Ayat

Terjemahan Per Kata
وَكَأَيِّن
dan banyak sekali
مِّنۡ
dari
ءَايَةٖ
tanda-tanda
فِي
di
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِ
dan bumi
يَمُرُّونَ
mereka melalui
عَلَيۡهَا
atasnya
وَهُمۡ
dan/sedang mereka
عَنۡهَا
daripadanya
مُعۡرِضُونَ
mereka berpaling
وَكَأَيِّن
dan banyak sekali
مِّنۡ
dari
ءَايَةٖ
tanda-tanda
فِي
di
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِ
dan bumi
يَمُرُّونَ
mereka melalui
عَلَيۡهَا
atasnya
وَهُمۡ
dan/sedang mereka
عَنۡهَا
daripadanya
مُعۡرِضُونَ
mereka berpaling
Terjemahan

Berapa banyak tanda-tanda (kebesaran Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka berpaling darinya.
Tafsir

(Dan banyak sekali) sudah berapa banyak (tanda-tanda) yang menunjukkan keesaan Allah (di langit dan di bumi yang mereka melaluinya) artinya mereka menyaksikannya (sedangkan mereka berpaling daripadanya.) tidak mau memikirkan tentangnya.
Tafsir Surat Yusuf: 105-107
Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui (saksikan), namun mereka berpaling darinya. Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka, atau kedatangan kiamat kepada mereka secara mendadak, sedangkan mereka tidak menyadarinya?
Allah ﷻ menceritakan tentang kelalaian kebanyakan manusia dari memikirkan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah dan bukti-bukti keesaan-Nya melalui makhluk yang diciptakan oleh Allah di langit dan di bumi, yaitu berupa bintang-bintang yang cemerlang sinarnya, yang tetap dan yang beredar serta gugusan-gugusan bintang-bintang lainnya, semuanya itu ditundukkan oleh kekuasaan Allah. Betapa banyak di bumi ini bagian-bagian yang berdampingan, kebun-kebun, taman-taman, gunung-gunung yang terpancang dengan kokohnya, laut-laut yang luas dengan ombaknya yang berdebur, serta padang sahara yang luas-luas. Betapa banyak pula di bumi ini makhluk hidup dan benda mati, juga berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan, dan buah-buahan yang berbeda-beda rasa, bau, warna, dan spesifikasinya. Mahasuci Allah Yang Maha Esa, Pencipta semua makhluk, Yang Maha Menyendiri dengan sifat kekal dan abadi-Nya, serta Maha Sumber bagi asma dan sifat-Nya.
Firman Allah ﷻ: "Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (Yusuf: 106) Ibnu Abbas mengatakan, termasuk pengertian 'iman' di kalangan mereka yang memiliki sifat ini ialah apabila ditanyakan kepada mereka, "Siapakah yang menciptakan langit, siapakah yang menciptakan bumi, dan siapakah yang menciptakan gunung-gunung itu?" Mereka menjawab, "Allah," padahal mereka masih dalam keadaan mempersekutukan-Nya dengan yang lain.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Ikrimah, Asy-Sya'bi, Qatadah, Ad-Dahhak, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam. Di dalam kitab Shahihain disebutkan bahwa kaum musyrik di masa lalu mengatakan dalam talbiyah mereka, "Labbaika, tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang menjadi milik-Mu; Engkau memilikinya, sedangkan dia tidak memiliki." Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan bahwa dahulu apabila kaum musyrik mengatakan, "Labbaika, tiada sekutu bagi-Mu," maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Cukup, cukup!" Maksudnya, jangan diteruskan dan jangan dilebihkan dari itu.
Dan Allah ﷻ telah berfirman: "Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (Luqman: 13) Inilah yang disebutkan syirik yang paling besar, yaitu menyembah Allah dengan selain-Nya. Di dalam kitab Shahihain disebutkan sebuah hadits melalui Ibnu Mas'ud, bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?" Rasul ﷺ menjawab, "Bila kamu menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia-lah yang menciptakan kamu." Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: "Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (Yusuf: 106) Bahwa hal tersebut berkenaan dengan orang munafik. Apabila dia beramal, maka amalnya adalah karena riya (pamer); hal itu berarti dia musyrik dalam amalnya.
