Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱصۡنَعِ
dan buatlah
ٱلۡفُلۡكَ
bahtera
بِأَعۡيُنِنَا
dengan pengawasan Kami
وَوَحۡيِنَا
dan petunjuk wahyu Kami
وَلَا
dan janganlah
تُخَٰطِبۡنِي
kamu bicarakan dengan aku
فِي
didalam/tentang
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ظَلَمُوٓاْ
(mereka) dzalim
إِنَّهُم
sesungguhnya mereka
مُّغۡرَقُونَ
orang-orang yang ditenggelamkan
وَٱصۡنَعِ
dan buatlah
ٱلۡفُلۡكَ
bahtera
بِأَعۡيُنِنَا
dengan pengawasan Kami
وَوَحۡيِنَا
dan petunjuk wahyu Kami
وَلَا
dan janganlah
تُخَٰطِبۡنِي
kamu bicarakan dengan aku
فِي
didalam/tentang
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ظَلَمُوٓاْ
(mereka) dzalim
إِنَّهُم
sesungguhnya mereka
مُّغۡرَقُونَ
orang-orang yang ditenggelamkan
Terjemahan
Buatlah bahtera dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami dan janganlah engkau bicarakan (lagi) dengan-Ku tentang (nasib) orang-orang yang zalim. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.”
Tafsir
(Dan buatlah bahtera) perahu (dengan pengawasan Kami) dengan pengawasan dan pemeliharaan Kami (dan petunjuk wahyu Kami) yakni perintah Kami (dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim itu) orang-orang kafir itu, biarkanlah mereka binasa (sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan).
Tafsir Surat Hud: 36-39
Dan diwahyukan kepada Nuh bahwa sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja). Karena itu, janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.
Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.
Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh, "Jika kalian mengejek kami maka sesungguhnya kami (pun) mengejek kalian sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami).
Maka kelak kalian akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal.
Ayat 36
Allah ﷻ menceritakan bahwa Dia telah mewahyukan kepada Nuh di saat kaumnya minta kepadanya agar pembalasan dan azab Allah disegerakan terhadap mereka. Lalu Nabi Nuh a.s. berdoa kepada Allah yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
“Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (Nuh: 26)
“Maka dia mengadu kepada Tuhannya, bahwa aku ini adalah orang yang dikalahkan. Oleh sebab itu, menangkanlah (aku).” (Al-Qamar: 10)
Maka pada saat itulah Allah menurunkan wahyu kepada Nuh, yaitu firman-Nya bahwa sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja). Karena itu, janganlah kamu bersedih hati atas mereka dan jangan sekali-kali kamu menjadi sibuk dengan urusan mereka. (Hud: 36)
Ayat 37
“Dan buatlah bahtera itu.” (Hud: 37)
Yakni kapal itu.
“Dengan pengawasan Kami.” (Hud: 37)
Maksudnya, di hadapan Kami.
“Dan petunjuk wahyu Kami.” (Hud: 37)
Yaitu dengan petunjuk dan pengajaran Kami kepadamu tentang apa yang harus kamu lakukan.
“Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (Hud: 37)
Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi Nuh agar menanam pohon-pohonan; setelah besar ditebang, lalu dikeringkan; hal ini memakan waktu seratus tahun. Kemudian Nabi Nuh menggergaji, menyerutnya, dan menghaluskannya selama seratus tahun lagi; sedangkan menurut pendapat lain adalah empat puluh tahun.
Muhammad ibnu Ishaq telah menceritakan dari kitab Taurat, bahwa Allah ﷻ memerintahkan Nuh untuk membuat bahtera itu dari kayu saj (jati) dengan panjang delapan puluh hasta dan lebar lima puluh hasta, dan hendaknya bahtera itu dicat dengan gar (ter) bagian luar dan dalamnya, hendaknya pula dibuatkan anjungan buat membelah air.
Qatadah mengatakan bahwa bahtera Nabi Nuh mempunyai panjang tiga ratus hasta dan lebarnya lima puluh hasta.
Dari Al-Hasan, disebutkan bahwa panjangnya enam ratus hasta dan lebarnya tiga ratus hasta. Juga dari Al-Hasan dan Ibnu Abbas, disebutkan bahwa panjangnya seribu dua ratus hasta dan lebarnya enam ratus hasta.
