Ayat
Terjemahan Per Kata
وَرَٰوَدَتۡهُ
dan ia mendatangi/menggodanya
ٱلَّتِي
(wanita) yang
هُوَ
dia (Yusuf)
فِي
didalam
بَيۡتِهَا
rumahnya
عَن
dari
نَّفۡسِهِۦ
dirinya
وَغَلَّقَتِ
dan ia menutup
ٱلۡأَبۡوَٰبَ
pintu-pintu
وَقَالَتۡ
dan ia berkata
هَيۡتَ
kemarilah
لَكَۚ
bagi kamu
قَالَ
(Yusuf) berkata
مَعَاذَ
berlindung
ٱللَّهِۖ
Allah
إِنَّهُۥ
sesungguhnya ia
رَبِّيٓ
tuanku
أَحۡسَنَ
lebih baik
مَثۡوَايَۖ
tempatku
إِنَّهُۥ
sesungguhnya ia
لَا
tidak
يُفۡلِحُ
beruntung
ٱلظَّـٰلِمُونَ
orang-orang yang zalim
وَرَٰوَدَتۡهُ
dan ia mendatangi/menggodanya
ٱلَّتِي
(wanita) yang
هُوَ
dia (Yusuf)
فِي
didalam
بَيۡتِهَا
rumahnya
عَن
dari
نَّفۡسِهِۦ
dirinya
وَغَلَّقَتِ
dan ia menutup
ٱلۡأَبۡوَٰبَ
pintu-pintu
وَقَالَتۡ
dan ia berkata
هَيۡتَ
kemarilah
لَكَۚ
bagi kamu
قَالَ
(Yusuf) berkata
مَعَاذَ
berlindung
ٱللَّهِۖ
Allah
إِنَّهُۥ
sesungguhnya ia
رَبِّيٓ
tuanku
أَحۡسَنَ
lebih baik
مَثۡوَايَۖ
tempatku
إِنَّهُۥ
sesungguhnya ia
لَا
tidak
يُفۡلِحُ
beruntung
ٱلظَّـٰلِمُونَ
orang-orang yang zalim
Terjemahan
Perempuan, yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya, menggodanya. Dia menutup rapat semua pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya dia (suamimu) adalah tuanku. Dia telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.”
Tafsir
(Dan wanita, yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf) yaitu Zulaikha (untuk menundukkan dirinya kepadanya) yakni ia meminta kepada Yusuf supaya mau memenuhi kehendaknya (dan dia menutup pintu-pintu) rumah (seraya berkata) kepada Yusuf ("Marilah ke sini.") artinya kemarilah; huruf lam dari lafal haitalak bermakna tabyin atau untuk menjelaskan. Menurut qiraat dibaca dengan dikasrahkan huruf ha-nya, sehingga bacaannya menjadi hiitalak. Sedangkan menurut qiraat lainnya dapat dibaca haytulak dengan mendamahkan huruf ta-nya. (Yusuf berkata, "Aku berlindung kepada Allah) artinya aku berlindung kepada Allah dari perbuatan itu (sesungguhnya dia) artinya orang yang telah membelinya (adalah tuanku) majikanku (telah memperlakukan aku dengan baik) telah berlaku baik terhadap diriku maka aku tidak akan mengkhianatinya dengan berlaku tidak baik terhadap istrinya (sesungguhnya) pada kenyataannya (orang-orang yang lalim tiada akan beruntung) yang dimaksud adalah orang-orang yang suka berzina.
Tafsir Surat Yusuf: 23
Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menyerahkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata, "Marilah ke sini.” Yusuf berkata, "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung.
Allah ﷻ menceritakan keadaan istri Aziz yang Yusuf tinggal di dalam rumahnya di Mesir. Suaminya telah berpesan kepadanya agar memperlakukan dan melayani Yusuf dengan baik. Maka pada suatu hari istri Aziz merayu Yusuf, yakni menggodanya untuk melakukan perbuatan mesum, karena istri Aziz sangat cinta kepada Yusuf, sebab Yusuf telah menjadi seorang lelaki yang sangat tampan dan berwibawa.