Maksudnya adalah seperti yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya: "Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (An-Nisa: 142) Masih ada satu jenis syirik lagi, yaitu syirik khafi yang kebanyakan pelakunya tidak menyadarinya, seperti yang diriwayatkan oleh Hammad ibnu Salamah, dari Asim ibnu Abun Nujud, dari Urwah yang mengatakan bahwa Huzaifah menjenguk seorang yang sedang sakit. Lalu Huzaifah melihat di lengan si sakit itu ada tambangnya, maka Huzaifah memutuskan atau melepaskan tali itu, kemudian Huzaifah membacakan firman-Nya: "Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (Yusuf: 106) Di dalam sebuah hadits disebutkan: "Barang siapa bersumpah dengan nama selain Allah, berarti dia telah musyrik." Hadits ini merupakan riwayat Imam Turmuzi yang dinilainya hasan melalui Ibnu Umar.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, serta lain-lainnya disebutkan melalui Ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya ruqyah (jampi), tamimah (kalung penangkal), dan tiwalah (jimat) adalah perbuatan syirik." Menurut lafaz yang ada pada Imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan seperti berikut: "Tiyarah (ramalan kesialan) adalah perbuatan syirik yang tiada kaitannya dengan agama kita, tetapi Allah menghapuskannya dengan bertawakal kepada-Nya." Imam Ahmad meriwayatkannya secara lebih rinci daripada ini. Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Yahya Al-Jazzar, dari anak lelaki saudara Zainab, dari Zainab istri Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan, "Kebiasaan Abdullah apabila datang dari suatu keperluan, lalu sampai di depan pintu rumah pintu rumah, terlebih dahulu ia berdehem dan meludah, karena dia tidak suka bila melihat kami dalam keadaan yang tidak disukai olehnya.
Pada suatu hari ia datang dari suatu urusan, lalu ia berdehem; saat itu di dekatku ada seorang nenek-nenek yang mengobatiku dengan ruqyah (jampi) karena aku sedang sakit humrah (demam). Maka aku memasukkan jimat yang diberikannya ke bawah ranjang. Abdullah masuk ke dalam rumah, lalu duduk di sampingku; maka ia melihat benang di leherku, lalu ia bertanya, 'Benang apakah ini?' Aku menjawab, 'Benang ruqyahku.' Abdullah ibnu Mas'ud menarik benang itu dan memutuskannya, lalu berkata, 'Sesungguhnya keluarga Abdullah benar-benar tidak membutuhkan perbuatan syirik’."
Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah perbuatan syirik. Aku bertanya, 'Mengapa engkau berkata demikian, padahal dahulu mataku selalu belekan, dan aku bila mengalaminya selalu pergi ke Fulan orang Yahudi itu untuk me-ruqyah-nya. Apabila telah di-ruqyah olehnya, maka mataku normal kembali.' Ibnu Mas'ud menjawab, 'Sesungguhnya hal itu dari setan, dialah yang meludahinya dengan tangannya. Apabila setan telah me-ruqyah-nya, maka sembuhlah penyakit mata itu. Padahal cukuplah bagimu mengucapkan doa seperti yang pernah diucapkan oleh Nabi ﷺ, yaitu: 'Lenyapkanlah penyakit ini, wahai Tuhan manusia, sembuhkanlah (penyakitku). Engkaulah Yang menyembuhkannya, tiada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, yaitu kesembuhan yang tidak menyisakan suatu penyakit pun'. Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Waki', dari Ibnu Abu Laila, dari Isa ibnu Abdur Rahman disebutkan bahwa ia (Isa ibnu Abdur Rahman) masuk menjenguk Abdullah ibnu Ukaim yang sedang sakit. Lalu ada yang berkata, "Sebaiknya engkau memakai kalung penangkal penyakit." Abdullah ibnu Ukaim menjawab, "Apakah engkau biasa menggunakan tamimah, padahal Rasulullah ﷺ pernah bersabda: 'Barang siapa menggantungkan sesuatu (jimat), maka nasibnya diserahkan kepadanya'." Imam Nasai meriwayatkannya melalui Abu Hurairah.
