Ayat
Terjemahan Per Kata
وَنَادَىٰ
dan berseru
نُوحٞ
Nuh
رَّبَّهُۥ
Tuhannya
فَقَالَ
maka/lalu dia berkata
رَبِّ
ya Tuhanku
إِنَّ
sesungguhnya
ٱبۡنِي
anakku
مِنۡ
dari/termasuk
أَهۡلِي
keluargaku
وَإِنَّ
dan sesungguhnya
وَعۡدَكَ
janji Engkau
ٱلۡحَقُّ
benar
وَأَنتَ
dan Engkau
أَحۡكَمُ
paling adil menghukum
ٱلۡحَٰكِمِينَ
para penghukum
وَنَادَىٰ
dan berseru
نُوحٞ
Nuh
رَّبَّهُۥ
Tuhannya
فَقَالَ
maka/lalu dia berkata
رَبِّ
ya Tuhanku
إِنَّ
sesungguhnya
ٱبۡنِي
anakku
مِنۡ
dari/termasuk
أَهۡلِي
keluargaku
وَإِنَّ
dan sesungguhnya
وَعۡدَكَ
janji Engkau
ٱلۡحَقُّ
benar
وَأَنتَ
dan Engkau
أَحۡكَمُ
paling adil menghukum
ٱلۡحَٰكِمِينَ
para penghukum
Terjemahan
Nuh memohon kepada Tuhannya seraya berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.”
Tafsir
(Dan Nuh berseru kepada Rabbnya seraya berkata, "Ya Rabbku! Sesungguhnya anakku) yaitu Kan'an (termasuk keluargaku) sedangkan Engkau telah menjanjikan kepadaku akan menyelamatkan mereka (dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar) janji yang tidak akan diingkari. (Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya.") paling mengetahui masalah kehakiman dan paling adil.
Tafsir Surat Hud: 45-47
Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.
Allah berfirman, "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkanmu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang bodoh.
Nuh berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya). Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.
Ayat 45
Sebuah permintaan yang penuh dengan rasa berserah diri dan kejujuran dari Nuh a.s. tentang keadaan anaknya yang ditenggelamkan: “Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku’." (Hud: 45) Maksudnya, sedangkan Engkau telah menjanjikan kepadaku keselamatan seluruh keluargaku, dan janji-Mu adalah benar, tidak akan diingkari; maka mengapa Engkau menenggelamkannya. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.
Ayat 46
Allah berfirman, "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu." (Hud: 46) yang telah Aku janjikan keselamatan mereka, karena sesungguhnya Aku hanya menjanjikan kepadamu keselamatan orang-orang yang beriman saja dari kalangan keluargamu.
Karena itulah dalam ayat yang lain disebutkan oleh firman-Nya: “Dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka.” (Hud: 40, Al-Muminun: 27) Putra Nabi Nuh itu termasuk di antara mereka yang telah ditakdirkan harus ditenggelamkan karena kekafirannya dan menentang perintah ayahnya sebagai Nabi Allah. Banyak dari kalangan para imam yang me-nas-kan kekeliruan orang yang berpendapat bahwa anak yang ditenggelamkan tersebut bukanlah putranya, dalam tafsir ayat ini. Dan ia mengatakan bahwa anak tersebut adalah anak zina.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, anak yang ditenggelamkan tersebut adalah anak istri Nabi Nuh, yaitu anak tirinya. Demikianlah menurut riwayat yang bersumberkan dari Mujahid, Al-Hasan, Ubaid ibnu Umair, Abu Ja'far Al-Baqir, dan Ibnu Juraij. Sebagian dari mereka berdalilkan kepada firman Allah ﷻ yang mengatakan:
“Sesungguhnya perbuatannya tidak baik.” (Hud: 46)
“Lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya.” (At-Tahrim: 10)
Di antara orang yang mengatakan pendapat tersebut adalah Al-Hasan Al-Basri yang berdalilkan kepada kedua ayat di atas.
Sebagian dari mereka mengatakan anak istrinya, yakni anak tiri Nuh a.s. Pendapat ini dapat diartikan sependapat dengan apa yang dimaksudkan oleh Al-Hasan; atau dia bermaksud bahwa anak tersebut dinisbatkan kepada Nuh a.s. secara majaz (kiasan), karena anak tersebut dipelihara di rumah Nuh a.s. Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf mengatakan bahwa tidak ada seorang istri nabi pun yang berbuat zina.
