Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَآ
dan tidak
أَرۡسَلۡنَا
Kami mengutus
مِن
dari
قَبۡلِكَ
sebelum kamu
إِلَّا
kecuali/melainkan
رِجَالٗا
orang laki-laki
نُّوحِيٓ
Kami beri wahyu
إِلَيۡهِم
kepada mereka
مِّنۡ
dari/diantara
أَهۡلِ
penduduk
ٱلۡقُرَىٰٓۗ
negeri/kota
أَفَلَمۡ
apakah tidak/tidakkah
يَسِيرُواْ
mereka bepergian
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
فَيَنظُرُواْ
maka/lalu melihat
كَيۡفَ
bagaimana
كَانَ
adalah
عَٰقِبَةُ
akibat/kesudahan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
مِن
dari
قَبۡلِهِمۡۗ
sebelum mereka
وَلَدَارُ
dan sesungguhnya kampung
ٱلۡأٓخِرَةِ
akhirat
خَيۡرٞ
lebih baik
لِّلَّذِينَ
bagi orang-orang yang
ٱتَّقَوۡاْۚ
(mereka) bertakwa
أَفَلَا
apakah tidak/tidakkah
تَعۡقِلُونَ
kalian menggunakan akal
وَمَآ
dan tidak
أَرۡسَلۡنَا
Kami mengutus
مِن
dari
قَبۡلِكَ
sebelum kamu
إِلَّا
kecuali/melainkan
رِجَالٗا
orang laki-laki
نُّوحِيٓ
Kami beri wahyu
إِلَيۡهِم
kepada mereka
مِّنۡ
dari/diantara
أَهۡلِ
penduduk
ٱلۡقُرَىٰٓۗ
negeri/kota
أَفَلَمۡ
apakah tidak/tidakkah
يَسِيرُواْ
mereka bepergian
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
فَيَنظُرُواْ
maka/lalu melihat
كَيۡفَ
bagaimana
كَانَ
adalah
عَٰقِبَةُ
akibat/kesudahan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
مِن
dari
قَبۡلِهِمۡۗ
sebelum mereka
وَلَدَارُ
dan sesungguhnya kampung
ٱلۡأٓخِرَةِ
akhirat
خَيۡرٞ
lebih baik
لِّلَّذِينَ
bagi orang-orang yang
ٱتَّقَوۡاْۚ
(mereka) bertakwa
أَفَلَا
apakah tidak/tidakkah
تَعۡقِلُونَ
kalian menggunakan akal
Terjemahan
Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad), kecuali laki-laki yang Kami berikan wahyu kepada mereka di antara penduduk negeri. Tidakkah mereka berjalan di bumi lalu memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul)? Sesungguhnya negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Apakah kamu tidak mengerti?
Tafsir
(Kami tidak mengutus sebelum kamu melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu) dan menurut suatu qiraat dibaca yuuhaa; artinya yang diberikan wahyu (kepada mereka) bukannya malaikat (di antara penduduk negeri) yakni penduduk kota-kota, sebab penduduk kota lebih mengetahui dan lebih menyantun, berbeda halnya dengan penduduk kampung yang terkenal dengan kekasaran sikap mereka dan kebodohannya itu (Maka tidaklah mereka bepergian) yang dimaksud adalah penduduk Mekah (di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka) akibat daripada perbuatan mereka yang mendustakan rasul-rasul mereka, yaitu mereka dibinasakan (dan sesungguhnya kampung akhirat) yakni surga Allah (lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa) kepada Allah (Maka tidakkah kalian memikirkannya?) hai penduduk Mekah, lalu kalian menjadi beriman karenanya. Lafal ta`qiluuna dapat pula dibaca ya`qiluuna yang artinya apakah mereka tidak memikirkannya?.
Tafsir Surat Yusuf: 109
Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk kota. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kalian memikirkannya?