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits Uqbah ibnu Amir yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa yang menggantungkan tamimah, sesungguhnya dia telah berbuat syirik." Di dalam riwayat lain disebutkan seperti berikut: "Barang siapa yang memakai kalung tamimah, maka semoga Allah tidak menjadikannya sebagai penangkal sakitnya. Dan barang siapa yang memakai kalung wada'ah, semoga Allah tidak menjadikannya sebagai penjagaan dari sakitnya." Disebutkan dari Al-'Ala, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Allah berfirman, "Akulah yang memberikan kecukupan kepada orang-orang yang mempersekutukan-(Ku) dengan perbuatan syiriknya. Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang di dalamnya ia mempersekutukan Aku dengan selain-Ku, niscaya Aku tinggalkan dia bersama perbuatan syiriknya." Hadits ini merupakan riwayat Imam Muslim.
Dari Abu Sa'id ibnu Abu Fudalah, disebutkan bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: "Apabila Allah telah menghimpunkan orang-orang yang terdahulu dan yang terkemudian untuk menghadiri suatu hari yang tiada keraguan padanya (hari kiamat), maka berserulah (malaikat) penyeru: "Barang siapa berbuat syirik dalam suatu amal yang dikerjakannya bagi Allah, maka hendaklah ia meminta pahalanya dari selain Allah. Karena sesungguhnya Allah-lah Yang memberikan kecukupan kepada orang-orang musyrik dengan perbuatan syiriknya." Hadits riwayat Imam Ahmad.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Lais, dari Yazid (yakni Ibnul Had), dari Amr, dari Mahmud ibnu Labid, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya hal yang sangat aku khawatirkan akan menimpa kalian ialah syirik kecil." Mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Riya (pamer).Allah ﷻ berfirman di hari kiamat bila manusia diberi balasan amal perbuatannya, 'Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian pamer kepada mereka ketika di dunia, lalu lihatlah, apakah kalian menjumpai balasan amal kalian dari sisi mereka?'." Ismail ibnu Ja'far telah meriwayatkannya dari Amr ibnu Abu Amr maula Al-Muttalib, dari Asim ibnu Amr ibnu Qatadah, dari Mahmud ibnu Labid dengan sanad yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Hubairah, dari Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa yang kembali karena tiyarah-nya (alamat kesialannya) dari keperluannya, maka sesungguhnya dia telah syirik." Ketika mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kifarat perbuatan tersebut?" Rasulullah ﷺ bersabda: "Hendaknya seseorang di antara kalian mengucapkan, ‘Ya Allah, tiada kebaikan kecuali hanya kebaikan-Mu, dan tiada tiyarah kecuali hanya tiyarah-Mu, dan tiada Tuhan selain Engkau’."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Namir, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman Al-Azrami, dari Abu Ali (seorang lelaki dari Bani Kahil) yang menceritakan bahwa Abu Musa Al-Asy'ari pernah berkhotbah kepada kami yang isinya antara lain mengatakan, "Hai manusia, peliharalah diri kalian dari perbuatan syirik ini, karena sesungguhnya perbuatan syirik itu lebih tersembunyi daripada langkah-langkah semut." Maka berdirilah Abdullah ibnu Harb dan Qais ibnul Mudarib, lalu keduanya berkata, "Demi Allah, kamu harus mengeluarkan bukti apa yang kamu ucapkan atau kami benar-benar akan melaporkannya kepada Umar, baik kami diberi izin ataupun tidak." Abu Musa Al-Asy'ari menjawab, "Aku akan mengeluarkan bukti dari apa yang aku ucapkan tadi, bahwa pada suatu hari Rasulullah ﷺ berkhotbah kepada kami, antara lain beliau bersabda: 'Hai manusia, peliharalah diri kalian dari perbuatan syirik ini, karena sesungguhnya perbuatan syirik itu lebih tersembunyi daripada langkah-langkah semut.' Lalu ada seseorang yang ditakdirkan oleh Allah bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimanakah kami menjaganya, padahal perbuatan itu lebih tersembunyi daripada langkah-langkah semut?' Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: "Katakanlah oleh kalian, 'Allahumma inna na’udzubika min an nusyrika bika syai-an na’lamuh wa nastaghfiruka lima la na’lamuh’ (Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan mempersekutukan Engkau dengan sesuatu yang kami ketahui, dan memohon ampun kepada-Mu terhadap perbuatan syirik yang tidak kami ketahui)."
