Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱقۡتُلُواْ
bunuhlah
يُوسُفَ
Yusuf
أَوِ
atau
ٱطۡرَحُوهُ
buanglah dia
أَرۡضٗا
bumi/suatu tempat
يَخۡلُ
tertuju/tertumpah
لَكُمۡ
bagi kalian
وَجۡهُ
wajah/perhatian
أَبِيكُمۡ
bapakmu
وَتَكُونُواْ
dan kamu menjadi ada
مِنۢ
dari
بَعۡدِهِۦ
sesudahnya
قَوۡمٗا
kaum
صَٰلِحِينَ
orang-orang yang saleh
ٱقۡتُلُواْ
bunuhlah
يُوسُفَ
Yusuf
أَوِ
atau
ٱطۡرَحُوهُ
buanglah dia
أَرۡضٗا
bumi/suatu tempat
يَخۡلُ
tertuju/tertumpah
لَكُمۡ
bagi kalian
وَجۡهُ
wajah/perhatian
أَبِيكُمۡ
bapakmu
وَتَكُونُواْ
dan kamu menjadi ada
مِنۢ
dari
بَعۡدِهِۦ
sesudahnya
قَوۡمٗا
kaum
صَٰلِحِينَ
orang-orang yang saleh
Terjemahan
Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian Ayah tertumpah kepadamu dan setelah itu (bertobatlah sehingga) kamu akan menjadi kaum yang saleh.”
Tafsir
(Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah) ke tempat yang jauh dan belum dikenal (supaya perhatian ayah kalian tertumpah kepada kalian) sehingga beliau hanya memperhatikan kalian dan tidak kepada yang lainnya (dan sesudah itu hendaklah kalian) sesudah membunuh Yusuf atau membuangnya (menjadi orang-orang yang baik.") dengan jalan bertobat.
Tafsir Surat Yusuf: 7-10
Sesungguhnya pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang bertanya.
(Yaitu) ketika mereka berkata, "Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita berada dalam kekeliruan yang nyata.
Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayah kalian tertumpah kepada kalian saja dan sesudah itu hendaklah kalian menjadi orang-orang yang baik.
Seorang di antara mereka berkata, "Janganlah kalian bunuh Yusuf, tetapi cukup masukkan saja ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh sebagian musafir, jika kalian hendak bertindak."
Ayat 7
Allah ﷻ menyebutkan bahwa di dalam kisah Yusuf dan peristiwanya bersama saudara-saudaranya terkandung pelajaran dan nasihat-nasihat (pesan-pesan kebaikan) bagi orang-orang yang menanyakan tentangnya. Sesungguhnya kisah tersebut merupakan cerita yang menakjubkan dan perlu untuk diceritakan.
Ayat 8
“(Yaitu) ketika mereka berkata, ‘Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri’." (Yusuf: 8)
Mereka bersumpah menurut dugaan mereka.
"Demi Allah, sesungguhnya Yusuf dan saudaranya (yakni Bunyamin saudara seibu dan sebapaknya) lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah suatu golongan (yang kuat)." (Yusuf: 8)
Yakni suatu golongan, maka mengapa ayah kita lebih menyukai keduanya daripada kita yang jumlahnya banyak?
“Sesungguhnya ayah kita berada dalam kekeliruan yang nyata.” (Yusuf: 8)
Maksud mereka ayah mereka keliru karena lebih memperhatikan keduanya daripada diri mereka, dan kecintaannya kepada keduanya jauh lebih besar daripada kepada mereka.
Perlu diketahui bahwa tidak ada suatu dalil pun yang menunjukkan kenabian saudara-saudara Yusuf. Makna lahiriah konteks ayat ini menunjukkan tidak adanya kenabian pada mereka. Tetapi sebagian ulama menduga bahwa mereka diberi wahyu sesudah peristiwa tersebut. Namun pendapat ini masih perlu dipertanyakan kebenarannya, dan orang yang menduga seperti itu dituntut untuk mengemukakan dalil yang memperkuat pendapatnya.
Ternyata mereka yang mengatakan demikian tidak menyebutkan suatu dalil pun kecuali hanya firman Allah ﷻ: “Katakanlah (hai orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak cucunya’." (Al-Baqarah: 136) Dalil ini memang mengandung pengertian ke sana, karena puak-puak Bani Israil dikenal dengan sebutan 'asbat', yang kalau menurut bangsa Arab disebut 'kabilah' dan menurut orang 'Ajam disebut 'bangsa'; disebutkan oleh Allah ﷻ bahwa Dia menurunkan wahyu kepada para nabi dari kalangan asbat Bani Israil.
Dalam kaitan ini Allah ﷻ menyebutkan mereka secara global, karena jumlah mereka cukup banyak. Akan tetapi, masing-masing sibt (puak) itu adalah keturunan dari saudara-saudara Yusuf, hanya tidak ada suatu dalil pun yang menunjukkan bahwa telah diberikan wahyu kepada saudara-saudara Yusuf itu.
Ayat 9
“Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja.” (Yusuf: 9)
Mereka mengatakan bahwa orang yang menyaingi kalian dalam memperoleh cinta ayah kalian ini harus kalian pisahkan dari ayah kalian agar perhatian ayah kalian hanya tertuju kepada kalian saja.
