruhnya, dan petir menyambar lelaki Badui itu mengenai kepalanya sehingga kepalanya hilang. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan Allah melepaskan halilintar.” (Ar-Ra'd: 13), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Ali ibnu Abu Sarah dengan sanad yang sama. Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar meriwayatkannya dari Abdah ibnu Abdullah, dari Yazid ibnu Harun, dari Dulaim ibnu Gazwan, dari Sabit, dari Anas, lalu disebutkan hal yang serupa.
Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Aban ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Abu Imran Al-Juni, dari Abdur Rahman ibnu Sahhar Al-Abdi. Disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah mengutusnya kepada seseorang yang berlaku sewenang-wenang untuk menyerunya agar memeluk Islam. Tetapi lelaki yang diserunya bertanya, "Bagaimanakah menurut kalian tentang Tuhan kalian, apakah dari emas, atau dari perak atau dari permata?" Ketika lelaki yang diseru itu membantah mereka yang menyerunya, tiba-tiba Allah mengirimkan segumpal awan, lalu awan itu mengeluarkan suara guruhnya, kemudian Allah melepaskan halilintar mengenai lelaki yang diseru itu sehingga kepalanya hilang. Dan turunlah ayat ini.
Abu Bakar ibnu Ayyasy telah menceritakan dari Lais ibnu Sulaim, dari Mujahid yang mengatakan bahwa seorang Yahudi datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, "Hai Muhammad, ceritakanlah kepadaku tentang Tuhanmu, terbuat dari apa, apakah dari tembaga atau dari mutiara atau dari batu yaqut?" Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lalu datanglah halilintar menyambar lelaki itu hingga binasa, kemudian Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan Allah melepaskan halilintar.” (Ar-Ra'd: 13), hingga akhir ayat.
Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa pernah ada seorang lelaki yang ingkar kepada Al-Qur'an dan mendustakan Nabi ﷺ. Lalu Allah mengirimkan halilintar untuk menyambarnya hingga binasa, kemudian Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan Allah melepaskan halilintar.” (Ar-Ra'd: 13), hingga akhir ayat.
Sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini ulama tafsir menceritakan kisah Amir ibnut Tufail dan Arbad ibnu Rabi'ah ketika keduanya tiba di Madinah dan menghadap kepada Rasulullah ﷺ, lalu keduanya meminta separo dari urusan itu buat mereka berdua kepada Rasulullah ﷺ. Tetapi Rasulullah ﷺ menolak permintaan mereka berdua. Maka Amir ibnut Tufail berkata kepada Rasulullah ﷺ, "Ingatlah, demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar akan memenuhi kota Madinah untuk memerangimu dengan pasukan berkuda dan pasukan jalan kaki." Maka Rasulullah ﷺ menjawabnya, "Allah pasti menolakmu melakukan hal tersebut, demikian pula orang-orang Ansar." Kemudian keduanya berniat akan membunuh Rasulullah ﷺ. Untuk itu, salah seorang dari keduanya mengajak Rasulullah ﷺ berbicara, sedangkan yang lainnya menghunus pedang untuk membunuh Rasulullah ﷺ dari arah belakang. Akan tetapi, Allah ﷻ melindungi diri Rasulullah ﷺ dari perbuatan keduanya dan menjaganya. Akhirnya keduanya pergi meninggalkan kota Madinah, lalu berkeliling menemui kabilah-kabilah Arab Badui, mengumpulkan orang-orangnya buat memerangi Rasulullah ﷺ. Maka Allah mengirimkan awan yang mengandung halilintar kepada Arbad, kemudian Arbad mati terbakar disambar halilintar. Adapun Amir ibnut Tufail, Allah mengirimkan penyakit ta'un kepadanya; akhirnya tubuh Amir terkena penyakit bisul yang besar, sehingga Amir merintih-rintih kesakitan dan berkata, "Hai keluarga Amir, aku terserang bisul seperti bisul punuk unta, dan kematianku sudah dekat, yaitu di rumah keluarga Saluliyah." Akhirnya matilah keduanya.
Semoga mereka berdua dilaknat oleh Allah. Sehubungan dengan peristiwa seperti itu Allah menurunkan firman-Nya: “Dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah.” (Ar-Ra'd: 13) Sehubungan dengan peristiwa itu Lubaid ibnu Rabi'ah (saudara lelaki Arbad) mengatakan dalam bait syairnya yang mengungkapkan rasa belasungkawanya, "Aku merasa khawatir maut akan merenggut Arbad, tetapi aku tidak merasa takut akan keselamatannya terhadap hujan-Mu dan singa. Tetapi sangat mengejutkan aku halilintar dan guruh yang menggelegar menyambar seorang pendekar di hari yang sangat kubenci di Najd."
Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mas'adah ibnu Sa'id Al-Attar, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Munzir Al-Hizami, telah menceritakan kepadaku Abdul Aziz ibnu Imran, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman dan Abdullah (keduanya anak Zaid ibnu Aslam), dari ayahnya, dari Ata ibnu Yasar, dari Ibnu Abbas, bahwa Arbad ibnu Qais ibnu Hazz ibnu Jalid ibnu Ja'far ibnu Kilab dan 'Amir ibnut Tufail ibnu Malik tiba di Madinah untuk menjumpai Rasulullah ﷺ. Lalu keduanya menjumpainya, saat itu Rasulullah ﷺ sedang duduk; maka keduanya duduk di hadapan Rasulullah ﷺ. Amir ibnut Tufail berkata, "Hai Muhammad, apakah yang akan engkau berikan kepadaku jika aku masuk Islam?" Rasulullah ﷺ bersabda, "Engkau akan memperoleh hak seperti kaum muslim lainnya dan mempunyai kewajiban yang sama dengan mereka." Amir ibnut Tufail berkata lagi "Apabila aku masuk Islam, maukah engkau jika aku memegang tampuk pemerintahan sesudahmu?" Rasulullah ﷺ bersabda, "Hal itu bukanlah untukmu, bukan pula untuk kaummu, tetapi engkau boleh memegang tali kendali kuda (memimpin pasukan berkuda)." Amir menjawab, "Sekarang saya adalah pemimpin pasukan berkuda Najd. Berikanlah kepadaku kekuasaan atas daerah-daerah pedalaman, dan engkau mempunyai kekuasaan di daerah-daerah perkotaan." Rasulullah ﷺ menjawab, "Tidak." Ketika keduanya telah pergi dari hadapan Rasulullah ﷺ, berkatalah Amir, "Ingatlah, demi Allah, sesungguhnya aku akan memenuhi kota Madinah dengan pasukan berkuda dan pasukan jalan kaki untuk memerangimu." Rasulullah ﷺ menjawabnya, "Allah pasti mencegahmu." Setelah Arbad dan Amir keluar dari sisi Rasulullah ﷺ, Amir berkata, "Hai Arbad, aku akan menyibukkan Muhammad darimu dengan pembicaraan, lalu pukullah dia olehmu dengan pedang. Karena sesungguhnya orang-orang Madinah itu bila kamu membunuh Muhammad paling tidak tuntutan mereka adalah diat. Mereka pasti tidak mau berperang, maka kita beri mereka diat-nya." Arbad berkata, "Akan saya lakukan." Keduanya kembali lagi menemui Rasulullah ﷺ. Amir berkata, "Hai Muhammad, kemarilah bersamaku, aku akan berbicara denganmu." Rasulullah ﷺ bangkit dan pergi bersama Amir, lalu keduanya duduk di dekat pagar kebun kurma. Amir berbincang-bincang dengan Rasulullah ﷺ, sedangkan Arbad menghunus pedangnya. Tetapi ketika Arbad meletakkan tangannya pada gagang pedang, tiba-tiba tangannya kaku dan menempel pada gagang pedangnya sehingga ia tidak dapat mencabut pedang. Ketika Arbad dalam keadaan demikian, dalam waktu yang cukup lama dirasakan oleh Amir, tiba-tiba Rasulullah ﷺ berpaling ke belakang dan melihat Arbad dalam posisinya yang demikian, maka beliau pergi meninggalkan keduanya.
Akhirnya Amir dan Arbad pergi dari hadapan Rasulullah ﷺ, dan ketika keduanya telah sampai di Al-Harrah yaitu Harrah Raqim keduanya turun beristirahat. Sa'd ibnu Mu'az dan Usaid ibnu Hudair keluar (dari Madinah) mengejar keduanya. Sa'd dan Usaid berkata, "Tampakkanlah dirimu, hai dua orang lelaki musuh Allah; semoga Allah melaknatmu berdua!" Amir bertanya, "Siapakah temanmu itu, hai Sa'd?" Sa'd menjawab, "Ini adalah Usaid ibnu Hudair, panglima pasukan." Keduanya pergi dari Madinah.