Sedangkan menurut pendapat lain, panjangnya dua ribu hasta, dan lebarnya seratus hasta. Semuanya mengatakan bahwa tinggi bahtera Nabi Nuh adalah tiga puluh hasta, terdiri atas tiga tingkat, setiap tingkat mempunyai tinggi sepuluh hasta. Tingkatan yang paling bawah untuk hewan dan binatang liar, yang tengah untuk manusia, sedangkan yang atas untuk burung-burung. Disebutkan pula bahwa pintunya berada di bagian tengahnya, bagian atas bahtera itu beratap.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir telah menyebutkan sebuah atsar yang garib melalui hadis Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an, dari Yusuf ibnu Mahran, dari Abdullah ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan bahwa kaum Hawariyyin berkata kepada Isa ibnu Maryam, "Sebaiknya engkau mengirimkan seorang lelaki sebagai wakil dari kita semua untuk melihat bahtera itu, lalu dia akan menceritakannya kepada kita." Maka Isa ibnu Maryam membawa serta mereka pergi hingga sampai di sebuah bukit pasir, lalu Isa mengambil segenggam pasir dengan telapak tangannya dan berkata, "Tahukah kalian, apakah ini?" Mereka menjawab, "Allah dan utusan-Nya lebih mengetahui." Isa menjawab, "Ini adalah mata kaki Ham ibnu Nuh." Kemudian Nabi Isa memukul bukit pasir itu dengan tongkatnya seraya bersabda, "Berdirilah dengan seizin Allah." Tiba-tiba berdirilah Ham seraya menepiskan pasir yang ada di kepalanya yang telah beruban. Isa bertanya kepadanya, "Apakah dalam keadaan seperti ini ketika kamu mati?" Ham ibnu Nuh menjawab, "Tidak, aku meninggal dunia dalam usia yang masih muda. Tetapi aku menduga bahwa kematian itu merupakan hari kiamat, karena itulah maka aku beruban." Isa bertanya, "Ceritakanlah kepada kami tentang bahtera Nabi Nuh." Ham ibnu Nuh menjawab, "Panjangnya adalah seribu dua ratus hasta dan lebarnya enam ratus hasta. Bahtera itu terdiri atas tiga tingkat, salah satunya untuk hewan dan binatang liar, yang lainnya untuk manusia, dan yang terakhir untuk burung-burung." Ham melanjutkan kisahnya, "Setelah kotoran hewan terlalu banyak, maka Allah menurunkan wahyu kepada Nuh a.s., memerintahkan kepadanya agar menggelitik ekor gajah.
Maka Nuh a.s. menggelitiknya, lalu dari ekor gajah itu keluarlah seekor babi betina yang langsung melahap kotoran tersebut. Dan ketika tikus-tikus muncul di dalam bahtera itu, mereka menggerogoti kayu-kayu dan tali temalinya. Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nuh a.s., memerintahkannya agar memukul wajah singa di antara kedua matanya. Maka Nuh a.s. memukulnya, dan keluarlah burung elang jantan dan betina dari hidung singa itu, lalu keduanya menyambar tikus-tikus tersebut.
Isa berkata kepada Ham, "Bagaimanakah Nuh mengetahui bahwa daratan telah tenggelam?" Ham menjawab, "Nuh a.s. mengutus burung gagak yang menyampaikan berita kepadanya. Tetapi burung gagak itu menjumpai bangkai, lalu burung gagak itu hinggap padanya dan memakannya, maka Nuh a.s. berdoa kepada Allah, semoga burung gagak selalu dicekam rasa takut. Karena itulah burung gagak tidak biasa tinggal di rumah-rumah. Kemudian Nuh a.s. mengirimkan burung merpati, lalu burung merpati itu datang dengan membawa daun pohon zaitun pada paruhnya dan daun pohon tin pada kakinya. Karena itulah Nuh a.s. mengetahui bahwa seluruh negeri telah tenggelam. Lalu Nabi Nuh a.s. mengalungkan ikat pinggangnya pada leher burung merpati dan mendoakannya agar hidupnya selalu dalam aman dan jinak. Karena itulah maka burung-burung merpati biasa tinggal di rumah-rumah."
Kaum Hawariyyin berkata, "Wahai utusan Allah, bolehkah kami membawa Ham ini kepada keluarga kami dan duduk bersama kami seraya bercerita kepada kami?" Isa menjawab, "Mana mungkin orang yang tidak mempunyai rezeki dapat mengikuti kalian?" Maka Nabi Isa berkata kepada Ham, "Kembalilah kamu seperti semula dengan seizin Allah!" Maka kembalilah Ham dalam bentuk semulanya, yaitu berupa pasir.
Ayat 38
Firman Allah ﷻ: “Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewati Nuh, mereka mengejeknya.” (Hud: 38)
Mereka mengolok-oloknya dan mendustakan apa yang diancamkannya kepada mereka, yaitu banjir besar.
“Berkatalah Nuh, ‘Jika kalian mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun)’.” (Hud: 38), hingga akhir ayat.
Hal ini mengandung ancaman dan peringatan yang sangat keras.
Ayat 39
“Siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya.” (Hud: 39) Yakni menghinakannya di dunia ini.
“Dan yang akan ditimpa azab yang kekal.” (Hud: 39)
Yaitu azab yang kekal dan abadi.