Allah ﷻ memberitahukan bahwa sesungguhnya Dia mengutus rasul-rasul-Nya hanyalah dari kalangan kaum laki-laki, bukan kaum wanita. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama, seperti yang ditunjukkan oleh konteks ayat yang mulia ini. Disebutkan bahwa Allah ﷻ tidak memberikan wahyu kepada seorang wanita pun dari kalangan anak Adam, yaitu wahyu yang mengandung hukum. Sebagian di antara ulama menduga bahwa Sarah (istri Nabi Ibrahim), ibu Nabi Musa, dan Maryam binti Imran (ibu Nabi Isa) adalah nabi-nabi wanita. Mereka yang mengatakan demikian berpegangan kepada dalil yang mengatakan bahwa para malaikat telah menyampaikan berita gembira akan kelahiran Ishaq kepada Sarah, dan sesudah Ishaq akan dilahirkan pula Ya'qub. Demikian pula dalam Firman Allah ﷻ yang mengatakan: "Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, susukanlah dia." (Al-Qashash: 7), hingga akhir ayat. Dalil lain, malaikat datang kepada Maryam, lalu menyampaikan berita gembira akan kelahiran Isa kepadanya.
Dalam hal ini Allah ﷻ berfirman: "Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu, dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu). Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk’." (Ali Imran: 42-43) Kedudukan itu memang diterima oleh mereka, tetapi bukan berarti bahwa mereka adalah nabi-nabi wanita. Apabila orang yang mengatakan demikian (bahwa mereka adalah nabi-nabi wanita) bermaksud dengan kedudukan itu sebagai kedudukan yang terhormat, maka tidak diragukan lagi kebenarannya. Timbul suatu pertanyaan, apakah dengan kedudukan ini sudah cukup dapat dianggap ke dalam kategori kenabian ataukah tidak? Menurut pendapat ahli sunnah wal jamaah yang dinukil oleh Syekh Abul Hasan Ali ibnu Ismail Al-Asy'ari dari kalangan ulama ahli sunnah wal jamaah, tidak ada wanita yang menjadi nabi, sesungguhnya yang ada pada kalangan kaum wanita hanyalah sampai pada kedudukan shiddiqah, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ ketika menceritakan wanita yang paling mulia yaitu Maryam binti Imran melalui firman-Nya: "Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar (shiddiqah), kedua-duanya biasa memakan makanan." (Al-Maidah: 75) Allah menyebutkan kedudukannya yang sangat terhormat dan mulia, yaitu wanita shiddiqah.
Seandainya Maryam adalah seorang nabi wanita, tentulah hal ini disebutkan; karena konteks kalimat dalam kaitan menyebutkan kedudukannya yang amat mulia dan terhormat. Akan tetapi, yang disebutkan hanyalah 'dia adalah seorang shiddiqah'. Ad-Dahhak telah mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: "Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki." (Yusuf: 109), hingga akhir ayat. Yakni bukanlah dari kalangan penduduk langit (malaikat) seperti yang kalian katakan. Pendapat dari Ibnu Abbas ini diperkuat oleh firman-firman Allah ﷻ yang mengatakan: "Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar." (Al-Furqan: 20), hingga akhir ayat. Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal. Kemudian Kami tepati janji (yang telah Kami janjikan) kepada mereka. Maka Kami selamatkan mereka dan orang-orang yang Kami kehendaki dan Kami binasakan orang-orang yang melampaui batas. (Al-Anbiya: 8-9) Katakanlah, "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul." (Al-Ahqaf: 9), hingga akhir ayat. Adapun firman Allah ﷻ: "Di antara penduduk kota." (Yusuf: 109) Yang dimaksud dengan istilah qura ialah kota, bukan daerah pedalaman yang penduduknya adalah orang-orang yang kasar watak dan akhlaknya.
Hal ini telah dimaklumi, bahwa penduduk kota itu mempunyai watak yang lebih lemah lembut ketimbang penduduk daerah pedalaman. Dan orang-orang yang tinggal di daerah yang ramai lebih mudah untuk diajak berkomunikasi daripada orang-orang yang tinggal di daerah pedalaman. Karena itulah Allah ﷻ menyebutkan dalam firman-Nya: "Orang-orang Arab Badui itu lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya." (At-Taubah: 97), hingga akhir ayat. Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Di antara penduduk kota.” (Yusuf: 109) Bahwa demikian itu karena mereka lebih berpengetahuan dan lebih penyantun ketimbang orang-orang yang tinggal di daerah pedalaman.
Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa seorang lelaki dari kalangan penduduk daerah pedalaman menghadiahkan seekor unta kepada Rasulullah ﷺ Maka Rasulullah ﷺ terus-menerus membalas hadiahnya dengan memberinya yang lebih banyak hingga orang Badui itu puas. Lalu Nabi ﷺ bersabda: "Sesungguhnya aku berniat bahwa aku tidak mau menerima pemberian kecuali dari orang Quraisy atau orang Ansar atau orang Saqafi atau orang Dausi". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-A'masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang syekh dari kalangan sahabat Rasulullah ﷺ yang menurut Al-A'masy adalah [Ibnu] Umar, dari Nabi ﷺ yang bersabda: "Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar menghadapi gangguan, mereka adalah lebih baik daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan mereka dan tidak pula sabar terhadap gangguan mereka."
Firman Allah ﷻ: "Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi." (Yusuf: 109) Yakni orang-orang yang mendustakan kamu, hai Muhammad, mengapa mereka tidak bepergian di muka bumi. “Lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka.” (Yusuf: 109) dari kalangan umat-umat terdahulu yang mendustakan rasul-rasul, bagaimana Allah membinasakan mereka dan orang-orang kafir yang serupa dengan mereka. Makna ayat ini serupa dengan ayat lain yang disebutkan oleh firman-Nya: "Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami." (Al-Hajj: 46), hingga akhir ayat.
Apabila mereka mendengar berita itu, tentulah mereka berpikir bahwa Allah telah membinasakan orang-orang kafir dan menyelamatkan orang-orang mukmin. Itulah ketentuan hukum Allah pada makhluk-Nya. Karena itulah disebutkan dalam firman-Nya: “Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.” (Yusuf: 109) Dengan kata lain, sebagaimana Kami selamatkan orang-orang mukmin di dunia ini, demikian pula Kami tetapkan keselamatan bagi mereka di dalam kehidupan akhirat nanti; dan kehidupan akhirat itu jauh lebih baik daripada kehidupan di dunia bagi mereka.
Ayat ini semakna dengan firman-Nya yang mengatakan: "Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat), (yaitu) hari yang tidak berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya dan bagi mereka laknat, dan bagi mereka tempat tinggal yang buruk. (Al-Mumin: 51-52) Lafaz ad-dar di-mudaf-kan kepada lafaz al-akhirah. Untuk itu disebutkan: “Dan sesungguhnya kampung akhirat.” (Yusuf: 109) Seorang penyair mengatakan: ......."Apakah engkau memuji Faq'asan dan mencela Abs? Demi Allah, cegahlah kamu dari mencela, seandainya aku ajak kamu keliling ke rumah-rumah Abs, tentulah kamu mengetahui kehinaan (yang ada padanya) dengan pengetahuan yang meyakinkan."
Setelah pada ayat yang lalu Allah memperingatkan siksa yang tidak
dapat dihindari serta datangnya hari Kiamat yang tidak terduga sebagai
balasan atas keberpalingan manusia dari tuntunan para rasul, lalu pada
ayat berikut Allah menjelaskan makna pengutusan para rasul. Kami
tidak mengutus nabi dan rasul sebelummu, wahai Nabi Muhammad, melainkan orang laki-laki, yakni manusia pilihan, yang Kami berikan wahyu
kepadanya di antara penduduk negeri tempat para nabi dan rasul itu tinggal. Tidakkah mereka, yakni manusia dan secara khusus kaum musyrik
Mekah, bepergian di bumi sehingga mereka dapat melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka yang mendustakan para nabi dan
rasul' Dan sungguh, negeri akhirat itu lebih baik bagi orang yang bertakwa
dibandingkan dengan kemegahan dan kemewahan dunia. Tidakkah kamu mengerti dan bisa berpikir jernih untuk menerima kebenaran yang
dibawa para nabi dan rasul tersebut'Dalam menunaikan tugasnya menyampaikan dakwah para nabi
dan rasul tidaklah menempuh jalan yang mulus, melainkan penuh rintangan. Kebanyakan manusia bahkan tetap menentang ajakan tersebut, sehingga apabila para rasul menemukan berbagai halangan dan rintangan dalam tugas itu, seakan tidak mempunyai harapan lagi tentang
keimanan kaumnya, dan telah meyakini bahwa mereka, para nabi dan
rasul, telah didustakan oleh kaumnya, maka pada saat itu datanglah
kepada mereka itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan-lah mereka dan
orang yang Kami kehendaki untuk selamat. Dan siksa Kami tidak dapat
ditolak ataupun dihindarkan dari orang-orang yang berdosa.