Ketika sampai di Ar-Raqm, Allah mengirimkan halilintar bagi Arbad, lalu halilintar menyambarnya hingga mati. Sedangkan Amir ketika ia sampai di Al-Kharim, Allah menimpakan penyakit bisul yang membinasakannya. Pada malam harinya ia sampai di rumah seorang wanita dari kalangan Bani Salul, lalu ia mengusap bisul di tenggorokannya seraya berkata, "Bisul seperti punuk unta di rumah seorang wanita Bani Salul," dengan harapan dia ingin mati di rumah wanita itu. Pada keesokan harinya ia mengendarai kudanya pulang ke negerinya, tetapi di tengah jalan ia sekarat dan mati. Sehubungan dengan peristiwa kedua orang itu Allah menurunkan firman-Nya: “Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan.” (Ar-Ra'd: 8) sampai dengan firman-Nya: “Dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Ar-Ra'd: 11). Perawi mengatakan bahwa malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran menjaga Nabi Muhammad ﷺ atas perintah Allah. Kemudian perawi menyebutkan kisah Arbad dan kematiannya, lalu membacakan firman Allah ﷻ: “Dan Allah melepaskan halilintar.” (Ar-Ra'd: 13), hingga akhir ayat.
Firman Allah ﷻ: “Dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah.” (Ar-Ra'd: 13)
Maksudnya, mereka meragukan kebesaran Allah yang sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Dia.
“Dan Dia adalah Tuhan Yang Maha Keras siksa-Nya.” (Ar-Ra'd: 13)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa siksaan Allah yang amat keras hanya ditujukan kepada orang yang kelewat batas terhadap-Nya serta berkepanjangan dalam kekufurannya. Ayat ini maknanya serupa dengan firman Allah ﷻ: “Dan mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedangkan mereka tidak menyadari. Maka perhatikanlah betapa sesungguhnya akibat makar mereka itu, bahwa Kami membinasakan mereka dan kaum mereka semuanya.” (An-Naml: 50-51).
Dari Ali r.a., disebutkan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan Dia adalah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya.” (Ar-Ra'd: 13). Yakni sangat keras pembalasan-Nya. Mujahid mengatakan bahwa Allah sangat kuat (Maha Kuat).
Melanjutkan penyebutan tanda-tanda kekuasaan-Nya pada ayatayat yang lalu, beberapa ayat berikut Allah berbicara tentang kilat, halilintar, mendung, dan air hujan. Allah berfirman, Dialah Allah, Tuhan
Yang Mahakuasa, yang memperlihatkan kilat kepadamu, yakni seberkas
cahaya yang memancar dan menghilang secara cepat, yang kadangkala
menimbulkan ketakutan pada diri kamu, dan kadangkala menimbulkan
harapan yang menggembirakan'yakni pertanda segera turun hujan.
Dan Dia pula yang menjadikan mendung yang akan menurunkan hujan. Lazimnya, sambaran kilat akan diiringi oleh guruh. Dan guruh senantiasa bertasbih kepada Allah dengan memuji-Nya, demikian pula para
malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar yang
kadangkala membakar apa yang ditemuinya, lalu Allah menimpakannya
kepada siapa yang Dia kehendaki melalui hukum sebab akibat yang telah diletakkan Allah di alam semesta. Sementara itu, walaupun bukti-bukti
kekuasaan Allah tampak begitu nyata, namun mereka (orang-orang kafir) masih berbantah-bantahan dengan engkau, wahai Nabi Muhammad,
tentang Allah. Dan Dia-lah Tuhan Yang Mahakeras siksaan-Nya.
Dialah Tuhan yang memperlihatkan kilat, yang menimbulkan ketakutan disambar petir bagi orang-orang yang sedang berada di alam bebas atau bepergian. Tetapi kadangkala kilat dan petir itu menimbulkan harapan bagi orang lain seperti para petani yang mengharapkan turunnya hujan untuk mengairi sawah dan ladangnya. Demikian pula segala sesuatu di dunia ini, kadang-kadang dipandang baik karena dibutuhkan pada masa-masa tertentu, dan kadangkala dipandang buruk mengingat kemudaratan yang mungkin ditimbulkannya. Allah pula yang mengadakan awan mendung yang mengandung air hujan dan karena beratnya, maka awan tersebut tercurah ke permukaan bumi turun menjadi hujan.
Menurut kajian saintis, terbentuknya awan-awan mendung (thunder-clouds), kilat, guruh, dan halilintar, sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur'an, sejak awal diyakini oleh banyak ilmuwan merupakan fenomena alam yang mempunyai hubungan yang erat dengan proses kejadian hujan dan atau badai yang sering terjadi di permukaan bumi. Fenomena ini adalah salah satu tanda kekuasaan dan keperkasaan Allah.
