Ayat
Terjemahan Per Kata
تِلۡكَ
itu
مِنۡ
dari
أَنۢبَآءِ
sebagian berita-berita
ٱلۡغَيۡبِ
gaib
نُوحِيهَآ
Kami wahyukannya
إِلَيۡكَۖ
kepadamu
مَا
tidak
كُنتَ
adalah kamu
تَعۡلَمُهَآ
kamu mengetahuinya
أَنتَ
kamu
وَلَا
dan tidak
قَوۡمُكَ
kaummu
مِن
dari
قَبۡلِ
sebelum
هَٰذَاۖ
ini
فَٱصۡبِرۡۖ
maka bersabarlah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلۡعَٰقِبَةَ
akibat/kesudahan
لِلۡمُتَّقِينَ
bagi orang-orang yang bertakwa
تِلۡكَ
itu
مِنۡ
dari
أَنۢبَآءِ
sebagian berita-berita
ٱلۡغَيۡبِ
gaib
نُوحِيهَآ
Kami wahyukannya
إِلَيۡكَۖ
kepadamu
مَا
tidak
كُنتَ
adalah kamu
تَعۡلَمُهَآ
kamu mengetahuinya
أَنتَ
kamu
وَلَا
dan tidak
قَوۡمُكَ
kaummu
مِن
dari
قَبۡلِ
sebelum
هَٰذَاۖ
ini
فَٱصۡبِرۡۖ
maka bersabarlah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلۡعَٰقِبَةَ
akibat/kesudahan
لِلۡمُتَّقِينَ
bagi orang-orang yang bertakwa
Terjemahan
Itu adalah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad). Tidak pernah engkau mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka, bersabarlah. Sesungguhnya kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.
Tafsir
(Itu adalah) ayat-ayat yang mengandung kisah Nabi Nuh (di antara berita-berita penting yang gaib) berita-berita yang belum engkau ketahui (yang Kami wahyukan kepadamu) hai Muhammad (tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak pula kaummu sebelum ini) sebelum diturunkannya Al-Qur'an ini. (Maka bersabarlah) di dalam menyampaikan risalah dan menghadapi perlakuan kaummu yang menyakitkan itu, sebagaimana Nabi Nuh bersabar (sesungguhnya kesudahan yang baik) yang terpuji (adalah bagi orang-orang yang bertakwa).
Tafsir Surat Hud: 49
Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.
Allah ﷻ berfirman kepada Nabi-Nya, bahwa kisah ini dan yang serupa dengannya adalah:
“Di antara berita-berita penting tentang yang gaib.” (Hud: 49)
Yakni termasuk di antara berita-berita yang gaib di masa lalu, Kami wahyukan kepadamu dengan apa adanya seakan-akan kamu menyaksikannya sendiri.
“Kami wahyukan kepadamu.” (Hud: 49)
Maksudnya, Kami ajarkan kepadamu tentangnya sebagai wahyu yang Kami turunkan kepadamu.
“Tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini.” (Hud: 49)
Yakni tidaklah kamu -tidak pula seseorang pun dari kaummu- mengetahui kisah ini sebelumnya, sehingga berkatalah orang-orang yang mendustakan kamu, bahwa sesungguhnya kamu telah mempelajarinya dari seseorang.
Sama sekali tidak, bahkan Allah-Iah yang memberitahukannya kepadamu sesuai dengan kejadian yang sebenarnya, seperti juga yang dikisahkan oleh kitab-kitab para nabi sebelum kamu. Maka bersabarlah terhadap pendustaan orang-orang yang mendustakan kamu dari kalangan kaummu, juga bersabarlah dalam menghadapi gangguan mereka yang menyakitkan dirimu. Karena sesungguhnya Kami pasti akan memenangkan kamu dan meliputi kamu dengan perhatian Kami, dan Kami jadikan akibat yang terpuji bagimu dan bagi para pengikutmu di dunia dan di akhirat.
Keadaannya sama dengan apa yang telah Kami lakukan terhadap para utusan lainnya, Kami menolong mereka dari musuh-musuhnya, sebagaimana yang disebutkan oleh firman Allah ﷻ:
“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman.” (Al-Mumin: 51), hingga akhir ayat.
“Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan.” (Ash-Shaffat: 171-172)
Ayat-ayat tersebut diatas sesuai dengan firman Allah ﷻ: “Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)
Itulah kisah Nabi Nuh dan umatnya. Kisah yang dipaparkan adalah
sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu, wahai
Nabi Muhammad; tidak pernah engkau mengetahui informasi kisah itu
sebelumnya dan tidak pula kaummu mengetahui kisah itu sebelum informasi Al-Qur'an ini datang. Karena itu, maka bersabarlah dalam menyampaikan tuntunan Al-Qur'an dan tabahlah dalam menghadapi gangguan kaummu, sebagaimana Nabi Nuh bersabar. Sungguh, kesudahan
yang baik adalah bagi orang yang bertakwa. Kebaikan dan kesabaran akan
membuahkan kemenangan dan pahala. Kebaikan didapat manakala
seseorang mengerjakan ketaatan, sedang kesabaran akan diperoleh
dengan meninggalkan hal-hal yang dilarang. Setelah dipaparkan kisah Nabi Nuh beserta kaumnya dan diakhiri
dengan pernyataan bahwa kesudahan baik akan diraih orang yang
bertakwa, maka pada ayat ini diuraikan tentang kisah Nabi Hud beserta kaumnya, sebagaimana firman Allah, Dan Kami mewahyukan
kepadamu, wahai Nabi Muhammad bahwa kepada kaum 'Ad, Kami
utus saudara mereka seketurunan, yaitu Nabi Hud. Dia berkata, Wahai
kaumku! Sembahlah Allah dan jangan menyembah selain Dia. Dialah
Pencipta seluruh alam seisi-nya, tidak ada tuhan bagimu yang berhak
disembah selain Dia. Dan apa pun yang selama ini kamu sembah, itu
hanyalah mengada-ada karena bukti tentang keesaan dan kekuasaan
Allah sudah jelas.
Pada ayat ini, Allah ﷻ menjelaskan kepada Nabi Muhammad saw, bahwa kisah Nuh a.s. itu dan kisah nabi-nabi lainnya adalah berita penting yang termasuk dalam soal-soal gaib yang diwahyukan Allah kepadanya, yang belum pernah diketahuinya dan belum pernah pula diketahui oleh kaumnya sebelum itu, sehingga mereka bisa menuduhnya bahwa kisah itu diperolehnya dari orang lain. Tetapi Allah-lah yang mewahyukan kisah itu kepada Muhammad sesuai dengan kejadian yang sebenarnya sebagaimana yang diterangkan dalam kitab-kitab para nabi sebelumnya. Seandainya ada di antara kaumnya yang pernah mendengarnya, maka pengetahuan mereka itu hanya secara global dan samar-samar.
Oleh karena itu, sekalipun berbagai tuduhan mereka lemparkan terhadap Muhammad saw, tetapi Allah memerintahkannya supaya bersabar menghadapi kaumnya yang banyak menyakitkan hatinya; sebagaimana Nuh a.s. bersabar menghadapi kaumnya yang mengejek dan mencemoohkannya beratus-ratus tahun lamanya. Hal serupa itu sudah menjadi sunnah Allah pada rasul-rasul-Nya. Namun demikian, kesudahannya adalah kemenangan dan keberuntungan bagi orang-orang yang bertakwa dan sabar. Sebaliknya, kekalahan dan kerugian akan menimpa orang-orang yang membangkang terhadap kebenaran dan orang-orang yang berbuat jahat. Ini sesuai dengan ayat-ayat lain seperti firman Allah:
Sesungguhnya Kami akan menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tampilnya para saksi (hari Kiamat). (al-Mumin/40: 51)
Dalam Al-Qur'an tidak diterangkan dengan tegas berapa usia Nabi Nuh a.s., tetapi hanya disebutkan dalam firman-Nya sebagai berikut:
Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-orang yang zalim. (al-Ankabut/29: 14)
Yang jelas ayat tersebut hanya menyatakan bahwa Nuh a.s. tinggal di antara kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun. Ada kemungkinan bahwa rentang waktu tersebut hanya menunjuk pada jangka waktu dalam menyampaikan dakwah kepada kaumnya. Dan ada kemungkinan pula bahwa itulah jumlah seluruh usianya termasuk di dalam masa menyampaikan dakwah.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SERUAN NUH KEPADA ALLAH
Ayat 45
“Dan menyedulah kepada Allahnya"
Dapat juga kata menyeru itu diartikan berdoa atau munajat, menyampaikan perasaan yang amat terasa di hati. “Lalu dia berkata, ‘Allahku! Sesungguhnya, anakku adalah termasuk ahliku dan sesungguhnya janji-Mu adalah benar!"