Caranya ialah dengan membunuhnya atau membuangnya ke suatu tempat yang jauh agar kalian terbebas darinya, dan kecintaan ayah kalian hanya tercurah kepada kalian.
“Dan sesudah itu hendaklah kalian menjadi orang-orang yang baik.” (Yusuf: 9)
Mereka berniat akan bertobat sebelum melakukan dosa.
Ayat 10
“Seorang di antara mereka berkata.” (Yusuf: 10)
Qatadah dan Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa saudara Yusuf yang tertua adalah Rubel, dialah yang mengatakan demikian. Menurut As-Saddi, orang yang mengusulkan demikian adalah Yahuza; sedangkan menurut Mujahid adalah Syam'un As-Safa.
“Janganlah kalian bunuh Yusuf.” (Yusuf: 10)
Maksudnya, permusuhan dan kebencian kalian terhadap Yusuf jangan sampai mendorong kalian untuk membunuhnya. Sedangkan mereka tidak mempunyai jalan untuk membunuhnya, karena Allah ﷻ telah menghendaki suatu urusan yang harus dilaksanakan dan disempurnakan untuknya, yaitu akan menjadikannya sebagai nabi, menurunkan wahyu kepadanya, serta menjadikannya berkedudukan kuat dan berkuasa di negeri Mesir.
Maka Allah memalingkan mereka dari niatnya semula dan menjadikan mereka mengikuti apa yang dikatakan oleh Rubel. Rubel menyarankan, sebaiknya mereka melemparkan Yusuf ke dasar suatu sumur. Qatadah mengatakan bahwa sumur itu terdapat di kota Baitul Maqdis.
“Supaya dia dipungut oleh sebagian musafir.” (Yusuf: 10)
Yakni para musafir yang lewat, sehingga pada akhirnya mereka terbebas dari Yusuf dan tidak perlu membunuhnya.
"Jika kalian hendak bertindak." (Yusuf: 10)
Yaitu jika kalian bertekad akan melaksanakan apa yang kalian katakan.
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan bahwa sesungguhnya mereka telah bersepakat untuk melakukan suatu dosa besar, yaitu memutuskan hubungan silaturahmi, menyakiti orang tua, dan tidak mengasihi anak kecil yang tidak berdosa; juga tidak kasihan kepada orang tuanya yang telah berusia lanjut yang seharusnya dilayani, dihormati, dan diutamakan oleh mereka.
Perbuatan itu sangat besar dosanya di sisi Allah karena selain itu juga berarti memisahkan antara orang tua dan anaknya yang masih membutuhkan curahan kasih sayang orang tua; sehingga kewajiban orang tua mereka menjadi terhalang karena perbuatan mereka yang memisahkan antara orang tua dan anak yang dikasihinya yang masih lemah, karena usianya masih kecil dan masih membutuhkan curahan kasih sayang serta ketenangan dari orang tuanya. Semoga Allah mengampuni mereka, Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang. Sesungguhnya mereka menanggung suatu penderitaan yang sangat besar. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim melalui jalur Salamah ibnul Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar.
Kemudian di antara mereka berkata kepada sesamanya, Bunuhlah
Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat yang jauh dari kampung halaman kita agar perhatian ayah tertumpah kepadamu tanpa ada yang menghalanginya, dan setelah itu kamu bertobat kepada Allah, karena pintu
tobat selalu terbuka, kemudian meminta maaf kepada ayah, sehingga
kamu kembali lagi menjadi orang yang baik. Seorang di antara mereka memberi saran dan
berkata, Janganlah kamu membunuh Yusuf, tetapi masukkan saja dia ke dasar sumur agar dia dipungut oleh sebagian musafir yang melewati sumur
itu, jika kamu hendak berbuat sesuatu untuk menjauhkan Yusuf dengan
ayah.
Dalam suatu musyawarah untuk menetapkan tindakan yang tepat dan tegas terhadap Yusuf, mereka mengusulkan agar dia dibunuh saja atau dibuang ke tempat yang jauh, sehingga ia tidak mungkin kembali atau binasa dan mati di tempat pembuangan itu. Dengan demikian, ayah mereka Yakub akan berputus asa dan tidak mempunyai harapan lagi untuk bertemu dengan anaknya yang paling disayanginya itu, dan lama kelamaan tentunya dia akan melupakannya. Selama ini yang menjadi halangan baginya untuk memperhatikan mereka ialah Yusuf di sampingnya. Bila Yusuf sudah tiada atau tersingkir ke negeri yang jauh, tentulah ayah mereka akan kembali memperhatikan dan menyayangi mereka. Mereka menginsyafi bahwa tindakan ini adalah suatu tindakan yang kejam tidak berperikemanusiaan, suatu tindakan kriminal yang sangat besar dosanya. Akan tetapi, mereka telah jauh tersesat dari jalan yang benar dan terjerumus ke dalam perangkap setan, sehingga tidak nampak lagi oleh mereka akibat perbuatan itu bagi ayah dan diri mereka sendiri jika perbuatan itu dilakukan.