Memang tidak semua jenis awan bisa mendatangkan hujan. Awan yang dapat menyebabkan turunnya hujan adalah awan dari jenis kumulonimbus (cumulonimbus). Menurut saintis, awan yang terbentuk akan menghasilkan pemisah muatan (listrik) positif dan negatif. Muatan positif umumnya berkumpul di bagian atas awan, sedangkan muatan negatif berkumpul di bagian bawah awan. Muatan tersebut akan mengalir melalui berbagai cara seperti antar kantong muatan di awan, dari awan ke bumi, lepas melalui udara sebagai aliran muatan elektrostatik, dan meloncat ke ionosfer. Lompatan bunga api raksasa ini dikenal sebagai petir, kilat, atau halilintar. Sebagai akibatnya udara terbelah, sambarannya yang memiliki kecepatan mencapai 150.000 km/detik akan menimbulkan bunyi menggele-gar yang biasa kita sebut geluduk, geledek, guruh, guntur, dan lain-lain. Suara geledek ini menciutkan hati manusia yang mendengarnya dan dampaknya kerap bisa mematikan manusia. Inilah yang dimaksud dengan "kilat yang menakutkan".
Benjamin Franklin (1752) berhasil membuktikan bahwa petir adalah suatu lompatan listrik (electric discharge) yang sangat besar. Dari hasil penelitian kemudian diketahui bahwa besar medan listrik minimal yang memungkinkan terpicunya petir ini adalah sekitar 1.000.000 volt per meter.
Dalam kondisi tertentu, bumi yang cenderung menjadi peredam listrik statis, bisa pula ikut berinteraksi. Hal ini dimungkinkan terjadi peng-konsentrasian listrik bermuatan positif karena adanya beda muatan antara dasar awan dengan permukaan bumi. Yang terjadi kemudian adalah perpindahan muatan listrik. Maka secara fisik kita akan melihat sambaran petir dengan muatan listrik yang begitu besar, selanjutnya akan segera menyebar ke bagian permukaan bumi yang kemudian menjalar ke dalam tanah dan akhirnya ternetralisasi pada kedalaman yang mengandung air tanah. Tempat terjadinya perpindahan muatan listrik ini yang sering kali mendatangkan musibah dan kerusakan. Ini yang biasa dikenal dengan istilah disambar petir atau geledek.
Dari sisi pengamatan lainnya diketahui bahwa petir mempunyai manfaat bagi bumi dan manusia. Petir merupakan proses alam yang menghasilkan unsur nitrogen yang dibutuhkan tumbuh-tumbuhan dan mengisi sekitar 4/5 atmosfir bumi, bahkan petir juga berfungsi dalam sirkuit global listrik. Kilatan petir raksasa diyakini akan dapat membantu menyeimbangkan sirkuit global listrik antara bumi dan angkasa dan juga berkonsentrasi dalam pembentukan ozon. Selain itu maka kilat yang berkilauan itu bisa menghasilkan jamur. Menurut penelitian di Jepan, jamur shiitake bisa tumbuh subur bila di sekitar benih yang ditaburkan itu diberi loncatan listrik, yang sama dengan efek kilat. Hal ini berdasarkan pengalaman bahwa setelah kemarin sorenya ada kilat, besoknya di sekitarnya tumbuh banyak sekali jamur. Selain itu panjang (kekuatan) kilat bisa meramalkan curah hujan yang bakal turun keesokan harinya. Demikian penjelasan dari pandangan saintis.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 12
“Dialah yang memperlihatkan kepada kamu akan kilat, untuk menimbulkan takut dan keinginan"
Apabila kilat telah berapi-api di angkasa, timbullah takut dan ngeri melihat, tetapi di samping takut timbul keinginan. Sebab kilat adalah tanda hujan akan turun. Begitulah perasaan manusia di saat itu.
“Dan Dia yang menyusun awan yang berat."
Dan dalam awan yang berat inilah timbulnya kilat tadi, dan kilat adalah tanda hujan lebat yang dikandung oleh awan yang berat itu akan turun.
Ayat 13
“Dan bertasbihlah petir dengan memuji-Nya."
