Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّآ
sesungguhnya Kami
أَنزَلۡنَٰهُ
Kami menurunkannya
قُرۡءَٰنًا
bacaan/Al Quran
عَرَبِيّٗا
bahasa Arab
لَّعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَعۡقِلُونَ
kalian menggunakan akal
إِنَّآ
sesungguhnya Kami
أَنزَلۡنَٰهُ
Kami menurunkannya
قُرۡءَٰنًا
bacaan/Al Quran
عَرَبِيّٗا
bahasa Arab
لَّعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَعۡقِلُونَ
kalian menggunakan akal
Terjemahan
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Kitab Suci) berupa Al-Qur’an berbahasa Arab agar kamu mengerti.
Tafsir
(Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur'an dengan berbahasa Arab) dengan memakai bahasa Arab (agar kalian) hai penduduk Mekah (memahaminya) memahami makna-maknanya.
Tafsir Surat Yusuf: 1-3
Alif Lam Ra. Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al-Qur'an) yang jelas.
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur'an berbahasa Arab agar kalian memahaminya.
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling indah dengan mewahyukan Al-Qur'an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum ini termasuk orang-orang yang belum mengetahui.
Ayat 1
Adapun mengenai keterangan yang menyangkut huruf-huruf yang ada pada permulaan surat Al-Qur'an, telah dijelaskan dalam permulaan tafsir surat Al-Baqarah.
Firman Allah ﷻ: “Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al-Qur'an) yang jelas.” (Yusuf: 1)
Maksudnya ayat-ayat Kitab ini, yaitu Al-Qur'an yang jelas dan terang, yang mengungkapkan segala sesuatu yang samar hingga menjadi jelas melalui keterangan dan penjelasannya.
Ayat 2
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur'an berbahasa Arab, agar kalian memahaminya.” (Yusuf: 2)
Demikian itu karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling jelas, paling terang, paling luas, dan paling banyak perbendaharaan kata-katanya untuk mengungkapkan berbagai pengertian guna meluruskan jiwa manusia. Karena itulah Allah menurunkan Kitab-Nya yang paling mulia dengan bahasa yang paling mulia di antara bahasa-bahasa lain yang disampaikan-Nya kepada rasul yang paling mulia melalui perantaraan malaikat yang paling mulia.
Dan penurunannya terjadi di belahan bumi yang paling mulia, serta awal penurunannya (Al-Qur'an) terjadi di dalam bulan yang paling mulia, yaitu bulan Ramadan; sehingga sempurnalah kitab Al-Qur'an ini dari berbagai seginya. Karena itulah disebutkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya:
Ayat 3
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling indah dengan mewahyukan Al-Qur'an ini kepadamu.” (Yusuf: 3)
Yakni dengan perantaraan penurunan Al-Qur'an ini kepadamu.
Di dalam sebuah hadits disebutkan penyebab turunnya ayat ini yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Nasr ibnu Abdur Rahman Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Hakam Ar-Razi, dari Ayyub, dari Amr (yakni Ibnu Qais Al-Mala-i), dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, alangkah baiknya seandainya engkau menceritakan kisah-kisah kepada kami." Maka turunlah firman-Nya: “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling indah.” (Yusuf: 3)
Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Amr ibnu Qais secara mursal. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Khalid As-Saffar, dari Amr ibnu Qais, dari Amr ibnu Murrah, dari Mus'ab ibnu Sa'd, dari ayahnya yang mengatakan bahwa diturunkan kepada Nabi ﷺ wahyu selama beberapa masa, dan Nabi ﷺ langsung membacakannya kepada mereka (para sahabat). Maka para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, alangkah baiknya seandainya engkau bercerita tentang kisah-kisah kepada kami." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Alif Lam Ra. Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al-Qur'an) yang jelas.” (Yusuf: 1) Sampai dengan firman-Nya: “Agar kalian memahaminya.” (Yusuf: 2)
Kemudian Rasulullah ﷺ membacakannya kepada mereka selama beberapa masa. Maka mereka berkata, "Wahai Rasulullah, alangkah baiknya seandainya engkau bercerita kepada kami." Kemudian Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: "Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik." (Az-Zumar: 23), hingga akhir ayat. Lalu Ibnu Jarir menceritakan hadits ini hingga selesai.