Dan Allah memberikan perintah kepada Nabi Nuh, Buatlah sebuah
kapal untuk menyelamatkanmu dan pengikut-pengikutmu itu dengan
pengawasan dan petunjuk wahyu Kami tentang tata cara pembuatannya,
dan janganlah engkau bicarakan dengan Aku sesuatu hal tentang orangorang yang zalim. Apakah engkau berharap kepada-Ku agar Aku
memberi maaf kepada mereka, atau engkau memohon agar Aku
tangguhkan atau ringankan siksa bagi mereka, karena keputusan-Ku
telah Kutetapkan bahwa sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. Setelah Allah memerintahkan Nabi Nuh untuk membuat kapal dan
memberi informasi tentang keputusan Allah untuk menenggelamkan
kaumnya yang durhaka, mulailah dia, yakni Nabi Nuh membuat sebuah
kapal besar di bawah bimbingan dan petunjuk Allah. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewati Nabi Nuh yang sedang membuat
kapal, mereka mengejeknya karena mereka tidak mengetahui tentang
tujuan Nabi Nuh membuat kapal itu. Dia Nabi Nuh tidak menghiraukan
ejekan mereka dan hanya berkata, Jika kamu sekarang mengejek kami,
maka kami, yaitu aku dan orang-orang yang membantuku membuat
kapal, akan mengejekmu ketika azab itu datang sebagaimana kamu
sekarang mengejek kami terus-menerus.
Menurut riwayat Ibnu Abbas, panjang kapal itu seribu dua ratus hasta. Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah memerintahkan kepada Nuh a.s. supaya membuat kapal yang akan dipergunakan untuk menyelamatkan Nabi Nuh dan pengikutnya yang beriman dari topan (air bah) yang akan melanda dan menenggelamkan permukaan bumi sebagai azab di dunia ini kepada orang-orang kafir dari kaumnya yang selalu membangkang dan durhaka. Nabi Nuh diperintahkan membuat kapal penyelamat itu dengan petunjuk-petunjuk dan pengawasan dari Allah.
Selanjutnya pada ayat ini Allah memperingatkan Nuh a.s. agar tidak lagi berbicara dengan kaumnya yang zalim (kafir) dan tidak lagi memohon supaya dosa mereka diampuni atau dihindarkan dari azab-Nya, karena sudah menjadi ketetapan Allah bahwa mereka akan ditenggelamkan.
Larangan serupa ini telah diberikan pula kepada Nabi Ibrahim a.s. sewaktu dia memohonkan kepada Allah agar azab-Nya tidak ditimpakan kepada kaum Luth, sebagaimana disebut dalam firman-Nya:
Wahai Ibrahim! Tinggalkanlah (perbincangan) ini, sungguh, ketetapan Tuhanmu telah datang, dan mereka itu akan ditimpa azab yang tidak dapat ditolak. (Hud/11: 76)
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MEMUNCAK
Maka untuk menenteramkan hati beliau dan menghilangkan putus asanya berfirmanlah Allah,
Ayat 36
“Dan diwahyukan kepada Nuh bahwasanya tidaklah akan beriman dari kaum engkau itu, melainkan yang telah beriman (Juga)."
Artinya, tidaklah akan ada tambahannya lagi. Itu ke itu jugalah orang yang akan percaya. Yang lain akan tetap menantang dan tidak mau percaya.
“Maka janganlah engkau berduka cita dari apa yang telah mereka kerjakan."
Alangkah pentingnya ayat ini untuk menjadi tuntunan dan pimpinan bagi para penyeru jalan kebenaran, mubalig, dan terutama orang yang telah dihargai kaumnya seperti ulama, supaya mereka memerhatikan nasihat Allah kepada Nuh itu, janganlah berduka cita karena pengikut yang beriman itu tidak bertambah, hanya sebesar yang ada itu sajalah.
yang memang telah beriman juga. Cobalah gambarkan! Seorang Rasulullah yang mencapai usia selama itu, hampir seribu tahun, disambut dengan begitu dingin oleh kaumnya. Namun demikian, Allah selalu menyuruhnya sabar, jangan berduka cita dan jangan berputus asa. Yang engkau kerjakan itu adalah suatu tugas, suatu kewajiban. Tentang hasil dari tugasmu itu adalah ketentuan dari Allah.
Bagaimana bagi kita yang disebut orang sebagai ulama? Yang selalu dikatakan penyambut warisan dari nabi-nabi? Apalah baru artinya perjuangan kita dalam usia sependek ini untuk melaksanakan tugas sebagai pewaris tersebut? Padahal usia kita tidaklah seper-sepuluh dari usaha beliau Nabi Nuh pada umumnya?
PERINTAH MEMBUAT KAPAL
Lalu firman Allah selanjutnya,
Ayat 37
“Dan buatlah sebuah kapal di hadapan mata-mata Kami dan dengan wahyu Kami."