Maka apabila kita telah melihat kilat sabung-menyabungdan dalam sebentar waktu saja kilat itu diiringi oleh suara geledek, guruh-petus yang dahsyat, sehingga kita merasa ngeri melihat dahsyatnya, ketahuilah bahwa itulah tasbih alam kepada Allah. Pikirkanlah berapa agaknya kekuatan listrik yang terkandung di dalam pancaran kilat dan kedahsyatan bunyi petus itu. Bukankah itu tanda dari kebesaran Allah? Yang kadang-kadang kita rasakan sebagai cemeti layaknya. Subhanallah!"Dan malaikat pun lantaran takut kepada-Nya" Mengucapkan Subhanallah, kesucian Allah dan memuji-Nya juga. Baik petir, baik malaikat, baik alam yang lain, yang oleh ahli-ahli tasawuf disebut Alam Malakut, Alam Jabarut, Alam Mitsal, Alam Ajsam, dan berbagai alam lagi yang kita lihat dan yang tidak kita lihat, semuanya mengucapkan tasbih memuji Allah, masing-masing menurut cara dan bawaannya."Dan Dia kirim halilintar dan Dia timpakan dia kepada barangsiapa yang Dia kehendaki." Sehingga bukan sedikit orang yang mati ditembak petus, bahkan kayu besar di hutan pun serkah atau terbakar. Sehingga dengan itu dapatlah manusia yang insaf akan kecil dirinya dalam kehebatan alam perbuatan Allah ini, dan hanya belas kasihan Ilahi jualah tempat dia berlindung."Namun mereka masih membantah tentang Allah." Namun masih ada mereka yang mengatakan Allah itu tidak ada, atau dia percaya tetapi dia lalai.
“Padahal Dia adalah sangat pedih siksaan."
Di dalam ayat ini dibayangkanlah betapa dahsyatnya keadaan alam di waktu musim pancaroba telah datang; di mana kilat telah sabung-menyabung dan petir telah memancarkan api, dan halilintar laksana akan membelah bumi. Awan hitam pun memberat di langit; maka dahsyatlah bunyi, mana bunyi halilintar dan petir sesudah kilat mencetus dan mana pula bunyi angin yang menderu karena hujan telah dekat turun sehingga langit jadi kelam. Di waktu itu, demi kedahsyatan alam, timbullah rasa ngeri. Terasa benar kecilnya manusia di hadapan kebesaran cakrawala yang dijadikan Allah. Tetapi oleh karena hujan telah lama tidak turun dan kemarau telah terlalu lama, maka rasa takut ngeri itu bercampurlah dengan keinginan yang sangat akan hasil yang akan ada di bumi bila hujan telah turun nanti. Rasa ngeri tadi ialah jika petus itu mencetus dan kilat itu bersabung, dapat saja kayu di hutan serkah, rumah besar terbakar dan orang yang berdiri di dekat petus itu bisa saja mati ditembak petus.
Kedahsyatan itu digambarkan dalam ayat ini, bahwasanya rahasia alam yang kita lihat dengan kengerian itu dibukakan oleh Allah. Adapun petir yang mengkilat dahsyat itu ialah mengucapkan tasbih kesucian bagi Allah Peneipta Alam. Bunyi yang menakutkan karena dia bergegar itu adalah suara dari alam sendiri memekikkan puja dan puji kepada Allah. Maka di samping tasbih petir itu, malaikat pun mengucapkan tasbihnya pula kepada Allah. Halilintar yang laksana akan membelah bumi itu bisa saja singgah dalam sekejap mata kepada orang yang sedang berdiri dan dia pun jatuh tersungkur.
Rasa dahsyat di musim pancaroba itu bisa kita rasakan, baik di daratan ataupun sedang berlayar di lautan. Maka dikatakanlah dalam lanjutan ayat bahwasanya dalam kehebatan alam itu masih ada saja hiruk-pikuk suara manusia yang tidak insaf akan kecil dirinya di hadapan kebesaran Allah, yang mengatur mengutak-atikkan alam itu."Namun mereka masih membantah akan Allah." Padahal sekali kilatan petus saja pun dia sudah tersungkur jatuh. Padahal Dia, Allah itu, adalah sangat pedih siksaan-Nya.
Maka sudah patutlah orang yang berakal percaya akan siksaan Allah kepada orang yang kufur atas kebesaran dan kekuasaan itu, bahwa dia akan mendapat siksaan yang pedih,
bila manusia melihat kedahsyatan alam. Tidak ada arti manusia di hadapan kebesaran itu.
Ayat 14
“Untuk-Nyalah seruan kebenaran."
Nabi-nabi dan Rasul menyampaikan seruan kepada umat manusia supaya mereka sadar, seruan untuk manusia agar mengerti siapa Tuhannya, Tuhan yang tidak bersekutu sesuatu pun yang lain dengan Dia.
Seruan kebenaran atau Da'watul Haq, Sayyidina Ali bin Abi Thalib menerangkan bahwa yang dimaksudkan dengan seruan kebenaran itu ialah kalimat tauhid, keyakinan mengesakan Allah. Ibnu Abbas menjelaskan lagi yang sejalan dengan itu, Da'watul Haq, seruan kebenaran ialah kalimat La Jlaha Wallah. Maka seluruh seruan kepada kebenaran ialah mengakui keesaan Allah. Selain dari itu tidak ada kebenaran, dan kebenaran yang lain adalah bersumber dari sana.