Mengenai firman-Nya yang mengatakan: “Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu.” (Hud: 46) yang telah Aku janjikan kepadamu keselamatan mereka. Pendapat Ibnu Abbas dalam tafsir ayat ini adalah benar, dan tidak ada jalan untuk menghindar darinya. Karena sesungguhnya Allah ﷻ sangat pencemburu dan tidak akan mungkin Dia biarkan ada seorang istri nabi yang berbuat zina. Karena itulah Allah ﷻ sangat murka terhadap orang-orang yang menuduh hal yang tidak senonoh terhadap Ummul Muminin Siti Aisyah putri Abu Bakar As-Siddiq, istri Nabi ﷺ. Dan Dia mengingkari orang-orang mukmin yang mempergunjingkan hal ini serta menyiarkannya. Untuk itulah disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, tetapi hal itu mengandung kebaikan bagi kalian. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.” (An-Nur: 11) sampai dengan firman-Nya: “(Ingatlah) di waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kalian katakan dengan mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui sedikit pun juga, dan kalian menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah hal itu adalah besar.” (An-Nur: 15)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah dan lain-lainnya, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa anak itu memang anaknya, hanya dia bertentangan dengan ayahnya dalam hal amal dan niat (akidah). Dalam sebagian qiraatnya Ikrimah mengatakan bahwa sesungguhnya anak itu telah melakukan suatu perbuatan yang tidak baik, dan perbuatan khianat (seperti yang disebutkan di atas) bukanlah pada tempatnya. Telah disebutkan pula di dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ membacanya dengan bacaan tersebut.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Asma binti Yazid yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ membacakan ayat ini dengan bacaan berikut: “Sesungguhnya perbuatannya tidak baik.” (Hud: 46) Ia pernah pula mendengar Nabi ﷺ membacakan firman-Nya: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (Az-Zumar: 53) Yakni tanpa mempedulikannya. “Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Az-Zumar: 53)
Imam Ahmad mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Harun An-Nahwi, dari Sabit Al-Bannani, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah ﷺ membacanya dengan bacaan berikut: “Sesungguhnya perbuatannya tidak baik.” (Hud: 46) Imam Ahmad mengulangi pula riwayat ini dalam kitab Musnad-nya. Ummu Salamah adalah Ummul Muminin, tetapi menurut makna lahiriahnya hanya Allah yang lebih mengetahui dia adalah Asma binti Yazid, karena Asma binti Yazid pun dijuluki dengan nama panggilan itu (yakni Ummu Salamah).
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Ibnu Uyaynah, dari Musa ibnu Abu Aisyah, dari Sulaiman ibnu Qubbah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas ketika berada di sisi Ka'bah ditanya mengenai firman Allah ﷻ: “Lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya.” (At-Tahrim: 10) Maka Ibnu Abbas menjawab, "Ingatlah, sesungguhnya bukan karena zina, melainkan si istri tersebut menceritakan kepada orang-orang bahwa suaminya gila." Dan hal ini tentu saja menunjukkan kepada pengertian perbuatan khianat. Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: “Sesungguhnya perbuatannya tidak baik.” (Hud: 46)
Ibnu Uyaynah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ammar Az-Zahabi, bahwa ia pernah bertanya kepada Sa'id ibnu Jubair mengenai hal tersebut. Maka Sa'id ibnu Jubair menjawab bahwa dia memang anak Nabi Nuh, Allah tidak pernah berdusta. Allah ﷻ telah berfirman: “Dan Nuh berseru memanggil anaknya.” (Hud: 42) Sebagian ulama mengatakan bahwa tiada seorang istri nabi yang berbuat fasik. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Ad-Dahhak, Maimun ibnu Mahran, dan Sabit ibnul Hajjaj. Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Ja'far ibnu Jarir, dan pendapat inilah yang benar, tidak diragukan lagi.
