Ayat
Terjemahan Per Kata
بَقِيَّتُ
sisa/tertinggal
ٱللَّهِ
Allah
خَيۡرٞ
lebih baik
لَّكُمۡ
bagi kalian
إِن
jika
كُنتُم
kalian adalah
مُّؤۡمِنِينَۚ
orang-orang yang beriman
وَمَآ
dan bukanlah
أَنَا۠
aku
عَلَيۡكُم
atas kalian
بِحَفِيظٖ
dengan penjaga
بَقِيَّتُ
sisa/tertinggal
ٱللَّهِ
Allah
خَيۡرٞ
lebih baik
لَّكُمۡ
bagi kalian
إِن
jika
كُنتُم
kalian adalah
مُّؤۡمِنِينَۚ
orang-orang yang beriman
وَمَآ
dan bukanlah
أَنَا۠
aku
عَلَيۡكُم
atas kalian
بِحَفِيظٖ
dengan penjaga
Terjemahan
Apa yang tersisa (dari keuntungan yang halal) yang dianugerahkan Allah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang beriman. Aku bukanlah pengawas atas dirimu.”
Tafsir
(Sisa keuntungan dari Allah) yaitu rezeki yang masih tersisa bagi kalian sesudah kalian mencukupkan takaran dan timbangan (adalah lebih baik bagi kalian) daripada perbuatan mengurangi takaran dan timbangan (jika kalian orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas diri kalian.") aku bukanlah pengawas yang membalas kalian terhadap amal perbuatan kalian, akan tetapi sesungguhnya aku adalah orang yang diutus bagi kalian sebagai pembawa peringatan.
Tafsir Surat Hud: 85-86
Dan (Syu'aib) berkata, “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kalian merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kalian membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.
Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagi kalian jika kalian orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas diri kalian.”
Ayat 85
Pada mulanya Nabi Syu'aib melarang mereka melakukan perbuatan mengurangi takaran dan timbangan bila mereka memberikan hak orang lain. Kemudian Nabi Syu'aib memerintahkan mereka agar mencukupkan takaran dan timbangan secara adil, baik di saat mereka mengambil ataupun memberi. Nabi Syu'aib juga melarang mereka bersikap angkara murka di muka bumi dengan menimbulkan kerusakan. Mereka gemar merampok orang-orang yang melewati tempat tinggal mereka dan membegalnya.
Ayat 86
Firman Allah ﷻ: “Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagi kalian.” (Hud: 86) Ibnu Abbas mengatakan, makna yang dimaksud ialah 'rezeki Allah adalah lebih baik bagi kalian'.
Menurut Al-Hasan, rezeki Allah lebih baik bagi kalian daripada kalian mengurangi takaran dan timbangan terhadap orang lain.
Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, perintah Allah lebih baik bagi kalian.
Menurut Mujahid, taat kepada Allah adalah lebih baik bagi kalian.
Menurut Qatadah, bagian kalian dari Allah adalah lebih baik bagi kalian.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah 'kebinasaan karena mendapat azab, dan kelestarian karena mendapat rahmat'.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagi kalian.” (Hud: 86) Maksudnya, keuntungan yang kalian peroleh setelah kalian memenuhi takaran dan timbangan secara semestinya adalah lebih baik bagi kalian daripada mengambil harta orang lain. Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan bahwa hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Menurut kami, ayat ini semakna dengan ayat lain yang disebutkan melalui firman-Nya: “Katakanlah, ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu’.” (Al-Maidah: 100), hingga akhir ayat.
Firman Allah ﷻ: “Dan aku bukanlah seorang penjaga atas diri kalian.” (Hud: 86)
Yakni bukanlah sebagai pengawas, bukan pula sebagai penjaga. Dengan kata lain, kerjakanlah hal tersebut karena Allah ﷻ. Janganlah kalian melakukannya agar dilihat oleh orang lain, tetapi ikhlaslah karena Allah ﷻ.