“Dan orang-orang yang menyeru selain Dia, tidaklah memperkenankan untuk mereka sesuatu pun." Bagaimana kamu seru yang lain, wahai insan, sedang yang lain itu tidak dapat berbuat apa-apa. Tadi kamu sudah disuruh memerhatikan kilat sabung-menyabung, halilintar membelah bumi, itulah tanda Mahakuasa Allah; sedang berhala yang kamu puja itu, kalau satu kait ditembak oleh halilintar itu, akan hancurlah dia berantakan. Yang menyeru kepada yang selain Allah, yang memohon dan meminta kepadanya, tidaklah akan berhasil apa yang diharapkannya."Melainkan laksana orang yang membentangkan kedua telapak tangannya kepada air, supaya sampai ke mulutnya, padahal tidaklah dia akan sampai kepadanya." Dia tegak ke tepi air dalam kehausan, lalu dibentangkannya tangannya memanggil air itu. Hai air, masuklah ke dalam mulutku. Walaupun akan penat dan kaku tangannya membentang, atau melambai-iambai air, kemarilah, kemarilah hai air, namun air itu tidaklah akan sampai atau datang sendiri kepadanya.
“Dan tidaklah ada seruan orang-orang yang kafir itu melainkan dalam kesesatan."
Sebab kepercayaan tidak dibulatkannya menjadi satu kepada Allah Yang Maha Esa dan Mahakuasa, tetapi dipecah-pecahkannya kepada yang lain, sehingga tersesatlah jalannya dan tidaklah dia akan sampai selama-lamanya kepada yang dituju.
Ayat 15
“Dan kepada Allah-lah bersujud apa yang ada di semua langit dan bumi, dengan taat atau dengan terpaksa."
Semua sujud, artinya semua mesti mengikut perintah dan peraturan, tidak dapat me-lepaskan diri dari ketundukan itu, yang insaf tunduklah dia dengan taat, dan yang ingkar dia pun mesti tunduk juga, walaupun dia enggan. Matahari, bulan dan alam cakrawala, tunduk kepada peraturan yang telah ditentukan, mau atau tidak mau. Kayu-kayu di hutan sejak dari biji yang kecil, sampai bertunas, berdaun-daun, berpucuk, berdahan, dan beranting dan kelak kemudiannya akan tumbang. Manusia wajib sujud tunduk kepada peraturan Allah. Lahir ke dunia, berangkat besar, dewasa, tua dan mati. Walaupun dihadapi maut itu dengan taat, atau dihadapi dengan enggan, namun peraturan mati mesti ditempuh. Masing-masing alam di semua langit dan bumi bersujud menurut caranya masing-masing.
Dikatakan di dalam ayat bahwa bersujud itu mesti dilakukan, Thau'an au karhan, artinya dengan sukarela ataupun dengan terpaksa, mau ataupun tidak mau, dengan tunduk dan insaf ataupun dengan enggan, namun semua isi langit mesti sujud, artinya mesti tunduk kepada apa yang ditentukan oleh Allah. Tidak ada sesuatu pun yang sanggup melawan apa yang telah digariskan oleh Allah itu. Sehingga perjalanan matahari dan bulan, adalah menurut garis yang tertentu, tidak boleh melebihi dan mengurangi. Manusia yang insaf sujud kepada Allah dengan taat, karena insaf bahwa hidupnya adalah dengan belas kasihan Allah jua. Tetapi setengah manusia yang durhaka, tidak mau sujud dengan patuh dan dia pun kafir menolak dan membantah. Tetapi dia mesti dan pasti sujud kepada yang ditentukan Allah. Dari muda dia mesti tua, dari sehat dia mesti sakit dan dari hidup dia mesti mati. Bagaimanapun ingkar dan keras kepalanya keadaannya sendiri memaksanya sujud, walaupun tidak dengan ke-mauannya.
“Dan bayang-bayang mereka pun (bersujud) di kala pagi dan di kala petang."
Sampai di ujung ayat ini sunnah bagi kita melakukan sujud tilawah.
Apabila matahari terbit dari timur, bayang-bayang insan condonglah ke barat, dan apabila matahari telah menuju barat bayang-bayang insan pun condonglah ke timur. Artinya, hari berjalan terus, kadang-kadang bayang-bayang lebih panjang dari badan, kadang-kadang lebih pendek, dan edaran matahari yang menimbulkan bayang-bayang meninggalkan perhitungan bagi insan bahwa akan datang masanya, bayang-bayang itu tidak ada lagi, sebab yang empunya bayang-bayang telah disembunyikan di balik bumi. Begitulah terus-menerus. Sehingga manusia dapat berpikir, kalau segala sesuatu tunduk bersujud kepada Allah, sampai pun bayang-bayang kita sendiri, bilakah masanya lagi kita akan sujud dengan kesadaran?