Imam Hakim meriwayatkannya melalui hadits Ishaq ibnu Rahawaih, dari Amr ibnu Muhammad Al-Qurasyi Al-Minqari dengan sanad yang sama.
Ibnu Jarir meriwayatkannya berikut sanadnya melalui Al-Mas'udi, dari Aun ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ merasa bosan, lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah, berceritalah kepada kami." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik.” (Az-Zumar: 23) Kemudian mereka merasa bosan lagi untuk kedua kalinya, maka mereka berkata, "Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepada kami suatu kisah selain hukum-hukum Al-Qur'an."
Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Alif Lam Ra. Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al-Qur'an) yang jelas. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur'an berbahasa Arab agar kalian memahaminya. Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling indah.” (Yusuf: 1-3), hingga akhir ayat. Mereka bermaksud sesuatu yang berupa kisah, maka Allah menunjukkan kepada mereka kisah yang paling indah; dan mereka bermaksud suatu cerita, maka Allah menunjukkan kepada mereka cerita yang paling indah.
Sehubungan dengan makna ayat ini yang mengandung pujian terhadap Al-Qur'an yang menyatakan bahwa Al-Qur'an sudah cukup dan sempurna tanpa memerlukan yang lain maka kami ketengahkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnun Nu'man, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Umar ibnul Khattab datang kepada Nabi ﷺ dengan membawa sebuah kitab yang ia peroleh dari salah seorang Ahli Kitab. Lalu Umar membacakannya kepada Nabi ﷺ. Nabi ﷺ marah dan bersabda: “Hai Ibnul Khattab, apakah engkau merasa bimbang terhadapnya? Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaannya, sesungguhnya aku menyampaikannya kepada kalian dalam keadaan putih bersih. Jangan sekali-kali kalian menanyakan kepada mereka (Ahli Kitab) tentang sesuatu, lalu mereka menceritakannya kepada kalian dengan benar, dan kalian pasti akan mendustakannya, atau dengan secara batil, dan kalian pasti akan membenarkannya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, seandainya Musa masih hidup, maka tiada jalan lain baginya melainkan mengikutiku.”
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Jabir, dari Asy-Sya'bi, dari Abdullah ibnu Sabit yang mengatakan bahwa Umar datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah bertemu dengan seorang saudaraku dari kalangan Bani Quraizah, lalu ia menuliskan buatku sejumlah kisah dari kitab Taurat, apakah boleh aku memaparkannya kepadamu?" Wajah Rasulullah ﷺ berubah. Abdullah ibnu Sabit berkata kepada Umar, "Tidakkah engkau melihat perubahan pada raut muka Rasulullah?" Umar berkata, "Kami rela Allah sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai rasul kami." Maka wajah Rasulullah ﷺ kembali seperti biasanya (tidak marah), lalu beliau ﷺ bersabda: “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ini berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, seandainya Musa masih berada di antara kalian, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, niscaya kalian sesat. Sesungguhnya kalian adalah umat bagianku, dan aku adalah nabi bagian kalian.”
Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Gaffar ibnu Abdullah ibnuz Zubair, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Mishar, dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari Khalifah ibnu Qais dari Khalid ibnu Urfutah yang berkata : “Ketika aku sedang duduk dengan Khalifah Umar, tiba-tiba datanglah seorang lelaki dari kalangan Bani Abdul Qais yang bertempat tinggal di As-Sus. Maka Umar berkata kepadanya, 'Apakah engkau juga Fulan ibnu Fulan Al-Abdi?' Lelaki itu menjawab, 'Ya.' Umar bertanya, 'Apakah engkau yang bertempat tinggal di As-Sus?' Lelaki itu menjawab, 'Ya.' Maka Umar memukulnya dengan gagang tombak yang ada di tangannya, sehingga lelaki itu bertanya, 'Apakah salahku, hai Amirul Mukminin?' Umar berkata kepadanya, 'Duduklah kamu!' Maka lelaki itu duduk, dan Umar membacakan kepadanya firman Allah ﷻ berikut, yaitu: 'Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Alif Lam Ra. Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al-Qur'an) yang jelas. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur'an berbahasa Arab agar kalian memahaminya. Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling indah.' (Yusuf: 1-3) sampai dengan firman-Nya: 'termasuk orang-orang yang belum mengetahui.' (Yusuf: 3) Umar membacakan ayat-ayat tersebut kepada lelaki itu sebanyak tiga kali dan memukulnya sebanyak tiga kali pula. Maka lelaki itu bertanya, 'Hai Amirul Muminin, apakah salahku?' Umar menjawab, 'Engkau adalah orang yang telah menyalin kitab (nabi) Danial.' Lelaki itu berkata, 'Perintahkanlah kepadaku apa yang engkau inginkan, maka aku akan melakukannya.' Umar berkata, 'Pergilah dan hapuslah salinan itu dengan arang dan kain wol putih. Kemudian janganlah kamu baca lagi, jangan pula kamu membacakannya kepada seseorang. Jika sampai kepadaku suatu berita tentang kamu bahwa kamu membacanya atau membacakannya kepada orang lain, niscaya aku benar-benar akan menimpakan hukuman yang berat kepadamu.' Kemudian Umar berkata, 'Duduklah!' Maka lelaki itu duduk di hadapannya.
Setelah itu Umar pergi dan menyalin sebuah kitab dari sebagian Ahli Kitab. Kemudian ia datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ seraya membawa kitab salinan itu. Maka Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya, 'Hai Umar, apakah yang kamu pegang itu?' Umar menjawab, 'Wahai Rasulullah, ini adalah sebuah kitab yang aku salin untuk menambah pengetahuanku selain dari ilmu yang telah ada pada kami.' Rasulullah ﷺ marah sehingga kedua pelipisnya tampak memerah, lalu diserukan azan untuk shalat berjamaah. Maka orang-orang Ansar berkata, 'Nabi kalian sedang marah.' Maka mereka bergegas datang seraya membawa senjatanya masing-masing, lalu berkumpul di hadapan mimbar Rasulullah ﷺ. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, 'Hai manusia, sesungguhnya aku telah dianugerahi Jawami'ul Kalim dan semua penutupnya, yang semuanya itu diberikan khusus kepadaku. Dan sesungguhnya aku menyampaikannya kepada kalian dalam keadaan putih bersih, maka janganlah kalian bimbang, janganlah pula kalian teperdaya oleh orang-orang yang bimbang.' Umar berkata bahwa lalu ia berdiri dan berkata, 'Aku rela Allah sebagai Tuhan (ku), Islam sebagai agama (ku), dan engkau sebagai rasul (ku).' Setelah itu Rasulullah ﷺ turun dari mimbarnya.”
Imam Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya secara ringkas di dalam kitab Tafsir-nya melalui hadits Abdur Rahman ibnu Ishaq dengan sanad yang sama. Tetapi bila ditinjau dari jalur ini, hadits ini berpredikat garib (aneh), karena Abdur Rahman ibnu Ishaq yang terkenal dengan nama julukan Abu Syaibah Al-Wasiti dinilai daif oleh kalangan ahli hadits, demikian pula gurunya. Imam Bukhari mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Rahman ibnu Ishaq tidak shahih. Menurut kami, hadits ini mempunyai syahid (bukti) yang memperkuatnya yang diriwayatkan melalui jalur lain.
Al-Hafiz Abu Bakar (yaitu Ahmad ibnu Ibrahim Al-Ismaili) mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Al-Hasan ibnu Sufyan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Sufyan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnul Ala Az-Zubaidi, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Salim Al-Asy'ari, dari Az-Zubaidi, telah menceritakan kepada kami Salim ibnu Amir; Jubair ibnu Nafir menceritakan kepada mereka bahwa ada dua orang lelaki di Himsa di masa pemerintahan Khalifah Umar, kemudian kedua lelaki itu menjadi delegasi kaumnya di antara delegasi penduduk Himsa lainnya.