Di sinilah Nuh menyatakan keluhan hati ya ng ikhlas kepada Allah. Sebagaimana tersebut di dalam ayat 40 di atas tadi, beliau disuruh Allah membawa segala ahlinya ke dalam kapal, kemudian itu termasuk pula orang-orang yang beriman. Memang Allah menyatakan bahwa yang dikecualikan dari ahlinya itu ialah orang-orang yang terlebih dahulu sudah ditentukan Allah buat tidak masuk. Tetapi waktu itu Allah tidak menjelaskan bahwa anaknya itu termasuk orang yang dituliskan tidak akan masuk itu. Sekarang ternyata anak kandung beliau sendiri tenggelam ke dalam laut. Betapa jadinya janji Allah? Dalam janji Allah segala ahli boleh masuk? Sedang janji Allah selalu benar? Bukankah anak itu ahliku jua?
“Dan Engkau adalah sebaik-baik Hakim."
Dengan ayat ini Nabi Nuh meminta penjelasan dari Allah sendiri, untuk menghilangkan musykil hatinya. Nyata Nuh bersedih hati karena anak kandungnya hilang ke dasar laut. Tetapi kepercayaan Nuh akan kebijaksanaan Allah tidak sedikit pun goncang dan kurang lantaran itu. Sebab itulah dia bertanya.
Lalu Allah berfirman menjawab pertanyaan Nuh itu,
Ayat 46
“Dia berfirman, ‘Hai, Nuh! Sesungguhnya, dia bukanlah termasuk ahlimu.'"
Suatu jawaban yang tegas dari Allah yang sebelum sampai kepada pertanyaan sebab, sengaja anaknya dikatakan bukan ahlinya, ahli-ahli tafsir sendiri banyak yang membuat beberapa kemungkinan. Kata setengah, dia itu adalah anak tiri atau anak tepatan. Malahan ada yang membuat khayal lagi bahwa anak itu adalah anak tidak sah sehingga mereka buat tuduhan yang tidak-tidak, mengatakan anak itu adalah hasil hubungan istri Nuh dengan laki-laki di luar sepengetahuan Nuh. Tetapi ahli-ahli tafsir yang muktamad, sejak dari Thabari, ar-Razi, Ibnu Katsir, al-Qurtubi, dan lain-lain, telah membantah khayalan demikian. Meskipun diakui memang istri Nuh dan istri Luth sebagai tersebut di ayat 10 surah at-Tahriim yang diturunkan di Mekah bahwa keduanya mengkhianati kedua suaminya yang saleh itu, bukanlah berarti mereka berzina. Malahan ditegaskan bahwa istri nabi tidaklah ada yang melakukan zina. Mereka khianat karena yang sepatutnya mereka menyokong suami, malahan mereka tiada peduli.
Mengapaiah mereka membuat khayal yang demikian, padahal lanjutan ayat sudah terang menyatakan mengapa anak Nuh itu disebutkan bukan keluarga Nuh. Firman Allah selanjutnya, “Sesungguhnya, dia adalah amalan yang tidak saleh!' Artinya, soalnya sekarang ini bukanlah soal ahli sekeluarga karena anak kandung, melainkan soal ahli ada juga hubungannya dengan amal yang saleh, dengan kesetiaan si anak itu sendiri menjunjung tinggi ajaran ayahnya.
