Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَئِنۡ
dan sesungguhnya jika
أَخَّرۡنَا
Kami undurkan
عَنۡهُمُ
dari mereka
ٱلۡعَذَابَ
azab
إِلَىٰٓ
kepada
أُمَّةٖ
umat/waktu
مَّعۡدُودَةٖ
tertentu
لَّيَقُولُنَّ
niscaya mereka akan berkata
مَا
apa
يَحۡبِسُهُۥٓۗ
menghalanginya
أَلَا
ingatlah
يَوۡمَ
di hari/di waktu
يَأۡتِيهِمۡ
datang kepada mereka
لَيۡسَ
tidak
مَصۡرُوفًا
dipalingkan/dihindarkan
عَنۡهُمۡ
dari mereka
وَحَاقَ
dan meliputi
بِهِم
dengan mereka
مَّا
apa
كَانُواْ
mereka adalah
بِهِۦ
dengannya
يَسۡتَهۡزِءُونَ
mereka memperolok-olok
وَلَئِنۡ
dan sesungguhnya jika
أَخَّرۡنَا
Kami undurkan
عَنۡهُمُ
dari mereka
ٱلۡعَذَابَ
azab
إِلَىٰٓ
kepada
أُمَّةٖ
umat/waktu
مَّعۡدُودَةٖ
tertentu
لَّيَقُولُنَّ
niscaya mereka akan berkata
مَا
apa
يَحۡبِسُهُۥٓۗ
menghalanginya
أَلَا
ingatlah
يَوۡمَ
di hari/di waktu
يَأۡتِيهِمۡ
datang kepada mereka
لَيۡسَ
tidak
مَصۡرُوفًا
dipalingkan/dihindarkan
عَنۡهُمۡ
dari mereka
وَحَاقَ
dan meliputi
بِهِم
dengan mereka
مَّا
apa
كَانُواْ
mereka adalah
بِهِۦ
dengannya
يَسۡتَهۡزِءُونَ
mereka memperolok-olok
Terjemahan
Sungguh, jika Kami tangguhkan azab dari mereka sampai waktu tertentu, niscaya mereka akan berkata, “Apakah yang menghalanginya?” Ketahuilah, ketika datang kepada mereka, azab itu tidaklah dapat dipalingkan dari mereka. Mereka dikepung oleh (azab) yang dahulu mereka selalu memperolok-olokkannya.
Tafsir
(Dan sesungguhnya jika Kami undurkan azab dari mereka sampai pada) datangnya (suatu waktu) beberapa waktu (yang ditentukan, niscaya mereka akan berkata) yang dimaksud dari keterangan ini adalah cemoohan ("Apakah yang menghalanginya?") apakah gerangan yang mencegah turunnya azab. Sebagai sanggahannya Allah berfirman: (Ingatlah, di waktu azab itu datang kepada mereka tidaklah dapat dipalingkan) tidak dapat ditahan lagi (dari mereka dan mereka diliputi) dikepung (oleh azab yang dahulunya mereka selalu memperolok-olokkannya) yang dimaksud adalah mereka memperolok-olokkan azab itu sebelumnya.
Tafsir Surat Hud: 7-8
Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah), "Sesungguhnya kalian akan dibangkitkan sesudah mati,” niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata, "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.”
Dan sesungguhnya jika Kami undurkan azab dari mereka sampai kepada suatu waktu yang ditentukan, niscaya mereka akan berkata, "Apakah yang menghalanginya?” Ingatlah, di waktu azab itu datang kepada mereka tidaklah dapat dipalingkan dari mereka dan mereka diliputi oleh azab yang dahulunya mereka selalu mengolok-oloknya.
Ayat 7
Allah ﷻ menceritakan tentang kekuasaan-Nya atas segala sesuatu, bahwa Dialah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa), dan bahwa 'Arasy-Nya sebelum itu berada di atas air.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Jami ibnu Syaddad, dari Safwan ibnu Muharriz, dari Imran ibnu Husain yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, "Terimalah kabar gembira, hai Bani Tamim!" Mereka berkata, "Engkau telah menyampaikan berita gembira kepada kami, maka berilah kami." Nabi ﷺ bersabda, "Terimalah kabar gembira ini, hai penduduk negeri Yaman!" Mereka menjawab, "Kami terima, maka ceritakanlah kepada kami tentang permulaan dari kejadian ini. Bagaimanakah prosesnya?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah telah ada sebelum segala sesuatu terjadi, dan 'Arasy-Nya berada di atas air, lalu Dia mencatat di dalam Lauh Mahfuz ketetapan segala sesuatu.” Imran ibnu Husain berkata, "Lalu aku kedatangan seseorang yang mengatakan kepadaku, 'Hai Imran, unta kendaraanmu telah lepas dari tambatannya.’ Lalu aku pergi mengejarnya sehingga aku tidak mengetahui hadits selanjutnya."
Hadits ini diketengahkan di dalam dua kitab Sahih, yaitu Sahih Bukhari dan Sahih Muslim dengan teks yang cukup banyak, antara lain seperti berikut:
Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kami datang kepadamu untuk menanyakan tentang kisah kejadian ini pada awalnya." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah telah ada, dan tiada sesuatu pun sebelum-Nya.” Menurut riwayat lain disebutkan tiada sesuatu pun selain-Nya, dan menurut riwayat yang lainnya lagi disebutkan tiada sesuatu pun bersamaNya dan 'Arasy-Nya berada di atas air, lalu Allah menulis segala sesuatu di Lauh Mahfuz kemudian menciptakan langit dan bumi.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Abdullah ibnu Amr ibnul As yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan takdir-takdir semua makhluk sebelum Dia menciptakan langit dan bumi dalam jarak masa lima puluh ribu tahun, dan saat itu 'Arasy-Nya berada di atas air.”