Keduanya telah menyalin sebuah kitab yang terdiri atas lembaran-lembaran kulit dari orang-orang Yahudi. Maka keduanya membawa serta kitabnya itu untuk meminta fatwa kepada Amirul Mukminin tentang kitab tersebut. Mereka berniat, "Jika Amirul Muminin suka kami melakukannya, maka kami akan bertambah rajin menyalinnya; dan jika Amirul Muminin melarang kami menyalinnya, maka kami akan membuangnya." Ketika kedua lelaki itu tiba di hadapan Amirul Muminin, maka keduanya mengatakan, "Sesungguhnya kami berada di negeri kaum Ahli Kitab. Dan sesungguhnya kami sering mendengar suatu kalam dari mereka yang membuat bulu kuduk kami merinding karenanya. Bolehkah kami mengambil kalam itu, ataukah kami harus meninggalkannya?" Umar bertanya, "Apakah kamu berdua telah menulis sendiri sesuatu dari kalam itu?" Keduanya menjawab, "Tidak." Umar berkata bahwa ia akan menceritakan kepada keduanya suatu hadits. Umar mengatakan, di masa Nabi ﷺ masih hidup ia pergi menuju tanah Khaibar, lalu bertemu dengan seorang Yahudi yang mengucapkan suatu kalam yang membuatnya kagum.
Umar berkata, "Apakah engkau mau menuliskan apa yang telah kamu katakan itu buatku?" Lelaki Yahudi itu menjawab, "Ya." Maka aku (Umar) mengambil lembaran kulit, dan lelaki Yahudi itu menuliskannya buatku, sehingga tiada yang tersisa dari kulit itu melainkan dipenuhinya sampai ke kulit bagian kaki dari kulit tersebut. Umar mengatakan, "Setelah aku kembali, aku berkata kepada diriku sendiri bahwa aku akan menceritakannya kepada Nabi ﷺ dan mudah-mudahan Nabi ﷺ menyuruhku untuk mendatangkannya. Pada awal mulanya aku pergi untuk mencari berita dengan harapan mudah-mudahan aku dapat mendatangkan sesuatu yang membuat hati Rasulullah ﷺ suka. Ketika aku tiba di hadapannya, beliau bersabda, "Duduklah dan bacakanlah kepadaku!' Maka aku membacakannya selama sesaat kepada beliau.
Ketika aku pandang wajah Rasulullah ﷺ, ternyata raut wajahnya telah berubah memerah: lalu aku menjadi gemetar karena takut, sehingga aku tidak mampu membacakannya lagi barang satu huruf pun. Setelah beliau melihat keadaanku, maka beliau mengambilnya dan memeriksanya tulisan demi tulisan, lalu beliau hapus dengan ludahnya sehingga seluruh huruf yang tertera pada kulit itu semuanya terhapus. Setelah itu beliau bersabda, 'Janganlah kalian mengikuti jejak mereka, karena sesungguhnya mereka (Ahli Kitab) telah ragu dan benar-benar menjadi orang-orang yang ragu.' Umar berkata, "Seandainya aku mengetahui bahwa kalian berdua menulis sesuatu dari kitab itu, niscaya aku akan menimpakan hukuman kepada kalian sebagai pelajaran bagi umat ini." Keduanya berkata, "Demi Allah, kami sama sekali tidak menulis sesuatu pun dari kitab itu." Kemudian keduanya keluar dan membawa lembaran kulitnya itu, lalu keduanya menggali tanah dengan sangat dalam, kemudian lembaran-lembaran itu dikuburkan.
Demikianlah kisah yang paling akhir menyangkut tentang tulisan tersebut pada kami. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh As-Sauri, dari Jabir ibnu Yazid Al-Ju'fi, dari Asy-Sya'bi, dari Abdullah ibnu Sabit Al-Ansari, dari Umar ibnul Khattab dengan lafaz yang serupa. Imam Abu Daud telah meriwayatkannya di dalam kitab Marasil-nya melalui hadits Abu Qilabah, dari Umar dengan sanad yang serupa.