Menurut riwayat dari jalur lain, orang yang bertanya itu adalah Abu Bakar As-Siddiq, seperti yang telah diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli: melalui hadits Abdul Aziz ibnu Muslim, dari Lais ibnu Abu Salim, dari Abu Muhammad, dari Ma'qal ibnu Yasar yang mengatakan bahwa ia menyaksikan Nabi ﷺ; atau ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Abu Bakar As-Siddiq, dari Rasulullah ﷺyang bersabda: "Syirik lebih tersembunyi di antara kalian daripada langkah-langkah semut. Maka Abu Bakar bertanya, "Bukankah syirik itu hanyalah perbuatan orang yang menyeru Allah bersama tuhan lain-Nya? Rasulullah ﷺ bersabda, "Syirik lebih tersembunyi di antara kalian daripada langkah-langkah semut." Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, "Maukah aku tunjukkan kepadamu sesuatu yang dapat melenyapkan darimu hal yang paling kecil dan yang paling besar dari perbuatan syirik itu? Yaitu ucapkanlah, 'Allahumma a’udzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka mimma la a’lam' (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan mempersekutukan Engkau dengan sesuatu yang aku ketahui dan aku memohon ampun kepada-Mu terhadap perbuatan syirik yang tidak aku ketahui)."
Al-Hafiz Abul Qasim Al-Bagawi telah meriwayatkannya melalui Syaiban ibnu Farukh, dari Yahya ibnu Kasir, dari As-Sauri, dari Ismail ibnu Abu Khalid, dari Qais ibnu Abu Hazim, dari Abu Bakar As-Siddiq yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Syirik lebih tersembunyi di kalangan umatku daripada langkah-langkah semut di atas Bukit Safa." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Abu Bakar bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah jalan selamat dan jalan keluar dari hal tersebut?" Rasulullah ﷺ bersabda, "Maukah aku ceritakan kepadamu sesuatu yang apabila kamu mengucapkannya tentulah kamu terbebaskan dari yang sedikit dan dari yang banyaknya, serta dari yang kecil dan yang besarnya?" Abu Bakar menjawab, "Tentu saja mau, wahai Rasulullah." Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: "Katakanlah, 'Allahumma inni a’udzubika min an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima la a’lam' (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan mempersekutukan Engkau dengan sesuatu yang aku ketahui dan aku memohon ampun kepada-Mu dari perbuatan syirik yang tidak aku ketahui)."
Imam Daruqutni mengatakan bahwa Yahya ibnu Abu Kasir dikenal dengan nama julukan Abun Nadr, haditsnya matruk (tidak terpakai). Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi di dalam kitab shahih-nya, dan Imam Nasai telah meriwayatkan: melalui hadits Ya'la ibnu Ata; ia mendengar Amr ibnu Asim yang mendengar dari Abu Hurairah bahwa Abu Bakar As-Siddiq bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku sesuatu doa yang aku ucapkan di pagi hari, petang hari, dan bila aku akan pergi ke peraduanku." Rasulullah ﷺ bersabda: "Katakanlah, ‘Ya Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, Tuhan segala sesuatu dan Yang memilikinya, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau, aku berlindung kepada Engkau dari kejahatan hawa nafsuku dan dari kejahatan setan serta kemusyrikannya’."
Imam Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkannya, dan dinilai sahih oleh Imam Nasai. Menurut Imam Ahmad dalam salah satu riwayat yang bersumber darinya melalui hadits Lais ibnu Abu Salim, dari Mujahid, dari Abu Bakar As-Siddiq, "Abu Bakar r.a. mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ menganjurkan kepadaku untuk mengucapkan doa berikut." Kemudian disebutkan doa di atas, dan di akhirnya ditambahkan kalimat berikut: "Dan (aku berlindung kepada Engkau) agar aku tidak melakukan kejahatan atas diriku sendiri, atau aku menimpakannya kepada seorang muslim."
Firman Allah ﷻ: "Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka." (Yusuf: 107), hingga akhir ayat. Yakni apakah mereka yang musyrik kepada Allah merasa aman akan kedatangan azab Allah yang meliputi mereka, sedangkan mereka tidak menyadari kedatangan azab itu? Ayat ini semakna dengan yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: maka apakah orang-orang yang membuat makar yang jahat itu merasa aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari, atau Allah mengazab mereka di waktu mereka dalam perjalanan, maka sekali-kali mereka tidak dapat menolak (azab itu), atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa).