Dan setelah Nabi Nuh beserta orang-orang beriman selamat dan
kapal berlabuh, lalu Nabi Nuh memohon kepada Tuhannya sambil berkata,
Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, sedang
Engkau telah memerintahkan kepadaku mengajak keluargaku masuk ke dalam kapal agar selamat, dan aku yakin bahwa janji-Mu akan menyelamatkan mereka itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling
adil dalam menentukan ketetapan. Mengabarkan perihal putra Nabi Nuh yang ikut tenggelam, Dia
yang Mahaadil dan Bijaksana berfirman, Wahai Nuh! Sesungguhnya
putramu (Kan'an), dia bukanlah termasuk keluargamu yang dijanjikan
akan diselamatkan, karena dalam Pengetahuan-Ku, dia tidak beriman,
berlaku jahat, durhaka, bahkan mengingkarimu sendiri. Perbuatan
yang ia lakukan sungguh tidak baik. Oleh sebab itu, jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui hakikatnya. Aku menasihatimu agar tidak meminta sesuatu yang belum diketahui dengan yakin
bahwa permohonan itu benar atau wajar, agar engkau tidak termasuk
golongan orang yang bodoh.
Pada ayat ini diterangkan bahwa Nabi Nuh a.s. memohon kepada Tuhan agar anaknya yang bernama Kanan atau Yam diselamatkan dari topan itu, karena anaknya itu adalah termasuk keluarganya dan Allah telah menjanjikan bahwa keluarganya akan diselamatkan dari topan, dan janji Allah adalah benar, tidak berubah, dan Ia adalah Hakim Yang Paling Bijaksana dari segala hakim. Doa Nabi Nuh a.s. ini terjadi sebelum anaknya tenggelam, sesudah ia memanggil dan mengajaknya supaya turut masuk ke dalam kapal itu.
Meskipun Nabi Nuh a.s. tidak mengetahui bahwa ia, setelah diperintahkan Allah membuat kapal, masih diperkenankan memohon doa bagi orang-orang kafir, sedang anaknya sudah nyata-nyata membangkang tidak mau diajak masuk ke dalam kapal, tetapi ia belum yakin bahwa anaknya itu termasuk orang-orang kafir yang harus turut ditenggelamkan, apalagi ia didorong oleh perasaan kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SERUAN NUH KEPADA ALLAH
Ayat 45
“Dan menyedulah kepada Allahnya"
Dapat juga kata menyeru itu diartikan berdoa atau munajat, menyampaikan perasaan yang amat terasa di hati. “Lalu dia berkata, ‘Allahku! Sesungguhnya, anakku adalah termasuk ahliku dan sesungguhnya janji-Mu adalah benar!"
Di sinilah Nuh menyatakan keluhan hati ya ng ikhlas kepada Allah. Sebagaimana tersebut di dalam ayat 40 di atas tadi, beliau disuruh Allah membawa segala ahlinya ke dalam kapal, kemudian itu termasuk pula orang-orang yang beriman. Memang Allah menyatakan bahwa yang dikecualikan dari ahlinya itu ialah orang-orang yang terlebih dahulu sudah ditentukan Allah buat tidak masuk. Tetapi waktu itu Allah tidak menjelaskan bahwa anaknya itu termasuk orang yang dituliskan tidak akan masuk itu. Sekarang ternyata anak kandung beliau sendiri tenggelam ke dalam laut. Betapa jadinya janji Allah? Dalam janji Allah segala ahli boleh masuk? Sedang janji Allah selalu benar? Bukankah anak itu ahliku jua?
“Dan Engkau adalah sebaik-baik Hakim."
Dengan ayat ini Nabi Nuh meminta penjelasan dari Allah sendiri, untuk menghilangkan musykil hatinya. Nyata Nuh bersedih hati karena anak kandungnya hilang ke dasar laut. Tetapi kepercayaan Nuh akan kebijaksanaan Allah tidak sedikit pun goncang dan kurang lantaran itu. Sebab itulah dia bertanya.
Lalu Allah berfirman menjawab pertanyaan Nuh itu,
Ayat 46
“Dia berfirman, ‘Hai, Nuh! Sesungguhnya, dia bukanlah termasuk ahlimu.'"