Nabi Allah Nuh menyerukan amalan yang saleh, sebagai hasil dari aqidah yang benar, yaitu aqidah tauhid. Tetapi putranya sendiri tidak menuruti garis yang digariskan ayahnya itu. Dengan demikian, tentu hubungan batin telah putus meskipun hubungan darah masih ada.
Mungkin sekali Nuh tidak mengetahui bahwa anak kandungnya yang satu itu, yang kata setengah ahli tafsir bernama Yam dan setengahnya lagi mengatakan bahwa dia bernama Kana'an, Nuh tidak mengetahui bahwa anak itu sama sekali tidak mengikut seruan ayahnya. Mungkin sekali anak itu lebih rapat hubungannya dengan orang-orang yang memusuhi ayahnya. Sebab itu, tatkala seluruh keluarga disuruh masuk ke dalam bahtera diiringi oleh orang-orang beriman yang kecil jumlahnya itu, si anak hanya bersilengah saja, tiada memedulikan seruan ayahnya. Dan Allah pun telah memperingatkan terlebih dahulu bahwa ada di antara ahli itu telah tertulis di sisi Allah bahwa mereka tidak akan masuk, namun Nuh tidak juga tahu siapa gerangan orangnya. Kemudian setelah air telah menggelegak dari permukaan bumi, sampai juga dari dalam tungku yang biasanya penuh api, Nabi Nuh menyuruh mana-mana yang belum naik supaya naik, sedangkan pintu lagi terbuka, namun anak yang satu itu tetap tidak memedulikan. Kemudian air pun telah nyata naik, namun si anak walaupun diajak oleh ayahnya dengan sungguh-sungguh, namun dia mencari dalih juga mengatakan bahwa kalau air bertambah naik, dia akan mendaki ke puncak gunung. Akhirnya ombak besar menggulung, anak pun terbataslah dengan ayah, buat selamanya tidak akan bertemu lagi. Nabi Nuh yang tidak mengetahui duduk soal lalu bermohon penjelasan dari Allah, lalu dijawab oleh Allah bahwa anak itu bukanlah ahlinya karena amal anak itu tidak saleh. Lalu Allah melanjutkan, “Maka janganlah engkau mohon kepada-Ku hal yang engkau tidak tahu!' Sebab soalnya bukanlah soal semata-mata dia tenggelam karena enggan masuk bahtera, melainkan soal yang jauh lebih dahulu daripada itu, yang engkau sendiri, hai Nuh, tidak mengetahuinya selama ini. Bahkan dengan penolakannya ketika engkau ajak naik itu saja, sudah nyata bahwa dia bukanlah ahli engkau. Kalau dia ahli engkau, yaitu ahli yang telah bertali karena aqidah, niscaya perintah engkau supaya naik ke bahtera sebab gelombang sudah mulai besar, akan segera dilakukannya. Tidak ada ombak pun, kalau seorang umat diperintah oleh nabinya, wajiblah dia mematuhinya. Dan di penutupnya Allah berfirman,
“Aku ajari engkau janganlah engkau termasuk orang-orang yang bodoh."
Seorang Nabi janganlah termasuk golongan orang bodoh. Hanya orang bodoh yang lebih mementingkan kekeluargaan walaupun keluarga itu tidak mau menerima iman. Orang yang mempunyai tujuan hidup untuk menegakkan jalan Allah tidaklah demikian halnya.
