Ayat
Terjemahan Per Kata
حَتَّىٰٓ
sehingga
إِذَا
apabila
ٱسۡتَيۡـَٔسَ
putus asa/tidak mempunyai harapan
ٱلرُّسُلُ
para rasul
وَظَنُّوٓاْ
dan mereka meyakini
أَنَّهُمۡ
bahwasanya mereka
قَدۡ
sungguh
كُذِبُواْ
telah didustakan
جَآءَهُمۡ
datang kepada mereka
نَصۡرُنَا
pertolongan kami
فَنُجِّيَ
maka/lalu diselamatkan
مَن
orang
نَّشَآءُۖ
Kami kehendaki
وَلَا
dan tidak
يُرَدُّ
ditolak
بَأۡسُنَا
siksa Kami
عَنِ
dari
ٱلۡقَوۡمِ
kaum
ٱلۡمُجۡرِمِينَ
orang-orang yang berdosa
حَتَّىٰٓ
sehingga
إِذَا
apabila
ٱسۡتَيۡـَٔسَ
putus asa/tidak mempunyai harapan
ٱلرُّسُلُ
para rasul
وَظَنُّوٓاْ
dan mereka meyakini
أَنَّهُمۡ
bahwasanya mereka
قَدۡ
sungguh
كُذِبُواْ
telah didustakan
جَآءَهُمۡ
datang kepada mereka
نَصۡرُنَا
pertolongan kami
فَنُجِّيَ
maka/lalu diselamatkan
مَن
orang
نَّشَآءُۖ
Kami kehendaki
وَلَا
dan tidak
يُرَدُّ
ditolak
بَأۡسُنَا
siksa Kami
عَنِ
dari
ٱلۡقَوۡمِ
kaum
ٱلۡمُجۡرِمِينَ
orang-orang yang berdosa
Terjemahan
Sehingga, apabila para rasul tidak memiliki harapan lagi dan meyakini bahwa mereka benar-benar telah didustakan, datanglah kepada mereka pertolongan Kami, lalu diselamatkanlah orang yang Kami kehendaki. Siksa Kami tidak dapat ditolak dari kaum pendosa.
Tafsir
(Sehingga) lafal hattaa menunjukkan makna batas atau limit waktu daripada pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya, "Kami tidak mengutus sebelum kalian melainkan seorang laki-laki..." Artinya: Maka Allah menangguhkan pertolongan-Nya terhadap mereka hingga (bila merasa putus asa) putus harapan (para rasul itu dan mereka telah menyakini) para rasul itu merasa yakin (bahwasanya mereka benar-benar telah didustakan) sungguh-sungguh didustakan sehingga mereka tidak dapat diharapkan lagi untuk beriman; makna ini dibaca kudzdzibuu. Bila dibaca kudzibuu tanpa memakai tasydid, artinya umat-umat tersebut merasa yakin bahwa para rasul telah mengingkari ancaman yang telah mereka berikan kepadanya, yaitu mendapat pertolongan dari Allah (maka datanglah pertolongan Kami kepada mereka lalu Kami selamatkan) dibaca dengan memakai dua huruf nun yang pertama dibaca takhfif sedang yang kedua dibaca tasydid, atau dibaca nujjiya menjadi fi`il madhi (orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami) azab Kami (daripada orang-orang yang berdosa.) yakni orang-orang musyrik.
Tafsir Surat Yusuf: 110
Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (terhadap keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami terhadap orang-orang yang berdosa.
Allah ﷻ menyebutkan bahwa pertolongan-Nya diturunkan atas rasul-rasul-Nya semuanya di saat mereka dalam kesempitan dan menunggu pertolongan dari Allah dalam waktu-waktu yang sangat genting. Ayat ini semakna dengan firman Allah ﷻ dalam ayat lainnya, yaitu: "Dan diguncangkan (dengan bermacam-macam musibah) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah’?" (Al-Baqarah: 214), hingga akhir ayat.