Pada ayat ini, Allah ﷻ menerangkan bahwa Dia tidak mengutus rasul-rasul sebelum Muhammad ﷺ kecuali laki-laki, bukan malaikat, dan bukan perempuan, serta menurunkan kepada mereka wahyu. Para rasul berasal dari penduduk negeri itu sendiri, supaya mereka mengikutinya. Ini merupakan jawaban terhadap tuduhan-tuduhan yang dilancarkan oleh orang-orang yang mengingkari kenabian Muhammad saw, yang menghendaki supaya rasul yang diutus itu dari jenis malaikat sebagaimana dikisahkan Allah ﷻ di dalam firman-Nya:
Dan seandainya Allah menghendaki, tentu Dia mengutus malaikat. (al-Muminun/23: 24)
Tidakkah orang-orang musyrik Quraisy yang mendustakan kenabian Muhammad ﷺ dan mengingkari apa yang dibawanya seperti mengesakan Allah, mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya, bepergian di muka bumi dan melihat serta menyaksikan bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan rasul-rasul dahulu. Mereka dibinasakan dan negerinya dihancurkan, seperti yang dialami kaum Nabi Hud, kaum Nabi Saleh, dan lain-lainnya. Sebaliknya orang-orang yang percaya kepada Allah dan rasul-Nya dan takut menyekutukan Allah, tidak berbuat dosa dan maksiat, akan memperoleh kesenangan nanti di negeri akhirat yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan apa yang didapat orang-orang musyrik di dunia ini. Apakah mereka tidak memikirkan perbedaan imbalan dan balasan antara orang-orang yang ingkar dan orang-orang yang percaya. Kesenangan yang didapat di dunia oleh orang-orang yang ingkar itu sangat terbatas. Apabila mereka meninggal dunia berakhirlah kesenangan itu, dan di negeri akhirat kelak mereka mendapat azab yang amat pedih tak henti-hentinya. Dan kesenangan yang diperoleh orang-orang yang beriman, tidak saja di dunia tetapi sampai ke akhirat nanti, karena kesenangan yang diperolehnya itu abadi selamanya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 103
“Dan tidaklah kebanyakan manusia itu, betapa pun engkau menginginkan, mau beriman."
Setelah Allah Ta'aala mengisahkan Nabi Yusuf itu, Allah pun kembali memperingatkan kepada Nabi-Nya Muhammad ﷺ bahwa usaha menegakkanajaranAllahdiatasduniainitidaklah mudah, sebab kebanyakan manusia betapa pun usaha Nabi Muhammad ﷺ, tidaklah mau menerima demikian saja. Tetapi yang manakah manusia itu? Manusia yang ingkar dan kafir itu ialah manusia-manusia yang itu juga. Lantaran itu maka seorang yang berkewajiban me-nyampaikan seruan kepada manusia, tidaklah boleh mengenal putus asa. Memang diketahui amat banyak manusia yang tidak mau percaya, namun sebaliknya, ada pula manusia yang mau percaya. Dan manusianya adalah manusia yang itu juga. Di sinilah letak jihad, bersungguh-sungguh menegakkan kebenaran itu, sehingga di antara orang-orang yang tidak mau percaya akan timbul orang yang percaya. Dengan demikian tampaklah bahwa hidup itu ialah jihad; bersungguh-sungguhan, kerja keras dan usaha yang tidak mengenal putus asa. Lantaran itu maka ayat 103 bukanlah artinya menyuruh berdiam diri berpeluk lutut karena sudah diketahui bahwa banyak manusia yang tidak mau percaya, betapa pun diajak kepada kebenaran. Sebab yang akan percaya pun ada.
Ayat 104
“Sedangkan engkau tidaklah meminta upah kepada mereka."
Manusia-manusia itu enggan, betapa pun diajak, sedangkan utusan Allah yang menyeru dan mengajak itu tidaklah meminta upah dan bayaran dari usahanya mengajak mereka dan menyeru mereka kepada kebenaran siang dan malam, menghabiskan seluruh tenaga dan harta benda kepunyaan sendiri. Nabi Muhammad ﷺ membawa Kitab Suci Al-Qur'an dan menerangkan isinya kepada mereka.
“Tidak lain dia, hanyalah peringatan bagi manusia."