Ayat 16
“Katakanlah: “Siapakah Tuhan bagi semua langit dan bumi?"
Disuruh Allah Rasul-Nya menanyakan kepada mereka setelah mereka disuruh memikirkan dan merenungkan, maka meskipun belum mereka jawab, jawabnya sudah terang, “Katakanlah: “Allah!" Tidak ada Tuhan selain Dia."Katakanlah: “Apakah kamu adakan (juga) selain Dia pelindung-pelindung?" Mana ada pelindung yang lain, padahal kamu sudah diajak berpikir? Apakah kamu sangka mudah-mudah saja membuat pelindung padahal di hadapan kamu telah kamu lihat kebesaran Allah? Apa pelindung-pelindung yang kamu karang-karangkan itu? “Yang tidak berkuasa bagi diri mereka sendiri memberi manfaat dan tidak mudharat?" Jangankan melindungi orang lain? Maka orang-orang yang masih membuat pelindung-pelindung selain dari Allah samalah halnya dengan orang-orang buta, dan orang yang bertauhid, itulah orang yang nyalang mata."Katakanlah: “Adakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Orang yang musyrik adalah orangyang meraba-raba dalam gelap, sedang orang yang bertauhid adalah berjalan di tempat yang terang, “Atau, adakah sama gelap gulita dengan terang cahaya?" Yang menguasai dan menciptakan alam hanyalah Allah dengan sendiri-Nya. Adapun yang lain yang kamu jadikan pelindung itu, menciptakan seekor nyamuk pun mereka tidak sanggup."Atau mereka jadikankah bagi Allah sekutu-sekutu yang (sanggup) mencipta sebagai cipta-an-Nya? Sehingga bersamaan makhluk itu atas mereka?" Tidak beda lagi apa yang dijadikan oleh Allah dengan apa yang dijadikan oleh berhala? “Katakanlah:
“Atlah-lah Pencipta tiap-tiap sesuatu, dan Dia adalah Yang Maha Esa, Maha Perkasa."
Di sini ditarik perhatian kita kepada dua nama dari Allah, sebagai kunci dari ayat, yaitu al-Wahid dan al-Qahhar. Al-Walid telah kita artikan Esa. Pikiran yang sehat pasti sampai kepada suatu kesimpulan bahwasanya kekuasaan yang mutlak itu pasti Esa, tidak bisa pecah. Instansi yang tertinggi pasti satu. Kemudian al-Qahhar, yang telah kita artikan dengan Mahaperkasa. Gagah, berwibawa, berjalan pengaruh hukum-Nya dan juga berarti Yang Selalu Menang, Yang Selalu Menguasai, Yang Kekuasaan-Nya tidak bisa dibantah dan disanggah yang hukum-Nya telah putus, tidak dapat dirombak lagi.
Jadi bersambunglah tiga kata itu. Pertama Allah itu Pencipta tiap-tiap sesuatu, dan kedua Dia Mencipta dengan sendiri-Nya, tidak bersekutu dengan yang lain, dan ketiga Yang Mahaperkasa, sehingga segala-galanya, mau atau tidak mau, dengan taat atau dengan enggan, mesti sujud kepada-Nya.
Sekarang diulangkan lagi, sekali lagi, dan berkali-kali lagi, memperingatkan kepada me-reka betapa pemberian Allah Yang Esa dan Perkasa itu kepada manusia.
Ayat 17
“Dia menurunkan air dari langit, maka membanjirlah lembah-lembah dengan ukurannya, maka mengandunglah … itu akan buih yang timbul."
Di sini diterangkan betapa Allah mencurahkan hujan yang lebat dari langit, yaitu dari atas “kita. Kadang-kadang demikian lebatnya sehingga membanjir memenuhi lembah-lembah dan membawa buih; amat dahsyat rupanya. Kelak hujan itu akan teduh dan air pun mengeringlah dan buih tadi pun tinggallah di atas tanah. Padahal ketika hujan lebat, hebat benar kelihatan buih itu. Namun buih itu bukan kelihatan ketika hebatnya hujan saja, tetapi kelihatan juga ketika menyalakan api."Dan dari apa yang dibakar dalam api mengharapkan perhiasan dan perkakas." Yang biasa dihembus dihapar oleh tukang besi, gejala api yang naik itu pun “pun berbuih seperti itu (pula)?' Hujan lebat menimbulkan buih, api nyala menempa besi pun menimbulkan buih.