Firman Allah ﷻ: "Mereka telah didustakan." (Yusuf: 110)
Ada dua qiraat tentang ayat ini, salah satu membacanya dengan memakai tasydid. Qiraat inilah yang dibacakan oleh Siti Aisyah r.a.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari Saleh, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Urwah ibnuz Zubair, dari Aisyah, bahwa ia pernah bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah ﷻ: "Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (terhadap keimanan mereka)." (Yusuf: 110), hingga akhir ayat. “Kudzibu ataukah kudzdzibu?” Maka Siti Aisyah menjawab, "Kudzdzibu." Urwah berkata, "Berarti para rasul merasa yakin bahwa kaum mereka telah mendustakan mereka? Lalu bagaimanakah kedudukan lafaz zhan (dugaan)?" Siti Aisyah menjawab, "Memang, demi umurku, para rasul itu telah yakin akan hal tersebut." Urwah berkata kepada Aisyah menyitir firman Allah ﷻ yang mengatakan: "Dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan," (Yusuf: 110) Siti Aisyah berkata, "Na'udzu billah, jauh dari kemungkinan rasul-rasul mempunyai dugaan seperti itu kepada Tuhannya." Urwah berkata, "Lalu apakah yang dimaksud oleh ayat ini?" Siti Aisyah menjawab bahwa mereka adalah para pengikut rasul-rasul yang beriman kepada Tuhan mereka dan membenarkan rasul-rasul. Maka ketika musibah terus-menerus menimpa mereka dan pertolongan dari Allah dirasakan lambat oleh mereka: "Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi." (Yusuf: 110) terhadap keimanan orang-orang yang mendustakan mereka dari kalangan kaumnya, dan para rasul menduga bahwa para pengikutnya telah mendustakan mereka, maka datanglah pertolongan Allah saat itu juga.
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Urwah; ia berkata kepada Siti Aisyah, "Barangkali ayat ini dibaca kudzibu tanpa memakai tasydid." Siti Aisyah menjawab, "Ma'azallah, jauh dari kemungkinan." Demikianlah menurut Imam Bukhari.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Ibnu Abbas membaca ayat ini dengan bacaan berikut: "Dan merasa yakin bahwa mereka telah didustakan." (Yusuf: 110) Yakni dengan bacaan takhfif, tanpa tasydid. Ibnu Abu Mulaikah (yakni Abdullah) melanjutkan kisahnya, "Lalu Ibnu Abbas berkata kepadanya bahwa para rasul itu adalah manusia." Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: "Sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-Baqarah: 214)
Ibnu Juraij mengatakan, Ibnu Abu Mulaikah berkata kepadanya bahwa Urwah telah bercerita kepadanya, dari Siti Aisyah, bahwa Siti Aisyah menentang bacaan takhfif itu, tidak mau menerimanya, dan berkata, "Tidak sekali-kali Allah menjanjikan kepada Nabi Muhammad sesuatu hal kecuali Nabi Muhammad merasa yakin bahwa hal itu pasti terjadi, hingga beliau wafat. Akan tetapi musibah terus-menerus menimpa para rasul sehingga mereka menduga bahwa orang-orang yang bersama mereka dari kalangan orang-orang yang beriman telah mendustakan mereka." Ibnu Abu Mulaikah mengatakan dalam hadits Urwah, bahwa Siti Aisyah membacanya kudzdzibu dengan tasydid berasal dari masdar takdzib.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraat, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Sulaiman ibnu Bilal, dari Yahya ibnu Sa'id yang mengatakan bahwa seseorang datang kepada Al-Qasim ibnu Muhammad, lalu berkata, "Sesungguhnya Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi membaca ayat ini dengan bacaan berikut: "Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (terhadap keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan"." (Yusuf: 110) Maka Al-Qasim berkata, "Katakanlah kepadanya dariku bahwa aku telah mendengar Siti Aisyah istri Nabi ﷺ membacanya dengan bacaan berikut: "Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (terhadap keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan." (Yusuf: 110) Yakni kudzdzibu, dan Siti Aisyah mengatakan bahwa para rasul didustakan oleh pengikut-pengikutnya." Sanad atsar ini sahih juga.