Di sinilah datang perintah Allah kepada Nuh supaya segera membuat kapal atau bahtera, yaitu di bawah penglihatan mata Allah sendiri. Disebut di sini bahwa mata Allah itu banyak, yakni kata jamak lebih dari dua mata. Memang Allah itu bersifat melihat, tetapi tidaklah layak di sini kita membicarakan pula apakah yang dimaksud di sini benar-benar banyak mata? Atau berarti penglihatan saja? Artinya, Nabi Nuh membuat kapal itu selalu beliau dipimpin oleh wahyu bagaimana cara membuat kapal itu. Karena kononnya, sebelum bahtera Nabi Nuh itu, manusia belumlah pandai membuat alat untuk berlayar.
“Dan janganlah engkau hadapkan kepada -Ku dari hal orang-orang yang zalim itu" Artinya, janganlah engkau mengeluh lagi atau mengadu jika orang-orang yang zalim itu selalu mengganggu dan mengusik engkau, bahkan bersabarlah engkau mengerjakan peker-jaanmu membuat kapal itu karena,
“Sesungguhnya,mereka akan ditenggelamkan."
Lebih baik engkau bersabar dan jangan bersakit hati, dan jangan mengeluh jika ada gangguan dari mereka. Karena apabila engkau ladeni gangguan itu, akan terlambat pekerjaanmu, padahal di dalam keputusan Allah telah tertentu bahwa mereka akan ditenggelamkan.
Ayat 38
“Dan dibuatnyalah kapal itu."
Artinya, dilaksanakannyalah apa yang diperintahkan oleh Allah. Menurut setengah ahli tafsir, bertahun-tahun lamanya, kononnya seratus tahun sejak menanam kayu yang akan dijadikan bahtera itu, sampai kepada menebang dan menggergajinya. Bermacam-macamlah kata ahli tafsir tentang panjang dan lebar bahtera itu. Menurut Qatadah 300 hasta panjangnya, 50 hasta lebar. Al-Hasan mengatakan panjang 600 hasta, lebar 300 hasta. Ibnu Abbas mengatakan panjangnya 1.200 hasta, lebar 600 hasta.
Maka bersungguh-sungguhlah beliau mengerjakan bahtera itu siang dan malam. Niscaya ada orang yang Mukmin yang membantunya, tetapi akan berapa banyaklah mereka itu."Dan setiap lalu di hadapannya serombongan dari kaumnya itu, menghinalah mereka kepadanya." Menjadi buah cemoohan mereka sebab bahtera itu diperbuat di tengah padang, dihinakan dan tidak dipercayai bahwa Allah akan sanggup memperlayarkan kapal itu. Apakah Nuh hendak lari? Apakah mereka hendak ditenggelamkan? Dan berbagai ragam ejekan yang lain. Untuk menyambut penghinaan itu,
“Dia pun berkata, “Jika kamu hinakan kami, sesungguhnya kami pun akan menghinakan kamu, sebagaimana kamu menghinakan kami itu (pula). ‘“
Kalian boleh menertawakan dan mengejek kami pada hari ini. Namun kelak akan datang masanya, kamilah yang akan mengejek dan
menghinakan kamu sebab adzab siksaan Allah pasti datang kepada kamu.
Ayat 39
“Maka kelak akan tahulah kamu siapakah yang akan didatanginya oleh adzab yang akan merendahkannya."
Lihat sendirilah nanti siapakah di antara kita yang akan dapat siksaan itu, kamikah atau kamu yang sekarang mengejek dan menghina merendahkan kami.
“Dan yang akan menimpa kepadanya adzab yang tetap."
Dengan demikianlah, Nabi Nuh menyambut ejekan dan penghinaan mereka tatkala beliau asyik menyelesaikan pekerjaan yang berat itu, dibantu oleh beberapa pengikutnya dalam jumlah kecil, yang sangat setia.
Ayat 40
“Sehingga apabila datang perintah Kami dan menggelegaklah tanah."
Perintah Allah datang, menggelegak atau menggejolaklah air dari dalam tanah. Di mana-mana air pun tumbuh dengan tidak semena-mena banyaknya. Tanah yang tadinya tidak ada air atau tidak ada mata air atau sumur, sekarang menerbitkan air, “Maka berfirmanlah Kami" (Kata Allah), “Hai, Nuh! Bawalah padanya!" yaitu pada bahtera yang telah selesai engkau kerjakan itu, “dari tiap-tiap jenis sepasang." Bawalah dua-dua, seekor jantan, seekor betina, baik binatang jinak maupun binatang liar, lalu masukkan ke dalam kapal itu, “Dan keluarga engkau!' Artinya bawa pula ikut serta keluarga engkau."Kecuali orang-orang yang telah terdahulu atasnya kata!' Artinya segala anggota keluarga bawalah serta, bawalah masuk ke dalam bahtera itu kecuali orang-orang yang sudah ditentukan oleh Allah bahwa mereka tidak akan ikut. Meskipun misalnya Nuh ingin juga membawa serta mereka, mereka tidak juga akan ikut masuk bahtera itu. Maka kalau terjadi ada di antara anggota keluarga itu yang tidak dapat masuk atau tidak mau masuk, sudahlah diperingatkan lebih dahulu oleh Allah pada ayat 37 di atas tadi, yaitu supaya Nuh jangan memintakan kepada Allah agar orang-orang yang aniaya disamakan dengan orang yang beriman. Dan pada lanjutan ayat dijelaskan lagi siapa-siapa yang akan masuk itu, “Dan orang-orang yang beriman" Orang yang telah menyatakan percaya, orang-orang yang dari semula telah menyambut baik segala seruan Nuh. Tetapi ujung ayat menjelaskan lagi,
“Dan tidaklah beriman sentanya kecuali sedikit."