Suatu jawaban yang tegas dari Allah yang sebelum sampai kepada pertanyaan sebab, sengaja anaknya dikatakan bukan ahlinya, ahli-ahli tafsir sendiri banyak yang membuat beberapa kemungkinan. Kata setengah, dia itu adalah anak tiri atau anak tepatan. Malahan ada yang membuat khayal lagi bahwa anak itu adalah anak tidak sah sehingga mereka buat tuduhan yang tidak-tidak, mengatakan anak itu adalah hasil hubungan istri Nuh dengan laki-laki di luar sepengetahuan Nuh. Tetapi ahli-ahli tafsir yang muktamad, sejak dari Thabari, ar-Razi, Ibnu Katsir, al-Qurtubi, dan lain-lain, telah membantah khayalan demikian. Meskipun diakui memang istri Nuh dan istri Luth sebagai tersebut di ayat 10 surah at-Tahriim yang diturunkan di Mekah bahwa keduanya mengkhianati kedua suaminya yang saleh itu, bukanlah berarti mereka berzina. Malahan ditegaskan bahwa istri nabi tidaklah ada yang melakukan zina. Mereka khianat karena yang sepatutnya mereka menyokong suami, malahan mereka tiada peduli.
Mengapaiah mereka membuat khayal yang demikian, padahal lanjutan ayat sudah terang menyatakan mengapa anak Nuh itu disebutkan bukan keluarga Nuh. Firman Allah selanjutnya, “Sesungguhnya, dia adalah amalan yang tidak saleh!' Artinya, soalnya sekarang ini bukanlah soal ahli sekeluarga karena anak kandung, melainkan soal ahli ada juga hubungannya dengan amal yang saleh, dengan kesetiaan si anak itu sendiri menjunjung tinggi ajaran ayahnya.
Nabi Allah Nuh menyerukan amalan yang saleh, sebagai hasil dari aqidah yang benar, yaitu aqidah tauhid. Tetapi putranya sendiri tidak menuruti garis yang digariskan ayahnya itu. Dengan demikian, tentu hubungan batin telah putus meskipun hubungan darah masih ada.
Mungkin sekali Nuh tidak mengetahui bahwa anak kandungnya yang satu itu, yang kata setengah ahli tafsir bernama Yam dan setengahnya lagi mengatakan bahwa dia bernama Kana'an, Nuh tidak mengetahui bahwa anak itu sama sekali tidak mengikut seruan ayahnya. Mungkin sekali anak itu lebih rapat hubungannya dengan orang-orang yang memusuhi ayahnya. Sebab itu, tatkala seluruh keluarga disuruh masuk ke dalam bahtera diiringi oleh orang-orang beriman yang kecil jumlahnya itu, si anak hanya bersilengah saja, tiada memedulikan seruan ayahnya. Dan Allah pun telah memperingatkan terlebih dahulu bahwa ada di antara ahli itu telah tertulis di sisi Allah bahwa mereka tidak akan masuk, namun Nuh tidak juga tahu siapa gerangan orangnya. Kemudian setelah air telah menggelegak dari permukaan bumi, sampai juga dari dalam tungku yang biasanya penuh api, Nabi Nuh menyuruh mana-mana yang belum naik supaya naik, sedangkan pintu lagi terbuka, namun anak yang satu itu tetap tidak memedulikan. Kemudian air pun telah nyata naik, namun si anak walaupun diajak oleh ayahnya dengan sungguh-sungguh, namun dia mencari dalih juga mengatakan bahwa kalau air bertambah naik, dia akan mendaki ke puncak gunung. Akhirnya ombak besar menggulung, anak pun terbataslah dengan ayah, buat selamanya tidak akan bertemu lagi. Nabi Nuh yang tidak mengetahui duduk soal lalu bermohon penjelasan dari Allah, lalu dijawab oleh Allah bahwa anak itu bukanlah ahlinya karena amal anak itu tidak saleh. Lalu Allah melanjutkan, “Maka janganlah engkau mohon kepada-Ku hal yang engkau tidak tahu!' Sebab soalnya bukanlah soal semata-mata dia tenggelam karena enggan masuk bahtera, melainkan soal yang jauh lebih dahulu daripada itu, yang engkau sendiri, hai Nuh, tidak mengetahuinya selama ini. Bahkan dengan penolakannya ketika engkau ajak naik itu saja, sudah nyata bahwa dia bukanlah ahli engkau. Kalau dia ahli engkau, yaitu ahli yang telah bertali karena aqidah, niscaya perintah engkau supaya naik ke bahtera sebab gelombang sudah mulai besar, akan segera dilakukannya. Tidak ada ombak pun, kalau seorang umat diperintah oleh nabinya, wajiblah dia mematuhinya. Dan di penutupnya Allah berfirman,
“Aku ajari engkau janganlah engkau termasuk orang-orang yang bodoh."