"Maka sesungguhnya Tuhan kalian adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." (An-Nahl: 45-47) "Maka apakah penduduk kota-kota itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk kota-kota itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi." (Al-A'raf: 97-99)
Bila manusia mau berpikir jernih, sebenarnya pengajaran tentang
tanda-tanda kekuasaan Allah itu ada di sekitar mereka. Allah menegaskan, Dan berapa banyak tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di langit
dan di bumi sebagai pengajaran yang setiap saat mereka lalui dan saksikan, namun mereka berpaling darinya tanpa mengambil pelajaran. Dan keberpalingan itu membuat kebanyakan dari mereka tidak beriman kepada Allah, bahkan mereka mempersekutukan-Nya dengan yang
lain.
Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa tidak sedikit tanda-tanda yang menunjukkan keesaan, kesempurnaan, dan kekuasaan-Nya, seperti matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-gunung, lautan, tanam-tanaman, dan lain-lain, yang bisa dilihat dan disaksikan sendiri oleh manusia. Akan tetapi, mereka tidak memperhatikannya dan tidak memikir-kan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Semua itu menunjukkan bahwa Allah swt itu Esa, tiada Tuhan melainkan Dia. Dialah yang menciptakan semua makhluk dengan sempurna dan teratur. Kalaupun ada di antara mereka yang berusaha ingin mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, tetapi mereka lupa kepada Penciptanya. Dengan akalnya, mereka asyik menerapkan ilmunya, mengembangkan dan memanfaatkannya, tetapi jiwa mereka kosong dari mengingat Allah dan tidak beriman kepada-Nya. Ilmu saja, meskipun ada gunanya, tetapi tidak bermanfaat di akhirat kecuali apabila dilandasi iman kepada Allah. Alangkah berbahagianya orang yang dapat menyatukan keduanya. Orang itulah yang akan memperoleh kebaikan di dunia, dan akhirat serta selamat dari azab api neraka kelak.
Ayat 103
“Dan tidaklah kebanyakan manusia itu, betapa pun engkau menginginkan, mau beriman."
Setelah Allah Ta'aala mengisahkan Nabi Yusuf itu, Allah pun kembali memperingatkan kepada Nabi-Nya Muhammad saw. bahwa usaha menegakkanajaranAllahdiatasduniainitidaklah mudah, sebab kebanyakan manusia betapa pun usaha Nabi Muhammad saw., tidaklah mau menerima demikian saja. Tetapi yang manakah manusia itu? Manusia yang ingkar dan kafir itu ialah manusia-manusia yang itu juga. Lantaran itu maka seorang yang berkewajiban me-nyampaikan seruan kepada manusia, tidaklah boleh mengenal putus asa. Memang diketahui amat banyak manusia yang tidak mau percaya, namun sebaliknya, ada pula manusia yang mau percaya. Dan manusianya adalah manusia yang itu juga. Di sinilah letak jihad, bersungguh-sungguh menegakkan kebenaran itu, sehingga di antara orang-orang yang tidak mau percaya akan timbul orang yang percaya. Dengan demikian tampaklah bahwa hidup itu ialah jihad; bersungguh-sungguhan, kerja keras dan usaha yang tidak mengenal putus asa. Lantaran itu maka ayat 103 bukanlah artinya menyuruh berdiam diri berpeluk lutut karena sudah diketahui bahwa banyak manusia yang tidak mau percaya, betapa pun diajak kepada kebenaran. Sebab yang akan percaya pun ada.
Ayat 104
“Sedangkan engkau tidaklah meminta upah kepada mereka."
Manusia-manusia itu enggan, betapa pun diajak, sedangkan utusan Allah yang menyeru dan mengajak itu tidaklah meminta upah dan bayaran dari usahanya mengajak mereka dan menyeru mereka kepada kebenaran siang dan malam, menghabiskan seluruh tenaga dan harta benda kepunyaan sendiri. Nabi Muhammad saw. membawa Kitab Suci Al-Qur'an dan menerangkan isinya kepada mereka.
“Tidak lain dia, hanyalah peringatan bagi manusia."