Mereka membujuk diri mereka sendiri dengan mengatakan, meskipun mereka telah berdosa, pintu tobat masih terbuka lebar. Mereka akan bertobat dengan tobat nasuha dan tidak akan berbuat seperti itu lagi, dan menjadi hamba Allah yang saleh. Tentu Allah akan menerima tobat, mengampuni segala dosa dan kesalahan hamba-Nya, dengan demikian ayah mereka akan merasa senang kepada mereka, dan Allah tidak akan menyiksa mereka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PERSOALAN YUSUF DAN SAUDARA-SAUDARANYA
• Berkata seorang yang berkata di antara mereka, “Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi
Ayat 7
“Sesungguhnya, adalah pada Yusuf dan saudara-saudaranya itu beberapa tanda bagi orang-orang yang bertanya."
Artinya, dalam kisah penghidupan Yusuf, perasaan dan penderitaannya, terutama dimulai dengan kekeruhan hubungan di antaranya dan saudara-saudaranya, semuanya itu menjadi tanda-tanda atau bukti-bukti bagi orang yang sudi menyelidik, sudi bertanya, sebab hidup itu tidak lain adalah hubungan di antara pertanyaan dan jawaban. Dengan menyelidiki mata-mata rantai dari apa yang dilalui Yusuf dalam hidupnya, dapatlah bertambah iman kepada kekuasaan Allah bahwasanya kehidupan manusia dalam dunia ini bukanlah semata-mata mata rantai dari serba kebetulan. Semuanya menambah iman kita akan kekuasaan Allah. Orang yang sudi bertanya akan bertanya kepada orang yang lebih tahu, lebih pandai, dan orang yang lebih pandai akan mengambil hikmah Ilahi dalam alam ini. Semuanya sungguh-sungguh membuat kagum manusia. Pokok pangkal kisah ialah dengkinya saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf karena dia dengan saudara seibunya, Bunyamin, lebih dicintai oleh sang ayah, Nabi Ya'qub. Kalau bukan karena dengki, niscaya mereka tidak akan sampai hati memasukkan adik kandung mereka ke dalam sumur tua.
Tetapi sekiranya saudara-saudaranya yang dengki itu tidak memasukkannya ke dalam sumur, niscaya tidaklah Yusuf akan sampai dipungut oleh kafilah saudagar yang meng-ambil air di sumur itu dengan melemparkan timbanya. Dan kalau dia tidak dikeluarkan oleh kafilah itu dari dalam sumur, niscaya dia tidak akan jadi budak. Sekiranya dia tidak naik, niscaya dia tidak akan dibawa ke Mesir dan dijual orang kepada Raja Muda Mesir yang bernama Kotifar. Kalau dia tidak dibeli oleh Raja Muda Mesir, niscaya tidak ada orang besar yang akan mengetahui tampang dan bakatyang ada pada anak ini, yang Raja Muda itulah yang mempunyai firasat baik tentang kemungkinan-kemungkinan anak ini di belakang hari, sehingga disuruhkannya istrinya memelihara anak ini baik-baik dan menyelenggarakannya dengan sepatutnya, sampai ada niatnya hendak memungutnya saja jadi anak angkat.
Dan sekiranya dia tidak tinggal di dalam istana indah Raja Muda, niscaya si muda belia Yusuf tidak akan mendapat ujian keteguhan iman dan pribadi dalam zaman pancaroba demikian rupa; yang kalau di waktu itu dia sampai jatuh, tamatlah riwayatnya buat selanjutnya. Dan kalau bukanlah karena keteguhan hatinya dan imannya sehingga tidak sampai latuh. tentu dia tidak akan dipenjarakan. Dan kaiau dia tidak masuk penjara, tentu dia tidak akan bertemu dua orang pegawai istana yang meminta tafsirkan mimpi mereka; dan kalau kedua pegawai istana itu tidak meminta ditakwilkan mimpi mereka, niscaya Yusuf tidak mendapat kesempatan yang sebaik itu buat mengadakan dakwah tentang Keesaan Allah dalam penjara. Dan kalau seorang di antara pegawai itu setelah keluar dari penjara itu tidak mengetahui lebih dahulu bahwa ada seorang ahli tafsir mimpi dalam penjara, tentu akan masyghullah isi istana seluruhnya karena tidak seorang jua pun ketika itu yang sanggup memberi tafsir mimpi baginda. Dan kalau Raja tidak bermimpi, belum diketahui entah pabila orang tahanan yang malang itu akan dikeluarkan dari dalam penjara, yang telah terbenam di dalamnya bertahun-tahun jadi orang tahanan tidak diperiksa-periksa perkaranya, tidaklah akan dikeluarkan buat langsung diangkat menjadi Raja Muda Mesir. Dan kalau tidaklah dia yang diangkat menjadi Raja Muda, malapetaka besarlah yang akan menimpa Mesir karena kelaparan. Dan di samping itu, kalau bukanlah dia yang jadi Raja Muda di waktu itu, tidaklah akan dapat Yusuf memindahkan keluarga Ya'qub dari desa Kana'an yang mulai menderita susah karena kekurangan makanan, ke negeri Mesir yang beliau sendiri berkuasa mengatur sandang pangannya. Dan dengan memindahkan keluarga Ya'qub ke Mesir itu, bertemulah dia kembali dengan ayah yang dicintainya dan dengan ibu dari saudara-saudaranya, kakak dari ibunya yang telah mati. Meskipun dahulu ibu tirinya dan kakak-kakak yang lain rata-rata benci kepadanya, dia telah dapat membalas budi buruk dengan budi baik. Dan berlakulah apa yang di waktu kecilnya (usia dua belas tahun) pernah tergambar mimpinya bahwa sebelas bintang, yaitu saudara-saudaranya; dan matahari, yaitu ayahnya; dan bulan, yaitu ibu tirinya; semuanya datang bersujud di hadapannya, menurut tradisi orang Mesir di kala itu terhadap sang raja ataupun raja muda. Meskipun Yusuf sendiri tidak mau menerima persujudan itu, bahkan ditariknya tangan ayahnya dan ibu tirinya lalu diperenaikan (dimuliakan)nya keduanya duduk di atas singgasana, sedangkan dia sendiri duduk di bawah. Tetapi demikian tawadhu pula Nabi Ya'qub, dia sujud kepada Yusuf.