Seorang Nabi janganlah termasuk golongan orang bodoh. Hanya orang bodoh yang lebih mementingkan kekeluargaan walaupun keluarga itu tidak mau menerima iman. Orang yang mempunyai tujuan hidup untuk menegakkan jalan Allah tidaklah demikian halnya.
Tetapi dapatlah pertanyaan Nuh dan seruannya kepada Allah itu patutlah kita pahami dalam keadaan beliau sebagai manusia. Betapapun keras mempertahankan pendirian, namun hati seorang manusia akan tergetar juga melihat anak kandung mesti tenggelam ke dalam gulungan ombak besar walaupun anak itu tidak beramal yang saleh. Ibrahim pun sampai memohon kepada Allah agar ayahnya diberi ampunan walaupun Ibrahim tahu bahwa ayah itu penyembah berhala, bahkan tukang membuat berhala. Dan Ibrahim sebagai manusia pun tertegun, sampai digoda oleh setan, sampai Ibrahim terpaksa melempar setan yang menggodanya itu tujuh kali, ketika dia hendak pergi melaksanakan mimpinya akan menyembelih anaknya. Nabi Muhammad saw, sendiri duduk tertegun beriba hati ketika paman yang dicintainya Abu Thalib akan meninggal dunia, karena mengharap pamannya itu mengakui Islam lebih dahulu sebelum mati. Tetapi keinginan beliau itu tidak tercapai, sampai datang ayat menjelaskan kepada beliau,
“Sesungguhnya, tidaklah engkau dapat memberi petunjuk orang yang engkau cintai. Melainkan Allah-lah yang akan memberi petunjuk kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Dan Dia lebih mengetahui siapa yang dapat petunjuk itu" (al-Qashash: 56)
Dan Nabi kita Muhammad ﷺ pun lebih mengerti bahwa anak bungsu yang paling dicintainya, Ibrahim, meninggal dunia ialah karena sudah ajal. Tetapi sebagai ayah yang besar harapan kepada anak laki-laki terakhir karena anak laki-laki yang lain semuanya telah meninggal di waktu kecil, titik juga air matanya. Dia menangis sebab dia manusia. Tetapi sikapnya di dalam tangis dan sedihnya itu tetap tidak berubah sebagai seorang nabi.
Demikianlah Nuh, demikianlah Ibrahim dan demikian pula Muhammad ﷺ
Demi mendengar jawaban Allah sejelas itu, tunduk tafakurlah Nuh lalu,
Ayat 47
“Dia berkata, ‘Atlahku! Aku berlindung kepada Engkau bahwa aku akan memohon kepada Engkau, barang yang tidak ada padaku ilmu dengannya.'"
Artinya dengan segala kerendahan hati Nuh menyatakan bahwa dia bertanya demikian itu bukanlah karena ingin hendak melampaui ilmu Allah Ta'aala, hanya semata-mata hendak menambah ilmunya jua, karena insaf akan kekurangan pengalamannya. Nuh lalu melanjutkan dengan permohonan,
“Dan jika tidak Engkau ampuni dan rahmati aku, jadilah aku dari golongan orang-orang yang rugi."
Begitulah sikap permohonan seorang rasul terhadap kepada Allahnya. Dalam kekhilafan yang sedikit pun, mereka tetap memohon ampun. Karena betapapun kebajikan yang diperbuat, belum jugalah sepadan rasanya dengan nikmat yang dilimpahkan Allah. Sebab itulah, orang yang saleh dan berbuat baik terus-menerus, terus-menerus pula mereka memohon ampun.
TURUN DENGAN SELAMAT
Ayat 48
“Difirmankan," oteh Allah, “Wahai, Nuh! Turunlah," dari bahtera itu, “Dengan keselamatan dari Kami dan berkat."
Selamat tidak kurang suatu apa selama di dalam pelayaran yang dahsyat itu, disertai dengan berkah; dan selamat serta berkah itu diterima langsung dan Allah, “atas engkau" sendiri, “dan atas umat-umat dari orang-orang yang beserta engkau." Artinya ucapan selamat Ilahi dan berkah-Nya itu bukan saja terhadap diri Nabi Nuh, bahkan meliputi juga kepada umat-umat yang akan lahir dari keturunan orang-orang yang telah ikut dengan beliau di dalam bahtera itu. Yang meskipun di waktu dalam bahtera mereka hanya sedikit saja, terdiri atas laki-laki dan perempuan, namun dalam diri mereka telah tersimpan umat-umat belakang hari yang akan mereka turunkan kelak."Dan beberapa umat yang akan Kami senangkan hidup mereka." Setelah mereka berkembang biak di muka bumi ini, ada di kalangan mereka yang diberi Allah kesenangan hidup dan kemewahan, tetapi mereka tidak pandai mempergunakan kesenangan yang sementara itu sebaik-baiknya,
“Kemudian, akan mengenai kepada mereka, dari Kami, adzab yang pedih."