Oleh karena isi Al-Qur'an itu adalah semata-mata peringatan kepada manusia, Nabi kita Muhammad saw. pun tidak henti-hentinya menyampaikan peringatan itu. Bahwa dikalangan manusia banyak yang tidak mau percaya; itu sudah mesti dimaklumi. Tetapi Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah memberikan kepada manusia itu akal dan manusia itu pun telah dijadikan sebagai khalifah Allah di bumi, dan akal itulah alatnya menjadi khalifah. Supaya akal tadi timbul dan tertuntun dengan baik, didatangkan agama, diutus Rasul, diturunkan wahyu yang dipimpinkan oleh Rasul itu. Maka walaupun dalam 1.000 manusia, hanya seorang yang dapat tertuntun akalnya oleh pimpinan wahyu, maka yang menentukan kelak bukan yang 999 orang, tetapi yang satu orang.
Ayat 105
“Dan berapalah banyaknya tanda-tanda di semua langit dan di bumi, yang mereka lalui, namun mereka berpaling jua daripadanya."
Itu lagi satu kegelapan jiwa dari orangyang kafir. Lantaran Allah tidak dapat mereka lihat dengan mata, mereka tidak sanggup berpikir melihat bekas adanya Allah pada tanda-tanda yang selalu terbentang di semua langit dan di bumi ini. Perjalanan cakrawala langit yang teratur, keberesan peraturan Allah di bumi dan pada kehidupan mereka sendiri, tidak pernah mereka perhatikan. Sebab itu mereka tetap dalam gelap. Namun mereka berpaling jua dari tanda-tanda kebesaran Allah itu, tidak mau peduli, sehingga jiwa mereka menjadi kasar, susah dimasuki pengajaran.
Ayat 106
“Dan tidaklah percaya kebanyakan mereka itu kepada Allah, melainkan mereka pun menyekutukan."
Artinya, ada juga mereka itu yang percaya bahwa Allah itu ada, tetapi tidak dijunjungnya hak yang tunggal dari Allah, malahan diper-sekutukannya yang lain dengan Allah, dibuat-buatnya pula tuhan-tuhan yang lain, berhala, patung dan benda-benda yang mereka puja.
Semua isi ayat ini menggambarkan tingkah laku dan sikap orang musyrikin yang dihadapi Rasulullah saw. di zaman Mekah, di tempat surah Yuusuf ini diturunkan. Di tengah-tengah masyarakat jahiliyah dan pemujaan berhala itu, Nabi Muhammad saw. dengan tidak bosan-bosannya menyerukan agar mereka kembali kepada kebenaran dan meninggalkan kehidupan kacau dan pikiran gelap yang tidak berdasar. Diberi bujukan bahwa mereka akan mendapat bahagia dunia dan akhirat jika mereka turuti isi ajaran Al-Qur'an itu dan mereka akan menerima ancaman jika Allah jika mereka masih tetap dalam kemusyrikin.
Ayat 107
“Apakah mereka aman, bahwa datang kepada mereka siksaan daripada Allah, atau datang kepada mereka kiamat dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak sadar?"
Mereka tidak mau peduli, betapa pun ancaman disampaikan Rasul. Mereka merasa aman saja, tidak percaya bahwa sewaktu-waktu siksaan Allah akan datang menimpa mereka, bahwa pendirian salah yang mereka pertahankan itu pasti runtuh. Mereka tidak memedulikan itu, melainkan menurutkan hawa nafsu, bermegah dengan kehidupan yang lama, kehidupan yang kosong dari cita-cita, yang hanya memikirkan kemegahan harta benda dan anak keturunan. Padahal kalau siksaan Allah datang dengan tiba-tiba, dapat jugakah apa yang mereka katakan aman itu dipertahankan?
Bagaimana kalau kelak mereka mati? Apa pertanggungjawaban mereka di hadapan Allah? Bagaimana kalau Islam menang dan mereka disapu bersih oleh kebesaran Islam, sedang berhala itu masih mereka pertahankan jua? Bagaimana kalau saat yang pasti datang itu segera datang? Yaitu Kiamat? Apa yang akan dapat mereka pertahankan di hadapan murka Allah?
Setelah menguraikan segi-segi kelemahan mereka itu, meskipun di saat itu, Rasulullah saw. masih di Mekah, dan musyrikin itu masih kuat dan pengikut Rasulullah saw. masih golongan yang sedikit, namun Allah berfirman jua kepada beliau,
Ayat 108
“Katakanlah : Inilah jalanku, aku seru kepada Allah dengan bukti-bukti, aku dan orang yang mengikutku."