Sisa keuntungan yang halal dari Allah meskipun sedikit nilainya,
adalah lebih baik bagimu dari pada keuntungan banyak yang diperoleh
dengan cara menipu dan berbuat curang, jika kamu betul-betul orang
yang beriman kepada Allah dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Dan aku bukanlah seorang penjaga atau saksi atas dirimu,
aku hanyalah seorang rasul. Setelah Nabi Syuaib memberi peringatan kepada kaumnya, lalu
mereka berkata, dengan nada mengejek, sombong, dan angkuh, Wahai
Syuaib! Apakah agamamu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa
yang disembah nenek moyang kami yaitu berhala, atau engkau melarang
kami mengelola harta kami menurut cara yang kami kehendaki seperti cara
membelanjakan dan cara memperolehnya yang engkau nilai sebagai
kecurangan' Mereka memperolok dan menyindir Nabi Syuaib dengan
perkataan, Sesungguhnya engkau benar-benar orang yang sangat penyantun
dan pandai menasihati seperti itu kepada kami. Perkataan ini mereka
ucapkan untuk mengejek Nabi Syuaib.
Pada ayat ini, Nabi Syuaib a.s. memberikan penjelasan kepada kaumnya bahwa keuntungan yang halal yang mereka peroleh setelah menyempurnakan takaran dan timbangan, adalah lebih baik dari keuntungan yang haram yang mereka peroleh dengan cara mengurangi takaran dan timbangan, jika mereka beriman. Karena iman itu benar-benar dapat membersihkan jiwa dari keserakahan dan ketamakan, dan mengisinya dengan sifat pemurah. Tetapi jika mereka tidak beriman, tentu tidak akan dapat merasakan sama sekali. Selanjutnya Nabi Syuaib a.s. menjelaskan kepada kaumnya, bahwa ia bukanlah orang yang ditugaskan memelihara atau menjaga mereka dari berbuat kejahatan-kejahatan. Dia hanya sekadar menyampaikan nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk kepada mereka. Tugas itu sudah dilaksanakannya dengan sungguh-sungguh dan disertai dengan peringatan-peringatan tentang azab Allah kepada orang-orang yang tetap membangkang.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
NABI SYUAIB DI NEGERI MADYAN
Ayat 84
“Dan kepada Madyan," Kami utus pula, “Saudara mereka Syu'aib."
Menurut keterangan ahli-ahli tafsir, negeri atau kaum Madyan itu berdiam di sebuah daerah yang terletak di antara negeri Hejaz dan negeri Syam, di dalam Jazirah Arab. Se-bagaimana tugas yang dibawa oleh nabi-nabi yang lain juga, tidaklah berubah apa yang diserukan oleh Nabi Syu'aib, yaitu ajaran tauhid, ajaran kembali kepada kepercayaan terhadap Allah Yang Maha Esa. Sebab itu, “Dia berkata, ‘Wahai, kaumku! Sembahlah olehmu akan Allah, tidak ada bagimu Allah selain Dia!" Lalu diteruskannya pula, “Dan janganlah kamu kurangi sukatan dan timbangan."
Di sinilah kita bertemu rahasia kesatuan ajaran Islam. Yang menjadi pokok pegangan pertama bagi seorang Muslim, menurut ajaran yang dibawa oleh sekalian rasul, ialah percaya kepada Allah ﷻ sebagai penguasa tertinggi dalam alam ini. Dia hanya satu, tiada bersekutu yang lain dengan Dia. Lantaran Dia Pencipta alam, Dia pulalah yang mengaturnya, yaitu supaya segala makhluk Allah di permukaan bumi ini hidup dalam rukun dan damai, jangan ada aniaya dan kebohongan, pemalsuan dan penipuan. Oleh sebab itu, hendaklah pula dia berlaku jujur dalam ekonomi, jangan menganiaya hak orang lain, jangan mengurangi sukatan, gantang, atau timbangan.
Untuk merasakan hubungan kepercayaan kepada Allah dengan kejujuran dengan sesama manusia ini, bolehlah kita perhatikan surah ar-Rahmaan ayat 7, diterangkan bahwasanya langit diangkatkan oleh Allah, lalu Allah pun meletakkan mizan, yaitu timbangan yang sama berat pada alam ini, pada langit dan segala cakrawala, supaya kamu manusia jangan berlaku curang pada timbangan (ayat 8) dan hendaklah mendirikan pertimbangan itu dengan adil dan jangan merugikan orang lain (ayat 9), karena bumi ini dihamparkan oleh Allah ialah tempat berdiamnya manusia (ayat 10).
Itulah inti sari peringatan Nabi Syu'aib kepada kaumnya, orang Madyan, yaitu supaya membulatkan aqidah kepada Allah Yang Maha Esa dan berlaku jujur dengan sesama manusia."Sesungguhnya, aku lihat keadaan kamu adalah baik." Artinya, aku melihat keadaan hidup kamu baik, ekonomi baik, perniagaan berjalan lancar, pertanian berhasil baik, hidup kalian senang karena berkah yang diberikan Allah. Lantaran itu, tidaklah layak kamu berlaku
curang dalam perniagaan, dalam sukatan dan timbangan,
“Sesungguhnya, aku takut (akan menimpa) atas kamu adzab pada hari yang meliputi."