Sehubungan dengan tafsir ayat ini Imam Bukhari mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, telah menceritakan kepada kami Abuz Zanad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Allah ﷻ berfirman, "Berinfaklah, niscaya Aku memberikan gantinya kepadamu!" Rasulullah ﷺ bersabda pula: “Tangan (kemurahan) Allah selalu penuh, tiada suatu infak pun yang dapat menguranginya; Dia selalu memberi sepanjang malam dan siang hari. Bukankah kalian lihat apa yang telah diinfakkan-Nya sejak Dia menciptakan langit dan bumi, sesungguhnya apa yang ada di tangan kanan (kemurahan)-Nya tidaklah berkurang (karenanya). Dan adalah 'Arasy-Nya berada di atas air, dan di tangan-Nya terletak mizan (neraca), Dia merendahkan dan meninggikannya.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ya'la ibnu Ata, dari Waki' ibnu Adas, dari pamannya (yaitu Abu Razin yang nama aslinya Laqit ibnu Amir ibnul Munfiq Al-Uqaili), bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum Dia menciptakan makhluk-Nya?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Dia berada di awan yang di bawahnya tidak ada udara dan di atasnya tidak ada udara (pula), kemudian sesudah itu Dia menciptakan 'Arasy.”
Hadits ini telah diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi di dalam kitab Tafsir-nya, juga oleh Ibnu Majah di dalam kitab Sunan-nya melalui hadis Yazid ibnu Harun dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan adalah 'Arasy-Nya (sebelum itu) di atas air.” (Hud: 7) Yakni sebelum Dia menciptakan sesuatu. Hal yang sama telah dikatakan oleh Wahb ibnu Munabbih, Gamrah, Qatadah, Ibnu Jarir, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan adalah 'Arasy-Nya (sebelum itu) berada di atas air.” (Hud: 7) Allah menceritakan kepada kalian bagaimana permulaan penciptaan makhluk-Nya sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan adalah 'Arasy-Nya (sebelum itu) berada di atas air.” (Hud: 7) Ketika Allah menciptakan langit dan bumi, Dia membagi air itu menjadi dua bagian; sebagian dijadikan di bawah 'Arasy, dan air itu adalah lautan yang meluap.
Ibnu Abbas mengatakan, singgasana itu disebut 'Arasy karena ketinggiannya.
Ismail ibnu Abu Khalid mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa'd At-Ta-i berkata, 'Arasy itu berupa yaqut merah.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air.” (Hud: 7) Keadaan 'Arasy-Nya adalah seperti yang digambarkan oleh Allah ﷻ sendiri, karena saat itu tiada lain kecuali air yang di atasnya terdapat 'Arasy, dan di atas 'Arasy adalah Tuhan Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan, kekuasaan dan pengaruh, Yang Memiliki dan Yang Menguasai, Yang Maha Penyantun lagi Maha Mengetahui, Yang Memiliki Rahmat dan Nikmat, serta Yang Maha Memperbuat segala yang dikehendakiNya.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Al-Minhal ibnu Amr ibnu Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai makna firman-Nya: “Dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air.” (Hud: 7) Bunyi pertanyaan adalah, "Air itu berada di atas apa?" Ibnu Abbas menjawab, "Berada di atas angin."
Firman Allah ﷻ: “Agar Dia menguji siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (Hud: 7)
Artinya, Dia menciptakan langit dan bumi agar bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya yang telah Dia ciptakan, agar mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Dan Allah tidak menciptakan hal tersebut dengan sia-sia, seperti yang disebutkan dalam ayat lainnya:
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (Shad: 27)
“Maka apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian secara main-main (saja), dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenarnya, tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) 'Arasy yang mulia.” (Al-Muminun: 115-116)
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Firman Allah ﷻ: “Agar Dia menguji siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (Hud: 7)
Maksudnya, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling banyak amalnya.
Dalam ayat ini tidak disebutkan paling banyak amalnya, melainkan paling baik amalnya. Dan tiadalah amal itu baik kecuali jika dilakukan dengan ikhlas karena Allah ﷻ dan sesuai dengan syariat (tuntunan) Nabi ﷺ. Apabila sesuatu amal kehilangan salah satu dari kedua syarat tersebut, maka amal itu batil dan gugur (tidak ada pahalanya).
Firman Allah ﷻ: “Dan jika kamu katakan (kepada penduduk Mekah), ‘Sesungguhnya kalian akan dibangkitkan sesudah mati’.” (Hud: 7), hingga akhir ayat.
Allah ﷻ berfirman bahwa jika engkau beritakan hai Muhammad kepada orang-orang musyrik itu bahwa Allah kelak akan menghidupkan kembali mereka sesudah mati, sebagaimana Dia memulai penciptaan mereka, padahal mereka mengetahui bahwa Allah ﷻ adalah Yang menciptakan langit dan bumi, seperti yang disebutkan oleh firman lainnya:
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka,’ niscaya mereka menjawab, ‘Allah’." (Az-Zukhruf: 87)
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’." (Al-'Ankabut: 61)
Sekalipun mengetahui hal tersebut, mereka ingkar kepada hari berbangkit dan hari kembali kelak di hari kiamat, padahal bila dinilai dari segi kemampuan jauh lebih mudah daripada memulai penciptaan, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya:
“Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah.” (Ar-Rum: 27)
“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kalian (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.” (Luqman: 28)
Firman Allah ﷻ: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (Hud: 7)
Yakni mereka berkata dengan nada kafir dan ingkar, "Kami tidak percaya kepadamu yang mengatakan terjadinya hari berbangkit, dan tiadalah yang menyebutkan hal tersebut kecuali orang yang telah engkau sihir, lalu ia mengikuti apa yang engkau katakan."
Ayat 8
Firman Allah ﷻ: “Dan sesungguhnya jika Kami undurkan azab dari mereka sampai kepada suatu waktu yang ditentukan.” (Hud: 8)
Allah ﷻ berfirman, "Seandainya Kami tangguhkan azab dan hukuman terhadap orang-orang musyrik itu sampai kepada suatu waktu yang ditentukan atau waktu yang telah dibatasi. Lalu Kami janjikan hal itu kepada mereka sampai kepada batas waktu yang telah ditetapkan, niscaya mereka akan mengatakan dengan nada mendustakan dan menantang ingin segera diturunkan azab itu. 'Apakah gerangan yang menyebabkan azab itu ditangguhkan dari kami’?”
Dikatakan demikian karena tabiat dan watak mereka telah terbiasa dengan dusta dan ragu, maka tiada kebiasaan mereka kecuali hanyalah berdusta dan meragukan; mereka tidak dapat melepaskan tabiatnya.