Bacaan yang kedua ialah bacaan takhfif tanpa tasydid. Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsirnya. Ibnu Abbas telah mengatakan seperti yang telah disebutkan di atas. Dan dari Ibnu Mas'ud menurut riwayat Sufyan As-Sauri, dari Al-A'masy, dari Abud Duha, dari Masruq, dari Abdullah disebutkan bahwa ia (Abdullah ibnu Mas'ud) membacanya dengan bacaan berikut: "Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (terhadap keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan." (Yusuf: 110) dengan bacaan takhfif tanpa tasydid. Abdullah mengatakan bahwa ini adalah bacaan yang makruh. Demikianlah dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud, berbeda dengan apa yang diriwayatkan oleh perawi lainnya yang bersumber dari keduanya.
Yang dari Ibnu Abbas diriwayatkan oleh Al-A'masy, dari Muslim, dari Ibnu Abbas, disebutkan sehubungan dengan firman-Nya: "Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (terhadap keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan." (Yusuf: 110) Bahwa setelah para rasul tidak mempunyai harapan lagi kaumnya akan menaati mereka, dan kaumnya menduga bahwa para rasul telah berdusta kepada mereka, maka saat itu datanglah pertolongan Allah. "Lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki." (Yusuf: 110)
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, Imran ibnul Haris As-Sulami, Abdur Rahman ibnu Mu'awiyah, Ali ibnu AbuTalhah, dan Al-Aufi, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang serupa.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Arim Abun Nu' man, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abu Hamzah Al-Jazari yang mengatakan bahwa seorang pemuda dari kabilah Quraisy bertanya kepada Sa'id ibnu Jubair, "Jelaskanlah kepadaku, hai Abu Abdullah, bagaimana bacaan ayat ini; karena sesungguhnya apabila bacaanku sampai kepadanya, aku berharap tidak membacanya," yaitu firman Allah ﷻ: "Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (terhadap keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan." (Yusuf: 110) Sa'id ibnu Jubair menjawab, "Ya, setelah para rasul tidak mempunyai harapan lagi bahwa kaumnya membenarkan mereka, dan rasul yang diutus kepada mereka (kaumnya) menduga bahwa para rasul (terdahulu) telah didustakan." Maka Ad-Dahhak ibnu Muzahim berkata bahwa ia belum pernah melihat seorang lelaki seperti hari ini yang mengakui dirinya berilmu, pastilah dia akan terpesona. Seandainya aku berangkat ke negeri Yaman untuk keperluan seperti ini, maka itu masih ringan." Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari jalur lain yang menyebutkan bahwa Muslim ibnu Yasar bertanya kepada Sa'id ibnu Jubair tentang hal itu, lalu Sa'id ibnu Jubair menjawab dengan jawaban tersebut.
Lalu Muslim ibnu Yasar bangkit dan memeluk Sa'id ibnu Jubair dan berkata, "Semoga Allah memberikan pertolongan kepadamu sebagaimana engkau telah memberikan pertolongan kepadaku." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh beberapa jalur, dari Sa'id ibnu Jubair; bahwa Sa'id ibnu Jubair menafsirkannya dengan pengertian tersebut. Penafsiran yang sama telah dikemukakan pula oleh Mujahid ibnu Jabr dan lain-lain dari kalangan ulama Salaf yang tidak hanya seorang, sehingga disebutkan bahwa Mujahid membacanya dengan bacaan kadzabu dengan huruf dzal yang di-fathah-kan. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, hanya sebagian ulama yang menafsirkannya dengan qiraat ini yang mengembalikan damir yang ada dalam firman-Nya, "annahum," kepada para pengikut rasul-rasul dari kalangan kaum mukmin.
Di antara ulama lainnya ada yang mengembalikan damir ini kepada orang-orang kafir dari kalangan umat mereka. Yakni orang-orang kafir itu menduga bahwa para rasul telah berdusta terhadap janji yang mereka katakan, yaitu pertolongan Allah akan datang.