Artinya, dari keluarga Nabi Nuh dan orang-orang yang beriman yang masuk bahtera itu kelaknya akan berkembanglah umat-umat dan macam-macam jugalah yang akan kejadian dari perkembangan bangsa-bangsa itu di belakangan hari. Ada yang insaf akan kebenaran dan ada yang tenggelam dalam kesenangan dan kemewahan lalu lupa kepada Allah dan mereka pun jadi binasa.
BEBERAPA KETERANGAN
Menjadi pembicaraan juga dalam kalangan ahli-ahli sejarah dan penyelidik keadaan bumi, untuk pembuktian manusia purbakala tentang topan zaman Nabi Nuh itu, apakah topan itu meliputi seluruh permukaan bumi ataukah hanya sebagian bumi saja.
Menurut al-Maqrizhi, seluruh penganut agama, pengikut nabi-nabi, baik Islam maupun Yahudi atau Nasrani, semuanya sama kepercayaannya bahwa Nabi Nuh itu adalah
Bapak Kedua dari manusia bahwa keturunan Adam ialah melalui Nuh sehingga tidak ada satu orang atau satu kelompok manusia di muka bumi ini yang bukan keturunan Adam melalui Nuh. Tetapi menurut al-Maqrizhi seterusnya, orang Kopti, orang Majusi, orang Hindu, dan orang Cina berpendapat lain; mereka tidak mengakui adanya topan Nabi Nuh. Setengah memercayai bahwa topan itu meskipun ada, hanya terbatas di bagian Babilonia dan di sebelah negeri-negeri bagian barat saja. Menurut mereka, manusia pertama itu bernama Kiomrat. Kepercayaan mereka tentang Kiomrat manusia pertama sama dengan kepercayaan kita tentang Nabi Adam. Mereka berdiam di negeri sebelah timur dari Babilonia; topan itu tidak sampai ke daerah mereka dan tidak juga sampai ke Hindustan dan Cina. Tetapi yang benar ialah pegangan ahli-ahli syari'at (Islam, Yahudi, dan Nasrani), yaitu setelah Nuh diselamatkan bersama orang-orang yang turut dalam kapal itu, mereka pun turun. Semuanya ada 80 orang, selain dari anak-anak Nabi Nuh. Orang-orang yang 80 itu berturut-turut meninggal dengan tidak meninggalkan keturunan. Yang berketurunan hanyalah anak-anak Nabi Nuh yang bertiga itu. Ini dikuatkan oleh firman Allah sendiri (surah ash-Shaffaat: 77),
“Dan telah Kami jadikan keturunannyalah yang kekal tinggal." (ash-Shaaffaat: 77)
Selain al-Maqrizhi di dalam kitabnya al-Khithath menulis demikian itu, Ibnul Atsir pun menulis seperti itu pula di dalam karangannya al-Kamil.
Ibnu Khaldun pun menulis, “Mereka berpendapat bahwa topan yang ada di zaman Nuh dan dakwahnya itu telah memusnahkan bumi yang diramaikan manusia seluruhnya, sehingga runtuhlah segala tempat yang makmur, dan orang-orang yang turut serta dengan dia di dalam bahtera itu semuanya meninggal dan tidak meninggalkan turunan. Sebab itu, penduduk bumi ini adalah keturunan Nuh dan dia adalah Bapak Kedua dari seluruh manusia."
