Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَا
dan tidak ada
مِن
dari
دَآبَّةٖ
binatang melata
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
إِلَّا
melainkan
عَلَى
atas
ٱللَّهِ
Allah
رِزۡقُهَا
rezkinya
وَيَعۡلَمُ
dan Dia mengetahui
مُسۡتَقَرَّهَا
tempat berdiamnya
وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ
dan tempat penyimpanannya
كُلّٞ
semuanya
فِي
didalam
كِتَٰبٖ
Kitab
مُّبِينٖ
nyata
وَمَا
dan tidak ada
مِن
dari
دَآبَّةٖ
binatang melata
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
إِلَّا
melainkan
عَلَى
atas
ٱللَّهِ
Allah
رِزۡقُهَا
rezkinya
وَيَعۡلَمُ
dan Dia mengetahui
مُسۡتَقَرَّهَا
tempat berdiamnya
وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ
dan tempat penyimpanannya
كُلّٞ
semuanya
فِي
didalam
كِتَٰبٖ
Kitab
مُّبِينٖ
nyata
Terjemahan
Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).
Tafsir
(Dan tidak ada) huruf min di sini zaidah (suatu binatang melata pun di bumi) yaitu hewan yang melata di atas bumi (melainkan Allahlah yang memberi rezekinya) Dialah yang menanggung rezekinya sebagai karunia daripada-Nya (dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu) tempat hidupnya di dunia atau pada tulang sulbi (dan tempat penyimpanannya) sesudah mati atau di dalam rahim. (Semuanya) yang telah disebutkan itu (tertulis dalam kitab yang nyata) kitab yang jelas, yaitu Lohmahfuz.
Tafsir Surat Hud: 6
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).
Allah ﷻ menceritakan bahwa Dialah yang menjamin rezeki makhlukNya, termasuk semua hewan yang melata di bumi, baik yang kecil, yang besar, yang ada di daratan, maupun yang ada di lautan. Dia pun mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Dengan kata lain, Allah mengetahui sampai di mana perjalanannya di bumi dan ke manakah tempat kembalinya, yakni sarangnya; inilah yang dimaksud dengan tempat penyimpanannya.
Ali ibnu Abu Talhah dan lain-lainnya telah menceritakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu.” (Hud: 6) Yakni tempat berdiamnya binatang itu (sarangnya) “dan tempat penyimpanannya.” (Hud: 6) bila telah mati.
Diriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu.” (Hud: 6) Maksudnya, di dalam rahim. “Dan tempat penyimpanannya.” (Hud: 6) di dalam tulang sulbi, seperti yang terdapat pada surat Al-An'am. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ad-Dahhak, dan sejumlah ulama. Ibnu Abu Hatim telah menyebutkan pendapat-pendapat ulama tafsir dalam ayat ini, juga menyebutkan pendapat mereka tentang ayat dalam surat Al-An'am tersebut.
Makna yang dimaksud ialah bahwa semuanya itu telah tercatat di dalam suatu Kitab yang ada di sisi Allah yang menerangkan kesemuanya itu. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kalian. Tiadalah Kami lewatkan sesuatu pun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Al-An'am:38)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” (Al-An'am: 59)
Dan tidak satu pun makhluk bergerak dan bernyawa, yang melata, merayap atau berjalan di muka bumi ini melainkan semuanya telah dijamin
Allah rezekinya. Semua makhluk itu diberi naluri dan kemampuan untuk mencari rezeki sesuai dengan fitrah kejadiannya. Dia mengetahui
tempat kediamanya ketika hidup di dunia dan mengetahui pula tempat
penyimpanannya setelah mati. Semua itu sudah tertulis dan diatur serapirapinya dalam Kitab yang nyata, yaitu Lauh Mahfudh, perihal perencanaan
dan pelaksanaan dari seluruh ciptaan Allah secara menyeluruh dan
sempurna. Dan di antara kekuasaan Allah lainnya adalah bahwa Dialah yang menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada pada keduanya dalam enam
masa melalui proses penciptaan yang rapi dan teratur. Dan sebelum
itu Dia menciptakan 'Arsy sebagai tempat bersemayam-Nya di atas air.
Demikian itulah, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih
baik amal ibadahnya, bekerja dengan jujur, ikhlas dan beraktivitas untuk kemaslahatan umat. Mereka yang berbuat kebajikan akan mendapat imbalan pahala, sedang mereka yang berbuat kejahatan akan
mendapatkan siksa. Jika engkau wahai Nabi Muhammad, berkata kepada penduduk Mekah, Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan pada hari
Kiamat nanti setelah mati untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatan kalian ketika di dunia, niscaya orang kafir itu akan berkata, Apa
yang kamu katakan ini hanyalah sihir yang nyata untuk menipu dan
menakut-nakuti agar kami mudah percaya.