Inilah pendirian dan peganganku. Kamu boleh lihat dan perhatikan, dan langkah ini telah mulai aku langkahkan, pendirian dan pegangan yang lengkap dengan bukti-bukti, dan di belakangku mengikut orang-orang yang percaya kepada-Nya. Kami akan jalan terus, kami akan tetap menyerukan di muka dunia ini bahwa Allah adalah Maha Esa, Maha Tunggal, tidak ada sekutu yang lain dengan Dia.
“Dan Mahasuci Allah, dan tidaklah aku dari golongan orang-orang yang mempersekutukan."
Dengan kata begini, Rasulullah saw. telah meletakkan garis pemisah yang nyata di antara tauhid yang beliau tegakkan dengan syirik yang dipertahankan oleh kaumnya itu. Garis pemisah di antaranya yang hak dan yang batil. Yang sekali-kali tidak dapat diperdamaikan, sebab di antara benar dengan salah, sekali-kali tidak dapat didamaikan. Walaupun di waktu itu golongan pengikut Rasul belum banyak dan golongan musyrik menguasai masyarakat, namun pegangan teguh ini telah dipancangkan di atas petala bumi dengan penuh iman dan keyakinan, dan berani menanggungkan segala akibat lantaran ini. Dia tidak mengenal apa arti menyerah dan mengambil muka ke pihak musuh karena merasa lemah. Keyakinan itulah yang membentuk hidup dan memberi isi hidup itu, bagi tiap-tiap orang yang beriman di segala waktu.
Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya kepada Rasul,
Ayat 109
“Dan tidaklah Kami utus sebelum engkau, melainkan orang-orang laki-laki yang Kami wahyukan kepada mereka."
Wahyu pada ayat ini ialah sokongan budi yang amat besar dari Allah kepada Nabi Muhammad saw.. Dinyatakan bahwa sebelum dia, Allah pun telah mengutus rasul-rasul kepada kaum mereka. Rasul-rasul itu ialah orang-orang laki-laki sejati. Laki-laki sejati ialah yang mempunyai keberanian bertanggung jawab, kesanggupan menderita, dan kebetulan habis dikisahkan Ya'qub dan Yusuf. Demikian pula rasul-rasul yang lain. Sebagai penegak kehendak Ilahi di muka bumi, mereka menghadapi kewajiban dengan tabah dan kuat, apatah lagi Allah pun tidak melepaskan mereka jalan sendiri, melainkan selalu disokong dengan wahyu. Dan mereka itu adalah “Dan ahli negeri-negeri itu (sendiri)." Bukan orang lain yang didatangkan dari tempat lain. Mati-matian mereka berusaha membangun kaum mereka agar menuruti jalan yang benar, kadang-kadang mereka pun diusir dari kampung halaman mereka itu, namun mereka jalan terus. Tetapi kalau kedurhakaan itu sudah sangat bersangatan, sudah sampai di puncak, adzab siksaan Allah pun datang. Ini haruslah diperingatkan kepada kaum Quraisy itu, “Apakah mereka tidak berjalan di bumi, supaya mereka pandangi betapa akibat orang-orang yang sebelum mereka?" Tidakkah mereka lihat bekas kaum ‘Ad yang didatangi Hud? Bekas kaum Tsamud yang didatangi Shalih? Bekas kaum Sadum yang didatangi Luth? Setelah peringatan begini disuruh sampaikan kepada umat yang kelam hati dan kelam pikiran itu, Allah menutup ayat memberi penguatan semangat lagi bagi Rasul dan pengikut beliau.
“Dan sesungguhnya negeri akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Apakah tidak kamu pikirkan?"
Tidakkah kamu pikirkan? Orang beriman selalu disuruh memikirkan bahwa dirinya di dunia ini hanya singgah belaka. Dunia adalah tempat menegakkan perbuatan-perbuatan yang mulia dan terpuji di sisi Allah. Untuk satu tujuan, yaitu kebahagiaan hidup di akhirat. Orang menjadi kafir atau musyrik karena pikirannya tidak sampai kepada akhirat. Mereka menyangka bahwa hidup ini hanyalah sehingga dunia ini saja.