Selanjutnya Allah menegaskan keberadaan Al-Qur'an. Sesungguhnya
Kami menurunkannya, yakni kalam Allah yang qadim sebagai Qur'an,
yaitu bacaan yang berbahasa Arab, bahasa induk masyarakat pertama
yang dihadapi Nabi agar kamu mengerti maknanya dan paham akan isi
dari pesan-pesan yang terkandung di dalamnya, sehingga kamu mampu memahaminya dengan akalmu. Allah menurunkan ayat ini dan sesudahnya ketika sekelompok orang
Yahudi meminta Nabi Muhammad menceritakan kisah Nabi Yusuf
dan Nabi Yakub, lalu turunlah ayat berikut ini. Kami akan menceritakan
kepadamu wahai Nabi Muhammad suatu kisah umat-umat terdahulu
untuk menguatkan hatimu dan menjadi pelajaran bagi umatmu. Kisah
ini adalah kisah yang paling baik karena sarat dengan pesan, nasihat,
dan pelajaran yang diuraikan dengan susunan bahasa yang indah dan
menarik. Kisah itu Kami turunkan dengan mewahyukan Al-Qur'an ini
kepadamu, dan sesungguhnya engkau sebelum Kami mewahyukannya itu
termasuk orang yang tidak mengetahui tentang kisah-kisah umat terdahulu. Kisah-kisah para nabi dan orang-orang saleh yang dipaparkan dalam Al-Qur'an adalah menjadi pelajaran bagi umat Nabi Muhammad, karena sarat dengan pesan-pesan moral serta nasihat.
Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia menurunkan Al-Qur'an dalam bahasa Arab yang fasih agar dapat direnungkan dan difikirkan isi dan maknanya. Memang Al-Qur'an diturunkan untuk semua manusia, bahkan juga untuk jin, tetapi karena yang pertama-tama menerimanya ialah penduduk Mekah, maka wajarlah bila firman itu ditujukan lebih dahulu kepada mereka dan seterusnya berlaku untuk semua umat manusia. Pertama-tama Allah menuntut perhatian orang-orang Quraisy dan orang-orang Arab seluruhnya supaya mereka memperhatikan isinya dengan sebaik-baiknya karena di dalamnya terkandung bermacam-macam ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi mereka di dunia dan akhirat seperti hukum-hukum agama, kisah para nabi dan rasul, hal-hal yang bertalian dengan pembangunan masyarakat, pokok-pokok kemakmuran, akhlak, filsafat, tata cara berpolitik, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional, dan lain sebagainya. Semuanya itu diutarakan dalam bahasa Arab yang indah susunannya mudah dipahami oleh mereka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH YUUSUF
(NABI YUSUF A.S.)
SURAH KE-12,111 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
(AYAT 1-53)
Dengan nama Allah Yang Mahamurah lagi Pengasih.
Ayat 1
“Alif Lam Raa. Inilah ayat-ayat dari kitab yang nyata."
Kalau dahulu, pada surah Yuunus, yang dimulai dengan Alif Lam Raa juga, Allah ber-firman bahwa kandungan kitab ini adalah ayat-ayat dari kitab yang penuh dengan kebi-jaksanaan (al-hakim), maka pada surah ini Allah menyebutkan bahwa kitab ini berisi ayat-ayat dari kitab nyata (al-mubin). Maka di kedua ayat permulaan dari kedua surah ini kita telah dapat menangguk ilham betapa Allah menurunkan wahyu, dengan satu kalimat telah tergambar isi pembicaraan. Ini dinamai juga oleh ahli-ahli balaghah dengan bara'atul istihlal, yaitu keahlian memulai kata, sehingga di permulaan membaca sudah terbayang apa duduknya pembicaraan kelak. Dengan kata al-hakim (bijaksana) di surah Yuunuus bertemulah kita dalam surah beberapa tuntunan hikmah dari Allah untuk Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya di dalam melancarkan kehendak Ilahi menegakkan agama. Terutama hikmah tauhid dan hikmah hidup, baik dengan merenung alam maupun merenung diri, sebagaimana dapat dirasakan pada ayat 26 dari surah tersebut atau ayat 27 dan ayat-ayat yang lain, yang dapat diuraikan secara filosofis. Demikian juga hikmah-hikmah yang terkandung dalam kisah nabi-nabi. Maka di dalam surah Yuusuf ini, tidak dipakai kata al-hakim meskipun tidak juga kurang hikmah di dalamnya, tetapi dipakai kata al-mubin, yang nyata dan yang jelas, sebab di antara kisah nabi-nabi dan rasul-rasul dalam Al-Qur'an, kisah Nabi Yusuf inilah yang lebih dinyatakan dan dijelaskan. Dan kita
sebagai Muslim, bila kita diberi Allah petunjuk dan hidayah dari Al-Qur'an, akan dapatlah kita merasai keindahan hikmah dari al-hakim dan merasakan juga al-Bayan, kenyataan dari al-Mubin.