Maka rantai yang sambung-bersambung sejak dari dalam sumur tua sampai singgah di istana Raja Muda, langsung masuk penjara, akan kemudian naik ke atas singgasana Raja Muda yang dia gantikan, lalu menyelesaikan apa yang kusut di antara dia dan saudara-saudaranya, atau yang keruh kembali dijernihkan, semuanya ini adalah ayat belaka dan semuanya adalah tanda-tanda yang jelas tentang Mahakayanya Allah Ta'aala, bahkan manusia ini hanya berjalan di atas rel-rel yang ditentukan-Nya. Kewajiban manusia ialah waspada terus menjaga jiwanya jangan sampai jauh dari Allah yang mengatur perjalanan hidupnya itu.
Demikianlah yang terjadi pada Nabi Yusuf dan demikian pula yang terjadi pada semua kita manusia. Cobalah kita tilik dan tinjau kembali qashash atau jejak langkah yang pernah kita lalui di dunia ini. Kerap kalilah kita mengalami bahwa apa yang kita rencanakan tidak menjadi dan yang tidak kita rencanakan justru itulah yang jadi. Semuanya itu ayat. Semuanya ini tanda dari adanya Allah.
Dengan demikian, terjawablah pertanyaan orang-orang yang ingin bertanya tentang persoalan hidup Nabi Yusuf pada khususnya dan manusia pada umumnya, dan akan ber-tambah percayalah orang yang percaya tentang adanya takdir, dan tidak ada dalam dunia ini suatu hal terjadi dengan semata-mata kebetulan.
YUSUF DAN SAUDARA-SAUDARANYA
Ayat 8
“(Ingatlah) tatkala mereka," (yaitu saudara-saudara Yusuf) berkata, “Sesungguhnya, Yusuf dan saudaranya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita, padahal kita ini banyak."
Sebagaimana telah dimaklumi di atas tadi, ibu Yusuf telah meninggal dunia setelah baru saja melahirkan anaknya yang paling bungsu Bunyamin. Ibu Yusuf hanya melahirkan dua anak saja, Yusuf dan Bunyamin itu. Lantaran kedua anakini sudah piatu, kasih ayahnya, Nabi Ya'qub, lebih tertumpah kepada yang berdua ini. Anak laki-laki yang lain sepuluh orang banyaknya. Karena yang berdua dilebihkan dan mereka merasa kurang diperhatikan, mereka bercakap-cakap sesama mereka, dan dengan sendirinya mereka merasa senasib, lalu menggerombol. Satu gerombolan itu dinamai dalam bahasa Arab ‘ushbah. Dalam percakapan sesama sendiri itu, ayah kandung mereka, mereka tuduh tidak adil beranak. Padahal apalah yang diharapkan dari dua anak yang masih kecil-kecil itu jika dibandingkan dengan sepuluh anak laki-laki yang lebih besar. Karena menurutkan perasaan hati (emosi), berkatalah mereka selanjutnya,
“Sesungguhlah bapak kita ini adalah dalam kesesalan yang nyata."
Mereka telah menuduh ayah mereka sesat dalam menempuh hidup. Sepatutnyalah kepada mereka menumpukan kasih sebab mereka banyak dan lebih besar dari Yusuf dan Bunyamin. Enam orang di antara mereka lebih tua usianya dari Yusuf dan Bunyamin.
Tetapi “latar belakang" hal ini sudah jauh. Mertua Ya'qub, yang bernama Laban, adalah pamannya sendiri. Beliau mempunyai dua anak perempuan yaitu Lea dan Rakliel. Lea yang lebih tua, tetapi kurang cantik.