Hal inilah yang mendorongnya untuk mempercantik dirinya buat Yusuf, lalu ia menutup semua pintu rumah yang Yusuf ada di dalamnya, kemudian ia mengajak Yusuf untuk berbuat mesum. “Dan ia berkata, ‘Marilah ke sini’." (Yusuf: 23) Yusuf menolak ajakan itu dengan keras. “Dia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik’.” (Yusuf: 23) Mereka menyebut kata Rabb untuk tuan dan orang besar di kalangan mereka.
Dengan kata lain, maksudnya adalah 'sesungguhnya suamimu adalah tuanku, dia telah memperlakukan diriku dengan sangat baik dan menempatkan diriku pada kedudukan yang baik, maka aku tidak akan membalas kebaikan ini dengan melakukan perbuatan keji (zina) dengan istrinya'. “Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung.” (Yusuf: 23)
Demikianlah menurut tafsir yang dikemukakan oleh Mujahid, As-Saddi, Muhammad ibnu Ishaq dan lain-lain. Ulama qiraat berbeda pendapat sehubungan dengan bacaan firman-Nya: “Marilah ke sini.” (Yusuf: 23) Kebanyakan ulama membacanya dengan harakat fathah pada huruf ha, yaitu haita.
Ibnu Abbas, Mujahid dan lain-lain yang tidak hanya seorang mengatakan bahwa makna haita lak adalah si wanita itu mengajaknya untuk berbuat mesum. Ali ibnu Abu Talhah dan Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Marilah ke sini.” (Yusuf: 23) Yakni kemarilah kamu. Hal yang sama telah dikatakan oleh Zur ibnu Hubaisy, Ikrimah, Al-Hasan dan Qatadah. Amr ibnu Ubaid telah meriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa lafaz haita lak adalah bahasa Siryani yang artinya 'marilah ke sini'. As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Marilah ke sini.” (Yusuf: 23) Lafaz ini berasal dari bahasa Qibti yang artinya 'marilah ke sini'.
Mujahid mengatakan bahwa haita lak adalah bahasa Arab yang maksudnya adalah ajakan. Imam Bukhari mengatakan bahwa Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Marilah ke sini.” (Yusuf: 23) Yakni 'kemarilah kamu' memakai bahasa Haurani. Demikianlah menurut Imam Bukhari secara mu'allaq. Tetapi disebutkan secara isnad oleh Ja'far ibnu Jarir yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Sahi Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Qurrah ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Ali Al-Jazari, dari Ikrimah maula Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Marilah ke sini.” (Yusuf: 23) Maksudnya, 'hai kamu, marilah ke sini'.
Ikrimah mengatakan bahwa kata-kata ini memakai bahasa Haurani. Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam mengatakan bahwa Imam Kisai' meriwayatkan qiraat ayat ini, yakni firman-Nya: “Marilah ke sini.” (Yusuf: 23) Lalu ia mengatakan bahwa kata-kata ini berasal dari penduduk Hauran yang biasa dipakai oleh penduduk Hijaz, artinya 'kemarilah'. Abu Ubaidah mengatakan bahwa ia pernah menanyakan kepada seorang syekh (guru) yang alim dari kalangan penduduk Hauran, dan ternyata ia menjawab bahwa kata-kata itu berasal dari bahasa mereka yang biasa mereka pakai.
Imam Ibnu Jarir memperkuat pendapatnya sehubungan dengan qiraat ini dengan sebuah syair yang dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talib r.a., yaitu: “Sampaikanlah kepada Amirul Mukminin tentang gangguan yang dilakukan oleh penduduk Irak ketika kami datang kepada mereka. Sesungguhnya negeri Irak dan penduduknya menjadi halangan, maka marilah ke sini, marilah ke sini. Yakni kemarilah dan mendekatlah.”
Sebagian ulama membacanya sedemikian yang artinya 'aku telah bersiap-siap untukmu', berasal dari kata hi-tu lil amri, yakni aku telah bersiap-siap untuk mengerjakan urusan itu; bentuk mudari '-nya ialah ahi-u, dan bentuk masdar-nya ialah hi-atan. Di antara ulama yang meriwayatkan qiraat ini ialah Ibnu Abbas, Abu Abdur Rahman As-Sulami, Abu Wail, Ikrimah, dan Qatadah; semuanya menafsirkannya dengan makna 'aku telah bersiap-siap untukmu'.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Abu Amr dan Al-Kisai membantah qiraat ini. Abdullah ibnu Ishaq membacanya haiti, tetapi qiraat ini garib (aneh). Sedangkan yang lain dari kalangan kebanyakan ulama Madinah membacanya dengan bacaan haitu, seperti yang terdapat pada ucapan seorang penyair: “Kaumku bukanlah orang-orang yang jauh, apabila ada juru penyeru mereka memanggil mereka, 'Hai kemarilah,' maka mereka spontan datang dengan segera.”