Di dalam kata-kata Syu'aib ini telah dapat kita lihat bahwa perekonomian kaumnya dalam keadaan baik, tanah subur, hasil menyenangkan dan sebab itu kekayaan pun berlimpah-limpah. Tetapi sebagai gejala dan hawa nafsu manusia, apabila satu kali kemewahan itu telah memengaruhi diri, orang bisa saja berlaku curang. Orang akan mencari keuntungan untuk dirinya serdiri dengan merugikan orang lain. Padahal kejujuran adalah modal yang kekal dan tahan lama, sedangkan kecurangan adalah kekayaan sementara yang tidak lama kemudian akan menimbulkan kegelisahan dalam masyarakat karena orang tidak percaya-memercayai lagi. Sebab itu, adil dan makmur menjadi hilang.
Dalam seruannya ini, Nabi Syu'aib telah memberi peringatan agar kaumnya kembali kepada pangkal dan pokok pendirian, yaitu sadar kembali kepada Allah, tunduk akan perintah-Nya, dan jangan mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Sebab kalau Allah telah didurhakai, hawa nafsu sendiri yang terkemuka sehingga kebenaran dilangkahi, adzab siksa mesti datang, yaitu adzab yang meliputi. Bukan orang-orang yang curang saja yang akan kena; orang yang jujur pun akan turut teraniaya. Itulah yang dinamai kesengsaraan yang merata. Yang meliputi.
Di sini tampak bahwa undang-undang buatan manusia saja tidaklah mencukupi sebab manusia bisa saja mencari berbagai dalih untuk melanggarnya. Bahkan pembuat undang-undang itu sendiri tidaklah ada yang akan menuntutnya kalau dia sendiri yang melanggarnya. Itulah sebabnya, hati wajib ditundukkan terlebih dahulu kepada Allah.
Ayat 85
“Dan wahai kaumku! Sempurnakanlah sukaran dan timbangan dengan adil."
Dengan memulai ucapan dengan “wahai kaumkul" jelaslah rasa cinta dan kasih sayang karena kaumnya itu bukan orang lain baginya, mereka adalah saudara kandungnya. Diserukannya supaya membuat sukatan dan timbangan dengan adil, yaitu menurut ukuran yang telah ditentukan bersama, menurut ‘uruf (kebiasaan) yang telah diputuskan oleh masyarakat. Misalnya satu sukat ialah empat gantang, satu gantang sekian genggam, dan seterusnya. Hendaklah diukurkan sukat dan timbangan itu .dengan adil, yaitu menurut apa yang telah diputuskan bersama."Dan jangan kamu rugikan dan manusia barang-barang mereka" Yaitu untuk menguatkan keadilan tadi, janganlah berbeda sukat dan gantang pembeli dengan sukar dan gantang penjual. Misalnya untuk pembeli disediakan sukat yang lebih besar, sedangkan untuk penjual disediakan sukat yang kecil isiannya. Dengan demikian, si pembeli dan si penjual sama-sama dirugikan, untuk keuntungan diri sendiri. Inilah pula yang ditegaskan di dalam surah al-Muthaffifin ayat 1 sampai ayat 3. Neraka Wailun bagi orang-orang curang, yang apabila dia meminta orang lain menimbang, dia merugikan orang lain. Tidakkah mereka percaya bahwa mereka kelak akan dibangkitkan? Yang demikian itu namanya merugikan barang-barang orang lain. Merugikan timbangan, merugikan katian, gantangan, dan sebagainya. Sampai kepada meter dan yard dan seumpamanya,
“Dan jangan kamu bertindak di bumi dalam keadaan merusak."
Membuat sukatan dan timbangan seperti demikian karena hendak mendapat keuntungan cepat adalah merusak ekonomi itu sendiri. Kejujuran tidak tampak lagi, melainkan kecuranganlah yang memengaruhi masyarakat. Saudagar adalah penghubung di antara si penghasil dengan si pemakai. Pekerjaan saudagar adalah pekerjaan yang amat berfaedah bagi si penghasil dan si pemakai. Itu sebabnya, Rasulullah ﷺ pernah bersabda,
“Saudagar yang jujur duduk bersama-sama dalam majelis orang yang mati syahid di hari Kiamat."