Sejak semula hati Ya'qub telah tertarik kepada Rakhel yang lebih muda. Tetapi mertuanya yang bernama Laban itu ketika berkawin telah menyodorkan Lea yang kurang cantik itu sehingga Ya'qub merasa tertipu oleh pamannya sendiri, padahal maskawin mengembalakan lembu dan kambing pamannya selama tujuh tahun telah disetujuinya. Maka untuk menghindarkan kekacauan keluarga, tujuh hari setelah Ya' qub kawin dengan Lea, pamannya menyerahkan pula anaknya yang seorang lagi, Rakhel, buat dikawini lagi oleh Ya'qub. Maka berlakulah dalam syari'at Nabi Ya'qub bahwa boleh mengawini dua orang bersaudara sekaligus. Tetapi meskipun Lea, si kakak, rupanya tidak cantik dan kurang berkenan di hati Ya'qub, dengan dialah Ya'qub mendapat banyak anak laki-laki, sampai berenam. Dan Rakhel lama sekali baru mendapat anak. Anak Rakhel yang pertama ialah Yusuf, yang kedua Bunyamin. Setelah Bunyamin lahir, Rakhel meninggal.
Lantaran itu, sejak semula sudah tampak tidak amannya perasaan dalam rumah tangga itu meskipun kedua perempuan itu bersaudara kandung. Lea merasa lebih berhak sebab dia yang tua dan dia yang banyak memberi anak bagi Ya'qub. Dan pada mulanya dia mengira bahwa adiknya Rakhel itu mandul. Setelah dia beroleh anak, kedengkian timbul. Setelah dia meninggal dunia sesudah melahirkan anak yang kedua, Lea dan anak-anaknya merasa suatu tekanan telah hilang. Tetapi setelah kasih Ya'qub tertumpah kepada kedua anaknya yang kepiatuan itu, kedengkian timbul kembali. Maka keluarlah penyesalan mereka kepada sang ayah, yang dituduh berat sebelah, lebih mencintai Yusuf dan saudaranya Bunyamin, padahal kita lebih banyak: 6 orang yang seibu ditambah lagi 4 orang anak-anak yang dilahirkan oleh gundik.
Mereka musyawarahkanlah ketidakadilan ayahnya itu bersama-sama dan berbagai ragamlah pikiran yang dinyatakan. Di antaranya keluarlah satu usul yang keras.
Ayat 9
“Bunuhlah Yusuf atau buangkan dia ke suatu bumi."
Supaya diambil salah satu dari dua sikap. Pertama dibunuh, disingkirkan sama sekali dari dunia ini. Atau, kalau itu dipandang terlalu keras, maka singkirkan saja dia jauh-jauh ke satu bagian bumi yang tidak akan diketahui oleh ayah. Niscaya di tempat pembuangan itu salah satu pasti kejadian. Pertama dia mati kelaparan atau dimakan binatang buas, kedua ada orang yang memungutnya. Karena tidak diketahui dari mana dia, siapa keluarganya, tentu diambil orang jadi budak.
Menurut tafsir al-Qurthubi, mereka mengadakan permufakatan jahat itu setelah sampai kabar angin kepada mereka tentang mimpi Yusuf itu. Kabar angin sangatlah menambah sakit hati mereka sehingga yang mengusulkan supaya Yusuf dibunuh itu berkata kembali mengejek: kalau mimpi itu memang ada, tentu dia akan dapat melepaskan diri.
Yang mengusul supaya dibunuh itu menyambung katanya bahwa kalau jadi Yusuf dibunuh atau disingkirkan, “Supaya untuk kamu saja wajah ayah kamu." Artinya, kalau Yusuf sudah tidak ada lagi tentu ayah kita akan kembali menghadapkan mukanya kepada kita, sedangkan adiknya Bunyamin itu perkara gampang sebab dia tidak begitu mem-bahayakan lagi bagi kedudukan kita. Dan kalau Yusuf sudah dapat kamu singkirkan, kata yang mengusul itu selanjutnya,
“Dan jadilah kamu semuanya sesudah itu, kaum yang saleh".
(ujung ayal 9)
Artinya, kalau maksud kita membunuh Yusuf atau menyingkirkannya buat selamanya dari mata ayah dan dengan demikian wajah ayah pun telah mulai dihadapkannya kepada kita, mari kita perbaiki hidup kita, kita tobat dari kesalahan yang besar itu dan semua kita sama berjanji akan menjadi orang-orang yang saleh.
Menurut catatan Kitab Perjanjian Lama (Kejadian, pasal 35) disebutkan anak Ya'qub itu, anak laki-lakinya dengan Lea enam orang: 1. Rubin (anak sulung), 2. Simeon, 3. Lewi, 4. Yehuda, 5. Isakhar, 6. Zabulon.
Anak laki-lakinya dengan Rakhel dua orang: 1. Yusuf, 2. Bunyamin.
Anak laki-lakinya dengan Bilha, dayang yang dihadiahkan istrinya Lea kepadanya, dua orang: 1. Dan, 2. Naftali.
Anak laki-lakinya dengan Zilfa, dayang anugerah Rakhel, dua orang: 1. Gad, 2. Asyir.
Jumlah semuanya jadi dua belas orang anak laki-laki. Dalam stam (sejarah keturunan) nama anak perempuan tidak dihitung karena anak dari anak perempuan adalah keturunan dari ayah suami anak perempuan itu.