Adapun pendapat Ibnu Mas'ud, maka diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail, dari Muhammasy ibnu Ziyad Ad-Dabbi, dari Tamim ibnu Hazm yang mengatakan bahwa ia mendengar Abdullah ibnu Mas'ud mengatakan sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman Allah ﷻ: "Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi." (Yusuf: 110) Yaitu terhadap keimanan kaumnya kepada mereka, dan kaum mereka menduga bahwa para rasul itu dusta karena pertolongan Allah datang terlambat. Yakni dengan bacaan takhfif. Kedua riwayat yang masing-masing dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas ditolak oleh Siti Aisyah. Penolakannya itu dikemukakannya di hadapan orang-orang yang menafsirkannya dengan tafsiran tersebut. Pendapat Siti Aisyah ini dibela oleh Ibnu Jarir, dan ia meluruskan pendapat yang terkenal dari jumhur ulama serta menolak mentah-mentah pendapat lainnya; ia tidak mau menerimanya dan tidak merestuinya.
Dalam menunaikan tugasnya menyampaikan dakwah para nabi
dan rasul tidaklah menempuh jalan yang mulus, melainkan penuh rintangan. Kebanyakan manusia bahkan tetap menentang ajakan tersebut, sehingga apabila para rasul menemukan berbagai halangan dan rintangan dalam tugas itu, seakan tidak mempunyai harapan lagi tentang
keimanan kaumnya, dan telah meyakini bahwa mereka, para nabi dan
rasul, telah didustakan oleh kaumnya, maka pada saat itu datanglah
kepada mereka itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan-lah mereka dan
orang yang Kami kehendaki untuk selamat. Dan siksa Kami tidak dapat
ditolak ataupun dihindarkan dari orang-orang yang berdosa. Sebagai penutup Surah Yusuf, Allah kembali mengingatkan bahwa
pada kisah para nabi dan rasul, termasuk kisah Nabi Yusuf, terkandung pesan-pesan untuk dipelajari dan dihayati manusia. Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.
Kisah-kisah dalam Al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat atau
sekadar dongeng pelipur lara, tetapi kisah-kisah itu membenarkan kandungan kitab-kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat, Zabur, dan Injil, yang
menjelaskan segala sesuatu tentang prinsip-prinsip nilai yang dibutuhkan
manusia guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, dan sebagai
petunjuk menuju jalan lurus dan rahmat yang penuh berkah bagi orangorang yang beriman.
Surah Yusuf dimulai dengan pernyataan bahwa Al-Qur'an adalah ayatayat dari Kitab yang nyata. Al-Qur'an menceritakan kisah-kisah terbaik sepanjang perjalanan sejarah kemanusiaan. Surah ini kemudian ditutup dengan ayat yang menegaskan kembali adanya pelajaran pada
kisah-kisah itu bagi orang-orang yang berakal. Hal ini merupakan bukti keserasian dan keruntunan dari kandungan Al-Qur'an.
Ayat ini menjelaskan sunatullah yang telah berlaku pada umat-umat terdahulu. Allah ﷻ mengutus para rasul-Nya dengan bukti yang nyata dan diperkuat dengan mukjizat. Setelah rasul-rasul itu ditentang, didustakan, dan dimusuhi oleh kaumnya sehingga merasakan tekanan yang amat berat, timbullah perasaan seakan-akan mereka berputus asa karena tidak ada harapan lagi kaumnya akan beriman dan kemenangan yang ditunggu-tunggu belum juga datang, pada saat itulah pertolongan Allah ﷻ datang. Sedangkan orang-orang yang mendustakan para nabi ditimpa azab dengan tiba-tiba, seperti banjir besar yang menenggelamkan kaum Nabi Nuh, angin ribut yang membinasakan kaum ?'d (kaum Nabi Hud), siksaan yang menimpa kaum samud, dan bencana yang melanda negeri kaum Nabi Luth, sebagaimana tercantum dalam firman Allah swt:
Apakah tidak sampai kepada mereka berita (tentang) orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, Ad, Samud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa bukti-bukti yang nyata; Allah tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri. (at-Taubah/9: 70)
Orang-orang Quraisy yang tidak mau insaf dan kembali ke jalan yang benar, sekalipun telah ditunjukkan bukti-bukti yang nyata, akan ditimpakan Allah azab yang pedih. Sedangkan Nabi Muhammad diberi pertolongan berupa berbagai kemenangan yang telah diperolehnya seperti Perang Badar dan pada perang-perang berikutnya. Allah ﷻ menyelamatkan para rasul beserta kaumnya yang beriman kepada-Nya, sedang orang-orang yang ingkar kepada Allah ﷻ dan mendustakan rasul-rasul-Nya dan agama yang dibawanya akan diazab, tidak seorang pun dari mereka yang dapat menolak dan mengelak dari azab Allah itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 103
“Dan tidaklah kebanyakan manusia itu, betapa pun engkau menginginkan, mau beriman."