Tetapi dapatlah pertanyaan Nuh dan seruannya kepada Allah itu patutlah kita pahami dalam keadaan beliau sebagai manusia. Betapapun keras mempertahankan pendirian, namun hati seorang manusia akan tergetar juga melihat anak kandung mesti tenggelam ke dalam gulungan ombak besar walaupun anak itu tidak beramal yang saleh. Ibrahim pun sampai memohon kepada Allah agar ayahnya diberi ampunan walaupun Ibrahim tahu bahwa ayah itu penyembah berhala, bahkan tukang membuat berhala. Dan Ibrahim sebagai manusia pun tertegun, sampai digoda oleh setan, sampai Ibrahim terpaksa melempar setan yang menggodanya itu tujuh kali, ketika dia hendak pergi melaksanakan mimpinya akan menyembelih anaknya. Nabi Muhammad saw, sendiri duduk tertegun beriba hati ketika paman yang dicintainya Abu Thalib akan meninggal dunia, karena mengharap pamannya itu mengakui Islam lebih dahulu sebelum mati. Tetapi keinginan beliau itu tidak tercapai, sampai datang ayat menjelaskan kepada beliau,
“Sesungguhnya, tidaklah engkau dapat memberi petunjuk orang yang engkau cintai. Melainkan Allah-lah yang akan memberi petunjuk kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Dan Dia lebih mengetahui siapa yang dapat petunjuk itu" (al-Qashash: 56)
Dan Nabi kita Muhammad ﷺ pun lebih mengerti bahwa anak bungsu yang paling dicintainya, Ibrahim, meninggal dunia ialah karena sudah ajal. Tetapi sebagai ayah yang besar harapan kepada anak laki-laki terakhir karena anak laki-laki yang lain semuanya telah meninggal di waktu kecil, titik juga air matanya. Dia menangis sebab dia manusia. Tetapi sikapnya di dalam tangis dan sedihnya itu tetap tidak berubah sebagai seorang nabi.
Demikianlah Nuh, demikianlah Ibrahim dan demikian pula Muhammad ﷺ
Demi mendengar jawaban Allah sejelas itu, tunduk tafakurlah Nuh lalu,
Ayat 47
“Dia berkata, ‘Atlahku! Aku berlindung kepada Engkau bahwa aku akan memohon kepada Engkau, barang yang tidak ada padaku ilmu dengannya.'"
Artinya dengan segala kerendahan hati Nuh menyatakan bahwa dia bertanya demikian itu bukanlah karena ingin hendak melampaui ilmu Allah Ta'aala, hanya semata-mata hendak menambah ilmunya jua, karena insaf akan kekurangan pengalamannya. Nuh lalu melanjutkan dengan permohonan,
“Dan jika tidak Engkau ampuni dan rahmati aku, jadilah aku dari golongan orang-orang yang rugi."
Begitulah sikap permohonan seorang rasul terhadap kepada Allahnya. Dalam kekhilafan yang sedikit pun, mereka tetap memohon ampun. Karena betapapun kebajikan yang diperbuat, belum jugalah sepadan rasanya dengan nikmat yang dilimpahkan Allah. Sebab itulah, orang yang saleh dan berbuat baik terus-menerus, terus-menerus pula mereka memohon ampun.
TURUN DENGAN SELAMAT
Ayat 48
“Difirmankan," oteh Allah, “Wahai, Nuh! Turunlah," dari bahtera itu, “Dengan keselamatan dari Kami dan berkat."
Selamat tidak kurang suatu apa selama di dalam pelayaran yang dahsyat itu, disertai dengan berkah; dan selamat serta berkah itu diterima langsung dan Allah, “atas engkau" sendiri, “dan atas umat-umat dari orang-orang yang beserta engkau." Artinya ucapan selamat Ilahi dan berkah-Nya itu bukan saja terhadap diri Nabi Nuh, bahkan meliputi juga kepada umat-umat yang akan lahir dari keturunan orang-orang yang telah ikut dengan beliau di dalam bahtera itu. Yang meskipun di waktu dalam bahtera mereka hanya sedikit saja, terdiri atas laki-laki dan perempuan, namun dalam diri mereka telah tersimpan umat-umat belakang hari yang akan mereka turunkan kelak."Dan beberapa umat yang akan Kami senangkan hidup mereka." Setelah mereka berkembang biak di muka bumi ini, ada di kalangan mereka yang diberi Allah kesenangan hidup dan kemewahan, tetapi mereka tidak pandai mempergunakan kesenangan yang sementara itu sebaik-baiknya,
“Kemudian, akan mengenai kepada mereka, dari Kami, adzab yang pedih."
Artinya, dari keluarga Nabi Nuh dan orang-orang yang beriman yang masuk bahtera itu kelaknya akan berkembanglah umat-umat dan macam-macam jugalah yang akan kejadian dari perkembangan bangsa-bangsa itu di belakangan hari. Ada yang insaf akan kebenaran dan ada yang tenggelam dalam kesenangan dan kemewahan lalu lupa kepada Allah dan mereka pun jadi binasa.