Binatang-binatang yang melata, yang hidup di bumi yang meliputi binatang yang merayap, merangkak, atau pun yang berjalan dengan kedua kakinya, semuanya dijamin rezekinya oleh Allah. Binatang-binatang itu diberi naluri dan kemampuan untuk mencari rezekinya sesuai dengan fitrah kejadiannya, semuanya diatur Allah dengan hikmat dan kebijaksanaan-Nya sehingga selalu ada keserasian. Jika tidak diatur demikian, mungkin pada suatu saat ada binatang yang berkembang-biak terlalu cepat, sehingga mengancam kelangsungan hidup binatang-binatang yang lain, atau ada yang mati terlalu banyak, sehingga mengganggu keseimbangan lingkungan. Jika ada sebagian binatang memangsa binatang lainnya, hal itu adalah dalam rangka keseimbangan alam, sehingga kehidupan yang harmonis selalu dapat dipertahankan.
Allah mengetahui tempat berdiam binatang-binatang itu dan tempat persembunyiannya, bahkan ketika masih berada dalam perut induknya. Pada kedua tempat itu, Allah senantiasa menjamin rezekinya dan semua itu telah tercatat dan diatur serapi-rapinya di Lauh Mahfudh, yang berisi semua perencanaan dan pelaksanaan dari seluruh ciptaan Allah secara menyeluruh dan sempurna.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 6
“Dan tidak ada satu pun dari yang melata di alas bumi ini melainkan atas Allah-lah (tanggungan)nya."
Ayat ini menjelaskan bahwa yang melata di atas bumi tidak usah khawatir akan keku-rangan rezeki sebab Allah sudah menyediakannya. Kalimat dabbatin kita artikan melata, yaitu segala yang berjalan, merangkak, merayap, menjalar. Sebab itu, masuklah di dalamnya sekalian manusia, sekalian binatang berkaki empat, segala binatang yang berkaki banyak, sampai beratus-ratus kaki, demikian juga serangga, katak, burung-burung, cacing, ikan-ikan, udang, belalang, lipas, kepuyuk, kepinding, nyamuk, dan lain-lain. Semuanya itu terkumpul dalam kata dabbatin. Dan semuanya sudah ada ketentuan rezekinya oleh Allah dan sudah tersedia makanan yang akan dimakannya. Atas Allah-lah rezekinya, artinya Allah telah mewajibkan atas diri-Nya sendiri buat menyediakan rezeki itu. Dan rezeki itu diberikan dengan teratur sekali. Seluruh isi bumi ini adalah persediaan yang cukup bagi makanan seluruh makhluk yang hidup di sini.
Untuk burung-burung di hutan disediakan makanan dan buah-buah kayu yang besar dan yang kecil. Kadang-kadang, dengan tidak disadari oleh manusia, buah kayu dimakan oleh burung lalu burung itu memancarkan ciritnya di daerah lain yang kurang subur. Rupanya di dalam cirit burung itu tersimpan biji buah yang dimakannya tadi, seumpama biji jambu perawas. Maka biji yang dibawa cirit burung itu tersebar kembali ke tanah lalu dia pun tumbuh dan berkembang pula. Tanah itu jadi subur karena ada cacing yang bekerja siang malam membalik-balik tanah, menggali, yang di bawah dibawa ke atas.
Makanan untuk ikan yang hidup di dasar laut pun mendapat jaminan penuh dari Allah. Kadang-kadang seekor ikan bertelur. Telur ikan itu tidak terhitung berapa banyaknya, mungkin sampai sejuta dan lebih. Tetapi yang terus menetas jadi anak hanya sedikit sekali sebab yang selebihnya adalah untuk makanan ikan yang lain.
Ada semacam ikan kerang di laut. Dia ikan yang hidup, tetapi dia adalah kerang. Dia tidak dapat beranjak dari tempatnya sebab dia tidak memakai sirip dan ridik buat berenang. Dia berurat ke bawah. Namun makanannya tersedia juga. Dalam dirinya sendiri ditanamkan kekuatan listrik. Mana ikan lain yang mendekat kepadanya, kalau kena kontak listrik dari badannya, tidaklah dapat membebaskan diri lagi, dia terus lekat. Ikan yang lekat itulah makanannya.
Banyak sungguh keajaiban di dalam alam ini, di darat, apatah lagi di laut. Persediaan makanan yang cukup bagi seluruh makhluk. Ada pertalian hidup dan jaminan untuk hidup bagi manusia. Makanan manusia bertali dengan binatang melata. Binatang bertali dengan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan bertali lagi dengan binatang. Bumi ini penuh dengan keajaiban.
“Dan Dia mengetahui tempat menetapnya dan tempat ditumpangkannya." Artinya, Allah mengetahui di mana menetapnya dabbatin atau segala yang menjalar, melata, merangkak, dan berjalan itu. Di daratkah mereka atau di laut, di hutankah mereka atau di padang belantara. Sampai kepada tumbuh-tumbuhan, sudah ada pembagian kemungkinan tempat tumbuh dan tempat berbuahnya. Sebagaimana kita dapati iklim yang sesuai dengan tumbuhnya kurma (padang pasir) atau kelapa (udara agak panas). Di mana tumbuhnya durian dan di mana buah apel. Di mana tumbuh rambutan dan di mana buah anggur.