“Demikianlah Allah memisalkan kebenaran dan kebatilan. Maka adapun buih itu akan hilanglah dengan sia-sia, dan adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka tinggallah dia di bumi. Demikianlah Allah menenangkan beberapa perumpamaan."
Maka dalam ayat ini, bukan saja terhadap hujannya harus ditumpahkan perhatian dan bukan pula kepada hapar besi tempat menempa pedang, lading dan sabit, tetapi kepada gejala yang timbul dari keduanya yaitu buih. Hebat tampaknya naik buih itu, yaitu geledak air atau gejala api. Rupanya tampak hanya ketika ada banjir, dan rupanya tampak hanya ketika api bernyala. Bila banjir telah kering, atau apabila api telah padam, buih itu hilang dengan sendiri, sebab dia hanya ruap. Dia habis diterbangkan angin. Meskipun dia pernah muncul, tetapi oleh karena dasarnya tidak kuat atau tidak ada, dia pasti habis. Sebab itu tidak ada orang yang mempergunakannya. Lihatlah banjir! Ketika hebatnya banjir, maka bangsa yang ringan-ringan merapung ke atas dan batu terbenam ke bawah, atau tidak kelihatan karena air sedang keruh. Nanti kalau air sudah susut, baru kelihatan batu-batu besar tadi yang tidak terganjak dari tempatnya dan sampah hanyut tadi tersadai di mana-mana, dan dia tidaklah diperlukan. Demikianlah bangsa buih.
Demikian pun segala barang yang logam yang dikerjakan dengan hapar. Besi, tembaga, timah dan emas atau perak sekalipun. Mulanya semuanya masih bercampur-aduk dengan semacam buih. Bagi besi buihnya itu ialah karatnya. Tembaga pun demikian juga; dia mempunyai karat warna hijau. Ketika dibakar maka karat-karat itulah yang membuih menjadi gejala api. Tetapi kemudian setelah selesai dipukul dan digodam, maka yang bangsa buih itu habis tidak berguna dan yang tinggal ialah inti besi atau waja besi. Yang buih-buih tadi hilang dengan sendiri.
Maka berkatalah ahli-ahli tafsir, seperti Ibnu Abbas dan lain-lain bahwa buih itu diumpamakan suatu pendirian yang tidak teguh, yang timbul karena keragu-raguan atau Syak Sedang yang memberi manfaat kepada manusia ialah yakin. Yangyakin itulah yang akan tinggal tetap di muka bumi, tidak akan hanyut betapa pun besarnya air bah yang menggulung.
Di sinilah Allah memperlihatkan kepada manusia yang beriman, bagaimana teguhnya suatu pendirian yang telah diyakini, atau aqidah yang telah menjadi pegangan hidup. Betapa pun besarnya banjir, sehingga buih-buih telah merapung ke atas, dan yang inti berharga itu seakan-akan telah terbenam ke bawah, namun banjir itu tidak akan lama. Air akan surut kembali dan bangsa sampah akan hanyut. Demikian juga laksana keris atau senjata tajam yang lain, ataupun gelang emas yang memalut lengan seorang perempuan. Dia sampai kepada yang demikian itu ialah setelah lebih dahulu masuk hapar untuk digodam dan digembleng. Segala karat dan busanya telah habis; yang tinggal ialah inti emasnya atau besinya yang sejati.
Ayat 18
“Untuk orang-orang yang menyambut seruan Tuhan mereka adalah kebaikan."
Orang yang mempergunakan akal dan memasang telinga mendengar kebenaran, membuka mata melihat bukti, kebaikanlah yang akan dialaminya."Dan orang-orang yang tidak menyambut ajakan-Nya, walaupun ada bagi mereka semua apa yang di bumi." Dari sangat kaya rayanya."Dan sebanyak itu pula bersamanya." Yaitu ditambah lagi kekayaannya menjadi dua kali lipat dari apa yang di bumi tadi."Tentu hendak mereka tebus dirinya dengan dia."Namun kekayaan itu semuanya tidaklah akan dapat menebus dirinya dari api neraka."Itulah orang-orang yang bagi mereka seburuk-buruk perhitungan." Di dunia mereka telah salah hitung, disangka menolak seruan Allah adalah jalan yang benar, setelah datang Hari Akhirat ternyata kosonglah hidup, tidak ada bekal, dan tidak bisa menebus diri walaupun dengan kekayaan sepenuh bumi dua kali; bahkan di Akhirat tidak ada kekayaan selain iman dan amal.
“Dan tempat mereka adalah Jahannam, dan itulah sejelek-jelek kedudukan."
(ujung ayat 18)