BEBERAPA KETERANGAN
Menjadi pembicaraan juga dalam kalangan ahli-ahli sejarah dan penyelidik keadaan bumi, untuk pembuktian manusia purbakala tentang topan zaman Nabi Nuh itu, apakah topan itu meliputi seluruh permukaan bumi ataukah hanya sebagian bumi saja.
Menurut al-Maqrizhi, seluruh penganut agama, pengikut nabi-nabi, baik Islam maupun Yahudi atau Nasrani, semuanya sama kepercayaannya bahwa Nabi Nuh itu adalah
Bapak Kedua dari manusia bahwa keturunan Adam ialah melalui Nuh sehingga tidak ada satu orang atau satu kelompok manusia di muka bumi ini yang bukan keturunan Adam melalui Nuh. Tetapi menurut al-Maqrizhi seterusnya, orang Kopti, orang Majusi, orang Hindu, dan orang Cina berpendapat lain; mereka tidak mengakui adanya topan Nabi Nuh. Setengah memercayai bahwa topan itu meskipun ada, hanya terbatas di bagian Babilonia dan di sebelah negeri-negeri bagian barat saja. Menurut mereka, manusia pertama itu bernama Kiomrat. Kepercayaan mereka tentang Kiomrat manusia pertama sama dengan kepercayaan kita tentang Nabi Adam. Mereka berdiam di negeri sebelah timur dari Babilonia; topan itu tidak sampai ke daerah mereka dan tidak juga sampai ke Hindustan dan Cina. Tetapi yang benar ialah pegangan ahli-ahli syari'at (Islam, Yahudi, dan Nasrani), yaitu setelah Nuh diselamatkan bersama orang-orang yang turut dalam kapal itu, mereka pun turun. Semuanya ada 80 orang, selain dari anak-anak Nabi Nuh. Orang-orang yang 80 itu berturut-turut meninggal dengan tidak meninggalkan keturunan. Yang berketurunan hanyalah anak-anak Nabi Nuh yang bertiga itu. Ini dikuatkan oleh firman Allah sendiri (surah ash-Shaffaat: 77),
“Dan telah Kami jadikan keturunannyalah yang kekal tinggal." (ash-Shaaffaat: 77)
Selain al-Maqrizhi di dalam kitabnya al-Khithath menulis demikian itu, Ibnul Atsir pun menulis seperti itu pula di dalam karangannya al-Kamil.
Ibnu Khaldun pun menulis, “Mereka berpendapat bahwa topan yang ada di zaman Nuh dan dakwahnya itu telah memusnahkan bumi yang diramaikan manusia seluruhnya, sehingga runtuhlah segala tempat yang makmur, dan orang-orang yang turut serta dengan dia di dalam bahtera itu semuanya meninggal dan tidak meninggalkan turunan. Sebab itu, penduduk bumi ini adalah keturunan Nuh dan dia adalah Bapak Kedua dari seluruh manusia."
Dijadikan juga alasan oleh golongan sarjana yang menguatkan bahwa topan itu meliputi seluruh permukaan bumi di waktu itu ialah terdapatnya bekas-bekas yang ajaib pada lapisan-lapisan bumi dan dapat disaksikan timbunan-timbunan kulit kerang, baik di daratan bumi sampai ke puncak-puncak bumi dan gunung. Di lembah-lembah bertemu bekas-bekas dan fosil dari binatang-binatang purbakala dan tumbuh-tumbuhan berbagai ragam. Setengahnya tertonjol ke atas dan di dekat itu terdapat pula yang bertemu ketika digali. Di dalam gua-gua didapati orang tulang-tulang binatang berbagai bentuk yang mengagumkan. Didapati pula sisa-sisa alat perkakas manusia purbakala. Semuanya itu membuktikan bahwa topan pun sampai meliputi tempat itu. Semuanya terpaksa berkumpul di sana, tetapi dihancurkan oleh topan. Setengahnya tertimbun ke bawah lapisan kulit bumi, yang kian lama kian membatu, untuk digali orang yang datang di belakang akan jadi bukti atas kekuasaan dan kebesaran Allah.