Khusus bagi manusia, Allah mengetahui di mana tempat menetap mereka. Untuk me-resapkan bunyi ayat ini, ingatlah kembali pencatatan nama dan alamat (address) tempat tinggal, sebagaimana terdapat dalam kartu penduduk yang diatur oleh penguasa setempat, supaya anak buah di tempat itu jangan sampai berkacau pembagian catu (distribusi) makanannya. Entah di benua yang mana kita tinggal, entah di Eropa ataupun di Asia, di kota mana, di kampung mana, di jalan mana, atau di lorong mana. Semuanya itu bernama mustaqar, yang berarti tempat menetap, address tetap. Untuk semuanya, Allah telah menyediakan rezeki. Dan telah ada pula pada Allah catatan tempat dia akan ditumpangkan. Artinya, di bumi mana kelak dirinya akan dikuburkan. Disebut di dalam bahasa Al-Qur'an, mustauda', artinya tempat ditumpangkan sementara, itulah dia kuburan. Kubur disebut tempat penumpangan sementara karena jika datang waktunya kelak, di hari Kiamat, manusia akan disentakkan dari alam kuburnya itu untuk menghadapi Hari Perhitungan (Yaumal Hisab).
“Semuanya itu (telah ada) di dalam kitab yang nyata."
Pembagian rezeki, tempat lahir dan tempat tinggal, dan kemudiannya kuburan buat berhenti istirahat sementara, sudah ada kitabnya, artinya sudah ada catatannya di sisi Allah Ta'aala. Administrasi Allah sangat lengkap, untuk menjadi suri teladan bagi manusia sebagai khalifatullah di muka bumi ini, supaya mereka pun meniru dan mendekati peraturan Allah di dalam mengatur administrasinya sendiri.
Keberesan jaminan Allah dan teratur catatan itu disebutkan Allah juga dalam ayat-ayat yang lain. Di dalam surah al-An'aam ayat 38, Allah berfirman bahwa tidak ada satu pun yang merayap di muka bumi dan tidak pula burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan semuanya itu umat-umat seperti kamu juga, dan tidak ada yang dilalaikan oleh Allah, semuanya telah tertulis dalam satu kitab. Dan semuanya itu kelak pun akan dikumpulkan ke hadapan Allah.
Di dalam surah al-An'aam juga, ayat 59 diterangkan pula bahwasanya kunci-kunci dari barang yang gaib ada di tangan Allah. Tidak ada yang mengetahuinya melainkan Dia sendiri. Diketahui-Nya juga apa yang di darat dan di laut. Dan tidaklah gugur satu helai daun kayu di hutan melainkan atas sepengetahuan-Nya jua dan tidak satu biji pun pasir kegelapan bumi, dan tidak ada yang basah dan tidak ada yang kering, melainkan semuanya itu telah ada di dalam kitab yang nyata.
Dengan demikian, hilangkanlah persangkaan kita bahwa alam di luar manusia ini kacau balau saja kejadiannya. Banyak rupanya hal yang gaib bagi pandangan kita, tetapi sebesar biji sawi pun tidak gaib dalam pandangan Allah, semuanya tiada lepas dari tilikan Ilahi. Dan semuanya menambah iman kita.
PENCIPTA LANGIT DAN BUMI DALAM ENAM HARI
Ayat 7
“Dan Dialah yang telah menciptakan semua langit dan bumi dalam enam hari."
Tentang menjadikan semua langit dan bumi dalam masa enam hari ini, telah juga kita tafsirkan pada surah Yuunus ayat 3, yaitu bahwasanya bilangan enam hari, bagi Allah yang penciptaan-Nya melingkupi semua langit yang tinggi itu, bersama bumi tempat kita berdiam ini, tidaklah dapat kita menentukan enam hari ialah bilangan Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, lalu istirahat di hari Sabtu. Sangat besar kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan enam hari itu bukanlah enam hari hitungan kita ini, yaitu hitungan peredaran bumi mengelilingi matahari 24 jam sehari semalam. Karena selain dari bumi ini ada lagi bintang satelit matahari yang lain, yang edarannya mengelilingi matahari bukanlah 24 jam bilangan kita, malahan bertahun-tahun. Dan berjuta-juta lagi bintang-bintang di cakrawala, di ruang angkasa jauh yang perkelilingannya beribu-ribu tahun. Oleh sebab itu, yang sebaik-baiknya tentang bilangan hari yang enam hari mendptakan semua langit dan bumi itu kita serahkan saja kepada ilmu Allah Ta'aala.