QUR'AN ARABI
Ayat 2
“Sesungguhnya, telah Kami turunkan dia."
Yaitu kitab yang pada ayat pertama telah disebutkan kitab yang nyata, diturunkan (se-bagai) qur'an arabi,
“supaya kamu memikirkannya."
Artinya Qur'an ialah bacaan. Qur'anan arabiyan berarti kitab bacaan atau kitab untuk dibaca dalam bahasa Arab.
Nabi kita Muhammad ﷺ adalah bangsa Arab, memakai bahasa Arab, dan umat yang mula-mula beliau datangi pun adalah bangsa Arab dengan bahasanya sendiri. Sebab itu, Al-Qur'an diturunkan Allah, diwahyukan Allah pun di dalam bahasa Arab itu juga. Diturunkan dalam bahasa Arab adalah buat dibaca dan dipikirkan. Bukan semata-mata dibaca saja, dengan tidak dipahami dan dipikirkan apa isinya. Oleh karena Nabi Muhammad ﷺ diutus Allah bukan semata-mata untuk orang Arab saja, melainkan untuk seluruh manusia (lihat surah Saba' ayat 28), maka dengan sendirinya yang bukan Arab pun wajib membaca Al-Qur'an bahasa Arab itu pula, wajib memikirkannya dan memahamkannya. Oleh sebab itu, tidaklah kita menjadi heran jika kita dengar beberapa orang ahli bahasa Arab, dalam ilmu nahwu dan sharaf-nya, bukanlah asli bangsa Arab, sebagaimana Sibawaihi dan al-Farahidi dan lain-lain. Bahkan diakuilah oleh ahli-ahli penyelidik sejarah bahwa bahasa Arab pernah menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang tertinggi, sedangkan pujangga-pujangga ilmu itu bukan semata-mata bangsa Arab, melainkan terdiri atas bangsa-bangsa Persia, India, Turki, Moghul, dan lain-lain.
Setelah bangsa-bangsa Barat pemeluk agama Kristen menjajah negeri-negeri Islam, usaha mereka yang pertama dan utama ialah mengalihkan perhatian bangsa Islam yang mereka jajah dari bahasa Arab, bahasa Al-Qur'an itu. Al-Qur'an yang berarti bacaan, betul-betul hanya dibaca, tetapi tidak sampai ke ujung ayat, yaitu tidak hendak dipikirkan, atau dihilangkan pengaruh dari bangsa yang dijajah tadi. Pengarang Tafsir ini pernah diajak bertukar pikiran oleh seorang bangsa Indonesia sendiri, yang mengaku masih beragama Islam, tetapi pendidikan yang diterimanya ialah pendidikan bangsa yang menjajah Indonesia selama ini, bangsa Belanda. Dengan mencibirkan bibir berisi sinis dan cemooh dia berkata bahwa Al-Qur'an itu tidak ada faedahnya karena “kita" tidak mengerti apa isinya. Apa guna kita membaca suatu buku yang kita tidak paham. Sedang dia bicara itu tidak seluruhnya dalam bahasa Indonesia, melainkan dicampur dengan bahasa Belanda. Dia tidak sanggup menyatakan isi pikirannya yang murni kalau tidak dengan bahasa Belanda.