Alangkah pentingnya kedudukan saudagar dalam masyarakat yang demikian tamak, kedua belah pihak—si penghasil dan si pemakai—sama-sama teraniaya.
Apabila jembatan penghubung ini yang telah rusak, seluruh masyarakat pun kehilangan kepercayaan dan yang lemah menjadi teraniaya. Lama-lama kepercayaan orang kepada si saudagar itu pun akan hilang pula. Nilai-nilai kemuliaan budi menjadi hilang, jiwa menjadi kasar.
Ada pepatah Melayu yang terkenal “jangan menangguk di air keruh". Lalu seorang saudagar yang ingin lekas kaya menjawab, “Kalau air tidak keruh, tentu kita tidak dapat menangguk ikan selama-lamanya." Padahal dalam hukum ekonomi yang sejati, tidaklah ada orang yang ingin selalu keruh, orang ingin yang keruh itu supaya lekas jernih. Maka si penangguk di air keruh itu pun lama-lama kehilangan kepercayaan, kehilangan pasaran. Sebab tidak berani dia mencari air yang jernih. Karena telah biasa dalam yang keruh saja. Akhirnya dia pun terpaksa gulung tikar.
Ujung ayat telah menjelaskan bahwa orang-orang mencurangkan sukatan dan timbangan itu adalah orang yang merusak di muka bumi. Mereka merusak ekonomi. Rusak ekonomi berpangkal dari jiwa yang rusak. Maka seluruh hubungan masyarakat akan menjadi rusak, kepercayaan di antara satu dengan yang lain akan habis. Satu dosa akan diikuti oleh dosa yang lain. Inilah yang dinamai di zaman sekarang dengan masyarakat yang korup.
Masyarakat yang korup, masyarakat yang ditegakkan tfi atas kecurangan menimbulkan
kekayaan dan mencari keuntungan pribadi karena mementingkan diri sendiri. Maka orang yang miskin dan teraniaya akan mengeluh dan mendendam. Segolongan kecil manusia hidup senang dengan mengisap darah golongan yang terbesar. Itulah yang diisyaratkan di ujung ayat tentang “kerusakan di muka bumi", yang disebut Nabi Syu'aib dalam ukuran masyarakat zaman kuno yang berurat pada pertanian dan peternakan, yang dapat kita kiaskan kepada masyarakat modern sekarang ini.
Menurut sebuah riwayat dari Ibnu Jarir dan Abusy Syaikh serta Ibnu Abbas bahwa Ibnu Abbas menafsirkan bunyi ayat “sesungguhnya, aku lihat keadaan kamu adalah baik", tafsirnya ialah harga barang-barang keperluan sehari-hari murah dan bisa dibeli. Dan bunyi ayat “aku takut (akan menimpa) kepada kamu adzab pada hari yang meliputi", beliau tafsirkan bahwa harga barang-barang keperluan sehari-hari membubung tinggi.
Maka di dalam ayat yang menceritakan kisah Nabi Syu'aib ini dan menilik tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas itu, tampaklah beliau membayangkan suatu ilmu ekonomi bahwa kenaikan harga sehingga tidak terken-dalikan lagi, banyak sangkut pautnya dengan kecurangan sukatan dan timbangan. Di dalam ilmu ekonomi modern pun kata-kata itu dapat disimpulkan dalam spekulasi dan manipulasi atau menimbun barang keperluan sehari-hari yang vital, sehingga orang banyak menderita.
Ayat selanjutnya melukiskan sambungan perkataan Nabi Syu'aib kepada kaumnya,
Ayat 86
“Sisa rezeki dari Allah-lah yang paling baik untuk kamu."