Isyarat ke jurusan ini telah terdapat di dalam hadits Rasulullah ﷺ yang dirawikan dalam Shahih Muslim yang diterimanya dari Abdullah bin Amr bin Ash, berkata dia bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sesungguhnya, Allah telah menentukan ketentuan-ketentuan dari seluruh makhluk. Sebelumnya, Dia mendptakan semua langit dan bumi,
• tahun lebih dahulu dan Arsy-Nya adalah di atas air," (HR Muslim)
Ayat ini telah memberikan isyarat bahwasanya penentuan (takdir) yang akan ditempuh sekalian makhluk telah diaturkan terlebih dahulu sampai kepada hal yang berkecil-kecil tahun sebelum ketujuh langit dan bumi itu dijadikan. Maka bertambahlah dapat dipahamkan bahwa mendptakan ketujuh langit diserati bumi itu adalah dalam masa enam hari, yang berapa sebenarnya bilangan sehari itu hanya Allah yang Maha Mengetahuinya.
Dibayangkanlah di dalam ayat ini bahwasanya setelah Allah mendptakan ketujuh langit dan bumi (yang selalu di dalam menerjemahkan kita sebutkan semua langit) dalam masa enam hari itu, maka Arsy Allah di waktu itu adalah di atas air. Maka sebagai Muslim yang hidup mempunyai aqidah, kita terimalah keterangan ayat Allah dan sabda Rasul ini sebagaimana adanya. Tidaklah sanggup dengan tepat kita ini akan menafsirkannya secara ilmiah sebagaimana dikehendaki oleh manusia-manusia yang dengan kekuatan insan yang terbatas, kadang-kadang hendak mengorek juga apa yang tidak dapat dijangkau oleh pikirannya.
Berkata Muhammad bin Ishaq tentang tafsir ayat ini, yaitu Allah menciptakan ketujuh langit dan bumi ini dalam enam hari dan Arsy-Nya berada di atas air. Kata beliau, “Allah itu adalah menurut sifat yang telah dinyatakan-Nya sendiri. Di waktu itu rupanya baru air semata-mata dan di atas air itu adalah Arsy Allah, dari di atas dari Arsy itu Mahakuasalah Allah, yang mempunyai Ketinggian (jalai), Kemuliaan (Ikram), Kegagahperkasaan (al-Izzah), Kekuasaan (as-Sulthan), Kerajaan (al-Malik), kudrat, Pemberi maaf (al-Hilm) dan Pengetahuan (al-'llm), dan Rahmat, Nikmat, dan berbuat sekehendak-Nya."
Kesan yang kita dapati dari semuanya ini ialah bahwa segalanya ini tidaklah dijadikan dengan serampangan saja (‘abatsan) atau dibiarkan kacau balau (sudan), atau tak tentu arah (bathilan).
Untuk apa Allah menjadikan semuanya ini? Untuk apa Allah memberitahukan semua ke-jadian ini dengan cara demikian? Ialah, “Untuk diberi-Nya percobaan kepada kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya."
Allah ciptakan ketujuh langit sebagai atap penutupi manusia. Allah ciptakan bumi ini dan di atasnyalah manusia hidup. Dan Allah Mahakuasa mengatur itu semuanya di atas Arsy-Nya, dengan serba kekuasaan dan ke-besaran-Nya, dengan kudrat dan iradat-Nya. Sedang manusia itu sendiri diberi akal buat memikirkan semuanya itu. Akan maukah manusia hidup di atas dunia ini dengan tidak mengingat itu semuanya? Niscaya akal yang ada pada manusia itu sendiri bersedia menerima petunjuk bahwa dirinya dalam dunia ini bukanlah dibiarkan sendirian. Dia tidak lepas hubungan dengan Allahnya. Dia sendiri, dengan tuntutan akalnya, telah sedia mengetahui perbedaan hidup yang kosong dengan tidak ada tujuan dan hidup yang berfaedah. Lantaran itu, dijelaskanlah dalam ayat ini bahwasanya di bawah naungan langit yang tinggi, di atas hamparan bumi yang luas ini, manusia hidup ialah untuk dicobai, sanggupkah dia mengerjakan perbuatan yang baik atau tidak.
Manusia wajib selalu mengasah budinya dan melatih akalnya, supaya dia mendapat cetusan dari ilmu Allah. Tidak ada barang suatu pun di alam ini, baik di langit maupun di bumi, yang dijadikan Allah dengan kacau balau. Penambahan ilmu akan menambah kuat-nya iman, dan iman yang kuat akan menambah baiknya dan tingginya mutu sebuah amalan.
Sebab itu, dengan cahaya iman, kita mendapat terang tentang tingginya nilai hidup ini, karena makrifat kepada Allah.
Kemudian pada lanjutan ayat, berfirmanlah Allah kepada Rasul-Nya,
“Dan jika engkau berkata, ‘Sesungguhnya, kamu akan dibangkitkan sesudah mati,' niscaya akan berkatalah orang-orang yang tidak percaya, ‘Ini tidak lain hanyalah satu sihir yang nyata.'"