Sebenarnya suara terbanyak adalah pada pihak anak-anak Lea yang enam orang, ditambah oleh anak-anak dari Bilha, sedangkan suara dari anak-anak Zilfa dianggap suara yang “mati" sebab kalau terang-terang mereka berpihak kepada anak-anak yang dari Lea, mereka pun bisa dapat celaka pula. Adapun Bunyamin tidaklah tahu-menahu dalam hal ini, apatah lagi dia anak yang paling bungsu, lebih banyak dekat ayahnya, sebagaimana Yusuf juga.
Ada setengah ahli berpendapat bahwa anak-anak Ya'qub yang bertekad jahat kepada saudaranya itu adalah nabi-nabi juga. Alasan mereka ialah surah al-Baqarah ayat 136,
“Katakanlah olehmu semua bahwa kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, dan Isma'il, dan Ishaq, dan Ya'qub dan asbaath." (al-Baqarah:136)
Asbath itu—kata mereka—berarti keturunan. Dalam keturunan itu tentu yang dimaksud ialah keturunan Ya'qub sebab disebut langsung sesudah menyebutkan nama Ya'qub. Tetapi Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya membantah pendapat dan penafsiran demikian, dengan alasan bahwa tiadalah layak orang yang bersekongkol hendak membunuh saudaranya buat kemudian akan diangkat menjadi nabi atau rasul.
Saya, penulis Tafsir al-Azhar yang dhaif ilmunya ini, menyokong pendapat Ibnu Katsir bahwa saudara-saudara Yusuf yang bermaksud jahat itu tidaklah menjadi nabi-nabi pula sebagaimana ayah, nenek dan datuk serta moyang mereka. Kesaksian saya adalah dalam Al-Qur'an sendiri surah al-Baqarah ayat 124 yang menerangkan bahwa setelah Nabi Ibrahim lulus dari berbagai ujian Allah lalu semuanya dicobai dengan berbagai ujian oleh Allah; semuanya itu telah dilaluinya dengan sempurna, artinya dia lulus dari sekalian ujian itu dengan selamat. Kemudian setelah lepas dengan selamat dari segala ujian itu, beliau pun diangkat Allah menjadi imam ikutan bagi seluruh manusia. Lalu beliau bermohon, “Wa min zurriyati," yaitu supaya keturunan-keturunan beliau pun diberi pula kehormatan yang tinggi itu, menjadi imam bagi manusia. Maka Allah telah memberikan jawaban yang tegas bahwa janji Allah itu tidak akan mencapai kepada orang-orang yang berbuat aniaya.
Maka jawab Allah yang setegas itu telah menutup pintu bagi saudara-saudara Yusuf itu akan menjadi nabi atau rasul. Padahal keturunan-keturunan mereka yang tidak zalim di belakang mereka banyak juga yang diangkat Allah menjadi rasul dan nabi.
Maafkanlah saya jika saya katakan bahwa pendapat saya untuk menguatkan pendapat Ibnu Katsir ini, yangdidapatkarena menyelidiki ayat 124 surah al-Baqarah itu tidak saya temui pada tafsir-tafsir besar yang ada dalam tangan saya sekarang: Ibnu Jarir, ath-Thabari, Ibnu Katsir, Fathul Qadir, al-Khaazin, al-Qurthubi, az-Zamakhsyari, al-Qasimi, al-Maraghi, al-Mannar, al-Jawahir (Thantahwi Jauhari) dan Sayyid Quthub. Sebab itu—pada pendapat saya sekarang ini—penaksiran saya itu adalah pendapat saya sendiri. Tetapi jika ada bertemu dalam tafsir yang lain lagi, nyatalah saya salah sangka; dan dengan demikian, bukanlah saya membangga, melainkan bersyukur.
Ibnu Ishaq telah mengungkapkan tanggapan beliau tentang maksud jahat saudara-saudara Yusuf itu dengan kata-kata yang mengharukan. Kata beliau,
“Semuanya telah bersekutu hendak mengerjakan suatu perbuatan yang amat besar dosanya, yaitu memutuskan silaturahim, mendurhaka kepada ayah, tidak ada perasaan belas kasihan kepada seorang anak kecil yang masih perlu bimbingan dan tidak pula bersalah, dan dosa kepada seorang tua yang telah dekat liang kubur, yang punya hak untuk dihormati dan diistimewakan, dan betapa pula pentingnya orang tua ini di sisi Allah, disertai anak seorang tuan terhadap putranya. Hendak mereka pisahkan di antara anak kecil itu dan ayahnya yang sangat mencintainya, padahal dia sudah tua dan telah lemah lunglai tulangnya. Betapa pula kedudukannya di sisi Allah beserta anak kesayangan yang masih kanak-kanak itu, seorang anak yang masih belum mengerti apa-apa, lemah dan kecil, masih memerlukan tangan lembut ayahnya dan perlindungannya.
Moga-moga diampuni Allah-lah mereka itu sebab Allah adalah Maha Pengasih, lebih dari sekalian orang yang kasih. Sungguh, mereka telah memikul tanggung jawab atas suatu perbuatan yang amat ngeri."