Dijadikan juga alasan oleh golongan sarjana yang menguatkan bahwa topan itu meliputi seluruh permukaan bumi di waktu itu ialah terdapatnya bekas-bekas yang ajaib pada lapisan-lapisan bumi dan dapat disaksikan timbunan-timbunan kulit kerang, baik di daratan bumi sampai ke puncak-puncak bumi dan gunung. Di lembah-lembah bertemu bekas-bekas dan fosil dari binatang-binatang purbakala dan tumbuh-tumbuhan berbagai ragam. Setengahnya tertonjol ke atas dan di dekat itu terdapat pula yang bertemu ketika digali. Di dalam gua-gua didapati orang tulang-tulang binatang berbagai bentuk yang mengagumkan. Didapati pula sisa-sisa alat perkakas manusia purbakala. Semuanya itu membuktikan bahwa topan pun sampai meliputi tempat itu. Semuanya terpaksa berkumpul di sana, tetapi dihancurkan oleh topan. Setengahnya tertimbun ke bawah lapisan kulit bumi, yang kian lama kian membatu, untuk digali orang yang datang di belakang akan jadi bukti atas kekuasaan dan kebesaran Allah.
Syekh Muhammad Abduh sebagai mufti dari Kerajaan Mesir, pernah ditanyai orang pendapat beliau tentang itu. Maka beliau jawab pertanyaan itu demikian,
“Di dalam Al-Qur'an tidaklah bertemu nash yang pasti yang dapat dijadikan ke-putusan tentang topan Nabi Nuh itu. Dan tidak pula dijelaskan apakah risalah Nuh itu umum untuk seluruh manusia di muka bumi ini. Dan apa yang tersebut di dalam hadits-hadits, meskipun ada yang sah sanadnya, semuanya adalah hadits ahad yang tidak menjadikan yakin. Padahal dalam menetapkan soal-soal yang akan dijadikan iktikad seperti ini mestilah yakin, bukan semata-mata zhan.
Adapun ahli-ahli sejarah atau ahli penyelidik, mereka pun di dalam membina suatu teori, haditsnya pun hanyalah zhan juga, yang didapat setelah mempertimbangkan di antara fakta-fakta dan data yang diambil dari cerita orang atau sejarah, atau hasil selidik seseorang (research). Apa yang disimpulkan oleh ahli sejarah atau ahli tafsir pada soal ini tidak juga lebih dari percaya atau tidak percayanya yang bersangkutan terhadap perkabaran itu; tidak juga dapat dijadikan pegangan untuk aqidah agama. Adapun berkenaan dengan kejadian topan itu sendiri, itu pun menjadi perselisihan pula di antara ahli-ahli agama dan ahli penyelidik tentang lapisan-lapisan bumi, dan perselisihan pendapat pula di antara ahli sejarah bangsa-bangsa. Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan ulama-ulama Islam berpendirian bahwa topan Nabi Nuh itu meliputi seluruh bumi ini. Pegangan penganut-penganut agama itu disetujui pula oleh kebanyakan ahli-ahli pikir. Alasan mereka ialah karena didapati lokan-lokan, kulit kerang, dan ikan-ikan yang telah menjadi batu di puncak-puncak gunung, padahal barang semacam ini nyatalah isi lautan. Terdapatnya di puncak gunung-gunung menunjukkan bahwa satu waktu dahulunya air telah sampai ke puncak gunung itu. Dan itu tidak akan terjadi kalau air tidak merata meliputi seluruh permukaan bumi.
Tetapi ahli-ahli pemikir zaman mutakhir berpendapat bahwa topan itu tidaklah meliputi seluruh bumi. Mereka pun mengemukakan bukti-bukti yang panjang lebar mempertahankan pendapat ini. Tetapi seorang pemeluk Islam tidaklah boleh mengingkari adanya topan ini meliputi seluruh permukaan bumi, semata-mata karena hendak menerima cerita dari orang Cina atau semata-mata karena ayat-ayat Kitab Suci bisa saja ditakwilkan atau diputarkan maksudnya. Bahkan pemeluk agama tidak layak menafsirkan sesuatu yang telah dijelaskan oleh ayat dan hadits yang sah sanadnya lalu berpindah kepada takwil membelokkan arti ayat kecuali dengan dalil akal yang pasti bahwa maksud ayat atau hadits bukan mestinya demikian. Untuk sampai kepada kesimpulan seperti itu sangatlah memerlukan penyelidikan yang panjang dan mendalam, kesungguh-sungguhan yang tak mengenal payah dan ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan tentang arkeologi atau geografi dan segala ilmu yang bertali dengan itu, yang banyak sangkut pautnya, baik sebagai suatu ilmu yang diterima sebagai data maupun menurut akal. Maka barangsiapa membuat suatu kesimpulan sendiri tanpa ilmu yang yakin, orang itu berarti bekerja dengan se-rampangan, semaunya saja. Kesimpulan yang demikian tidaklah akan didengarkan orang dan tidak dibenarkan dia menyebar-nyebarkan kebodohannya. Dan Allah dalam segala hal adalah lebih tahu!" Sekian Syekh Muhammad Abduh (meninggal 1905), dalam kedudukannya sebagai Mufti Kerajaan Mesir.