Beratus tahun bekerja mengadakan dakwah kepada kaumnya, hanya sedikit yang mau beriman, yang sedikit itulah yang disuruh masuk ke dalam bahtera itu.
Satu riwayat yang diterima orang dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa manusia juga masuk ke dalam bahtera itu hanya 80 orang, termasuk di dalamnya perempuan-perempuan. Menurut Ka'bul Ahbaar, 72 orang semuanya. Termasuklah di sana Nuh sendiri dan ketiga putranya laki-laki yang namanya dikenal dalam sejarah yang menurunkan serpih belahan keturunan manusia dunia ini, yaitu Sam, Ham, dan Yafits. Masing-masing dengan istrinya. Anak yang keempat yang di dalam catatan tafsir-tafsir disebut Yarn, itulah yang tenggelam. Termasuk juga dalam yang tenggelam itu istri Nuh sendiri, sebagaimana yang dijelaskan dalam surah at-Tahriim ayat 10 bahwa istri Nuh dan istri Luth sama nasibnya, sama-sama binasa, meskipun suami mereka orang-orang yang saleh.
Kemudian itu, patut juga kita jelaskan sedikit tentang tannur, yang tersebut di dalam pangkal ayat 40 ini,
“Menggelegaklah tannur."
Telah kita artikan bahwa yang menggelegak, membusat-busat air keluar dari dalam tanah. Kita artikan tannur dengan tanah.
menurut satu tafsir dari Ibnu Abbas, yang berarti permukaan bumi. Maka jadilah seluruh permukaan bumi menjadi mata air sehingga air itu pun keluar dari tannur yang menurut setengah ahli bahasa berarti tempat yang berapi, yaitu tungku tempat memasak.
Setelah segala keluarga dan orang-orang yang beriman dalam jumlah kecil itu naik dan telah naik pula binatang-binatang sepasang-sepasang, seekor jantan, seekor betina, dan air pun kian lama kian naik juga, dan bahtera itu sudah mulai terapung di permukaan air, maka datanglah firman Allah,
Ayat 41
“Dan berkatalah dia, ‘Naiklah kepadanya dengan nama Allah.'"
Ingatlah bahwasanya engkau bersama keluarga dan orang-orang yang beriman ini naik ke dalam bahtera yang penuh sesak adalah atas kehendak Allah. Sebab itu, naikilah dia dengan nama Allah, “Di kala berlayarnya dan di kala berlabuhnya," kelak. Ingatlah nama Allah ketika bahtera mulai berlayar dan ingatlah pula kelak nama Allah ketika bahtera akan berlabuh di tempat yang kelak akan ditentukan oleh Allah pula,
“Sesungguhnya, Allahku adalah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang,"
Makna yang mendalam dari ujung ayat ini dapatlah kita rasakan kalau kita telah membiasakan diri berjihad pada jalan Allah. Jihad pada jalan Allah, yang dahulu telah di-tempuh oleh rasul-rasul Allah itu benar-benar menghendaki tenaga, pikiran, dan kadang-kadang air mata dan darah, bahkan maut. Kadang-kadang melihat betapa besarnya rin-tangan yang dihadapi, timbullah ragu-ragu, apakah benar janji yang telah dijanjikan Allah itu. Kalau benar, mengapa tidak juga datang janji itu, padahal kita tidak tahan lagi (tengok surah al-Baqarah ayat 214, “Apakah ada kamu menyangka bahwa kamu akan masuk saja ke dalam surga, padahal belum datang kepada kamu sebagaimana yang datang kepada orang-orang yang terdahulu daripada kamu; mereka disentuh oleh berbagai kesusahan dan berbagai penyakit, dan sampai juga digoncangkan, sampai berkata rasul dan orang beriman bersama dia, ‘Bilakah akan datang pertolongan Allah?'"
Begitulah suasana Rasulullah Nuh dan orang-orang yang beriman beserta beliau berpuluh tahun lamanya. Sulit dan susah yang dihadapi, namun pertolongan Allah yang dijanjikan belum juga datang sehingga kadang-kadang timbullah duka cita hati, sebagaimana yang telah dibayangkan Allah pada ayat 36 di atas tadi bahwa Nabi Nuh dibujuk, dilarang berduka cita.