Lafaz ummah di dalam Al-Qur'an dan Sunnah digunakan untuk menunjukkan makna yang beraneka ragam. Adakalanya makna yang dimaksud ialah waktu, seperti dalam firman-Nya:
“Suatu waktu yang ditentukan.” (Hud: 8)
Juga dalam surat Yusuf, yaitu: “Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya.” (Yusuf: 45)
Adakalanya menunjukkan makna "imam yang diikuti", seperti yang terdapat di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (An-Nahl: 120)
Adakalanya dipakai untuk menunjukkan makna tuntunan dan agama, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya yang menceritakan perkataan orang-orang musyrik, bahwa mereka telah mengatakan: “Sesungguhnya kami menjumpai bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Az-Zukhruf: 23)
Adakalanya pula dipakai untuk menunjukkan makna segolongan manusia, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya).” (Al-Qashash: 23)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Tagut itu’.” (An-Nahl: 36)
Tiap-tiap umat mempunyai rasul, maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikit pun) tidak dianiaya.” (Yunus: 47) Makna "umat" dalam ayat ini ialah orang-orang yang diutus di kalangan mereka seorang rasul, baik yang mukmin maupun yang kafir, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim: “Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tiada seorang pun dari kalangan umat ini baik orang Yahudi ataupun orang Nasrani yang telah mendengarku, lalu ia tidak beriman kepadaku, melainkan masuk neraka.”
Sedangkan yang dimaksud dengan "umat pengikut" adalah orang-orang yang percaya kepada para rasul, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (Ali Imran: 110)
Di dalam hadis sahih disebutkan: Maka aku berkata, "Umatku, umatku!" Lafaz Ummah ini pun terkadang digunakan untuk menunjukkan pengertian suatu golongan atau sebagian, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman Allah ﷻ:
“Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu umat (golongan) yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan kebenaran, dan dengan kebenaran itulah mereka menjalankan keadilan.” (Al-A'raf: 159)
“Di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus.” (Ali Imran: 113), hingga akhir ayat.
Orang-orang kafir itu bahkan berani menantang agar diturunkan
siksa dengan segera, sebagaimana dijelaskan pada ayat ini. Dan sungguh,
jika Kami tangguhkan azab terhadap mereka yang mendustakan ayat-ayat
Kami sampai waktu yang ditentukan menurut kehendak Kami, niscaya
mereka yang menghendaki agar siksaan itu turun dengan segera akan
berkata, dengan nada mengejek, Apakah yang menghalanginya, yakni
siksaan itu turun sekarang' Kemudian Allah berfirman, Ketahuilah
wahai Nabi Muhammad, ketika azab itu betul-betul datang kepada
mereka dengan segera, pasti azab itu tidaklah dapat dielakkan oleh
mereka. Mereka tidak dapat menahan dan menghindar karena begitu
dahsyatnya azab itu. Mereka dikepung dari segala penjuru oleh azab yang
dahulu mereka memperolok-olokkannya. Sikap orang-orang kafir yang
tidak memercayai kebenaran Al-Qur'an dan mengingkari adanya hari
pembalasan, bahkan menantang diturunkannya azab dengan segera,
disebabkan oleh kesombongan dan keangkuhan mereka, sehingga
hatinya sulit menerima cahaya keimanan. Setelah pada ayat sebelumnya dijelaskan tentang penciptaan langit
dan bumi serta apa-apa yang ada pada keduanya, untuk menguji manusia,
apakah mensyukuri nikmat Allah atau mengingkarinya, maka pada ayat
ini Allah menerangkan tentang tabiat manusia pada umumnya. Dan
jika Kami berikan rahmat Kami ke-pada manusia berupa kesehatan, harta
kekayaan, kedudukan, keturun-an, dan rasa aman, kemudian rahmat itu
Kami cabut kembali, maka pasti-lah dia menjadi putus asa. Mereka hanya
memperlihatkan keingkaran dan tidak berterima kasih serta tidak pula
menghargai nikmat-nikmat yang masih ada pada dirinya.
Dari jawaban orang musyrik ini, jelas bahwa mereka hanyalah mengikuti adanya kehidupan di dunia saja; sedang kehidupan yang ada di akhirat, mereka dustakan. Jika Allah menunda datangnya azab yang telah diancamkan oleh Rasul-Nya kepada mereka sampai kepada waktu yang telah ditentukan, mereka mencemooh dan berkata, "Apakah gerangan yang menghalang-halangi datangnya azab itu kepada kami, jika benar azab itu akan datang."
Allah mengancam bahwa azab itu pasti datang, pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah sendiri, dan nanti bila azab itu datang, maka tidak ada yang memalingkannya, dan tidak ada seorang pun yang dapat menahan atau menolaknya. Mereka akan dikepung dari segala penjuru oleh azab, yang selalu mereka perolok-olokkan.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 6
“Dan tidak ada satu pun dari yang melata di alas bumi ini melainkan atas Allah-lah (tanggungan)nya."
Ayat ini menjelaskan bahwa yang melata di atas bumi tidak usah khawatir akan keku-rangan rezeki sebab Allah sudah menyediakannya. Kalimat dabbatin kita artikan melata, yaitu segala yang berjalan, merangkak, merayap, menjalar. Sebab itu, masuklah di dalamnya sekalian manusia, sekalian binatang berkaki empat, segala binatang yang berkaki banyak, sampai beratus-ratus kaki, demikian juga serangga, katak, burung-burung, cacing, ikan-ikan, udang, belalang, lipas, kepuyuk, kepinding, nyamuk, dan lain-lain. Semuanya itu terkumpul dalam kata dabbatin. Dan semuanya sudah ada ketentuan rezekinya oleh Allah dan sudah tersedia makanan yang akan dimakannya. Atas Allah-lah rezekinya, artinya Allah telah mewajibkan atas diri-Nya sendiri buat menyediakan rezeki itu. Dan rezeki itu diberikan dengan teratur sekali. Seluruh isi bumi ini adalah persediaan yang cukup bagi makanan seluruh makhluk yang hidup di sini.
Untuk burung-burung di hutan disediakan makanan dan buah-buah kayu yang besar dan yang kecil. Kadang-kadang, dengan tidak disadari oleh manusia, buah kayu dimakan oleh burung lalu burung itu memancarkan ciritnya di daerah lain yang kurang subur. Rupanya di dalam cirit burung itu tersimpan biji buah yang dimakannya tadi, seumpama biji jambu perawas. Maka biji yang dibawa cirit burung itu tersebar kembali ke tanah lalu dia pun tumbuh dan berkembang pula. Tanah itu jadi subur karena ada cacing yang bekerja siang malam membalik-balik tanah, menggali, yang di bawah dibawa ke atas.