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Al-A'masy, dari Abu Wail yang mengatakan bahwa Ibnu Mas'ud mengatakan setelah mendengar para ahli qurra membaca bahwa ia mendengar qiraat mereka berdekatan. Maka bacalah menurut apa yang diajarkan kepada kalian, dan janganlah kalian bertengkar dan berselisih pendapat, sesungguhnya makna lafaz ini hanyalah seperti perkataan kalian, "Kemarilah, kesinilah." Kemudian Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: “Marilah ke sini.” (Yusuf: 23) Perawi bertanya, "Wahai Abu Abdur Rahman, sesungguhnya orang-orang membacanya haitu." Abdullah ibnu Mas'ud menjawab, "Aku lebih suka membacanya seperti apa yang diajarkan kepadaku."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Mansur, dari Abu Wail yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud membacanya dengan bacaan haita laka. Maka Masruq bertanya kepadanya, "Sesungguhnya orang-orang membacanya haitu laka." Maka Ibnu Mas'ud menjawab, "Biarkanlah aku, sesungguhnya aku lebih suka membacanya seperti apa yang diajarkan kepadaku."
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Adam ibnu Abu Iyas, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Syaqiq, dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia membacanya haita.
Sedangkan ulama lain membacanya haitu. Abu Ubaid Ma'mar ibnul Musanna mengatakan bahwa lafaz haita tidak di-tasniyah-kan, tidak di-jamak-kan, dan tidak di-muannas-kan, melainkan dapat dipakai semuanya dalam satu bentuk. Untuk itu dikatakan haita laka, haita lakum, haita lakuma, haita lakunna, dan haita lahunna.
Setelah diuraikan tentang karunia Allah kepada Nabi Yusuf berupa
ilmu pengetahuan dan kenabian ketika dewasa, ayat berikut ini menjelaskan sisi lain yang dialami Nabi Yusuf, yaitu godaan istri al-Aziz.
Dan perempuan (istri al-Aziz) yang dia (Nabi Yusuf ) tinggal di rumahnya
menggoda dirinya. Dan serta merta dia pun masuk ke kamar Nabi Yusuf
kemudian menutup pintu-pintu kamar, lalu berkata kepada Nabi Yusuf,
Marilah mendekat kepadaku. Kemudian Nabi Yusuf berkata seraya
memohon, Aku berlindung kepada Allah dari tindakan keji, bagaimana
mungkin aku menuruti ajakanmu, sungguh, tuanku Al-Aziz telah memperlakukan aku dengan baik, memberiku tempat, kedudukan, serta
memberiku kepercayaan, maka sedikit pun aku tidak akan mengkhianati kepercayaannya. Sesungguhnya orang yang membalas kebaikan
dengan kejahatan adalah termasuk golongan orang zalim, dan orang
yang zalim itu tidak akan beruntung. Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya, yakni Nabi
Yusuf untuk melayani nafsu birahinya. Dan Nabi Yusuf pun berkehendak
kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda dari Tuhannya, niscaya dia
akan terjatuh dalam perbuatan maksiat. Demikianlah, Kami kuatkan
keimanannya sehingga Kami palingkan darinya perilaku keburukan dan
kekejian. Sungguh, dia'Nabi Yusuf'termasuk hamba Kami yang terpilih
untuk mengemban risalah Allah dan selalu taat kepada perintah-Nya.