Setelah Allah Ta'aala mengisahkan Nabi Yusuf itu, Allah pun kembali memperingatkan kepada Nabi-Nya Muhammad ﷺ bahwa usaha menegakkanajaranAllahdiatasduniainitidaklah mudah, sebab kebanyakan manusia betapa pun usaha Nabi Muhammad ﷺ, tidaklah mau menerima demikian saja. Tetapi yang manakah manusia itu? Manusia yang ingkar dan kafir itu ialah manusia-manusia yang itu juga. Lantaran itu maka seorang yang berkewajiban me-nyampaikan seruan kepada manusia, tidaklah boleh mengenal putus asa. Memang diketahui amat banyak manusia yang tidak mau percaya, namun sebaliknya, ada pula manusia yang mau percaya. Dan manusianya adalah manusia yang itu juga. Di sinilah letak jihad, bersungguh-sungguh menegakkan kebenaran itu, sehingga di antara orang-orang yang tidak mau percaya akan timbul orang yang percaya. Dengan demikian tampaklah bahwa hidup itu ialah jihad; bersungguh-sungguhan, kerja keras dan usaha yang tidak mengenal putus asa. Lantaran itu maka ayat 103 bukanlah artinya menyuruh berdiam diri berpeluk lutut karena sudah diketahui bahwa banyak manusia yang tidak mau percaya, betapa pun diajak kepada kebenaran. Sebab yang akan percaya pun ada.
Ayat 104
“Sedangkan engkau tidaklah meminta upah kepada mereka."
Manusia-manusia itu enggan, betapa pun diajak, sedangkan utusan Allah yang menyeru dan mengajak itu tidaklah meminta upah dan bayaran dari usahanya mengajak mereka dan menyeru mereka kepada kebenaran siang dan malam, menghabiskan seluruh tenaga dan harta benda kepunyaan sendiri. Nabi Muhammad ﷺ membawa Kitab Suci Al-Qur'an dan menerangkan isinya kepada mereka.
“Tidak lain dia, hanyalah peringatan bagi manusia."
Oleh karena isi Al-Qur'an itu adalah semata-mata peringatan kepada manusia, Nabi kita Muhammad ﷺ pun tidak henti-hentinya menyampaikan peringatan itu. Bahwa dikalangan manusia banyak yang tidak mau percaya; itu sudah mesti dimaklumi. Tetapi Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah memberikan kepada manusia itu akal dan manusia itu pun telah dijadikan sebagai khalifah Allah di bumi, dan akal itulah alatnya menjadi khalifah. Supaya akal tadi timbul dan tertuntun dengan baik, didatangkan agama, diutus Rasul, diturunkan wahyu yang dipimpinkan oleh Rasul itu. Maka walaupun dalam 1.000 manusia, hanya seorang yang dapat tertuntun akalnya oleh pimpinan wahyu, maka yang menentukan kelak bukan yang 999 orang, tetapi yang satu orang.