Pada suku pertama dari ayat telah diterangkan bahwasanya yang menciptakan ketujuh tingkat langit ialah Allah, yang menciptakan bumi pun tidak lain melainkan Allah. Lalu diterangkan pula bahwa masa menjadikan itu ialah enam hari. Mereka tidak menolak ke-terangan itu. Bahkan di dalam beberapa ayat telah diterangkan kalau engkau tanyakan kepada mereka siapakah yang menjadikan semua langit dan bumi, mereka menjawab, ‘Allah!' Semuanya itu mereka percayai. Tidak ada yang mereka bantah! Tetapi setelah diterangkan kepada mereka bahwa manusia setelah mati, kelaknya akan dibangkitkan kembali, mereka tidak mau percaya lagi. Mereka tuduh nabi yang mengatakan bahwa manusia akan dibangkitkan kembali kelak kemudian hari itu adalah tukang sihir. Tukang sihir atau tukang tipu, tukang mengada-adakan yang tidak-tidak. Dan orang yang percaya kepada keterangan itu ialah orang yang kena sihir.
Padahal kalau mereka berpikir yang jujur, lepas dari hawa nafsu, kalau mereka telah menerima bahwa memang Allah-lah pencipta semua langit dan bumi, ber-Arsy di atas air, tentu mereka pasti percaya bahwa membangkitkan kembali orang yang telah mati itu jauh lebih mudah daripada menciptakan alam dari tidak ada kepada ada.
Beginilah diterangkan Allah tentang kebanyakan manusia yang terdapat di segala zaman. Banyak di antara mereka yang masih percaya, bahkan mengakui bahwa Allah itu memang ada. Saya percaya kepada Allah Yang Maha Esa! Tetapi dadanya dipalingkannya atau tubuhnya diselimutinya, jangan sampai telinganya mendengar seruan lebih dari itu. Apatah lagi kalau ada orang yang menyebut-nyebut tentang dosa dan pahala, surga dan neraka, dunia dan akhirat."Ini semua sihir saja!" kata mereka, nonsen, mengacau pikiran, menghalangi kemajuan!
Ayat 8
“Dan jika Kami tangguhkan adzab dari mereka, sampai kepada suatu masa yang telah diperhitungkan, niscaya akan berkatalah mereka, ‘Apa yang menghalanginya?'"
Setiap Rasulullah datang, sejak dari Nabi Nuh sampai kepada Nabi Muhammad ﷺ, se-lalu rasul-rasul menyampaikan ancaman bahwa orang yang tidak mau mematuhi tuntunan Allah yang dibawa rasul, mereka akan disiksa oleh Allah, baik siksa dunia maupun siksa akhirat. Siksa dunia ini telah kerap kali terjadi. Ada yang negerinya dihancurkan oleh angin topan, ada yang terbakar, ada yang dibalik-songsangkan oleh gempa bumi. Tetapi waktu bilakah siksaan itu akan datang? Itu adalah perhitungan Allah sendiri. Mungkin belum hari ini atau bulan ini, mungkin ditangguhkan beberapa waktu. Karena itu adalah ilmu Allah semata-mata.
Tetapi orang yang kafir, yang sombong itu, bukanlah mereka mendengar peringatan nabi-nabi dan rasul-rasul itu dengan menekurkan kepala, malahan ada yang menyombong dan berkata, “Mengapa belum juga datang siksaan itu? Mengapa tidak sekarang saja?" Perkataan itu dikeluarkan yang disertai dengan cemooh. Mereka bahkan bertanya lagi, “Apa yang meng-halangi-Nya?"
“Cobalah sekarang juga turunkan adzab itu kalau memang Allah itu berkuasa!"
Maka datanglah lanjutan ayat, sebagai peringatan kepada Nabi agar beliau tenang menerima tantangan itu.
“Ketahuilah! Bahwa pada hari kedatangan adzab itu Kepada mereka, tidaklah dia dapat
dipalingkan dari mereka." Dengan lunak lembut lanjutan ayat ini dijadikan tuntunan bagi Nabi untuk disampaikan kepada mereka agar janganlah mereka telanjur-lanjur mulut me-nantang Allah, mengapa adzab itu tidak juga datang? Apa yang menghalangi Allah kalau memang Dia bermaksud mengadzab?
Mungkin pertanyaan begini timbul karena tidak pernah merasa bersalah. Merasa diri benar selalu karena selama ini tidak ada orang yang berani membantah, takut dibunuh atau disiksa. Maka disuruhlah Nabi memperingatkan: Janganlah menantang begitu. Karena kalau adzab itu datang, tidak satu pun yang sanggup buat mengelakkannya,
“Dan akan meliputi kepada mereka apa yang mereka perolok-olokkan itu."
Janganlah merasa diri begitu kuat untuk datang mengelakkan atau membendung siksa Allah kalau datang. Demi, bila siksaan itu datang, runtuhlah laksana rumah-rumahan pasir yang dibina anak-anak yang bermain di tepi laut, segala bangunan kemegahan manusia memagari dirinya oleh empasan ombak takdir Ilahi. Contoh-contoh dalam sejarah dahulu kala dan sekarang sudah banyak bertemu. Sebab itu, janganlah dipandang peringatan Allah itu sebagai olok-olok belaka.