“Sisa rezeki dari Allah" lebih tepat lagi jika disebut dengan kata lain ‘iaba asli dari Allah", yaitu laba keuntungan yang didapat dengan jalan halal, tidak merugikan orang lain walaupun datangnya tidak membanjir laksana “rezeki harimau". Biar sedikit demi sedikit tetapi tetap. Yang begitu lebih halal, lebih nyaman daripada membanjir datangnya, tetapi tidak dengan jalan yang halal. Dan ini hanya dapat dirasakan oleh orang yang beriman kepada Allah saja. Itulah yang dijelaskan pada lanjutan ayat, “Jika kamu orang-orang yang beriman" Sebab dengan iman itu kita selalu merasa ada hubungan baik dengan Allah. Dan karena ada hubungan baik dengan Allah itu, tidak dapat tidak mesti menimbulkan pula hubungan yang baik dengan sesama manusia. Aku tidak dapat hidup sendirian di atas permukaan bumi ini. Apalah artinya hidupku ini kalau aku mendapat keuntungan besar dengan merugikan orang lain. Padahal kalau semua orang mati, tinggal aku sendiri yang hidup, tidaklah aku dapat melanjutkan hidup ini sendirian,
“Sisa rezeki dari Allah," yaitu keuntungan kecil, tetapi tetap, yang membuat hati jadi tenteram, menyebabkan jiwa berkembang, hati terbuka, dan hubungan cinta sesama manusia menjadi murni sehingga keuntungan itu pun menimbulkan siiaturahim dengan orang lain, lalu beramal yang saleh. Maka tinggallah bekas yang baik dalam dunia dan pahala yang besar di akhirat.
Ibnu Abbas menafsirkan, “Sisa yang baik dari Allah itu ialah rezeki yang halal,"
Muhajid menafsirkannya, “Taat kepada Allah berarti rezeki yang halal itu dengan sendirinya menuntut kepada taat akan Allah."
Ar-Rabi menafsirkannya, “Wasiat dan Allah berarti saudagar yang demikian selalu di bawah perlindungan Allah."
Al-Farra menafsirkan, “Selalu mendekati Allah."
Qatadah menafsirkan, “Selalu mendapat kejayaan (success) dari Allah."
Di akhir ayat menyambunglah Nabi Syu'aib.
“Dan aku ini bukanlah sebagai penjaga bagi kamu."
Artinya, perkataan yang bunyinya agak pahit ini wajib aku sampaikan karena aku ini adalah saudara kamu. Kalau kamu teruskan juga kecurangan ini, bahaya mesti datang. Ke-kacauan, huru-hara, hasad dengki, perebutan pengaruh di antara kaya sama kaya dan dendam si miskin kepada si kaya, dan kutuk Allah terus-menerus. Dan kalau itu terjadi, tidaklah ada padaku daya upaya dan kekuatan untuk membela kamu, untuk memelihara kamu dan tidaklah ada tenagaku untuk membendung bahaya itu.
Menilik susun kata Nabi Syu'aib dalam ayat ini, yang selalu dimulainya dengan kalimat “wahai kaumku", tampaklah terlontar rasa cinta kasih seorang saudara kepada saudaranya. Kata yang timbul dari perasaan yang halus sehingga Nabi Syu'aib disebut oleh Nabi kita Muhammad ﷺ"khathibul ambiya"—ahli pidato di antara nabi-nabi.
Seruan yang timbul dari cinta kasih disambut oleh kaumnya dengan dingin.
Ayat 87
“Mereka beikata, ‘Hai Syu'aib! Apakah shalatmu itu yang telah menyuruhmu supaya kami meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyang kami?'"
Pertanyaan ini penuh dengan perasaan cemooh ataupun kebencian. Mereka melihat Nabi Syu'aib mengerjakan shalat dengan caranya sendiri, menyembah Allah Yang Maha Esa, berbeda sangat dengan shalat mereka pemuja-pemuja berhala dan benda-benda yang lain. Karena selalu melakukan shalat sendiri itu, kaumnya melihat bahwa Nabi Syu'aib dari sehari ke sehari berubah. Dia bertambah lama bertambah jauh dari mereka. Dia bertambah benci kepada cara mereka shalat menyembah berhala. Sebab itu, sekarang mereka bertanya, apakah lantaran shalat itu, dia telah berani mencela perbuatan ibadah mereka selama ini? “Atau," shalat engkau itu jugakah yang mendorong engkau untuk melarang kami, “bahwa kami berbuat pada harta benda kami menurut apa yang kami kehendaki1" Artinya, karena engkau terlalu taat shalat menurut caramu itu, selain dari engkau telah berani menyuruh kami meninggalkan ibadah ajaran nenek moyang, engkau pun telah berani mencampuri urusan, pribadi kami, padahal kami merdeka dan bebas berbuat apa yang hendak kami perbuat terhadap harta benda kami sendiri. Padahal selama ini engkau kami kenal seorang yang baik,
“Sesungguhnya, engkau, adalah seorang yang sangat lapang dada dan bijaksana."