Makanan untuk ikan yang hidup di dasar laut pun mendapat jaminan penuh dari Allah. Kadang-kadang seekor ikan bertelur. Telur ikan itu tidak terhitung berapa banyaknya, mungkin sampai sejuta dan lebih. Tetapi yang terus menetas jadi anak hanya sedikit sekali sebab yang selebihnya adalah untuk makanan ikan yang lain.
Ada semacam ikan kerang di laut. Dia ikan yang hidup, tetapi dia adalah kerang. Dia tidak dapat beranjak dari tempatnya sebab dia tidak memakai sirip dan ridik buat berenang. Dia berurat ke bawah. Namun makanannya tersedia juga. Dalam dirinya sendiri ditanamkan kekuatan listrik. Mana ikan lain yang mendekat kepadanya, kalau kena kontak listrik dari badannya, tidaklah dapat membebaskan diri lagi, dia terus lekat. Ikan yang lekat itulah makanannya.
Banyak sungguh keajaiban di dalam alam ini, di darat, apatah lagi di laut. Persediaan makanan yang cukup bagi seluruh makhluk. Ada pertalian hidup dan jaminan untuk hidup bagi manusia. Makanan manusia bertali dengan binatang melata. Binatang bertali dengan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan bertali lagi dengan binatang. Bumi ini penuh dengan keajaiban.
“Dan Dia mengetahui tempat menetapnya dan tempat ditumpangkannya." Artinya, Allah mengetahui di mana menetapnya dabbatin atau segala yang menjalar, melata, merangkak, dan berjalan itu. Di daratkah mereka atau di laut, di hutankah mereka atau di padang belantara. Sampai kepada tumbuh-tumbuhan, sudah ada pembagian kemungkinan tempat tumbuh dan tempat berbuahnya. Sebagaimana kita dapati iklim yang sesuai dengan tumbuhnya kurma (padang pasir) atau kelapa (udara agak panas). Di mana tumbuhnya durian dan di mana buah apel. Di mana tumbuh rambutan dan di mana buah anggur.
Khusus bagi manusia, Allah mengetahui di mana tempat menetap mereka. Untuk me-resapkan bunyi ayat ini, ingatlah kembali pencatatan nama dan alamat (address) tempat tinggal, sebagaimana terdapat dalam kartu penduduk yang diatur oleh penguasa setempat, supaya anak buah di tempat itu jangan sampai berkacau pembagian catu (distribusi) makanannya. Entah di benua yang mana kita tinggal, entah di Eropa ataupun di Asia, di kota mana, di kampung mana, di jalan mana, atau di lorong mana. Semuanya itu bernama mustaqar, yang berarti tempat menetap, address tetap. Untuk semuanya, Allah telah menyediakan rezeki. Dan telah ada pula pada Allah catatan tempat dia akan ditumpangkan. Artinya, di bumi mana kelak dirinya akan dikuburkan. Disebut di dalam bahasa Al-Qur'an, mustauda', artinya tempat ditumpangkan sementara, itulah dia kuburan. Kubur disebut tempat penumpangan sementara karena jika datang waktunya kelak, di hari Kiamat, manusia akan disentakkan dari alam kuburnya itu untuk menghadapi Hari Perhitungan (Yaumal Hisab).
“Semuanya itu (telah ada) di dalam kitab yang nyata."
Pembagian rezeki, tempat lahir dan tempat tinggal, dan kemudiannya kuburan buat berhenti istirahat sementara, sudah ada kitabnya, artinya sudah ada catatannya di sisi Allah Ta'aala. Administrasi Allah sangat lengkap, untuk menjadi suri teladan bagi manusia sebagai khalifatullah di muka bumi ini, supaya mereka pun meniru dan mendekati peraturan Allah di dalam mengatur administrasinya sendiri.
Keberesan jaminan Allah dan teratur catatan itu disebutkan Allah juga dalam ayat-ayat yang lain. Di dalam surah al-An'aam ayat 38, Allah berfirman bahwa tidak ada satu pun yang merayap di muka bumi dan tidak pula burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan semuanya itu umat-umat seperti kamu juga, dan tidak ada yang dilalaikan oleh Allah, semuanya telah tertulis dalam satu kitab. Dan semuanya itu kelak pun akan dikumpulkan ke hadapan Allah.
Di dalam surah al-An'aam juga, ayat 59 diterangkan pula bahwasanya kunci-kunci dari barang yang gaib ada di tangan Allah. Tidak ada yang mengetahuinya melainkan Dia sendiri. Diketahui-Nya juga apa yang di darat dan di laut. Dan tidaklah gugur satu helai daun kayu di hutan melainkan atas sepengetahuan-Nya jua dan tidak satu biji pun pasir kegelapan bumi, dan tidak ada yang basah dan tidak ada yang kering, melainkan semuanya itu telah ada di dalam kitab yang nyata.
Dengan demikian, hilangkanlah persangkaan kita bahwa alam di luar manusia ini kacau balau saja kejadiannya. Banyak rupanya hal yang gaib bagi pandangan kita, tetapi sebesar biji sawi pun tidak gaib dalam pandangan Allah, semuanya tiada lepas dari tilikan Ilahi. Dan semuanya menambah iman kita.
PENCIPTA LANGIT DAN BUMI DALAM ENAM HARI
Ayat 7
“Dan Dialah yang telah menciptakan semua langit dan bumi dalam enam hari."
Tentang menjadikan semua langit dan bumi dalam masa enam hari ini, telah juga kita tafsirkan pada surah Yuunus ayat 3, yaitu bahwasanya bilangan enam hari, bagi Allah yang penciptaan-Nya melingkupi semua langit yang tinggi itu, bersama bumi tempat kita berdiam ini, tidaklah dapat kita menentukan enam hari ialah bilangan Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, lalu istirahat di hari Sabtu. Sangat besar kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan enam hari itu bukanlah enam hari hitungan kita ini, yaitu hitungan peredaran bumi mengelilingi matahari 24 jam sehari semalam. Karena selain dari bumi ini ada lagi bintang satelit matahari yang lain, yang edarannya mengelilingi matahari bukanlah 24 jam bilangan kita, malahan bertahun-tahun. Dan berjuta-juta lagi bintang-bintang di cakrawala, di ruang angkasa jauh yang perkelilingannya beribu-ribu tahun. Oleh sebab itu, yang sebaik-baiknya tentang bilangan hari yang enam hari mendptakan semua langit dan bumi itu kita serahkan saja kepada ilmu Allah Ta'aala.