Istri al-Aziz adalah seorang perempuan cantik, sangat dimuliakan oleh seluruh penghuni istana, karena di samping dia istri al-Aziz, dia juga berbudi tinggi, berakhlak mulia, bersih dari sifat-sifat congkak dan sombong, menjauhi segala hal yang akan menjatuhkan derajatnya. Tetapi setelah Yusuf tinggal di istana sebagai salah seorang keluarganya, istri al-Aziz mulai tertarik kepadanya karena akhlak dan ketampanannya. Suatu ketika, setelah mengunci semua pintu rumah, istri al-Aziz merayu Yusuf untuk berselingkuh. Yusuf sebagai seorang yang jujur dan berakhlak mulia sangat terkejut mendengar rayuan dan ajakan itu, apalagi yang mengajaknya itu adalah istri majikannya sendiri yang telah memberinya tempat berteduh dan memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Selain dari itu, bila ia mematuhi ajakan demikian, berarti ia telah melakukan maksiat yang sangat dimurkai Allah. Karena itu dengan spontan ia menjawab, "Aku berlindung kepada Allah agar aku jangan terjerumus ke dalam perbuatan keji dan mungkar. Suamimu itu adalah tuanku, majikanku yang telah berbuat baik kepadaku, apakah kebaikannya aku balas dengan kekejian? Ini adalah suatu kezaliman dan aku tidak akan melakukannya karena tidak ada orang yang zalim yang sukses dan bahagia hidupnya.".
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 23
“Sungguh, tidaklah akan berbahagia orang yang zalim."
Maka dapatlah kita simpulkan maksud perkataan Yusuf, yaitu bahwasanya dia berlindung kepada Allah agar janganlah dia roboh karena godaan ini. Tidaklah layak dia yang disambut dan dimuliakan sebagai anak kandung, bukan sebagai budak, oleh tuan yang membelinya, akan berlaku khianat kepada istrinya, yang selama dia tinggal di dalam istana itu sudah dianggapnya sebagai ibu angkatnya pula. Dan kalau diperturutkannya rayuan perempuan itu, berlaku zalimlah dia, berlaku aniaya, menempuh jalan yang salah, yang tidak wajar, yang tidak patut. Segala perbuatan yang berada di luar garis pikiran sehat dinamai zalim, yang kadang-kadang berarti aniaya dan kadang-kadang berarti juga menempuh jalan gelap. Maka kalau sekali saya telah berbuat zalim, berzina dengan istri pengasuh, pendidikku sendiri, berarti aku telah menempuh jalan gelap buat hari depanku sama sekali. Karena yang berbusuk mesti berbau dan harga diriku tak ada lagi.
Ayat 24
“Dan sesungguhnya perempuan itu sudah sangat menginginkan dia, dan dia pun sudah sangat menginginkan perempuan itu; kalau kinanya tidaklah dia menampak pertandaan Allahnya."
Di dalam ayat ini terdapat perkataan hammatbihi dan hamma biha. Di sini, kita pilih arti harnmat dan hamma itu dengan sangat menginginkan.
Ibnu Katsir menghikayatkan dalam tafsirnya bahwa al-Baghawi berpendapat demikian,
“Yang dimaksud dengan hamma biha ialah gelora kata-kata nafsu."
Oleh sebab itu, menurut tafsir ini sudah sama-sama tumbuh keinginan di kedua belah pihak, baik pada si perempuan terhadap Yusuf maupun dari Yusuf terhadap perempuan itu. Kalau disebut secara tegas lagi bahwa keduanya sudah sama-sama bersyahwat. Tegas-nya lagi, Yusuf sendiri pun sudah timbul keinginan kepada perempuan itu.
Tetapi beberapa penafsir, di antaranya Ibnu Hazem al-Andalusi di dalam kitabnya al-Fishal di dalam membela ma'shum-nya nabi-nabi dari dosa, memberi arti hamma dan hammat dengan dendam ingin memukul. Artinya, karena kehendak syahwat perempuan itu tidak juga diperlakukan oleh Yusuf dia pun jadi marah, tersinggung kehormatan dirinya karena dia merasa berkuasa, lalu dikejarnya
Yusuf hendak dipukulnya. Dan Yusuf pun jadi marah. Sebab itu, dia pun hendak memukul pula.
Sayyid Rasyid Ridha di dalam tafsirnya al-Manar pun menguatkan pendapat Ibnu Hazem dan penafsir-penafsir yang lain itu. Mereka mengemukakan alasan karena di dalam AI-Qur'an sendiri terdapat beberapa kalimat hamma dengan arti hendak memukul atau hendak menganiaya atau bermaksud jahat (lihat surah al-Maa'idah ayat 11, surah Aali ‘Imraan ayat 122, surah an-Nisaa' ayat 113, surah at-Taubah ayat 13 dan ayat 73, pada surah Aali ‘Imraan ayat 154, ahammathum anfusuhum diartikan ‘mementingkan diri sendiri').