Oleh karena isi Al-Qur'an itu adalah semata-mata peringatan kepada manusia, Nabi kita Muhammad ﷺ pun tidak henti-hentinya menyampaikan peringatan itu. Bahwa dikalangan manusia banyak yang tidak mau percaya; itu sudah mesti dimaklumi. Tetapi Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah memberikan kepada manusia itu akal dan manusia itu pun telah dijadikan sebagai khalifah Allah di bumi, dan akal itulah alatnya menjadi khalifah. Supaya akal tadi timbul dan tertuntun dengan baik, didatangkan agama, diutus Rasul, diturunkan wahyu yang dipimpinkan oleh Rasul itu. Maka walaupun dalam 1.000 manusia, hanya seorang yang dapat tertuntun akalnya oleh pimpinan wahyu, maka yang menentukan kelak bukan yang 999 orang, tetapi yang satu orang.
Ayat 105
“Dan berapalah banyaknya tanda-tanda di semua langit dan di bumi, yang mereka lalui, namun mereka berpaling jua daripadanya."
Itu lagi satu kegelapan jiwa dari orangyang kafir. Lantaran Allah tidak dapat mereka lihat dengan mata, mereka tidak sanggup berpikir melihat bekas adanya Allah pada tanda-tanda yang selalu terbentang di semua langit dan di bumi ini. Perjalanan cakrawala langit yang teratur, keberesan peraturan Allah di bumi dan pada kehidupan mereka sendiri, tidak pernah mereka perhatikan. Sebab itu mereka tetap dalam gelap. Namun mereka berpaling jua dari tanda-tanda kebesaran Allah itu, tidak mau peduli, sehingga jiwa mereka menjadi kasar, susah dimasuki pengajaran.
Ayat 106
“Dan tidaklah percaya kebanyakan mereka itu kepada Allah, melainkan mereka pun menyekutukan."
Artinya, ada juga mereka itu yang percaya bahwa Allah itu ada, tetapi tidak dijunjungnya hak yang tunggal dari Allah, malahan diper-sekutukannya yang lain dengan Allah, dibuat-buatnya pula tuhan-tuhan yang lain, berhala, patung dan benda-benda yang mereka puja.
Semua isi ayat ini menggambarkan tingkah laku dan sikap orang musyrikin yang dihadapi Rasulullah ﷺ di zaman Mekah, di tempat surah Yuusuf ini diturunkan. Di tengah-tengah masyarakat jahiliyah dan pemujaan berhala itu, Nabi Muhammad ﷺ dengan tidak bosan-bosannya menyerukan agar mereka kembali kepada kebenaran dan meninggalkan kehidupan kacau dan pikiran gelap yang tidak berdasar. Diberi bujukan bahwa mereka akan mendapat bahagia dunia dan akhirat jika mereka turuti isi ajaran Al-Qur'an itu dan mereka akan menerima ancaman jika Allah jika mereka masih tetap dalam kemusyrikin.
Ayat 107
“Apakah mereka aman, bahwa datang kepada mereka siksaan daripada Allah, atau datang kepada mereka kiamat dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak sadar?"
Mereka tidak mau peduli, betapa pun ancaman disampaikan Rasul. Mereka merasa aman saja, tidak percaya bahwa sewaktu-waktu siksaan Allah akan datang menimpa mereka, bahwa pendirian salah yang mereka pertahankan itu pasti runtuh. Mereka tidak memedulikan itu, melainkan menurutkan hawa nafsu, bermegah dengan kehidupan yang lama, kehidupan yang kosong dari cita-cita, yang hanya memikirkan kemegahan harta benda dan anak keturunan. Padahal kalau siksaan Allah datang dengan tiba-tiba, dapat jugakah apa yang mereka katakan aman itu dipertahankan?
Bagaimana kalau kelak mereka mati? Apa pertanggungjawaban mereka di hadapan Allah? Bagaimana kalau Islam menang dan mereka disapu bersih oleh kebesaran Islam, sedang berhala itu masih mereka pertahankan jua? Bagaimana kalau saat yang pasti datang itu segera datang? Yaitu Kiamat? Apa yang akan dapat mereka pertahankan di hadapan murka Allah?