Isyarat ke jurusan ini telah terdapat di dalam hadits Rasulullah ﷺ yang dirawikan dalam Shahih Muslim yang diterimanya dari Abdullah bin Amr bin Ash, berkata dia bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sesungguhnya, Allah telah menentukan ketentuan-ketentuan dari seluruh makhluk. Sebelumnya, Dia mendptakan semua langit dan bumi,
• tahun lebih dahulu dan Arsy-Nya adalah di atas air," (HR Muslim)
Ayat ini telah memberikan isyarat bahwasanya penentuan (takdir) yang akan ditempuh sekalian makhluk telah diaturkan terlebih dahulu sampai kepada hal yang berkecil-kecil tahun sebelum ketujuh langit dan bumi itu dijadikan. Maka bertambahlah dapat dipahamkan bahwa mendptakan ketujuh langit diserati bumi itu adalah dalam masa enam hari, yang berapa sebenarnya bilangan sehari itu hanya Allah yang Maha Mengetahuinya.
Dibayangkanlah di dalam ayat ini bahwasanya setelah Allah mendptakan ketujuh langit dan bumi (yang selalu di dalam menerjemahkan kita sebutkan semua langit) dalam masa enam hari itu, maka Arsy Allah di waktu itu adalah di atas air. Maka sebagai Muslim yang hidup mempunyai aqidah, kita terimalah keterangan ayat Allah dan sabda Rasul ini sebagaimana adanya. Tidaklah sanggup dengan tepat kita ini akan menafsirkannya secara ilmiah sebagaimana dikehendaki oleh manusia-manusia yang dengan kekuatan insan yang terbatas, kadang-kadang hendak mengorek juga apa yang tidak dapat dijangkau oleh pikirannya.
Berkata Muhammad bin Ishaq tentang tafsir ayat ini, yaitu Allah menciptakan ketujuh langit dan bumi ini dalam enam hari dan Arsy-Nya berada di atas air. Kata beliau, “Allah itu adalah menurut sifat yang telah dinyatakan-Nya sendiri. Di waktu itu rupanya baru air semata-mata dan di atas air itu adalah Arsy Allah, dari di atas dari Arsy itu Mahakuasalah Allah, yang mempunyai Ketinggian (jalai), Kemuliaan (Ikram), Kegagahperkasaan (al-Izzah), Kekuasaan (as-Sulthan), Kerajaan (al-Malik), kudrat, Pemberi maaf (al-Hilm) dan Pengetahuan (al-'llm), dan Rahmat, Nikmat, dan berbuat sekehendak-Nya."
Kesan yang kita dapati dari semuanya ini ialah bahwa segalanya ini tidaklah dijadikan dengan serampangan saja (‘abatsan) atau dibiarkan kacau balau (sudan), atau tak tentu arah (bathilan).
Untuk apa Allah menjadikan semuanya ini? Untuk apa Allah memberitahukan semua ke-jadian ini dengan cara demikian? Ialah, “Untuk diberi-Nya percobaan kepada kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya."
Allah ciptakan ketujuh langit sebagai atap penutupi manusia. Allah ciptakan bumi ini dan di atasnyalah manusia hidup. Dan Allah Mahakuasa mengatur itu semuanya di atas Arsy-Nya, dengan serba kekuasaan dan ke-besaran-Nya, dengan kudrat dan iradat-Nya. Sedang manusia itu sendiri diberi akal buat memikirkan semuanya itu. Akan maukah manusia hidup di atas dunia ini dengan tidak mengingat itu semuanya? Niscaya akal yang ada pada manusia itu sendiri bersedia menerima petunjuk bahwa dirinya dalam dunia ini bukanlah dibiarkan sendirian. Dia tidak lepas hubungan dengan Allahnya. Dia sendiri, dengan tuntutan akalnya, telah sedia mengetahui perbedaan hidup yang kosong dengan tidak ada tujuan dan hidup yang berfaedah. Lantaran itu, dijelaskanlah dalam ayat ini bahwasanya di bawah naungan langit yang tinggi, di atas hamparan bumi yang luas ini, manusia hidup ialah untuk dicobai, sanggupkah dia mengerjakan perbuatan yang baik atau tidak.
Manusia wajib selalu mengasah budinya dan melatih akalnya, supaya dia mendapat cetusan dari ilmu Allah. Tidak ada barang suatu pun di alam ini, baik di langit maupun di bumi, yang dijadikan Allah dengan kacau balau. Penambahan ilmu akan menambah kuat-nya iman, dan iman yang kuat akan menambah baiknya dan tingginya mutu sebuah amalan.
Sebab itu, dengan cahaya iman, kita mendapat terang tentang tingginya nilai hidup ini, karena makrifat kepada Allah.
Kemudian pada lanjutan ayat, berfirmanlah Allah kepada Rasul-Nya,
“Dan jika engkau berkata, ‘Sesungguhnya, kamu akan dibangkitkan sesudah mati,' niscaya akan berkatalah orang-orang yang tidak percaya, ‘Ini tidak lain hanyalah satu sihir yang nyata.'"
Pada suku pertama dari ayat telah diterangkan bahwasanya yang menciptakan ketujuh tingkat langit ialah Allah, yang menciptakan bumi pun tidak lain melainkan Allah. Lalu diterangkan pula bahwa masa menjadikan itu ialah enam hari. Mereka tidak menolak ke-terangan itu. Bahkan di dalam beberapa ayat telah diterangkan kalau engkau tanyakan kepada mereka siapakah yang menjadikan semua langit dan bumi, mereka menjawab, ‘Allah!' Semuanya itu mereka percayai. Tidak ada yang mereka bantah! Tetapi setelah diterangkan kepada mereka bahwa manusia setelah mati, kelaknya akan dibangkitkan kembali, mereka tidak mau percaya lagi. Mereka tuduh nabi yang mengatakan bahwa manusia akan dibangkitkan kembali kelak kemudian hari itu adalah tukang sihir. Tukang sihir atau tukang tipu, tukang mengada-adakan yang tidak-tidak. Dan orang yang percaya kepada keterangan itu ialah orang yang kena sihir.