Ayat 105
“Dan berapalah banyaknya tanda-tanda di semua langit dan di bumi, yang mereka lalui, namun mereka berpaling jua daripadanya."
Itu lagi satu kegelapan jiwa dari orangyang kafir. Lantaran Allah tidak dapat mereka lihat dengan mata, mereka tidak sanggup berpikir melihat bekas adanya Allah pada tanda-tanda yang selalu terbentang di semua langit dan di bumi ini. Perjalanan cakrawala langit yang teratur, keberesan peraturan Allah di bumi dan pada kehidupan mereka sendiri, tidak pernah mereka perhatikan. Sebab itu mereka tetap dalam gelap. Namun mereka berpaling jua dari tanda-tanda kebesaran Allah itu, tidak mau peduli, sehingga jiwa mereka menjadi kasar, susah dimasuki pengajaran.
Ayat 106
“Dan tidaklah percaya kebanyakan mereka itu kepada Allah, melainkan mereka pun menyekutukan."
Artinya, ada juga mereka itu yang percaya bahwa Allah itu ada, tetapi tidak dijunjungnya hak yang tunggal dari Allah, malahan diper-sekutukannya yang lain dengan Allah, dibuat-buatnya pula tuhan-tuhan yang lain, berhala, patung dan benda-benda yang mereka puja.
Semua isi ayat ini menggambarkan tingkah laku dan sikap orang musyrikin yang dihadapi Rasulullah ﷺ di zaman Mekah, di tempat surah Yuusuf ini diturunkan. Di tengah-tengah masyarakat jahiliyah dan pemujaan berhala itu, Nabi Muhammad ﷺ dengan tidak bosan-bosannya menyerukan agar mereka kembali kepada kebenaran dan meninggalkan kehidupan kacau dan pikiran gelap yang tidak berdasar. Diberi bujukan bahwa mereka akan mendapat bahagia dunia dan akhirat jika mereka turuti isi ajaran Al-Qur'an itu dan mereka akan menerima ancaman jika Allah jika mereka masih tetap dalam kemusyrikin.
Ayat 107
“Apakah mereka aman, bahwa datang kepada mereka siksaan daripada Allah, atau datang kepada mereka kiamat dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak sadar?"
Mereka tidak mau peduli, betapa pun ancaman disampaikan Rasul. Mereka merasa aman saja, tidak percaya bahwa sewaktu-waktu siksaan Allah akan datang menimpa mereka, bahwa pendirian salah yang mereka pertahankan itu pasti runtuh. Mereka tidak memedulikan itu, melainkan menurutkan hawa nafsu, bermegah dengan kehidupan yang lama, kehidupan yang kosong dari cita-cita, yang hanya memikirkan kemegahan harta benda dan anak keturunan. Padahal kalau siksaan Allah datang dengan tiba-tiba, dapat jugakah apa yang mereka katakan aman itu dipertahankan?
Bagaimana kalau kelak mereka mati? Apa pertanggungjawaban mereka di hadapan Allah? Bagaimana kalau Islam menang dan mereka disapu bersih oleh kebesaran Islam, sedang berhala itu masih mereka pertahankan jua? Bagaimana kalau saat yang pasti datang itu segera datang? Yaitu Kiamat? Apa yang akan dapat mereka pertahankan di hadapan murka Allah?
Setelah menguraikan segi-segi kelemahan mereka itu, meskipun di saat itu, Rasulullah ﷺ masih di Mekah, dan musyrikin itu masih kuat dan pengikut Rasulullah ﷺ masih golongan yang sedikit, namun Allah berfirman jua kepada beliau,
Ayat 108
“Katakanlah : Inilah jalanku, aku seru kepada Allah dengan bukti-bukti, aku dan orang yang mengikutku."
Inilah pendirian dan peganganku. Kamu boleh lihat dan perhatikan, dan langkah ini telah mulai aku langkahkan, pendirian dan pegangan yang lengkap dengan bukti-bukti, dan di belakangku mengikut orang-orang yang percaya kepada-Nya. Kami akan jalan terus, kami akan tetap menyerukan di muka dunia ini bahwa Allah adalah Maha Esa, Maha Tunggal, tidak ada sekutu yang lain dengan Dia.