Dengan senyum saya sadarkan dia bahwa dia berkata demikian karena—disadarinya atau tidak—dia tidak berpikir dalam lingkungan Islam lagi, tetapi dalam lingkungan Belanda. Mulanya dia marah. Tetapi setelah saya buktikan, sedangkan dalam bahasa Indonesia sendiri, dia susah menyatakan pikiran, apatah lagi akan memahami Al-Qur'an bahasa Arab. Dan saya nyatakan juga bahwa hanya dia dan orang-orang yang telah terlalu lama terjauh dari Al-Qur'an yang akan mengatakan tidak berfaedah membaca yang tidak dipa-hami, namun ada lagi golongan orang-orang yang paham akan bahasa Al-Qur'an itu karena perhatiannya ditumpahkan ke sana.
Bangsa penjajah berusaha agar pemakaian huruf Al-Qur'an itu dihentikan saja karena tidak cocok dengan zaman modern, maksudnya supaya orang jangan lagi mendapat kesempatan membaca Al-Qur'an karena tidak tahu hurufnya. Tetapi karena umat penjunjung Al-Qur'an bukan umat mati, mereka pun tetap berjuang memakai huruf yang lain itu untuk alat pencapai tujuannya.
Kita kembali kepada pokok pembicaraan tadi, yaitu Qur'an arabi. Maka hendaklah di-pahamkan dengan saksama bahwasanya yang Al-Qur'an itu ialah yang bahasa Arab itu, dengan bahasa aslinya. Kalau telah diartikan atau dimaknakan, atau ditakwilkan, disalin ke dalam bahasa lain, maka arti, makna, takwil, dan salinan itu bukanlah Al-Qur'an lagi.
Sebab semua ahli bahasa pun tahu, tidaklah gampang memindahkan dari satu bahasa kepada bahasa yang lain. Tafsir-tafsir Al-Qur'an yang ditulis, baik dalam bahasa Arab, apatah lagi dalam bahasa selain Arab, sebagaimana Tafsir aJ-Azhar kita ini, bukanlah dia Al-Qur'an, melainkan mencoba mendekatkan makna atau maksud ayat-ayat Al-Qur'an itu untuk dipahami bagi orang yang belum mengerti atau belum sanggup memahami Al-Qur'an itu sendiri secara langsung.
Maka wajiblah bagi kita setiap Muslim mempelajari Al-Qur'an dan pandai juga mem-bacanya. Tidak berarti kita sebagai Muslim kalau kita tidak pandai membaca Al-Qur'an. Pada tingkat pertama wajiblah kita pandai membaca, dengan lidah yang fasih kata-kata Al-Qur'an yang kita baca dalam shalat, sejak dari “AllahuAkbar"padapembukaan sampai kepada “assalamu'alaikum warahmatullahi" pada penutup. Dan wajib pula ada dalam kalangan umat yang menyediakan dirinya kepada satu jurusan, yaitu memahami Al-Qur'an dengan segala isinya itu, untuk pedoman hidup. Sebab Al-Qur'an bukan semata-mata mengenai hubungan ibadah kepada Allah semata-mata, yang bernama ceremony, shalat dengan berdiri, i'tidal, rukuk, dan sujudnya, bahkan mengenai sudut dari seluruh kehidupan kita. Sampai kepada urusan ekonomi, masyarakat, dan politik mengatur negara. Adalah satu hal yang tidak dapat diterima akal, mengakui diri islam, mengikut perintah Allah dalam hal shalat, tetapi mengikut teori manusia dalam urusan pemerintahan. Itulah maksud ujung ayat “supaya kamu memikirkannya" itu.
Ayat 3
“Kami ceritakan kepada engkau sebaik-baiknya cerita dari apa yang Kami wahyukan kepada engkau di dalam Al-Qur'an ini."
Artinya, cerita di dalam surah ini adalah sebaik-baik cerita (ahsanal qashashi).
Cerita yang lain di dalann Al-Qur'an pun indah juga. Tetapi dengan tidak mengurangi keindahan yang lain, termasuk istimewalah kisah yang satu ini, menerangkan suka duka manusia Yusuf, suka duka dengan ayahnya, dengan saudaranya, di tempat perantauannya sebagai yang mulai kita bayangkan di kata “Pendahuluan".