Ayat 9
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat dari Kami, kemudian Kami cabulkan dia darinya, niscaya putus asalah dia; tidak berterima kasih."
Di ayat 8 di atas dilukiskan perangai setengah manusia, yang di waktu senang lupa akan siksaan Allah, dan jika diberi ancaman, mereka menentang. Maka di dalam ayat 9 ini diuraikan lagi perangai manusia semacam lagi pula. Jika didatangkan oleh Allah kepada-nya suatu nikmat, sehingga dapat mereka merasakan atau mengecap nikmat itu, mereka jadi lupa daratan. Tetapi kalau nikmat itu dicabut Allah dengan tiba-tiba, mereka menjadi putus asa. Mereka putus asa; tidak mereka percaya bahwa roda takdir Ilahi itu senantiasa berputar. Hari ini senang, besok susah. Besok senang, lusa susah pula. Mereka putus asa, bahkan mereka tidak berterima kasih lagi atas nikmat yang pernah mereka terima. Bukankah di zaman lampau mereka pernah diberi nikmat oleh Allah? Mengapa sekarang berputus asa dan lupa akan nikmat yang dahulu itu?
Kita artikan kalimat kafur di ujung ayat dengan tidak berterima kasih. Tidak berterima kasih ialah sebagian dari kafir, yaitu kafir nikmat. Hanya mengomel karena kekurangan saja, tidak ingat akan anugerah ilahi.
Ayat 10
“Danjika Kami rasakan kepadanya kesenangan sesudah kesusahan yang mengenainya itu, niscaya dia akan berkata, ‘(Sekarang) telah tulang kesusahan dari dinilai.'"
Kerusakan itu telah lepas sebab roda takdir berputar terus. Dia pun kembali diberi nikmat. Maka mendabik dadalah dia. Sekarang saya tidak susah lagi. Bintangku terang kembali. Lupa lagi dia dari mana datangnya nikmat itu. Lupa lagi dia bahwa dia tempo hari pernah susah.
“Sesungguhnya, dia gembira sekali, lagi sombong."
Maka manusia yang mengeluh sampai putus asa dan sampai lupa berterima kasih ketika ditimpa susah, adalah orang yang jiwanya kosong dari iman dan tidak ada hubungan hatinya dengan langit! Dan orang yang lupa daratan, lupa mensyukuri nikmat yang telah datang kembali, lalu bergembira ria tak tentu arah, disertai lagi oleh kesombongan, orang ini pun adalah budak, hamba sahaya dari benda belaka. Dan kedua perangai itu adalah perangai orang yang datang ke atas dunia ini dengan tidak menyadari hari depan. Inilah orang yang kacau hidupnya.
Ayat 11
“Kecuali orang yang sabar dan yang beramal yang saleh."
Hanya orang yang sabar dan beramal, hanya orang semacam inilah yang selamat dari ombang-ambingan hidup itu. Dia sabar, tahan hati, jiwa besar, tidak sombong ketika ada, tidak mengeluh ketika hilang. Dia sabar dan terus beramal, terus bekerja yang baik. Bukan sabar, tetapi bermenung. Dan ini hanya ada pada orang yang memupuk iman dalam dadanya. Orang inilah yang akan tahan menderita dan bahkan tahan ketika ditimpa suka cita.
“Mereka Itu, bagi mereka adalah ampunan dan ganjaran yang besar."
Mereka sabar, tetapi mereka tidak berhenti beramal saleh, artinya selalu berusaha. Mung-kin terdapat kealpaan dalam bekerja itu. Maka Allah bersedia memberi ampun. Tetapi kalau menganggur, tak mau bekerja, Allah tidak akan mengampuni. Dan pahala yang besar tersedia karena Allah amat menghargai hamba-Nya yang berjuang mengatasi segala rintangan yang bertemu oleh mereka di dalam hidupnya. Bagaimana jua pun yang bertemu, mereka tidak pernah melepaskan tujuan, yaitu Allah!
Cobalah perhatikan anjuran Allah kepada orang yang Mukmin di dalam ayat ini. Pertama, hendaklah sabar, tahan hati, teguh semangat, dan tabah. Dia adalah laksana benteng per-tahanan. Kedua, disuruh beramal yang saleh. Amal saleh ialah untuk membelokkan per-hatian dan pemikiran dari musibah yang menimpa tadi. Pengalaman-pengalaman telah membuktikan bahwa kalau suatu musibah dibawa bermenung, dia akan meracun hati dan menambah luka. Untuk menghilangkannya, hendaklah dirintang dengan bekerja.
Penulis tafsir ini agaknya akan mumuk merana dalam tahanan kalau tidak lekas bekerja menyusun tafsir ini. Kurang pekerjaan tangan kita, angan-angan kita akan menjalar jauh sekali.