Demikian penilaian Ibnu Ishaq.
Tambahan.
Menjadi lebih besar lagi tanggung jawab
ini setelah mereka membuat janji kalau adik mereka telah dibunuh atau disingkirkan dan ayah mereka telah menaruh perhatian kepada mereka, mereka akan tobat, mereka akan jadi orang saleh. Mana boleh begitu?
Dan persangkaan bahwa ayah mereka akan menghadapkan muka kepada mereka kalau Yusuf telah dibunuh atau disingkirkan adalah persangkaan yang selalu salah pada orang yang ingin berbuat jahat. Malahan kalau sampai Yusuf mati atau hilang, akan ber-tambahlah jauh hati ayah mereka dari mereka, bukannya bertambah lekat dan dekat.
Inilah yang telah diperingatkan oleh Ya'qub kepada Yusuf tatkala dia menceritakan mimpinya itu bahwasanya setan adalah musuh besar bagi manusia. Maka setan itu bisa saja memasukkan pengaruhnya kepada saudara-saudara Yusuf, sampai mereka berbuat tipu daya yang jahat kepadanya.
Tetapi di dalam kelompok sepuluh orang itu ada pula rupanya yang mempunyai pikiran, dasarnya jahat juga, yaitu menyingkirkan Yusuf dari ayahnya, tetapi tak usah dibunuh. Hal ini dijelaskan oleh lanjutan ayat,
Ayat 10
“Berkatalah seorang yang berkata diantara mereka, ‘Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi buanglah dia ke dalam dasar sumur.'"
Artinya, seorang di antara mereka yang berkata, tetapi tidak dijelaskan siapa yang berkata itu. Sebagaimana tidak pula disebut siapa nama yang mengusul pertama tadi, supaya Yusuf dibunuh saja. Karena maksud Al-Qur'an bukanlah Merekankan pada nama yang berkata, melainkan kepada inti sari yang tersebut di dalam kisah. Orang yang berkata yang tidak disebut namanya ini mengusulkan, tak usah Yusuf dibunuh; masukkan saja ke dalam sumur. Ada satu macam sumur yang luas dan dalam, airnya tergenang di bawah, tetapi di tepi ada pasir atau batu. Sumur itu namanya jubb. Ghayaabatil jub artinya dasar sumur yang gelap.
Untuk mendekatkan sumur semacam ini kepada ingatan kita, terkenang saya akan sebuah cerita roman Eropa yang saya baca di kala saya masih muda belia, yaitu cerita novel Geneviba de Fadans, tentang seorang gadis yang dipencilkan orang ke dalam sebuah sumur, diuluri saja makanan tiap hari, bertahun-tahun lamanya, sampai dia besar dalam sumur itu. Kira-kira seperti itulah jubb atau sumur yang diusulkan oleh si pengusul itu. Kemudian dilanjutkannya usulnya dan alasan dari usulnya itu, “Supaya dia dipungut oleh sebagian orang yang lalu." Artinya, moga-moga akan ada kelak kafilah yang lalu di dekat itu akan mengambil air, sebab sumur itu ada airnya, niscaya Yusuf dapat dipungutnya lalu dibawanya jauh dari negeri kita ini, entah ke Mesir, entah ke jurusan lain,
“Jika kamu mau mengerjakannya."
Artinya, jika kamu kerjakan demikian, tersingkirlah Yusuf itu dari kita dan dari ayah kita sebab dia dibawa jauh.
Dengan demikian, terdapatlah tiga macam pikiran: yang hendak membunuh, yang hendak menyingkirkan ke tanah yang jauh, dan yang hendak membenamkannya masuk sumur. Kemudian pertemuan bubar.
Ayat 11
Kemudian mereka pun berkumpullah pulang lalu mereka pergi menemui ayah mereka, “Mereka berkata, Wahai, ayah kami. Mengapa engkau tidak percaya kepada kami dari hal Yusuf, padahal kami sungguh ikhlas menjaganya."
Inilah alasan mereka membujuk ayah mereka. Mengapa ayah tidak mau mempercayakan kami bergaul dengan Yusuf. Mengapa dia hanya dalam pelukan ayah saja, tidak dibebaskan bergaul dengan kami. Padahal dia adalah adik kami, saudara kecil kami. Manakah kami akan menyia-nyiakan dia.
Mungkin'Yusuf sendiri pun banyak berubah dan banyak merenggangkan diri dengan saudara-saudaranya itu, terutama sejak ayahnya memberinya nasihat supaya rahasia mimpi jangan dibuka-bukakan kepada saudara-saudaranya, sehingga kian hari kian terasa kerenggangan itu. Kalau dia bermain, dia hanya bermain dengan saudara seibunya yang paling kecil, Bunyamin.
Ayat 12
“Kirimkantah dia bersama kami besok, makan-makan dan bermain-main."
Percayakanlah dia kepada kami supaya dia jangan terkungkung di rumah saja. Biar dia melihat-lihat tamasya alam yang indah-indah, bersama kami saudara-saudaranya, makan-makan, bermain-main, bersenda gurau,
“Sesungguhnya, kami akan menjaga dia."