Di ujung ayat ini kita dapatilah penghargaan kaumnya kepadanya selama ini bahwa dia seorang baik, penyabar, lapang dada, bijaksana, dan pandai tenggang-menenggang. Serupa juga dengan pengakuan kaum Quraisy kepada Nabi Muhammad ﷺ sebelum beliau menyatakan berhala. Pada masa sebelum menyatakan kerasulan itu, kaum Quraisy memberi gelar kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan al-Amin, orang yang sangat dapat dipercaya. Tetapi setelah beliau menegaskan perintah dan larangan Allah, mereka musuhi dia.
Kita mendapat pelajaran yang dalam daripada sindiran kaum Nabi Syu'aib kepada beliau dalam susunan ayat ini.
Pertama, rupanya lama sebelum beliau menyampaikan risalah perintah Allah itu, beliau telah memperkuat jiwa dengan shalat dengan caranya sendiri, berbeda dengan shalat mereka. Sehingga bermula saja seruannya disampaikan kepada mereka, shalat yang ganjil itulah yang menjadi perhatian mereka lebih dahulu.
Kedua, memang di dalam kisah Nabi Syu'aib ini kita telah mendapat kesan bahwasanya untuk memperkuat jiwa menghadapi tugas yang berat, alat pertama dan utama ialah shalat.
Pada surah al-Baqarah ayat 45 dan 153 pun telah dijelaskhn bahwa jalan untuk meminta pertolongan bagi penguatkan diri ialah sabar dan shalat. jiwa menjadi kuat lantaran shalat dan diri jadi berani menghadapi segala kemungkinan.Sehingga walaupun tegaksendiri di hadapan masyarakat yang bertentangan, laksana menyongsong air sungai yang telah mengalir, orang tidak bimbang. Syu'aib telah mengangkat tangannya, menyuruh kaumnya menyetop, menyuruh kaumnya berhenti menyembah berhala. Syu'aib telah berani mencela kecurangan kaumnya berjual beli.
Ketiga, konsekuensi dari sikap ketaatan kepada Allah yang menimbulkan keberanian melakukan amar ma'ruf, nahi munkar itu ialah cemooh; bahkan shalat itu sendiri pun dicemoohkan.
Ini pun akan kita rasakan sampai sekarang walaupun jarak kita dengan zaman Nabi Syu'aib telah berabad-abad lamanya, demikian juga jarak kita dengan Nabi kita Muhammad ﷺ. Apabila seseorang yang taat beragama, tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu, yang lantaran yakinnya akan kebenaran agama, berani menegur jahiliyyah modern sekarang ini, dia akan dituduh hipokrit! Pura-pura alim atau dituduh terlalu ekstrim, bahkan menjadi tertawaan umum! Bahkan bisa dicap berbahaya bagi keamanan umum sebab mereka merasa tidak aman dengan sebab tajam lidah orang-orang yang ingin menegakkan amar ma'ruf, nahi munkar itu.
Nabi Syu'aib telah diakui oleh kaumnya sebagai seorang yang lapang dada, pemaaf, dan amat bijaksana karena memang begitulah watak beliau selama ini. Tetapi sebagai seorang utusan Allah dia wajib menyampaikan kata kebenaran walaupun pahit diterimanya. Niscaya karena pahitnya kata-kata yang beliau sampaikan itu kaumnya marah. Mungkin pengakuan itu mereka cabut. Inilah akibat (konsekuensi) dari orang yang ingin tampil ke muka memimpin umat kepada jalan yang benar. Dia tidak boleh berdiam diri hanya karena mempertahankan pujian yang diterimanya selama ini. Dia wajib meneruskan tugasnya walaupun dia akan dimarahi.
Pujian mereka kepada Syu'aib, mengatakannya sebagai seorang yang berlapang dada, pemaaf, dan bijaksana, bisa juga dikatakan sebagai suatu pujian yang benci tipuan. Moga-moga karena dipuji itu dia tidak lagi bersikap keras mencela perbuatan mereka. Kalau dia sudah dikatakan lapang dada dan bijaksana, moga-moga akan dimaafkannya saja segala kesalahan mereka dan kalau dia hendak mencegah sesuatu agar dilakukannya dengan le-mah lembut dan tenggang-menenggang. Dengan demikian, niscaya orang tidak akan benci kepadanya. Kalau orang sudah benci, tentu dia akan terpencil dan itu bukanlah bijaksana.