Maka ujung ayat 41 ini menjelaskan lagi keadaan itu, untuk dapat dipahami oleh tiap-tiap mujahidin fi sabilillah, pejuang menegakkan jalan Allah, bahwa karena besarnya rintangan, mereka pernah mengeluh, mungkin pernah berputus asa, atau mengomel atau berduka cita. Sekarang, Allah melepaskan mereka dan bahaya itu sebab Allah menunjukkan kasih sayang-Nya, dengan membawa mereka berlayar dalam bahtera itu.
Hal ini dapat dibandingkan pula dengan firman Allah dalam surah an-Nashr yang ditu-runkan Allah setelah Nabi Muhammad ﷺ berhasil menaklukkan Mekah, yang delapan tahun lamanya sejak pindah (hijrah) ke Madinah, beliau sangat mengharapkan suatu waktu akan dapat merebut kota Mekah itu juga dari tangan musyrikin. Sebelum cita itu tercapai, niscaya akan ada juga keluhan batin dan keputusasaan. Kalau tidak pada Rasul sendiri, niscaya ada pada kalangan orang-orang yang beriman beserta Nabi. Maka datanglah surah an-Nashr, “Apabila telah datang pertolongan Allah; dan engkau lihat manusia masuk ke dalam agama Allah berduyun-duyun, maka ucapkanlah kesucian disertai pujian terhadap Allah engkau; dan mohonkanlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya;Allah itu adalah pemberi tobat"
Bahtera itu telah mulai terapung ke atas permukaan air karena bumi mulailah terendam. Lalu datanglah lanjutan firman Allah menerangkan keadaan kapal itu,
Ayat 42
“Dan berlayarlah dia, membawa mereka di dalam ombak yang laksana gunung-gunung."
Isyarat ayat ini yang mengatakan bahwa kapal telah berlayar di dalam ombak yang tinggi laksana setinggi gunung, memberi tanda bagi kita bahwa topan halilintar besar telah turun. Niscaya berembus keras dan bumi pun kian lama kian terendam. Air kian naik sehingga yang datar tidak kelihatan lagi. Air bertambah naik sehingga kaki bukit-bukit dan gunung-gunung pun mulai terendam. Dan manusia yang tidak dapat naik ke dalam bahtera itu niscaya mulailah berduyun mendaki tempat yang tinggi, yang sekira-kira air tidaklah akan sampai ke sana. Di antara mereka itu terdapatlah salah seorang putra Nuh, yang menurut para ahli tafsir bernama Yam. Ada juga yang menyebut namanya Kana'an. Lalu Allah melanjutkan kisahnya dalam wahyu, “Dan memanggillah Nuh kepada anaknya, sedangkan anaknya itu ada di suatu tempat yang terpisah jauh." Sudah terpisah jauh karena sang ayah sudah berada dalam bahtera, sedangkan anak sedang berjuang bersama orang banyak hendak mendaki bukityang lebih tinggi karena hendak membebaskan diri dari air yang kian lama kian naik itu. Sebab si anak menyangka betapapun besar air dan banjir itu, tidaklah akan sampai ke lereng bukit, apatah lagi akan merendam puncak gunung. Nabi Nuh menyeru,
“Wahai, anakku! Naiklah bersama kami dan janganlah engkau berada bensama orang-orang yang tidak percaya
Perhatikan pulalah rahasia perikemanusiaan, rahasia cinta ayah yang telah tua kepada anak kandungnya, penyambung turunannya. Meskipun Allah telah berkali-kali memperingatkan, meskipun Allah telah melarang memohonkan perlindungan Allah bagi orang-orang yang aniaya, karena orang-orang itu pasti tenggelam (ayat 37), dan meskipun Allah telah menjelaskan bahwa di antara ahli beliau ada yang telah tertentu lebih dahulu bahwa mereka tidak akan dapat masuk, namun Nuh sebagai ayah, masih belum putus harapan bahwa anaknya akan terpelihara. Nuh sebagai ayah tidak juga tahan hati melihat anaknya akan binasa. Sebab itu, diajaknya, marilah naik sedang ada kesempatan, sebelum air bertambah naik dan ombak bertambah besar. Tetapi bagaimana jawaban awak? Allah di dalam wahyu menceritakan bagaimana sambutan anak itu,
Ayat 43
“Dia menjawab, ‘Aku akan berlindung ke gunung, yang akan menyelamatkan aku dari air.'"
Sampai kepada saat yang amat genting itu si anak masih saja memandang soal ini sebagai soal yang enteng. Dia masih menyangka bahwa air tidak akan naik ke puncak gunung. Barangkali dia menyangka bahwa orang yang di daratlah yang akan selamat, bukan orang yang dalam bahtera.
Kemudian Nuh pun berkata, “Tidak ada yang akan menyelamatkan di hari ini dari ketentuan Allah kecuali orang yang dikasihi-Nya" Begitulah seruan kasih sang ayah, yang tergetar hatinya melihat air bertambah naik dan dia diberi tahu langsung dari Allah bahwa seluruh permukaan bumi sampai ke puncak gunung-gunung akan terendam air.