Tak usahlah ayah khawatir sebab kami akan selalu menjaga dia. Kalau ada bahaya, kamilah yang akan memagarinya. Karena kalau dia masih tetap dekat ayah saja selalu di rumah, padahal dia anak laki-laki, niscaya ketangkasan badannya tidak akan berkembang.
Itulah usul yang mereka usulkan kepada ayah mereka Nabi Ya'qub itu,
Ayat 13
“Dia menjawab, Sesungguhnya, sedih hatiku akan kamu bawa dia.'“
Sedih hatiku akan bercerai dengan dia, sepi aku rasanya. Setelah badan tua ini, anak yang kecil-kecil itulah penghilangkan kesepianku, apatah lagi hidupnya malang sebab ibunya tak ada lagi. “Dan aku takut dia akan diterkam serigala." Sebab di tempat-tempat kamu akan bermain itu serigala banyak, binatang buas pun macam-macam. Jika serigala menyambar dia, tak ada di antara kalian yang akan sanggup menangkis,
“Sedang kamu lalai darinya."
Artinya, apabila kalian telah asyik bermain kelak, adik kalian akan kalian lupakan. Karena kalian hanya akan sanggup memeliharanya kalau dia masih di hadapan mata kalian. Sedang manusia tidaklah sunyi dari lalai dan alpa.
Az-Zamakhsyari menulis dalam tafsirnya, “Beliau telah mengemukakan dua keberatan. Keberatan pertama ialah bahwa beliau tidak tahan terpisah dari Yusuf walaupun sesaat. Kedua, beliau takut bahaya yang lebih besar, kalau-kalau serigala menerkam dia"
Ayat 14
“Mereka berkata, ‘Jika dia diterkam serigala, sedangkan kami ini banyak, sungguhlah kami orang-orang yang rugi.'"
Rugi di sini lebih tepat diartikan dengan percuma. Percuma kami sebanyak ini, sampai sepuluh orang, kalau adik kami Yusuf dapat diterkam serigala. Kalau itu kejadian, nyatalah bahwa kami ini pengecut dan tidak bisa dipercaya, tidak ada rasa tanggung jawab.
Dapatlah kita rasakan sendiri bagaimana keadaan Nabi Ya'qub pada masa itu. Anak-anak mendesak, dengan bujukan dan rayuan. Dikemukakan alasan buat menahan Yusuf jangan dibawa, mereka tolak alasan itu. Akan dikatakan diri sangat kasih kepada anak yang satu itu, takut pula anak-anak yang sepuluh ini bertambah salah terima. Akan dikatakan diri merasa sangat sedih akan bercerai, mereka menjanjikan akan segera dibawa pulang kalau telah selesai bermain-main. Dikemukakan ketakutan kalau-kalau Yusuf diterkam serigala, mereka jawab bahwa hal itu tak usah dicemaskan sebab mereka banyak, sampai sepuluh orang! Percuma mereka banyak kalau bahaya serigala itu tidak dapat mereka tangkis akan menerkam adiknya. Kesudahannya, meskipun hati enggan melepas, orang tua tidak dapat bertahan lama lagi. Apatah lagi yang akan membawa ini adalah kakak kandungnya belaka.
Maka dengan hati berat dilepaskannyalah mereka membawa Yusuf.
Menulis Ibnu Katsir di dalam tafsirnya bahwa beliau berat melepas Yusuf itu bukanlah semata-mata karena kasih orang tua terhadap anakkematian ibu atau piatu. Bahkan lebih dari itu bahwasanya telah datang firasat kepada jiwanya bahwa anak ini akan sangat penting di kemudian hari. Nur atau cahaya nubuwwat telah bersinar di wajah putranya itu, yang tidak terdapat pada putra-putranya yang lain.
Kecemasan beliau kalau-kalau Yusuf diterkam serigala, yaitu kecemasan yang selalu terdapat pada ayah yang telah tua terhadap semua putranya telah terlompat dari mulutnya di hari itu. Kita sendiri, kalau usia telah lanjut, memang pencemas sebagaimana Nabi Ya'qub itu pula. Terlambat anak pulang dari waktunya, kita pun cemas, kalau-kalau dia ditubruk mobil atau mendapat kecelakaan yang lain. Tetapi “diterkam serigala" ini lekat dalam pikiran anak-anak yang telah mengatur rencana yang amat berbahaya itu. Sampai mereka mengulangi lagi bahwa kalau Yusuf diterkam serigala, percumalah mereka banyak ushbah).
Ibnu Katsir menceritakan lagi perkataan setengah ahli tafsir bahwa ketika akan berpisah itu, Ya'qub terus memeluk Yusuf dan menciuminya lalu mendoakan moga-moga dia selamat. As-Suddi menceritakan pula bahwa ketika masih di hadapan Ya'qub, saudara-saudara Yusuf itu memperlihatkan bahwa mereka kasih kepada Yusuf, dikemban-kemban, dibawa senyum. Tetapi baru saja lepas dari penglihatan orang tua itu, mulailah mereka melepaskan sakit hati kepadanya, dengan maki-makian dan penghinaan, kemudian mulailah ada yang memukul, menendang, dan menyepak.