Asal makna kata qishshah itu ialah jejak. Masanya sudah berlalu, namun jejaknya masih tinggal. Di dalam surah al-Qashash ayat 11 ada tertulis ibu Nabi Musa memerhatikan jejak peti yang dia hanyutkan dalam sungai dengan kalimat qushshihi yang berarti turuti jejaknya, ke mana hanyutnya. Di dalam surah al-Kahf ayat 64 ada tersebut bahwa Nabi Musa dan Nabi Yusya' kembali ke tempat lalunya semula, dengan melalui jejak kaki mereka yang mereka lalui tadi. Maka di kedua ayat ini terdapat kata qushshihi yang berarti jejak. Sejarah pun adalah jejak.
Maka dapatlah dipahamkan bahwa qishshah adalah jejak. Ahsanal qashashi adalah seindah-indah jejak yang ditinggalkan oleh Nabi Yusuf, yang dijejaki kembali oleh Allah, untuk diperhatikan oleh Nabi Muhammad ﷺ, suatu jejak langkah hidup yang indah sekali buat dikenang. Suatu cerita jejak langkah yang sebelumnya Nabi Muhammad ﷺ masih belum mengetahuinya atau masih lalai di dalam memerhatikannya, sebagaimana dijelaskan pa*da akhir ayat,
“Meskipun engkau, pada sebelumnya masih termasuk orang-orang yang lalai."
Sebagai seorang rasul Allah tentu Nabi Muhammad ﷺ telah tahu akan nama seorang rasul Allah pula bernama Yusuf, nenek dan Bani Israil. Maka bersabdalah Rasulullah ﷺ,
“Seorang yang mulia, anak orang yang mulia, anak orang yang mulia, anak orang yang mulia, yaitu Yusuf anak Ya'qub, anak Ishaq, anak Ibrahim." (HR Imam Ahmad dan riwayat lain dari Bukhari, diterima dari Abdullah bin Umar r.a.)
Sabda Rasulullah ﷺ pula yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah r.a.,
“Dari Abu Hurairah r.a., ditanyai orang Rasulullah ﷺ, ‘Siapakah manusia yang amat muliai' Beliau jawab, ‘Manusia yang amat mulia ialah yang lebih takwa kepada Allah.' Mereka berkata, ‘Bukan itu yang hendak kami tanyakan. ‘ Lalu beliau bersabda, ‘Manusia yang paling mulia ialah Yusuf Nabi Allah, anak dari Nabi Allah, anak dari Nabi Allah, anak dari Khalil Allah.' Mereka berkata pula, ‘Bukan itu yang hendak kami tanyakan juga.' Maka Rasulullah ﷺ Bersabda pula, ‘Apakah asal-usul Arab yang hendak kalian tanyakan?' Mereka menjawab, ‘Benar!' Maka beliau pun bersabda,
‘Orang baik-baik kamu di zaman Jahiliyah akan menjadi orang baik-baik pula di dalam Islam apabila mereka benar-benar memahami agama.'" (HR Bukhari)
Ini membuktikan bahwa Rasulullah ﷺ telah mengetahui serba sedikit tentang Nabi Yusuf dan kemuliaannya. Tetapi beliau belum mengetahui kisah hidupnya secara mendalam atau belum benar-benar menjadi perhatiannya.
Karena belum diberi tahu secara terperinci oleh Allah. Sekarang datanglah wahyu ini, ahshanal qashashi, kisah yang terlalu indah; dikisahkan Allah riwayat Nabi Yusuf itu sejak masa masih kecil. Menurut beberapa riwayat, apabila lengkap kisah ini diturunkan Allah sebagaimana rangkaian wahyu dalam Al-Qur'an, ada beberapa orang Yahudi langsung masuk Islam sebab cerita Yusuf yang mereka dengar dari Nabi Muhammad ﷺ ini pun termaktub dengan lengkapnya dalam Taurat catatan mereka (Perjanjian Lama, Kejadian).