“Dan Mahasuci Allah, dan tidaklah aku dari golongan orang-orang yang mempersekutukan."
Dengan kata begini, Rasulullah ﷺ telah meletakkan garis pemisah yang nyata di antara tauhid yang beliau tegakkan dengan syirik yang dipertahankan oleh kaumnya itu. Garis pemisah di antaranya yang hak dan yang batil. Yang sekali-kali tidak dapat diperdamaikan, sebab di antara benar dengan salah, sekali-kali tidak dapat didamaikan. Walaupun di waktu itu golongan pengikut Rasul belum banyak dan golongan musyrik menguasai masyarakat, namun pegangan teguh ini telah dipancangkan di atas petala bumi dengan penuh iman dan keyakinan, dan berani menanggungkan segala akibat lantaran ini. Dia tidak mengenal apa arti menyerah dan mengambil muka ke pihak musuh karena merasa lemah. Keyakinan itulah yang membentuk hidup dan memberi isi hidup itu, bagi tiap-tiap orang yang beriman di segala waktu.
Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya kepada Rasul,
Ayat 109
“Dan tidaklah Kami utus sebelum engkau, melainkan orang-orang laki-laki yang Kami wahyukan kepada mereka."
Wahyu pada ayat ini ialah sokongan budi yang amat besar dari Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ. Dinyatakan bahwa sebelum dia, Allah pun telah mengutus rasul-rasul kepada kaum mereka. Rasul-rasul itu ialah orang-orang laki-laki sejati. Laki-laki sejati ialah yang mempunyai keberanian bertanggung jawab, kesanggupan menderita, dan kebetulan habis dikisahkan Ya'qub dan Yusuf. Demikian pula rasul-rasul yang lain. Sebagai penegak kehendak Ilahi di muka bumi, mereka menghadapi kewajiban dengan tabah dan kuat, apatah lagi Allah pun tidak melepaskan mereka jalan sendiri, melainkan selalu disokong dengan wahyu. Dan mereka itu adalah “Dan ahli negeri-negeri itu (sendiri)." Bukan orang lain yang didatangkan dari tempat lain. Mati-matian mereka berusaha membangun kaum mereka agar menuruti jalan yang benar, kadang-kadang mereka pun diusir dari kampung halaman mereka itu, namun mereka jalan terus. Tetapi kalau kedurhakaan itu sudah sangat bersangatan, sudah sampai di puncak, adzab siksaan Allah pun datang. Ini haruslah diperingatkan kepada kaum Quraisy itu, “Apakah mereka tidak berjalan di bumi, supaya mereka pandangi betapa akibat orang-orang yang sebelum mereka?" Tidakkah mereka lihat bekas kaum ‘Ad yang didatangi Hud? Bekas kaum Tsamud yang didatangi Shalih? Bekas kaum Sadum yang didatangi Luth? Setelah peringatan begini disuruh sampaikan kepada umat yang kelam hati dan kelam pikiran itu, Allah menutup ayat memberi penguatan semangat lagi bagi Rasul dan pengikut beliau.
“Dan sesungguhnya negeri akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Apakah tidak kamu pikirkan?"
Tidakkah kamu pikirkan? Orang beriman selalu disuruh memikirkan bahwa dirinya di dunia ini hanya singgah belaka. Dunia adalah tempat menegakkan perbuatan-perbuatan yang mulia dan terpuji di sisi Allah. Untuk satu tujuan, yaitu kebahagiaan hidup di akhirat. Orang menjadi kafir atau musyrik karena pikirannya tidak sampai kepada akhirat. Mereka menyangka bahwa hidup ini hanyalah sehingga dunia ini saja.
Pada ayat selanjutnya diterangkan juga bahwa kadang-kadang rasul-rasul yang dahulu dari Nabi Muhammad ﷺ itu pun seakan-akan mau putus asa melihat perangai umat yang mereka datangi.