Padahal kalau mereka berpikir yang jujur, lepas dari hawa nafsu, kalau mereka telah menerima bahwa memang Allah-lah pencipta semua langit dan bumi, ber-Arsy di atas air, tentu mereka pasti percaya bahwa membangkitkan kembali orang yang telah mati itu jauh lebih mudah daripada menciptakan alam dari tidak ada kepada ada.
Beginilah diterangkan Allah tentang kebanyakan manusia yang terdapat di segala zaman. Banyak di antara mereka yang masih percaya, bahkan mengakui bahwa Allah itu memang ada. Saya percaya kepada Allah Yang Maha Esa! Tetapi dadanya dipalingkannya atau tubuhnya diselimutinya, jangan sampai telinganya mendengar seruan lebih dari itu. Apatah lagi kalau ada orang yang menyebut-nyebut tentang dosa dan pahala, surga dan neraka, dunia dan akhirat."Ini semua sihir saja!" kata mereka, nonsen, mengacau pikiran, menghalangi kemajuan!
Ayat 8
“Dan jika Kami tangguhkan adzab dari mereka, sampai kepada suatu masa yang telah diperhitungkan, niscaya akan berkatalah mereka, ‘Apa yang menghalanginya?'"
Setiap Rasulullah datang, sejak dari Nabi Nuh sampai kepada Nabi Muhammad ﷺ, se-lalu rasul-rasul menyampaikan ancaman bahwa orang yang tidak mau mematuhi tuntunan Allah yang dibawa rasul, mereka akan disiksa oleh Allah, baik siksa dunia maupun siksa akhirat. Siksa dunia ini telah kerap kali terjadi. Ada yang negerinya dihancurkan oleh angin topan, ada yang terbakar, ada yang dibalik-songsangkan oleh gempa bumi. Tetapi waktu bilakah siksaan itu akan datang? Itu adalah perhitungan Allah sendiri. Mungkin belum hari ini atau bulan ini, mungkin ditangguhkan beberapa waktu. Karena itu adalah ilmu Allah semata-mata.
Tetapi orang yang kafir, yang sombong itu, bukanlah mereka mendengar peringatan nabi-nabi dan rasul-rasul itu dengan menekurkan kepala, malahan ada yang menyombong dan berkata, “Mengapa belum juga datang siksaan itu? Mengapa tidak sekarang saja?" Perkataan itu dikeluarkan yang disertai dengan cemooh. Mereka bahkan bertanya lagi, “Apa yang meng-halangi-Nya?"
“Cobalah sekarang juga turunkan adzab itu kalau memang Allah itu berkuasa!"
Maka datanglah lanjutan ayat, sebagai peringatan kepada Nabi agar beliau tenang menerima tantangan itu.
“Ketahuilah! Bahwa pada hari kedatangan adzab itu Kepada mereka, tidaklah dia dapat
dipalingkan dari mereka." Dengan lunak lembut lanjutan ayat ini dijadikan tuntunan bagi Nabi untuk disampaikan kepada mereka agar janganlah mereka telanjur-lanjur mulut me-nantang Allah, mengapa adzab itu tidak juga datang? Apa yang menghalangi Allah kalau memang Dia bermaksud mengadzab?
Mungkin pertanyaan begini timbul karena tidak pernah merasa bersalah. Merasa diri benar selalu karena selama ini tidak ada orang yang berani membantah, takut dibunuh atau disiksa. Maka disuruhlah Nabi memperingatkan: Janganlah menantang begitu. Karena kalau adzab itu datang, tidak satu pun yang sanggup buat mengelakkannya,
“Dan akan meliputi kepada mereka apa yang mereka perolok-olokkan itu."
Janganlah merasa diri begitu kuat untuk datang mengelakkan atau membendung siksa Allah kalau datang. Demi, bila siksaan itu datang, runtuhlah laksana rumah-rumahan pasir yang dibina anak-anak yang bermain di tepi laut, segala bangunan kemegahan manusia memagari dirinya oleh empasan ombak takdir Ilahi. Contoh-contoh dalam sejarah dahulu kala dan sekarang sudah banyak bertemu. Sebab itu, janganlah dipandang peringatan Allah itu sebagai olok-olok belaka.
Ayat 9
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat dari Kami, kemudian Kami cabulkan dia darinya, niscaya putus asalah dia; tidak berterima kasih."
Di ayat 8 di atas dilukiskan perangai setengah manusia, yang di waktu senang lupa akan siksaan Allah, dan jika diberi ancaman, mereka menentang. Maka di dalam ayat 9 ini diuraikan lagi perangai manusia semacam lagi pula. Jika didatangkan oleh Allah kepada-nya suatu nikmat, sehingga dapat mereka merasakan atau mengecap nikmat itu, mereka jadi lupa daratan. Tetapi kalau nikmat itu dicabut Allah dengan tiba-tiba, mereka menjadi putus asa. Mereka putus asa; tidak mereka percaya bahwa roda takdir Ilahi itu senantiasa berputar. Hari ini senang, besok susah. Besok senang, lusa susah pula. Mereka putus asa, bahkan mereka tidak berterima kasih lagi atas nikmat yang pernah mereka terima. Bukankah di zaman lampau mereka pernah diberi nikmat oleh Allah? Mengapa sekarang berputus asa dan lupa akan nikmat yang dahulu itu?
Kita artikan kalimat kafur di ujung ayat dengan tidak berterima kasih. Tidak berterima kasih ialah sebagian dari kafir, yaitu kafir nikmat. Hanya mengomel karena kekurangan saja, tidak ingat akan anugerah ilahi.
Ayat 10
“Danjika Kami rasakan kepadanya kesenangan sesudah kesusahan yang mengenainya itu, niscaya dia akan berkata, ‘(Sekarang) telah tulang kesusahan dari dinilai.'"
Kerusakan itu telah lepas sebab roda takdir berputar terus. Dia pun kembali diberi nikmat. Maka mendabik dadalah dia. Sekarang saya tidak susah lagi. Bintangku terang kembali. Lupa lagi dia dari mana datangnya nikmat itu. Lupa lagi dia bahwa dia tempo hari pernah susah.