Ada pula yang berpendapat bahwa topan itu adalah umum meliputi manusia yang ada pada waktu itu sebab bumi belumlah begitu ramai kecuali baru kaum Nuh. Sebab itu, topan adalah umum juga meskipun keumuman itu masih terbatas pada mereka sebab belum ada manusia lain kecuali mereka.
Mereka berkata, ‘Turunlah Adam ke muka bumi, sedangkan dia di waktu itu belum lagi dapat disebut umat. Tetapi setelah lewat beberapa kurun, barulah ada umat sebagai turunan dari Adam. Adam hanya datang dua laki istri. Keturunannya itulah yang berkembang dengan berangsur-angsur. Jarak dari masa Adam dan masa Nuh adalah delapan keturunan. Maka jika turunan dari delapan angkatan (generasi) itu menurunkan pula anak-pinak berlipat ganda beribu-ribu, lalu terpencar-pencar di muka bumi ini dan perpindahan baru dengan jalan kaki, lalu membangun hidup yang lebih maju ber-tamaddun, niscaya hal itu mesti tersebut di dalam sejarah sebagai suatu keajaiban.
Adapun alasan yang diambil dari terdapatnya tulang-tulang ikan dan kerang di puncak gunung dan bukit, kalau memang hal itu tersebab topan Nabi Nuh, belumlah yang demikian itu cukup untuk bukti yang pasti. Dan boleh jadi juga tulang-tulang ikan itu dibawa oleh manusia ke sana di zaman purbakala, yang menghendaki masa yang lama."
Demikianlah beberapa alasan yang di-kemukakan oleh segolongan lagi, yang percaya akan adanya topan Nabi Nuh, tetapi mereka belum dapat menjadikan suatu kepastian bahwa di kala itu seluruh dunia telah didiami oleh manusia.
Adapun perkembangan pengetahuan karena penyelidikan ahli-ahli keadaan bumi yang mutakhir, telah sampai pula kepada kesimpulan bahwasanya muka bumi ini telah didiami oleh manusia berpuluh ribu, bahkan beratus ribu tahun yang lalu. Dan meskipun bagaimana kemajuan penyelidikan modern itu, namun semuanya tidaklah dapat membantah dan menggugurkan kepercayaan bahwa suatu waktu telah terjadi topan Nabi Nuh.
Ayat 49
“Demikian itulah sebagian dari beiita gaib, yang Kami wahyukan dianya kepada engkau."
Dengan ini, dijelaskanlah kepada kita bahwasanya cerita Nabi N uh di dalam Al-Qur'an ini adalah semata-mata wahyu Ilahi kepada Muhammad ﷺ. Bagi Nabi Muhammad ﷺ sendiri berita ini dahulunya belum beliau ketahui selengkapnya. Sebab itu, bagi beliau, hal ini adalah gaib. Mungkin juga sudah ada cerita mulut ke mulut dari Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) tersebar di masyarakat Arab Jahiliyah, tetapi tidaklah jelas benar. Sebab itu, dijelaskan lagi pada sambungan ayat, “Tidaklah ada engkau mengetahuinya!' Artinya tidaklah ada pengetahuan nabi kita Nabi Muhammad ﷺ tentang berita gaib ini dengan terperinci, “Engkau, dan tidak juga kaum engkau sebelum ini." Artinya, baik engkau ataupun kaum engkau di negeri Mekah itu, tidaklah seorang juga yang mengetahui berita ini selengkapnya. Bagi kaum Nabi Muhammad, bangsa Arab umumnya dan Quraisy khususnya, tidaklah ada pengetahuan tentang kisah Nabi Nuh ini. Terang saja, sebab mereka tidaklah memeluk agama Yahudi atau Nasrani, sehingga tidak ada kata pusaka yang mereka terima tentang berita ini. Sebab itu, baik bagi Nabi Muhammad ﷺ maupun bagi kaumnya, berita ini adalah berita baru.
“Maka sabarlah, sesungguhnya akibat baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa."
(ujung ayat 49)