Ayat 110
“Sehingga apabila telah putus asa rasul-rasul itu, dan mereka sangka bahwa telah didustakan oleh mereka," — yaitu oleh kaum mereka — “di datangilah mereka itu oleh pentolongan Kami, dan Kami selamatkanlah siapa yang Kami kehendaki. Dan tidaklah dapat ditolak siksaan Kami dari kaum yang berdosa."
Ayat ini menegaskan bahwa rasul-rasul itu kadang-kadang pun menghadapi bahaya-bahaya yang ngeri dari sebab perlawanan kaumnya. Kadang-kadang mereka menilik bahwa pengikut yang percaya masih sedikit dan yang melawan adalah golongan yang besar, nyarislah rasul-rasul itu putus asa. Tetapi apabila saat sudah sangat genting, dengan tiba-tiba pertolongan Allah datang. Ini telah dibayangkan oleh Allah dalam ayat ini, sedang Rasulullah ﷺ masih di Mekah. Dan Nabi kita pun menderita pula yang seperti ini. Beliau terpaksa meninggalkan Mekah karena orang telah bermufakat hendak membunuh beliau, dan darahnya akan dibagi-bagi di antara sekalian kabilah-kabilah Quraisy, yaitu hendaklah dikirim anak-anak muda dari sekalian kabilah dan bersama-sama menikam beliau. Walaupun telah mati, namun yang belum menikam mesti turut menikam, sehingga kabilah Bani Hasyim, yaitu kabilah Nabi Muhammad sendiri tidak kuat menuntut bela dari seluruh persukuan Arab. Tetapi pada malam keputusan itu hendak dijalankan, Nabi Muhammad ﷺ disuruh Allah berhijrah ke Madinah. Dan memang beberapa waktu kemudian tidaklah dapat ditolak siksaan Allah dan kaum yang berdosa. Kepala-kepala dan pemimpin-pemimpin Quraisy yang sangat menentang Nabi ﷺ itu binasa semuanya dalam Peperangan Badar, dan Peperangan Badar itulah perang yang memberi keputusan bahwa mulai saat itu bangsa Arab sudah terpaksa mengakui bahwa sudah ada kekuatan Islam di Tanah Arab, berpusat di Madinah.
Artinya sebagai penutup surah Yuusuf, berfirmanlah Allah,
Ayat 111
“Sesungguhnya adalah pada kisah-kisah mereka itu."
Baik kisah Yusuf dengan saudara-saudaranya, atau kisah rasul-rasul yang lain yang telah diwahyukan Allah di dalam Al-Qur'an, semuanya adalah, “Suatu ibarat bagi orang-orang yang mempunyai inti pikiran." Menjadi kaca perbandingan dan tamsil bahwasanya walaupun di mana saja, meskipun suatu kebenaran pada permulaan timbulnya kelihatan lemah, namun kemenangan terakhir tetap pada kebenaran. Dan suatu pendirian yang salah, walaupun pada mulanya kelihatan kuat, namun akhirnya pasti hancur. Soalnya hanya soal waktu belaka."Tidaklah dianya per-cakapan yang dibuat-buat," dikarang-karang seperti buku roman atau cerita dongeng
(mitos) orang Yunani atau Hindu dan lain-lain bangsa."Akan tetapi membenarkan apa yang ada di hadapannya dan penjelasan tiap-tiap sesuatu." Artinya, dia diterangkan dengan wahyu Al-Qur'an tetapi membenarkan dan menggenapkan apa yang tersebut dalam Taurat ditambah lagi dengan menjelaskan mana yang kurang jelas.
“Dan petunjuk dan rahmat bagi kaum yang percaya."
Petunjuk di dalam menempuh jalan yang diridhai oleh Allah, petunjuk bahwa orang yang beriman pun harus sanggup meniru Nabi Yusuf, menjadi isi penjara atau menjadi bendahara. Menjadi rahmat, sebab meneladan contoh teladan yang mulia dari orang besar-besar adalah membawa kemuliaan pula.