“Sesungguhnya, dia gembira sekali, lagi sombong."
Maka manusia yang mengeluh sampai putus asa dan sampai lupa berterima kasih ketika ditimpa susah, adalah orang yang jiwanya kosong dari iman dan tidak ada hubungan hatinya dengan langit! Dan orang yang lupa daratan, lupa mensyukuri nikmat yang telah datang kembali, lalu bergembira ria tak tentu arah, disertai lagi oleh kesombongan, orang ini pun adalah budak, hamba sahaya dari benda belaka. Dan kedua perangai itu adalah perangai orang yang datang ke atas dunia ini dengan tidak menyadari hari depan. Inilah orang yang kacau hidupnya.
Ayat 11
“Kecuali orang yang sabar dan yang beramal yang saleh."
Hanya orang yang sabar dan beramal, hanya orang semacam inilah yang selamat dari ombang-ambingan hidup itu. Dia sabar, tahan hati, jiwa besar, tidak sombong ketika ada, tidak mengeluh ketika hilang. Dia sabar dan terus beramal, terus bekerja yang baik. Bukan sabar, tetapi bermenung. Dan ini hanya ada pada orang yang memupuk iman dalam dadanya. Orang inilah yang akan tahan menderita dan bahkan tahan ketika ditimpa suka cita.
“Mereka Itu, bagi mereka adalah ampunan dan ganjaran yang besar."
Mereka sabar, tetapi mereka tidak berhenti beramal saleh, artinya selalu berusaha. Mung-kin terdapat kealpaan dalam bekerja itu. Maka Allah bersedia memberi ampun. Tetapi kalau menganggur, tak mau bekerja, Allah tidak akan mengampuni. Dan pahala yang besar tersedia karena Allah amat menghargai hamba-Nya yang berjuang mengatasi segala rintangan yang bertemu oleh mereka di dalam hidupnya. Bagaimana jua pun yang bertemu, mereka tidak pernah melepaskan tujuan, yaitu Allah!
Cobalah perhatikan anjuran Allah kepada orang yang Mukmin di dalam ayat ini. Pertama, hendaklah sabar, tahan hati, teguh semangat, dan tabah. Dia adalah laksana benteng per-tahanan. Kedua, disuruh beramal yang saleh. Amal saleh ialah untuk membelokkan per-hatian dan pemikiran dari musibah yang menimpa tadi. Pengalaman-pengalaman telah membuktikan bahwa kalau suatu musibah dibawa bermenung, dia akan meracun hati dan menambah luka. Untuk menghilangkannya, hendaklah dirintang dengan bekerja.
Penulis tafsir ini agaknya akan mumuk merana dalam tahanan kalau tidak lekas bekerja menyusun tafsir ini. Kurang pekerjaan tangan kita, angan-angan kita akan menjalar jauh sekali.
Dengan rangkaian ketiga ayat berturut-turut ini, dengan mendahulukan tingkah laku manusia ketika rahmat dicabut Allah, dapatlah kita pahamkan bahwa pada hakikatnya tidaklah ada manusia yang tidak bergoncang hatinya jika rahmat dicabut. Yang ditunjukkan Allah kepada Mukmin bukanlah menahan atau melarang kita bergoncang. Ini karena suatu diri tidaklah dipaksa Allah melawan gerak yang timbul dalam dirinya sendiri, sedangkan Nabi Muhammad ﷺ sendiri menamai tahun kematian istrinya, Khadijah, dan pamannya, Abu Thalib dengan Tahun Duka Cita, dan Nabi ﷺ titik juga air matanya ketika anaknya yang bungsu, laki-laki pula, bernama Ibrahim meninggal dunia. Yang ditunjukkan Allah bukan bagaimana menyetop hingga goncangan itu tidak ada sama sekali. Yang ditunjukkan Allah ialah bagaimana cara mengatasinya.
Ayat 12
“Tetapi boleh jadi engkau akan meninggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepada engkau, dan sempit dada engkau, dari sebab mereka berkata, ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya penbendahanaan atau datang beisama dia seorang Malaikat.'"
Di atas tadi sudah kita katakan bahwa perasaan yang menggelora dalam hati, tidaklah dapat ditiadakan. Ayat ini pun telah membuktikan. Ketika orang-orang kafir Quraisy itu tidak mau memercayai wahyu yang turun kepada beliau ﷺ, timbullah rasa dalam hati beliau, kalau begini mau saya rasanya menahan wahyu ini saja dan dada beliau jadi sempit atau pikiran tertumbuk. Ada-ada saja yang diminta oleh si kafir itu. Mereka meminta, kalau benar Muhammad ﷺ menerima wahyu, hendaklah wahyu itu disertai dengan barang-barang yang diturunkan dari langit, entah emas, entah perak, entah apa kekayaan yang lain, untuk jadi bukti bahwa wahyu itu memang ada. Bukan perbendaharaan saja, malahan Malaikat yang membawa wahyu itu hendaklah kelihatan.
Mereka tidak hendak menilai ajaran dan petunjukyang terkandung dalam wahyu, tetapi mereka meminta tanda bukti berupa benda. Sikap yang seperti ini pasti menimbulkan kecewa dalam hati beliau sebagai Rasulullah. Timbul perasaan tak usah seluruh wahyu itu disampaikan sebab tidak juga akan mereka terima. Hati jadi jengkel, dada jadi sesak.
Maka datanglah lanjutan ayat untuk mengobat hati beliau yang kecewa itu. Firman Allah selanjutnya, “Sesungguhnya, engkau lain tidak hanyalah seorang pembawa ancaman."
Maksudnya ialah supaya Rasulullah ﷺ meneruskan tugasnya, menyampaikan ancaman karena kekafiran itu, jangan separuh-separuh, jangan ada yang disembunyikan, dan jangan dada jadi sesak. Teruskan!
Memang setengah dari isi wahyu itu ada yang menyakitkan hati kaum kafir itu. Di antaranya ialah karena di dalam wahyu tersebut celaan kepada berhala-berhala yang mereka sembah dan perbuatan-perbuatan mereka yang keji. Maka janganlah celaan ter-hadap berhala itu dipotong dari wahyu; terangkan semua, beberkan semua! Jangan di-tahan-tahan karena itulah tugasmu.