Dengan rangkaian ketiga ayat berturut-turut ini, dengan mendahulukan tingkah laku manusia ketika rahmat dicabut Allah, dapatlah kita pahamkan bahwa pada hakikatnya tidaklah ada manusia yang tidak bergoncang hatinya jika rahmat dicabut. Yang ditunjukkan Allah kepada Mukmin bukanlah menahan atau melarang kita bergoncang. Ini karena suatu diri tidaklah dipaksa Allah melawan gerak yang timbul dalam dirinya sendiri, sedangkan Nabi Muhammad ﷺ sendiri menamai tahun kematian istrinya, Khadijah, dan pamannya, Abu Thalib dengan Tahun Duka Cita, dan Nabi ﷺ titik juga air matanya ketika anaknya yang bungsu, laki-laki pula, bernama Ibrahim meninggal dunia. Yang ditunjukkan Allah bukan bagaimana menyetop hingga goncangan itu tidak ada sama sekali. Yang ditunjukkan Allah ialah bagaimana cara mengatasinya.
Ayat 12
“Tetapi boleh jadi engkau akan meninggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepada engkau, dan sempit dada engkau, dari sebab mereka berkata, ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya penbendahanaan atau datang beisama dia seorang Malaikat.'"
Di atas tadi sudah kita katakan bahwa perasaan yang menggelora dalam hati, tidaklah dapat ditiadakan. Ayat ini pun telah membuktikan. Ketika orang-orang kafir Quraisy itu tidak mau memercayai wahyu yang turun kepada beliau ﷺ, timbullah rasa dalam hati beliau, kalau begini mau saya rasanya menahan wahyu ini saja dan dada beliau jadi sempit atau pikiran tertumbuk. Ada-ada saja yang diminta oleh si kafir itu. Mereka meminta, kalau benar Muhammad ﷺ menerima wahyu, hendaklah wahyu itu disertai dengan barang-barang yang diturunkan dari langit, entah emas, entah perak, entah apa kekayaan yang lain, untuk jadi bukti bahwa wahyu itu memang ada. Bukan perbendaharaan saja, malahan Malaikat yang membawa wahyu itu hendaklah kelihatan.
Mereka tidak hendak menilai ajaran dan petunjukyang terkandung dalam wahyu, tetapi mereka meminta tanda bukti berupa benda. Sikap yang seperti ini pasti menimbulkan kecewa dalam hati beliau sebagai Rasulullah. Timbul perasaan tak usah seluruh wahyu itu disampaikan sebab tidak juga akan mereka terima. Hati jadi jengkel, dada jadi sesak.
Maka datanglah lanjutan ayat untuk mengobat hati beliau yang kecewa itu. Firman Allah selanjutnya, “Sesungguhnya, engkau lain tidak hanyalah seorang pembawa ancaman."
Maksudnya ialah supaya Rasulullah ﷺ meneruskan tugasnya, menyampaikan ancaman karena kekafiran itu, jangan separuh-separuh, jangan ada yang disembunyikan, dan jangan dada jadi sesak. Teruskan!
Memang setengah dari isi wahyu itu ada yang menyakitkan hati kaum kafir itu. Di antaranya ialah karena di dalam wahyu tersebut celaan kepada berhala-berhala yang mereka sembah dan perbuatan-perbuatan mereka yang keji. Maka janganlah celaan ter-hadap berhala itu dipotong dari wahyu; terangkan semua, beberkan semua! Jangan di-tahan-tahan karena itulah tugasmu.
Maka datanglah lanjutan ayat, yang berisi jaminan dari Allah,
“Dan Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah penjaga."
Teruskan tugasmu, lancarkan kewajibanmu, dan jangan engkau bimbang, jangan sesak napas, jangan sempit dada dan jangan wahyu dipotong-potong menyampaikannya walaupun apa yang akan terjadi. Sebab menyampaikan berita-berita ancaman, yang pahit dan yang getir, itulah kewajibanmu, di samping menyampaikan kabar berita bagi yang Mukmin.
Tidak usah bimbang sebab dalam segenap gerak langkahmu itu, Allah senantiasa menjadi penjagamu, pelindungmu. Sebab segala yang engkau kerjakan ini adalah atas kehendak Dia dan suruhan Dia. Masakan Dia akan mengecewakan hamba-Nya yang diberi-Nya kepercayaan seberat itu?
Itulah yang menambah kepercayaan kita kepada Rasul ﷺ. Wahyu pada ayat 12 surah Huud ini berisi peringatan atas diri Nabi sendiri bahwa dalam hatinya pernah timbul rasa hendak memotong wahyu dan dadanya jadi sempit. Itu pun disampaikannya juga, tidak dipotongnya.
Ayat 13
“Atau apakah mereka berkata, Telah dibuat-buatnya."