Tetapi apa yang terjadi selanjutnya? Sebelum si anak sempat menjawab kembali seruan ayahnya atau sebelum si anak sempat memanjat dinding kapal, atau bergayut pada tali yang mungkin akan diulurkan, terjadilah apa yang dikira-kirakan oleh si ayah. Lanjutan ayat mengatakan, “Dan dihalangilah di antara keduanya oleh ombak!" Artinya, air bertambah naik dan ombak gelombang yang laksana gunung itu membataslah di antara ayah dan anak. Sehingga betapapun si anak hendak mencoba merenangi tepi kapal, tidaklah dia kuat lagi menyongsong ombak itu dan sang ayah yang berdiri di pinggir atau di geladak kapal pun tidak pula lagi dapat berbuat apa-apa. Dengan kesaksian sang ayah sendiri, di hadapan mata beliau, anak itu tenggelam digulung ombak. Betapapun kasihannya seorang ayah, tidaklah dia dapat mengubah apa yang telah ditentukan Allah terlebih dahulu dalam janji-Nya, sebagaimana telah dibayangkan Allah pada ayat yang ke-40 tadi.
“Maka jadilah dia dari golongan orang-orang yang ditenggelamkan."
Sedangkan sebuah kapal besar, apabila tenggelam ke dalam laut, betapapun dahsyatnya, namun bila kapal itu telah hilang dari permukaan laut, kesannya pun tidak kelihatan lagi. Dia telah hilang tak berbekas, apatah lagi seorang manusia. Maka tersebutlah bahwasanya air pun tidak berapa lama kemudian bertambah naik dan naik juga, sehingga tingginya air dari puncak gunung yang paling tinggi lebih dari 15 hasta. Kata setengah tafsir bahkan 80 mil. Wallahu aTam!
Maka terkatung-katunglah kapal itu di permukaan lautan, dengan tidak melihat sedikit pun tanah daratan karena memang semuanya telah tenggelam, semuanya telah berada di bawah permukaan laut. Maka tidaklah berke-tentuan lagi ke mana arah yang akan dituju, sampai kepada suatu waktu yang Allah sendiri yang menentukannya.
Ayat 44
“Dan difirmankanlah, ‘Hai, Bumi! Telanlah airmu; hai, langit, berhentilah,'" menurunkan hujan.
Bumi pun melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Air yang tergenang mulai diisapnya dan langit pun demikian pula, hujan pun tidak turun lagi."Dan surutlah air," hujan tak turun lagi, “dan selesailah perintah" yaitu apa yang dikehendaki oleh Allah, apa yang diperintahkan Allah kepada bumi dan langit-Nya telah selesai dilaksanakan menurut rencana semula yang tidak berubah sebab dia adalah rencana Allah sendiri."Dan berlabuhlah dia di Judi," yaitu oleh karena bumi sudah kering oleh karena air sudah surut dan susut, dengan sendirinya kapal itu terdampar di sebuah tempat bernama Judi.
Adh-Dhahhak mengatakan bahwa Judi itu adalah nama sebuah bukit di Maushil (Irak) sekarang. Tetapi sebagaimana telah kita masukkan ketika menafsirkan ayat-ayat cerita Nabi Nuh dalam surah Yuunus ayat 72 yang telah lalu, ahli-ahli sarjana zaman modern, bukan saja pemeluk Islam, bahkan pemeluk Yahudi dan Nasrani pun mewarisi kepercayaan ini dari wahyu, telah menyelidiki di mana letak Gunung Judi itu. Menurut penyelidikan mereka, Gunung Judi adalah dalam gugusan pegunungan Ararat, yang terletak di batas antara Turki dan Soviet Rusia. Telah ditilik bekas-bekas bahtera Nuh itu, yang karena telah terlalu lama, bahtera itu telah membatu, menjadi fosil. Dan demikian bunyi lanjutan ayat,
“Dan difirmankanlah, ‘Kebinasaanlah bagi kaum yang zalim.'"
Artinya, selain dari yang selamat masuk bahtera, yang lainnya tenggelam semuanya, tak ada sisanya lagi. Dan itulah yang selalu dikenal dengan sebutan Topan Nabi Nuh.
Menurut yang diriwayatkan oleh Alba bin Ahmar, yang diterimanya dari Ikrimah, dan Ikrimah menerima dari Ibnu Abbas, penumpang bahtera itu semua berjumlah 80 orang, laki-laki dan perempuan. Lamanya mereka terkatung-katung selama 150 hari. Menurut Qatadah pula dan beberapa perawi yang lain, mulai bahtera terkatung lepas dari bumi pada 10 Rajab dan setelah terkatung 150 hari lalu terdampar. Maka keluarlah mereka dari dalamnya pada 10 Muharram, yang dikenal dengan sebutan ‘Asyura. Ibnu Jarir dalam tafsirnya ada menyalinkan sebuah hadits (marfu') tentang turun dari kapal 10 Muharram ini, berkenaan dengan anjuran puasa di hari itu.