Setelah menguraikan segi-segi kelemahan mereka itu, meskipun di saat itu, Rasulullah ﷺ masih di Mekah, dan musyrikin itu masih kuat dan pengikut Rasulullah ﷺ masih golongan yang sedikit, namun Allah berfirman jua kepada beliau,
Ayat 108
“Katakanlah : Inilah jalanku, aku seru kepada Allah dengan bukti-bukti, aku dan orang yang mengikutku."
Inilah pendirian dan peganganku. Kamu boleh lihat dan perhatikan, dan langkah ini telah mulai aku langkahkan, pendirian dan pegangan yang lengkap dengan bukti-bukti, dan di belakangku mengikut orang-orang yang percaya kepada-Nya. Kami akan jalan terus, kami akan tetap menyerukan di muka dunia ini bahwa Allah adalah Maha Esa, Maha Tunggal, tidak ada sekutu yang lain dengan Dia.
“Dan Mahasuci Allah, dan tidaklah aku dari golongan orang-orang yang mempersekutukan."
Dengan kata begini, Rasulullah ﷺ telah meletakkan garis pemisah yang nyata di antara tauhid yang beliau tegakkan dengan syirik yang dipertahankan oleh kaumnya itu. Garis pemisah di antaranya yang hak dan yang batil. Yang sekali-kali tidak dapat diperdamaikan, sebab di antara benar dengan salah, sekali-kali tidak dapat didamaikan. Walaupun di waktu itu golongan pengikut Rasul belum banyak dan golongan musyrik menguasai masyarakat, namun pegangan teguh ini telah dipancangkan di atas petala bumi dengan penuh iman dan keyakinan, dan berani menanggungkan segala akibat lantaran ini. Dia tidak mengenal apa arti menyerah dan mengambil muka ke pihak musuh karena merasa lemah. Keyakinan itulah yang membentuk hidup dan memberi isi hidup itu, bagi tiap-tiap orang yang beriman di segala waktu.
Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya kepada Rasul,
Ayat 109
“Dan tidaklah Kami utus sebelum engkau, melainkan orang-orang laki-laki yang Kami wahyukan kepada mereka."
Wahyu pada ayat ini ialah sokongan budi yang amat besar dari Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ. Dinyatakan bahwa sebelum dia, Allah pun telah mengutus rasul-rasul kepada kaum mereka. Rasul-rasul itu ialah orang-orang laki-laki sejati. Laki-laki sejati ialah yang mempunyai keberanian bertanggung jawab, kesanggupan menderita, dan kebetulan habis dikisahkan Ya'qub dan Yusuf. Demikian pula rasul-rasul yang lain. Sebagai penegak kehendak Ilahi di muka bumi, mereka menghadapi kewajiban dengan tabah dan kuat, apatah lagi Allah pun tidak melepaskan mereka jalan sendiri, melainkan selalu disokong dengan wahyu. Dan mereka itu adalah “Dan ahli negeri-negeri itu (sendiri)." Bukan orang lain yang didatangkan dari tempat lain. Mati-matian mereka berusaha membangun kaum mereka agar menuruti jalan yang benar, kadang-kadang mereka pun diusir dari kampung halaman mereka itu, namun mereka jalan terus. Tetapi kalau kedurhakaan itu sudah sangat bersangatan, sudah sampai di puncak, adzab siksaan Allah pun datang. Ini haruslah diperingatkan kepada kaum Quraisy itu, “Apakah mereka tidak berjalan di bumi, supaya mereka pandangi betapa akibat orang-orang yang sebelum mereka?" Tidakkah mereka lihat bekas kaum ‘Ad yang didatangi Hud? Bekas kaum Tsamud yang didatangi Shalih? Bekas kaum Sadum yang didatangi Luth? Setelah peringatan begini disuruh sampaikan kepada umat yang kelam hati dan kelam pikiran itu, Allah menutup ayat memberi penguatan semangat lagi bagi Rasul dan pengikut beliau.
“Dan sesungguhnya negeri akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Apakah tidak kamu pikirkan?"
Tidakkah kamu pikirkan? Orang beriman selalu disuruh memikirkan bahwa dirinya di dunia ini hanya singgah belaka. Dunia adalah tempat menegakkan perbuatan-perbuatan yang mulia dan terpuji di sisi Allah. Untuk satu tujuan, yaitu kebahagiaan hidup di akhirat. Orang menjadi kafir atau musyrik karena pikirannya tidak sampai kepada akhirat. Mereka menyangka bahwa hidup ini hanyalah sehingga dunia ini saja.