Maka al-Baghawi menguatkan pendapat bahwa arti hamma biha di sini ialah gelora yang berkecamuk dalam jiwa, tetapi belum dilaksanakan dalam kenyataan. Dan al-Baghawi membela pahamnya bahwa memang Yusuf sudah ada gelora perasaan terhadap istri Raja Muda yang cantik itu, yang bernama Zulaikha. Tetapi gelora yang berkecamuk dalam hati itu dapat ditahannya sebab dia melihat pertandaan Tuhannya. Atau di dalam diri sendiri terjadi peperangan hebat, di antara nafsu syahwat yang bergelora dan seruan fitrah, seruan jiwa yang bersih karena didikan yang diterima dari kecil, atau tegasnya lagi, karena dipelihara oleh Allah. Hingga Yusuf selamat.
Banyak juga ahli tafsir mengatakan bahwa sebagai seorang nabi, Yusuf ma'shum. Untuk itu, ayat ini juga mereka artikan dengan tegas, yaitu bahwa Zulaikha telah menggelora hatinya melihat Yusuf, sedangkan Yusuf pun tentu telah menggelora juga hatinya melihat Zulaikha, kalau bukanlah dia menampak pertandaan Tuhannya. Sebab itu, mereka artikan, “Tidak timbul gelora nafsu syahwat Yusuf melihat Zulaikha sebab dia lebih dahulu telah menampak pertandaan Allah."
Dipandang dari segi ilmu jiwa dan biologi, kita condong kepada penafsiran al-Baghawi.
Karena meskipun menggelora nafsu syahwat Yusuf di tempat yang sunyi itu karena rayuan Zulaikha, tidaklah hal itu mengurangi akan ke-ma's/mm-annya. Sebab dia adalah manusia dan laki-laki tulen.
Tersebut di dalam sebuah hadits, bersabda Rasulullah ﷺ,
“Allah telah mengatakan, ‘Apabila bermaksud seorang hamba-Ku akan membuat suatu kebaikan, maksudnya itu akan dituliskan satu pahala kebaikan. Dan kalau sudah sampai dilaksanakannya maksudnya itu, maka tuliskanlah untuknya sepuluh pahala yang seimbang dengan itu. Tetapi jika dia bermaksud hendak mengerjakan satu perbuatan yang salah, tetapi tidak sampai dikerjakannya, tuliskan jualah untuknya satu pahala. Karena dia meninggalkan itu adalah karena takut kepada-Ku jua. Dan jika sampai terkerjakan maksudnya itu olehnya, tuliskanlah untuknya, satu dosa.'" (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Dalam hadits ini hamma kita artikan bermaksud.
Abus Su'ud memberikan tafsir tentang hamma biha itu.
Hamma di sini berarti hatinya sudah tertarik kepada perempuan itu, menurut kewajaran tabiat manusia, dan syahwat nafsu dari seorang manusia, kecenderungan itu ada jibillah yang sudah keadaannya begitu, yang tidak dapat dicegah. Sebab itu, bukanlah atas kemauannya sendiri. Tetapi kita telah melihat sejak semula bahwa Yusuf selalu sadar akan dirinya, sehingga kecenderungan nafsu laki-laki muda terhadap kepada perempuan cantik di waktu tidak ada orang lain dan perempuan itu mengajak-ajak dan merayu terus, dapat ditahannya. Dan mula dia telah menolak, tidak layak dan tidak patut dia mengkhianati orang yang mengasuhnya sekian lama; dan dengan tegas dia mengatakan bahwa orang yang zalim tidaklah akan berbahagia dan berjaya, dan tidak akan selamat sampai ke akhir. Mengkhianati induk semang atau penghulu yang menganggapnya jadi anak dan mendidiknya adalah satu kezaliman yang luar biasa.
Ini saja sudah dapat membuktikan bahwa dia dapat mengendalikan diri. Sekian kita salin secara bebas tafsiran dari Abus Su'ud.