Syekh Muhammad Abduh sebagai mufti dari Kerajaan Mesir, pernah ditanyai orang pendapat beliau tentang itu. Maka beliau jawab pertanyaan itu demikian,
“Di dalam Al-Qur'an tidaklah bertemu nash yang pasti yang dapat dijadikan ke-putusan tentang topan Nabi Nuh itu. Dan tidak pula dijelaskan apakah risalah Nuh itu umum untuk seluruh manusia di muka bumi ini. Dan apa yang tersebut di dalam hadits-hadits, meskipun ada yang sah sanadnya, semuanya adalah hadits ahad yang tidak menjadikan yakin. Padahal dalam menetapkan soal-soal yang akan dijadikan iktikad seperti ini mestilah yakin, bukan semata-mata zhan.
Adapun ahli-ahli sejarah atau ahli penyelidik, mereka pun di dalam membina suatu teori, haditsnya pun hanyalah zhan juga, yang didapat setelah mempertimbangkan di antara fakta-fakta dan data yang diambil dari cerita orang atau sejarah, atau hasil selidik seseorang (research). Apa yang disimpulkan oleh ahli sejarah atau ahli tafsir pada soal ini tidak juga lebih dari percaya atau tidak percayanya yang bersangkutan terhadap perkabaran itu; tidak juga dapat dijadikan pegangan untuk aqidah agama. Adapun berkenaan dengan kejadian topan itu sendiri, itu pun menjadi perselisihan pula di antara ahli-ahli agama dan ahli penyelidik tentang lapisan-lapisan bumi, dan perselisihan pendapat pula di antara ahli sejarah bangsa-bangsa. Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan ulama-ulama Islam berpendirian bahwa topan Nabi Nuh itu meliputi seluruh bumi ini. Pegangan penganut-penganut agama itu disetujui pula oleh kebanyakan ahli-ahli pikir. Alasan mereka ialah karena didapati lokan-lokan, kulit kerang, dan ikan-ikan yang telah menjadi batu di puncak-puncak gunung, padahal barang semacam ini nyatalah isi lautan. Terdapatnya di puncak gunung-gunung menunjukkan bahwa satu waktu dahulunya air telah sampai ke puncak gunung itu. Dan itu tidak akan terjadi kalau air tidak merata meliputi seluruh permukaan bumi.
Tetapi ahli-ahli pemikir zaman mutakhir berpendapat bahwa topan itu tidaklah meliputi seluruh bumi. Mereka pun mengemukakan bukti-bukti yang panjang lebar mempertahankan pendapat ini. Tetapi seorang pemeluk Islam tidaklah boleh mengingkari adanya topan ini meliputi seluruh permukaan bumi, semata-mata karena hendak menerima cerita dari orang Cina atau semata-mata karena ayat-ayat Kitab Suci bisa saja ditakwilkan atau diputarkan maksudnya. Bahkan pemeluk agama tidak layak menafsirkan sesuatu yang telah dijelaskan oleh ayat dan hadits yang sah sanadnya lalu berpindah kepada takwil membelokkan arti ayat kecuali dengan dalil akal yang pasti bahwa maksud ayat atau hadits bukan mestinya demikian. Untuk sampai kepada kesimpulan seperti itu sangatlah memerlukan penyelidikan yang panjang dan mendalam, kesungguh-sungguhan yang tak mengenal payah dan ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan tentang arkeologi atau geografi dan segala ilmu yang bertali dengan itu, yang banyak sangkut pautnya, baik sebagai suatu ilmu yang diterima sebagai data maupun menurut akal. Maka barangsiapa membuat suatu kesimpulan sendiri tanpa ilmu yang yakin, orang itu berarti bekerja dengan se-rampangan, semaunya saja. Kesimpulan yang demikian tidaklah akan didengarkan orang dan tidak dibenarkan dia menyebar-nyebarkan kebodohannya. Dan Allah dalam segala hal adalah lebih tahu!" Sekian Syekh Muhammad Abduh (meninggal 1905), dalam kedudukannya sebagai Mufti Kerajaan Mesir.