Soal-jawab atau dialog Nabi Syu'aib dengan kaumnya ini menjadi pengajaran yang penting bagi setiap orang yang ingin membimbing kaumnya kepada jalan yang diyakini kebenarannya. Kalau hendak menjaga kepopuleran terus, berdiam dirilah dan jangan di-turuti kata hati sanubari, tutup mulut, dan tu-rutkan saja ke mana angin yang keras. Dengan demikian, kepemimpinan tidak ada lagi.
Dengan pikiran yang tenang Nabi Syu'aib melanjutkan lagi seruan beliau,
Ayat 88
“Dia berkata, ‘Wahai, kaumku! Bagaimana pendapatmu jika aku ada dalam penjelasan dari Allahku?'"
Artinya, bagaimana pendapatmu, bagaimana sikapmu kelak kalau apa yang aku sampaikan kepadamu itu memang perintah suci dari Allah yang cukup alasannya, jelas kebenarannya, diterima oleh akal yang sehat? “Dan diheri-Nya aku rezeki dengan rezeki yang baik?" Bahwasanya Nabi Syu'aib bukanlah semata-mata menyerukan kepada mereka supaya me-reka hidup dengan jujur, bahkan dia sendiri terlebih dahulu telah mengatur hidupnya dengan jujur, tidak mencari keuntungan untuk diri sendiri dengan merugikan orang lain, tidak berlaku curang pada sukatan dan timbangan. Namun demikian, hidupnya tenteram dan selalu juga mendapat rezeki yang halal dari Allah. Oleh sebab itu, dia sendiri telah membuktikan dalam hidupnya bahwa hidup jujur tidaklah mengurangi rezeki. Bahkan walaupun sedikit rezeki yang didapat dengan jujur, rezeki itu diserati dengan berkat dari Allah. Ini jauh lebih tenteram bagi jiwa daripada rezeki berlimpah-limpah, tetapi didapat dengan jalan curang dan tipu. Malahan dengan tegas Nabi Syu'aib menyatakan disiplin atas dirinya sendiri dengan lanjutan katanya, “Dan tidaklah aku mau menyalahi kamu pada perkara yang aku larang kamu darinya" Tidaklah aku mau melanggar pada diriku sendiri perkataan yang telah aku nasihatkan kepada kamu sehingga kamu akan terheran-heran melihat aku yang dengan suara lantang melarang orang lain, padahal aku sendiri mengerjakannya. Karena, “Tidak ada keinginanku kecuali perbaikan belaka, sekadar kesanggupanku." Karena keinginanku ini hanya satu, yaitu perbaikan, perbaikan budimu sebagai kaumku, perbaikan ekonomimu yang curang supaya jujur, keinginan agar masyarakat kamu aman dan tenteram mendapat rezeki yang halal, “Dan tidak ada taufikku kecuali dengan (bantuan) Allah" jaya atau tidak maksudku membawa perbaikan ini, menang atau gagal, bukanlah urusanku. Semuanya bergantung kepada kehendak Allah, “Kepada-Nya aku bertawakal." Aku serahkanlah sebulat-bulatnya kepada Allah tentang hasil usahaku ini,
“Dan kepada-Nyalah aku akan kembali."
Dengan ucapan seperti ini, wahyu Ilahi kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan perantaraan kisah kepada Nabi Syu'aib, Allah telah memberikan tuntunan kepada setiap orang yang ingin melanjutkan waris nabi-nabi, melakukan dakwah, amar ma'ruf, nahi munkar, menyeru umat kepada jalan yang benar. Kerjakanlah perintah Allah, teruskanlah berdakwah, jangan berhenti di tengah jalan, dan jangan putus asa. Jangan pula karena melihat masih jauhnya jalan yang hendak dilalui, timbullah pertanyaan yang menunjukkan kepatahan hati, “Bilakah lagi akan menang?"
Wa maa taufiqi ilia billah ‘tidak ada taufik atau kejayaan yang aku harapkan kecuali dari Allah'. Itulah pegangan yang ditinggalkan Nabi Syu'aib, Jangan bertanya kapan Allah akan memberikan kemenangan, melainkan tanyalah diri sendiri, sudahkah perintah Allah dilaksanakan? Yaitu melakukan dakwah?