Kalau kita ketahui ilmu jiwa modern dan biologi, kita ketahui pula keadaan kesehatan fisik dan mental dari seorang laki-laki, tidaklah akan dapat kita menafsirkan bahwa hamma biha dari Yusuf terhadap Zulaikha itu ialah hendak membunuh Zulaikha dan tidak pulalah akan kena tafsirannya kalau kita katakan bahwa tidak menggelora syahwat Yusuf melihat, misalnya paha Zulaikha terbuka. Sebab dia laki-laki tulen, anak muda baru tumbuh. Dia bukan ‘innin (impoten) dan bukan pula seorang bodoh yang tidak mengerti perempuan. Yang perlu kita perhatikan di sini ialah kehebatannya karena dia dapat menahan syahwatnya sebab dia menampak pertandaan Allah.
Tentang menampak pertandaan Allah ini berbagai pula tafsir yang berasal dari dongeng yang membuat bosan orang yang berperasaan halus. Ada tafsir yang mengatakan bahwa Yusuf telah duduk di antara dua paha perempuan itu, tetapi kemudian tampak olehnya atau terbayang rupa ayahnya, Nabi Ya'qub, di dinding rumah lalu terpancarlah maninya ke ujung empu tangannya lalu dia lekas berdiri.
Ini adalah dongeng untuk mengotori tafsir Al-Qur'an saja sebab tidak ada sumbernya yang dapat dipertanggungjawabkan.
Apakah pertandaan Allah yang dilihatnya itu?
Biasa saj'a. Bukankah dia seorang nabi?
Bukankah dari kecil ayahnya Nabi Ya'qub, anak dari Nabi Ishaq dan anak dari Nabi Ibrahim, telah menanamkan dalam jiwanya perasaan takut kepada Allah? Maka pertandaan Allah itu adalah tersedia ada dalam jiwanya sejak dia masih kecil. Dan kematian ibunya di waktu dia masih kecil, meninggalkan pula adiknya yang lebih kecil Bunyamin, ditambah lagi dengan kebencian seluruh saudaranya yang sepuluh orang kepada dirinya, dengan kasih mesra yang begitu mendalam dari ayahnya kepadanya. Kemudian itu dibenamkan masuk sumur, sampai dipungut orang dan dijual murah ke Mesir, lalu diangkat jadi anak dan disayangi, semuanya itulah yang telah membentuk jiwanya. Semuanya itu telah berkumpul untuk menjadi pertandaan adanya Allah Yang Mahakuasa yang selalu melindungi dia, sehingga dia tidak terperosok ke dalam lembah yang hina itu. Dan itu dijelaskan Allah pada lanjutan ayat, “Demikianlah adanya, supaya Kami palingkan dia dari kekejian dan kekotoran." Membalas air susu dengan tuba atau membalas kasih sayang majikannya dengan berbuat nista bersama istri beliau adalah suatu perbuatan yang jahat lagi hina. Dan berbuat zina itu sendiri adalah kotor dan nista. Keduanya terlepas karena Yusuf melihat atau menampak pertandaan kebesaran Allah bahwa Allah itu ada. Dan Yusuf, sebagaimana telah kita katakan dalam penafsiran di atas tadi (ayat 22), adalah seorang Muhsin, seorang yang selalu berbuat ihsan, yaitu selalu merasa bahwa Allah melihatnya walaupun dia sendiri tidak melihat Allah. Meskipun dia masih semuda usia delapan belas tahun (Said bin Jubair) atau dua puluh tahun (adh-Dhahhak), artinya menurut ilmu jiwa adalah di zaman pancaroba (puber), dia telah diselamatkan dari bahaya besar itu. Lalu Allah menegaskan lagi pujian-Nya kepada Yusuf,
“Sesungguhnya, dia adalah termasuk hamba Kami yang telah dipersoalkan."
Inilah pujian yang amat tinggi dari Allah terhadap Nabi-Nya bahwa Nabi-Nya telah dibentengi dengan iman dan ihsan sejak semula, sehingga dia teguh dan tabah menghadapi percobaan sehebat itu di dalam usia demikian muda, masa pancaroba. Apa yang akan menghalanginya akan dia berbuat zina di waktu itu? Dia jauh dari ayahnya yang amat dikasihinya dan amat mengharapkannya. Dia tidak diketahui oleh orang luar, pintu tertutup semua, tak ada orang yang melihat dan dia sendiri sehat!
Dia sudah mukhlash, sudah dipersucikan. Artinya, ihsannya yang murni sudah dapat mengekang hawa nafsunya. Inilah suatu kemenangan besar pada Yusuf.