Atau apakah mereka tuduh bahwasanya Al-Qur'an itu hanya dibuat-buat saja, dikarang-karang oleh Muhammad ﷺ? Bahwa Al-Qur'an itu bukan wahyu? “Katakanlah, ‘Datangkanlah sepuluh surah yang seperti itu, yang dikarang-karangkan.'"
Kalau begitu tuduhan yang mereka timpakan bahwa Al-Qur'an itu hanya dibuat-buat dan dikarang-karang, cobalah karangkan barang sepuluh surah karangan.
Nabi Muhammad ﷺ sejakmudanyatidaklah pernah dikenal sebagai seorang pengarang buku atau penyusun kata, baik berupa pidato maupun berupa syair. Dalam perlombaan orang Arab di zaman Jahiliyah, di dalam perlombaan (festival) di Pasar ‘Ukaz, tidak pernah dikenal orang Muhammad ﷺ sebagai orang yang pandai menyusun kata mengarang syair. Mereka itu sendiri, dalam kalangan Quraisy banyak yang pandai menyusun kata. Maka kalau kamu tuduh Muhammad ﷺ yang tidak pandai menulis karangan atau bersyair, bisa menyusun mengarang Al-Qur'an, tentu kamu lebih bisa."Cobalahl" Karangkanlah barang sepuluh surah.
“Dan seiulah siapa yang kamu sanggup selain Allah, jika memang ada kamu dari orang-orang yang benar."
Artinya, kalau kamu yang ada sekarang ini merasa tidak sanggup, cobalah panggil
lagi orang lain. Bukankah di kalangan kabilah-kabilah Quraisy atau kabilah-kabilah Arab yang lain terdapat banyak ahli syair, ahli pidato? Bukankah di zaman dahulu kamu berlomba dan bertanding untuk itu? Sampai syair-syair yang indah digantungkan pada Ka'bah sebagai penghormatan pada penciptanya?
Jelas bahwa kamu tidak akan sanggup mengarang buku untuk menyamai Al-Qur'an. Lantaran itu, Muhammad ﷺ sendiri pun tidak bisa berbuat demikian. Al-Qur'an adalah semata-mata wahyu dari Allah melalui saluran diri Muhammad ﷺ yang tidak pandai menulis dan membaca, dan selama ini tiada dikenal dalam lapangan itu.
Ayat 14
“Maka jika tidak mereka perkenankan (kehendak) kamu itu."
Dan memang selamanya mereka tidak sanggup walaupun seluruh orang pintar-pintar telah dikumpulkan, “Maka ketahuilah bahwa dia itu telah diturunkan dengan ilmu Allah." Bukan dari ilmu Muhammad ﷺ atau karena Muhammad ﷺ memandai-mandai saja,"Dan bahwa tidak ada Allah melainkan Dia."
Artinya dan tafsir seluruhnya adalah sebagai berikut.
Jelaslah bahwa wahyu ini bukan dikarang-karangkan Muhammad ﷺ sebab Muhammad ﷺ bukan pengarang, bukan penyair, bahkan dikenal selama ini tidak pandai menulis dan membaca. Bahkan kamu sendiri, pemuka-pemuka Quraisy, jauh lebih pandai mengarang daripada Muhammad, ada yang pandai pidato dan ada yang pandai syair. Padahal kamu sendiri terang tidak sanggup membuatnya. Maka kalau dituruti jalan pikiran yang teratur, pasti ini bukan bikinan manusia, melainkan langsung dari ilmu Allah Ta'aala. Allah yang lain pun tidak ada selain dari Allah. Sebab itu, kalau bukan dari buatan manusia, bukanlah dia karangan atau kiriman dari tuhan-tuhan yang lain. Sebab selain Allah tidak ada Tuhan.
“Maka tidak jugakah kamu mau menyerah?"
(ujung ayal 14)
Bahasa Arab yang tertulis di ujung ayat ialah Muslimun, jamak dari Muslim, yaitu orang-orang yang telah Islam, telah menyerahkan diri, atau telah tunduk, karena demikianlah yang benar menurut jalan pikiran yang sehat.
Dengan susunan ayat-ayat ini kita dituntun berpikir yang teratur. Kalau tidak karangan Muhammad, karena Muhammad bukan pengarang dan kamu tidak pula sanggup mengarang agak sepuluh surah, padahal kamu lebih pintar mengarang dari Muhammad, nyatalah bahwa ini bukan karangan manusia. Mesti yang lebih tinggi dari manusia. Mesti dari Allah! Karena yang Allah itu hanya Allah Yang Mahatunggal, mestilah dari Dia.
Cobalah tanyakan kepada pikiran sehatmu, “Benar begitu apa tidak?"
Kalau kamu jawab “Benar", berarti engkau menyerah kepada hasil pemikiran yang benar. Penyerahan secara sehat itu dinamai Islam.
Dan kalau tidak mau juga menyerah, padahal sudah bertemu dengan kebenaran, itulah yang disebut menolak kebenaran. Bahasa Arabnya: kafir.