Pada ayat selanjutnya diterangkan juga bahwa kadang-kadang rasul-rasul yang dahulu dari Nabi Muhammad ﷺ itu pun seakan-akan mau putus asa melihat perangai umat yang mereka datangi.
Ayat 110
“Sehingga apabila telah putus asa rasul-rasul itu, dan mereka sangka bahwa telah didustakan oleh mereka," — yaitu oleh kaum mereka — “di datangilah mereka itu oleh pentolongan Kami, dan Kami selamatkanlah siapa yang Kami kehendaki. Dan tidaklah dapat ditolak siksaan Kami dari kaum yang berdosa."
Ayat ini menegaskan bahwa rasul-rasul itu kadang-kadang pun menghadapi bahaya-bahaya yang ngeri dari sebab perlawanan kaumnya. Kadang-kadang mereka menilik bahwa pengikut yang percaya masih sedikit dan yang melawan adalah golongan yang besar, nyarislah rasul-rasul itu putus asa. Tetapi apabila saat sudah sangat genting, dengan tiba-tiba pertolongan Allah datang. Ini telah dibayangkan oleh Allah dalam ayat ini, sedang Rasulullah ﷺ masih di Mekah. Dan Nabi kita pun menderita pula yang seperti ini. Beliau terpaksa meninggalkan Mekah karena orang telah bermufakat hendak membunuh beliau, dan darahnya akan dibagi-bagi di antara sekalian kabilah-kabilah Quraisy, yaitu hendaklah dikirim anak-anak muda dari sekalian kabilah dan bersama-sama menikam beliau. Walaupun telah mati, namun yang belum menikam mesti turut menikam, sehingga kabilah Bani Hasyim, yaitu kabilah Nabi Muhammad sendiri tidak kuat menuntut bela dari seluruh persukuan Arab. Tetapi pada malam keputusan itu hendak dijalankan, Nabi Muhammad ﷺ disuruh Allah berhijrah ke Madinah. Dan memang beberapa waktu kemudian tidaklah dapat ditolak siksaan Allah dan kaum yang berdosa. Kepala-kepala dan pemimpin-pemimpin Quraisy yang sangat menentang Nabi ﷺ itu binasa semuanya dalam Peperangan Badar, dan Peperangan Badar itulah perang yang memberi keputusan bahwa mulai saat itu bangsa Arab sudah terpaksa mengakui bahwa sudah ada kekuatan Islam di Tanah Arab, berpusat di Madinah.
Artinya sebagai penutup surah Yuusuf, berfirmanlah Allah,
Ayat 111
“Sesungguhnya adalah pada kisah-kisah mereka itu."
Baik kisah Yusuf dengan saudara-saudaranya, atau kisah rasul-rasul yang lain yang telah diwahyukan Allah di dalam Al-Qur'an, semuanya adalah, “Suatu ibarat bagi orang-orang yang mempunyai inti pikiran." Menjadi kaca perbandingan dan tamsil bahwasanya walaupun di mana saja, meskipun suatu kebenaran pada permulaan timbulnya kelihatan lemah, namun kemenangan terakhir tetap pada kebenaran. Dan suatu pendirian yang salah, walaupun pada mulanya kelihatan kuat, namun akhirnya pasti hancur. Soalnya hanya soal waktu belaka."Tidaklah dianya per-cakapan yang dibuat-buat," dikarang-karang seperti buku roman atau cerita dongeng
(mitos) orang Yunani atau Hindu dan lain-lain bangsa."Akan tetapi membenarkan apa yang ada di hadapannya dan penjelasan tiap-tiap sesuatu." Artinya, dia diterangkan dengan wahyu Al-Qur'an tetapi membenarkan dan menggenapkan apa yang tersebut dalam Taurat ditambah lagi dengan menjelaskan mana yang kurang jelas.
“Dan petunjuk dan rahmat bagi kaum yang percaya."
Petunjuk di dalam menempuh jalan yang diridhai oleh Allah, petunjuk bahwa orang yang beriman pun harus sanggup meniru Nabi Yusuf, menjadi isi penjara atau menjadi bendahara. Menjadi rahmat, sebab meneladan contoh teladan yang mulia dari orang besar-besar adalah membawa kemuliaan pula.