Maka datanglah lanjutan ayat, yang berisi jaminan dari Allah,
“Dan Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah penjaga."
Teruskan tugasmu, lancarkan kewajibanmu, dan jangan engkau bimbang, jangan sesak napas, jangan sempit dada dan jangan wahyu dipotong-potong menyampaikannya walaupun apa yang akan terjadi. Sebab menyampaikan berita-berita ancaman, yang pahit dan yang getir, itulah kewajibanmu, di samping menyampaikan kabar berita bagi yang Mukmin.
Tidak usah bimbang sebab dalam segenap gerak langkahmu itu, Allah senantiasa menjadi penjagamu, pelindungmu. Sebab segala yang engkau kerjakan ini adalah atas kehendak Dia dan suruhan Dia. Masakan Dia akan mengecewakan hamba-Nya yang diberi-Nya kepercayaan seberat itu?
Itulah yang menambah kepercayaan kita kepada Rasul ﷺ. Wahyu pada ayat 12 surah Huud ini berisi peringatan atas diri Nabi sendiri bahwa dalam hatinya pernah timbul rasa hendak memotong wahyu dan dadanya jadi sempit. Itu pun disampaikannya juga, tidak dipotongnya.
Ayat 13
“Atau apakah mereka berkata, Telah dibuat-buatnya."
Atau apakah mereka tuduh bahwasanya Al-Qur'an itu hanya dibuat-buat saja, dikarang-karang oleh Muhammad ﷺ? Bahwa Al-Qur'an itu bukan wahyu? “Katakanlah, ‘Datangkanlah sepuluh surah yang seperti itu, yang dikarang-karangkan.'"
Kalau begitu tuduhan yang mereka timpakan bahwa Al-Qur'an itu hanya dibuat-buat dan dikarang-karang, cobalah karangkan barang sepuluh surah karangan.
Nabi Muhammad ﷺ sejakmudanyatidaklah pernah dikenal sebagai seorang pengarang buku atau penyusun kata, baik berupa pidato maupun berupa syair. Dalam perlombaan orang Arab di zaman Jahiliyah, di dalam perlombaan (festival) di Pasar ‘Ukaz, tidak pernah dikenal orang Muhammad ﷺ sebagai orang yang pandai menyusun kata mengarang syair. Mereka itu sendiri, dalam kalangan Quraisy banyak yang pandai menyusun kata. Maka kalau kamu tuduh Muhammad ﷺ yang tidak pandai menulis karangan atau bersyair, bisa menyusun mengarang Al-Qur'an, tentu kamu lebih bisa."Cobalahl" Karangkanlah barang sepuluh surah.
“Dan seiulah siapa yang kamu sanggup selain Allah, jika memang ada kamu dari orang-orang yang benar."
Artinya, kalau kamu yang ada sekarang ini merasa tidak sanggup, cobalah panggil
lagi orang lain. Bukankah di kalangan kabilah-kabilah Quraisy atau kabilah-kabilah Arab yang lain terdapat banyak ahli syair, ahli pidato? Bukankah di zaman dahulu kamu berlomba dan bertanding untuk itu? Sampai syair-syair yang indah digantungkan pada Ka'bah sebagai penghormatan pada penciptanya?
Jelas bahwa kamu tidak akan sanggup mengarang buku untuk menyamai Al-Qur'an. Lantaran itu, Muhammad ﷺ sendiri pun tidak bisa berbuat demikian. Al-Qur'an adalah semata-mata wahyu dari Allah melalui saluran diri Muhammad ﷺ yang tidak pandai menulis dan membaca, dan selama ini tiada dikenal dalam lapangan itu.
Ayat 14
“Maka jika tidak mereka perkenankan (kehendak) kamu itu."
Dan memang selamanya mereka tidak sanggup walaupun seluruh orang pintar-pintar telah dikumpulkan, “Maka ketahuilah bahwa dia itu telah diturunkan dengan ilmu Allah." Bukan dari ilmu Muhammad ﷺ atau karena Muhammad ﷺ memandai-mandai saja,"Dan bahwa tidak ada Allah melainkan Dia."
Artinya dan tafsir seluruhnya adalah sebagai berikut.
Jelaslah bahwa wahyu ini bukan dikarang-karangkan Muhammad ﷺ sebab Muhammad ﷺ bukan pengarang, bukan penyair, bahkan dikenal selama ini tidak pandai menulis dan membaca. Bahkan kamu sendiri, pemuka-pemuka Quraisy, jauh lebih pandai mengarang daripada Muhammad, ada yang pandai pidato dan ada yang pandai syair. Padahal kamu sendiri terang tidak sanggup membuatnya. Maka kalau dituruti jalan pikiran yang teratur, pasti ini bukan bikinan manusia, melainkan langsung dari ilmu Allah Ta'aala. Allah yang lain pun tidak ada selain dari Allah. Sebab itu, kalau bukan dari buatan manusia, bukanlah dia karangan atau kiriman dari tuhan-tuhan yang lain. Sebab selain Allah tidak ada Tuhan.
“Maka tidak jugakah kamu mau menyerah?"
(ujung ayal 14)
Bahasa Arab yang tertulis di ujung ayat ialah Muslimun, jamak dari Muslim, yaitu orang-orang yang telah Islam, telah menyerahkan diri, atau telah tunduk, karena demikianlah yang benar menurut jalan pikiran yang sehat.
Dengan susunan ayat-ayat ini kita dituntun berpikir yang teratur. Kalau tidak karangan Muhammad, karena Muhammad bukan pengarang dan kamu tidak pula sanggup mengarang agak sepuluh surah, padahal kamu lebih pintar mengarang dari Muhammad, nyatalah bahwa ini bukan karangan manusia. Mesti yang lebih tinggi dari manusia. Mesti dari Allah! Karena yang Allah itu hanya Allah Yang Mahatunggal, mestilah dari Dia.
Cobalah tanyakan kepada pikiran sehatmu, “Benar begitu apa tidak?"
Kalau kamu jawab “Benar", berarti engkau menyerah kepada hasil pemikiran yang benar. Penyerahan secara sehat itu dinamai Islam.
Dan kalau tidak mau juga menyerah, padahal sudah bertemu dengan kebenaran, itulah yang disebut menolak kebenaran. Bahasa Arabnya: kafir.