Mungkin ada juga orang-orang tak bersalah atau teraniaya turut-turutan yang tenggelam ditelan ombak gelombang topan itu. Maka tersebutlah dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Aisyah, istri Rasulullah ﷺ bahwa adalah seorang perempuan menggendong anaknya yang masih sangat kecil sedang sarat menyusu. Setelah air bertambah naik, takutlah perempuan itu anaknya akan tenggelam, padahal dia sangat mencintainya. Maka digendongnyalah anak itu mendaki gunung, sampai terdaki seper-tiganya. Sesampai dia di sana dan mulai hendak berhenti, air pun meningkat naik juga, dia larikan lagi anaknya ke atas, sampai dua pertiga gunung. Dan air pun sampai juga ke sana. Dan dilarikannya juga anaknya itu sampailah ke puncak gunung. Namun air masih tetap naik hingga terendamlah kakinya, lalu anaknya dipangkunya. Air pun sampai ke pinggangnya, ke dadanya, dan sampailah air ke lehernya, diangkatnya juga anaknya itu, sampai dijunjungnya ke atas kepalanya, dan air pun sampai melebihi kepalanya dan melebihi anak yang dicintainya itu. Mereka keduanya pun tenggelamlah. Maka berkatalah Rasulullah ﷺ,
“Kalau ada di antara mereka yang akan dikasihani oleh Allah, pastilah perempuan ini termasuk di antara mereka."
Sebenarnya banyak lagi cerita lain tentang Topan Nabi Nuh ini dicurai-paparkan di dalam kitab-kitab tafsir, yang tidak perlu rasanya kita salinkan semuanya karena tidak kurang di antaranya yang ditambah-tambahkan dan dilebih-lebihi, yang agaknya sudah termasuk di dalam apa yang dinamai israiliyat, dongeng-dongeng israili.
Cuma satu yang patut juga dicatat, yaitu suatu tafsiran dari Ikrimah yang diterimanya dari Ibnu Abbas, yaitu setelah 150 hari berlayar dan hujan telah lama berhenti, dan air sudah terasa surut, Nabi Nuh menyuruh burung gagak buat menyelidiki keadaan bumi di sana agaknya yang telah kering tempat berlabuh. Gagak pun segera terbang melaksanakan perintah itu. Bertemulah dia tanah yang telah kering dan di sana berjumpa banyak bangkai. Berhentilah dia di sana untuk mengenyangkan perutnya sehingga lupa pulang. Lalu diutus oleh Nabi Nuh burung merpati. Setelah dia berkeliling menyediliki, dibawanyalah setangkai ranting pohon zaitun dan pada kaki burung merpati itu terdapat tanah. Maka mafhumlah Nabi Nuh bahwa tanah yang kering sudah ada dan masa berlabuh sudah dekat. Maka di dalam penafsiran surah at-Tiin dikatakan oleh setengah tafsir bahwa persumpahan Allah “demi zaitun" karena dahan dan daun zaitun itulah yang dibawa burung merpati kepada Nabi Nuh. Dan “demi Gunung Thusina" peringatan atas perjuangan Nabi Musa dan “demi ini negeri yang aman sentosa" yaitu Mekah tempat Nabi Muhammad ﷺ dilahirkan. Lantaran itu, di dalam surah at-Tiin itu empat Nabi Allah diperingati, yaitu Adam, Nuh, Musa, dan Muhammad, sebagai mata rantai, mata pertama dan mata terakhir serta mata tengah yang terpenting di dalam kedatangan nabi-nabi membawa tuntunan Ilahi.
Selain itu, ada lagi beberapa cerita lucu. Misalnya di dalam bahtera itu muntahlah babi lalu keluarlah tikus. Kerja tikus itu mengganggu saja, merobek dan menembus membuat lubang dalam bahtera sehingga membahayakan. Lalu muntahlah singa maka keluarlah dari muntahnya itu sang kucing. Lalu dikejarnyalah tikus-tikus itu dan dibunuhnya. Kata dongeng itu pula, keledai ketika dibawa masuk, dia enggan hingga payah menariknya. Ternyata iblis menumpang di ekornya. Adapun singa, baru dapat dimasukkan ke dalam setelah dia dibuat demam oleh Allah.
Kita sengaja menyalinkan ini untuk membuktikan bahwa beberapa riwayat dan tafsir itu ada juga yang lucu jenaka. Dan kalau kita tidak percaya atau kita pandang iseng saja, tidaklah mengapa karena di dalam Al-Qur'an sendiri tidaklah tersebut hal itu dan hadits yang shahih pun tidak pula ada untuk menguatkannya. Cuma yang kita pujikan disini ialah kesetiaan orang zaman dahulu mengumpulkan fakta dan data, apa yang diterima dan didengar. Adapun menerima atau menolak, terserah kepada yang datang di belakang.