Ada pula yang berpendapat bahwa topan itu adalah umum meliputi manusia yang ada pada waktu itu sebab bumi belumlah begitu ramai kecuali baru kaum Nuh. Sebab itu, topan adalah umum juga meskipun keumuman itu masih terbatas pada mereka sebab belum ada manusia lain kecuali mereka.
Mereka berkata, ‘Turunlah Adam ke muka bumi, sedangkan dia di waktu itu belum lagi dapat disebut umat. Tetapi setelah lewat beberapa kurun, barulah ada umat sebagai turunan dari Adam. Adam hanya datang dua laki istri. Keturunannya itulah yang berkembang dengan berangsur-angsur. Jarak dari masa Adam dan masa Nuh adalah delapan keturunan. Maka jika turunan dari delapan angkatan (generasi) itu menurunkan pula anak-pinak berlipat ganda beribu-ribu, lalu terpencar-pencar di muka bumi ini dan perpindahan baru dengan jalan kaki, lalu membangun hidup yang lebih maju ber-tamaddun, niscaya hal itu mesti tersebut di dalam sejarah sebagai suatu keajaiban.
Adapun alasan yang diambil dari terdapatnya tulang-tulang ikan dan kerang di puncak gunung dan bukit, kalau memang hal itu tersebab topan Nabi Nuh, belumlah yang demikian itu cukup untuk bukti yang pasti. Dan boleh jadi juga tulang-tulang ikan itu dibawa oleh manusia ke sana di zaman purbakala, yang menghendaki masa yang lama."
Demikianlah beberapa alasan yang di-kemukakan oleh segolongan lagi, yang percaya akan adanya topan Nabi Nuh, tetapi mereka belum dapat menjadikan suatu kepastian bahwa di kala itu seluruh dunia telah didiami oleh manusia.
Adapun perkembangan pengetahuan karena penyelidikan ahli-ahli keadaan bumi yang mutakhir, telah sampai pula kepada kesimpulan bahwasanya muka bumi ini telah didiami oleh manusia berpuluh ribu, bahkan beratus ribu tahun yang lalu. Dan meskipun bagaimana kemajuan penyelidikan modern itu, namun semuanya tidaklah dapat membantah dan menggugurkan kepercayaan bahwa suatu waktu telah terjadi topan Nabi Nuh.
Ayat 49
“Demikian itulah sebagian dari beiita gaib, yang Kami wahyukan dianya kepada engkau."
Dengan ini, dijelaskanlah kepada kita bahwasanya cerita Nabi N uh di dalam Al-Qur'an ini adalah semata-mata wahyu Ilahi kepada Muhammad ﷺ. Bagi Nabi Muhammad ﷺ sendiri berita ini dahulunya belum beliau ketahui selengkapnya. Sebab itu, bagi beliau, hal ini adalah gaib. Mungkin juga sudah ada cerita mulut ke mulut dari Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) tersebar di masyarakat Arab Jahiliyah, tetapi tidaklah jelas benar. Sebab itu, dijelaskan lagi pada sambungan ayat, “Tidaklah ada engkau mengetahuinya!' Artinya tidaklah ada pengetahuan nabi kita Nabi Muhammad ﷺ tentang berita gaib ini dengan terperinci, “Engkau, dan tidak juga kaum engkau sebelum ini." Artinya, baik engkau ataupun kaum engkau di negeri Mekah itu, tidaklah seorang juga yang mengetahui berita ini selengkapnya. Bagi kaum Nabi Muhammad, bangsa Arab umumnya dan Quraisy khususnya, tidaklah ada pengetahuan tentang kisah Nabi Nuh ini. Terang saja, sebab mereka tidaklah memeluk agama Yahudi atau Nasrani, sehingga tidak ada kata pusaka yang mereka terima tentang berita ini. Sebab itu, baik bagi Nabi Muhammad ﷺ maupun bagi kaumnya, berita ini adalah berita baru.
“Maka sabarlah, sesungguhnya akibat baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa."
(ujung ayat 49)