Pada ayat selanjutnya diterangkan juga bahwa kadang-kadang rasul-rasul yang dahulu dari Nabi Muhammad saw. itu pun seakan-akan mau putus asa melihat perangai umat yang mereka datangi.
Ayat 110
“Sehingga apabila telah putus asa rasul-rasul itu, dan mereka sangka bahwa telah didustakan oleh mereka," — yaitu oleh kaum mereka — “di datangilah mereka itu oleh pentolongan Kami, dan Kami selamatkanlah siapa yang Kami kehendaki. Dan tidaklah dapat ditolak siksaan Kami dari kaum yang berdosa."
Ayat ini menegaskan bahwa rasul-rasul itu kadang-kadang pun menghadapi bahaya-bahaya yang ngeri dari sebab perlawanan kaumnya. Kadang-kadang mereka menilik bahwa pengikut yang percaya masih sedikit dan yang melawan adalah golongan yang besar, nyarislah rasul-rasul itu putus asa. Tetapi apabila saat sudah sangat genting, dengan tiba-tiba pertolongan Allah datang. Ini telah dibayangkan oleh Allah dalam ayat ini, sedang Rasulullah saw. masih di Mekah. Dan Nabi kita pun menderita pula yang seperti ini. Beliau terpaksa meninggalkan Mekah karena orang telah bermufakat hendak membunuh beliau, dan darahnya akan dibagi-bagi di antara sekalian kabilah-kabilah Quraisy, yaitu hendaklah dikirim anak-anak muda dari sekalian kabilah dan bersama-sama menikam beliau. Walaupun telah mati, namun yang belum menikam mesti turut menikam, sehingga kabilah Bani Hasyim, yaitu kabilah Nabi Muhammad sendiri tidak kuat menuntut bela dari seluruh persukuan Arab. Tetapi pada malam keputusan itu hendak dijalankan, Nabi Muhammad saw. disuruh Allah berhijrah ke Madinah. Dan memang beberapa waktu kemudian tidaklah dapat ditolak siksaan Allah dan kaum yang berdosa. Kepala-kepala dan pemimpin-pemimpin Quraisy yang sangat menentang Nabi saw. itu binasa semuanya dalam Peperangan Badar, dan Peperangan Badar itulah perang yang memberi keputusan bahwa mulai saat itu bangsa Arab sudah terpaksa mengakui bahwa sudah ada kekuatan Islam di Tanah Arab, berpusat di Madinah.
Artinya sebagai penutup surah Yuusuf, berfirmanlah Allah,
Ayat 111
“Sesungguhnya adalah pada kisah-kisah mereka itu."
Baik kisah Yusuf dengan saudara-saudaranya, atau kisah rasul-rasul yang lain yang telah diwahyukan Allah di dalam Al-Qur'an, semuanya adalah, “Suatu ibarat bagi orang-orang yang mempunyai inti pikiran." Menjadi kaca perbandingan dan tamsil bahwasanya walaupun di mana saja, meskipun suatu kebenaran pada permulaan timbulnya kelihatan lemah, namun kemenangan terakhir tetap pada kebenaran. Dan suatu pendirian yang salah, walaupun pada mulanya kelihatan kuat, namun akhirnya pasti hancur. Soalnya hanya soal waktu belaka."Tidaklah dianya per-cakapan yang dibuat-buat," dikarang-karang seperti buku roman atau cerita dongeng
(mitos) orang Yunani atau Hindu dan lain-lain bangsa."Akan tetapi membenarkan apa yang ada di hadapannya dan penjelasan tiap-tiap sesuatu." Artinya, dia diterangkan dengan wahyu Al-Qur'an tetapi membenarkan dan menggenapkan apa yang tersebut dalam Taurat ditambah lagi dengan menjelaskan mana yang kurang jelas.
“Dan petunjuk dan rahmat bagi kaum yang percaya."
Petunjuk di dalam menempuh jalan yang diridhai oleh Allah, petunjuk bahwa orang yang beriman pun harus sanggup meniru Nabi Yusuf, menjadi isi penjara atau menjadi bendahara. Menjadi rahmat, sebab meneladan contoh teladan yang mulia dari orang besar-besar adalah membawa kemuliaan pula.