Seruan yang disampaikan oleh Nabi Syu'aib, yang tidak mau berhenti walaupun betapa besar rintangan dan penolakan kaumnya kian lama kian menimbulkan permusuhan dalam sikap kaumnya kepada diri beliau. Lalu beliau lanjutkan seruannya,
Ayat 89
“Dan wahai kaumku! Janganlah (kinanya) sikap penmusuhan kamu kepadaku, akan menyebabkan menimpa kepada kamu sebagaimana yang telah pennah menimpa kaum Nuh, atau kaum Hud, atau kaum Shalih."
Perkataan seperti ini benar-benar menunjukkan betapa cintanya Nabi Syu'aib kepada kaumnya. Dia serukan dengan hati yang putih bersih, penuh kasih cinta kepada seluruh kaumnya, agar dia jangan dimusuhi karena seruannya itu. Dia menyampaikan itu, tidak lain untuk kemuslihatan mereka sendiri. Jangan dia dimusuhi lantaran itu. Karena kalau dia dimusuhi, sebagaimana kaum Nuh memusuhi Nuh, orang ‘Ad memusuhi Hud, orang Tsamud memusuhi Shalih, mereka akan celaka. Sebab dia adalah Rasulullah dan yang dia sampaikan, lain tidak, adalah perintah Allah. Ingatlah kepada kaum-kaum yang telah musnah itu. Mereka semuanya telah tahu itu. Bukankah yang mereka dapati sekarang ini hanya runtuhan dari kaum yang telah musnah?
“Dan tidaklah kaum Luth jauh dari kamu."
Tempat kejadian kaum Luth penduduk negeri Sadum dan Gamurrah tidaklah berapa jauh dari negeri orang Madyan, yaitu sama-sama terletak di antara negeri Hejaz dan Syam, sebelah utara Jazirah Arab. Zamannya pun belum berapa lama antaranya, artinya masih belum hilang dari ingatan karena belum lama.
Kemudian itu, dengan rasa cinta kasih pula Nabi Syu'aib melanjutkan seruannya,
Ayat 90
“Dan mohonlah ampun kepada Allah kamu."
Mohonlah ampun atas kesalahanmu selama ini, terutama mencari kekayaan hendak bergegas lalu tidak diperbedakan lagi di antara yang halal dan yang haram. Asal mendapat keuntungan, biar merugikan orang lain dan mengacaukan masyarakat. Karena setiap golongan yang mencari rezeki dengan mengacaukan kebenaran, mencurangkan sukat dan timbangan, semuanya itu adalah pokok pangkal putusnya silaturahim, menimbullah dendam dan dengki di hati orang yang teraniaya. Orang yang mengeruk kekayaan itu bisa saja gembira sementara waktu, namun lama-lama jiwanya sendiri akan merosot turun karena kegelisahan dan karena melihat sinar kebencian yang memancar dari mata orang-orang sekelilingnya. Oleh sebab itu, Nabi Syu'aib menyerukan kaumnya, minta ampunlah kepada Allah atas dosa-dosa sebanyak itu dan tegakkanlah kembali kejujuran."Kemudian tobatlah kepada-Nya'.' Meminta ampun ialah atas dosa kepada sesama manusia dan kepada diri sendiri. Adapun memohon tobat adalah kepada Allah secara langsung. Karena satu dosa menganiaya orang lain, menganiaya sesama manusia tidaklah akan timbul kalau kepercayaan kepada Allah masih tegak. Orang berani berbuat jahat sebab dia tidak percaya bahwa Allah selalu melihatnya. Tobat ialah dengan kembali insaf dan sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah. Lalu pusatkanlah aqidah dan ibadah kepada-Nya. Ingat bahwa segala rezeki ini adalah anugerah-Nya. Ingatlah bahwa sekalian makhluk ini dan perhatian yang khusus kepada manusia, semuanya ialah sesama makhluk Allah, Bersama-sama kita manusia, anak-cucu Nabi Adam, diserahi Allah hidup bersama dalam dunia ini. Carilah kekayaan dengan jujur, tolonglah orang yang melarat. Dan ingat pula bahwasanya sekalian rezeki yang telah dianugerahkan Allah itu, sekali waktu bisa saja dicabut-Nya. Karena dari Dia semua datang dan kepada-Nya semua akan kembali. Apabila benar-benar telah meminta ampun dari kesalahan kepada manusia dan diri sendiri, dan benar-benar memohon ampun kepada Allah, niscaya Allah akan membukakan pintu rezeki dengan wajar, dan Allah akan menuntun selalu bagi keselamatan dunia dan akhirat,
“Sesungguhnya, Tuhanku adalah Amat Penyayang, lagi Pencinta."
(ujung ayat 90)