Ayat
Terjemahan Per Kata
فَقَالَ
maka berkatalah
ٱلۡمَلَأُ
pemuka-pemuka
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
مِن
dari
قَوۡمِهِۦ
kaumnya
مَا
tidak
نَرَىٰكَ
kami melihatmu
إِلَّا
melainkan
بَشَرٗا
seorang manusia
مِّثۡلَنَا
seperti kami
وَمَا
dan tidak
نَرَىٰكَ
kami melihat kamu
ٱتَّبَعَكَ
yang mengikuti kamu
إِلَّا
melainkan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
هُمۡ
mereka
أَرَاذِلُنَا
yang hina diantara kami
بَادِيَ
tanpa
ٱلرَّأۡيِ
pendapat/berpikir
وَمَا
dan tidak
نَرَىٰ
kami melihat
لَكُمۡ
bagi kalian
عَلَيۡنَا
atas kami
مِن
dari
فَضۡلِ
keutamaan/kelebihan
بَلۡ
tetapi/bahkan
نَظُنُّكُمۡ
kami mengira kamu
كَٰذِبِينَ
orang-orang yang dusta
فَقَالَ
maka berkatalah
ٱلۡمَلَأُ
pemuka-pemuka
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
مِن
dari
قَوۡمِهِۦ
kaumnya
مَا
tidak
نَرَىٰكَ
kami melihatmu
إِلَّا
melainkan
بَشَرٗا
seorang manusia
مِّثۡلَنَا
seperti kami
وَمَا
dan tidak
نَرَىٰكَ
kami melihat kamu
ٱتَّبَعَكَ
yang mengikuti kamu
إِلَّا
melainkan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
هُمۡ
mereka
أَرَاذِلُنَا
yang hina diantara kami
بَادِيَ
tanpa
ٱلرَّأۡيِ
pendapat/berpikir
وَمَا
dan tidak
نَرَىٰ
kami melihat
لَكُمۡ
bagi kalian
عَلَيۡنَا
atas kami
مِن
dari
فَضۡلِ
keutamaan/kelebihan
بَلۡ
tetapi/bahkan
نَظُنُّكُمۡ
kami mengira kamu
كَٰذِبِينَ
orang-orang yang dusta
Terjemahan
Maka, berkatalah para pemuka yang kufur dari kaumnya, “Kami tidak melihat engkau, melainkan hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kami. Kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya begitu saja. Kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami menganggap kamu adalah para pembohong.”
Tafsir
(Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya,) mereka adalah terdiri dari orang-orang terhormat kaumnya ("Kami tidak melihat kamu melainkan sebagai manusia biasa seperti kami) tidak ada kelebihan bagimu atas diri kami (dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina di antara kami) yaitu orang-orang yang rendah di antara kami, seperti tukang tambal pakaian dan tukang sol sepatu (yang lekas percaya saja) dapat dibaca baadiya dan baadia yang artinya, mereka lekas percaya kepadamu tanpa berpikir lebih matang lagi. Lafal ini dinashabkan karena menjadi zharaf yang artinya, mereka terus percaya dengan begitu saja (dan kami tidak melihat kalian memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami) sehingga karena kelebihan itulah kalian berhak untuk diikuti daripada kami (bahkan kami yakin bahwa kalian adalah orang-orang yang dusta") dalam pengakuan risalah yang kalian bawa. Dalam hal ini mereka mengikut sertakan sebutan Nabi Nuh beserta kaum yang mengikutinya.
Tafsir Surat Hud: 25-27
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata), "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kalian,
Agar kalian tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.”
Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kalian memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kalian adalah orang-orang yang dusta.
Ayat 25
Allah ﷻ menceritakan tentang Nabi Nuh a.s. Dia adalah rasul Allah yang pertama yang diutus oleh Allah untuk penduduk bumi dari kalangan kaum musyrik para penyembah berhala. Nabi Nuh a.s. berkata kepada kaumnya:
“Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kalian.” (Hud: 25)
Yakni peringatan yang nyata kepada kalian akan adanya azab Allah jika kalian terus menyembah berhala selain Allah.
Ayat 26
Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: “Agar kalian tidak menyembah selain Allah.” (Hud: 26)
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.” (Hud: 26)
Jika kalian terus-menerus mengerjakan apa yang kalian kerjakan itu yakni menyembah berhala niscaya Allah akan menyiksa kalian dengan azab yang sangat pedih, sangat menyakitkan lagi sangat berat di hari akhirat kelak.
Ayat 27
“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya.” (Hud: 27)
Kata al-mala artinya para pemimpin dan para pembesar dari kalangan orang-orang kafir.
“Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami.” (Hud: 27)
Artinya, kamu bukanlah seorang malaikat, melainkan hanyalah manusia biasa. Maka mana mungkin diturunkan wahyu kepadamu, bukannya kepada kami? Kemudian kami melihat bahwa tiada yang mengikutimu kecuali hanyalah orang-orang yang rendahan dari kalangan kami, seperti para pedagang, para penjahit, dan lain sebagainya dari golongan kelas bawah.
Tiada yang mengikutimu dari kalangan orang-orang yang terhormat, tiada pula dari kalangan para pemimpin kami. Kemudian mereka yang mengikutimu itu tidaklah mempunyai pikiran yang panjang, tidak pula mempunyai pandangan, melainkan begitu kamu menyeru mereka, lalu mereka segera mengikutimu dan menerima seruanmu. Karena itu, dalam firman selanjutnya dinyatakan:
“Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja.” (Hud: 27)
Badiyar ra-yi artinya mudah percaya.
“Dan kami tidak melihat kalian memiliki kelebihan apa pun atas kami.” (Hud: 27)
Mereka mengatakan bahwa mereka memandang Nuh tidak mempunyai kelebihan apa pun baik dalam hal penampilan, sikap, kekayaan, ataupun keadaan, lalu apakah gunanya mereka memasuki agama Nabi Nuh?
“Bahkan kami yakin bahwa kalian adalah orang-orang yang berbohong.” (Hud: 27) dalam seruan kalian kepada kami yang mengajak kepada kebajikan, kebaikan, ibadah dan kebahagiaan di alam akhirat bila kalian semua telah sampai kepadanya.
Kalimat ini merupakan sanggahan orang-orang kafir terhadap Nabi Nuh a.s. dan para pengikutnya. Hal ini pun menunjukkan kebodohan, keminiman ilmu, dan kedangkalan otak mereka. Karena sesungguhnya bukanlah merupakan suatu keaiban bagi kebenaran, bila yang mengikutinya adalah orang-orang rendahan; sebab kebenaran itu sendiri merupakan suatu kebenaran, baik yang mengikutinya dari kalangan orang yang terhormat ataupun orang rendahan. Bahkan sebaliknya, orang-orang yang mengikuti kebenaran itulah orang-orang yang terhormat, sekalipun keadaan mereka miskin; dan orang-orang yang menolak kebenaran adalah orang-orang yang hina, sekalipun mereka hartawan (kaya).
Kemudian bila ditinjau dari segi kenyataan, memang orang yang mengikuti kebenaran itu kebanyakannya dari kalangan orang-orang yang lemah, dan kebanyakan orang-orang terhormat dan orang-orang besar selalu menentangnya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Dan demikianlah Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka’.” (Az-Zukhruf: 23)
Heraklius Kaisar Romawi bertanya kepada Abu Sufyan (yakni Sakhr ibnu Harb) tentang sifat-sifat Nabi ﷺ, antara lain, "Apakah para pengikutnya dari kalangan orang-orang yang terhormat (kuat) ataukah dari kalangan orang-orang yang lemah?" Abu Sufyan menjawab, "Tidak, bahkan dari kalangan orang-orang yang lemah." Maka Heraklius berkata, "Mereka (orang-orang yang lemah) itu adalah pengikut-pengikut para rasul."
Perkataan mereka (orang-orang yang kafir dari kalangan kaum Nabi Nuh) adalah badiyar ra-yi (mudah percaya), bukanlah suatu cela atau aib. Karena sesungguhnya kebenaran itu apabila telah jelas, maka tidak ada lagi kesempatan untuk berpendapat lain, tidak pula bagi pemikiran untuk berperan. Bahkan kebenaran itu harus diikuti dalam waktu yang sama oleh orang yang cerdik dan pandai, tiada yang menggunakan pemikirannya dalam hal ini kecuali hanyalah orang yang bodoh dan pandir. Sesungguhnya risalah yang dibawa oleh para rasul semuanya adalah jelas dan gamblang.
Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak sekali-kali aku menyeru seseorang untuk masuk Islam melainkan ada ganjalan pada dirinya kecuali Abu Bakar, karena sesungguhnya dia tidak kaku. Yakni tidak ragu dan tidak menangguh-nangguhkan; karena dia melihat bahwa urusannya telah jelas dan gamblang, maka dia bersegera menyambutnya dengan cepat dan spontan.”
Firman Allah ﷻ: “Ddan kami tidak melihat kalian memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami.” (Hud: 27)
Mereka mempunyai pandangan demikian karena mereka buta, tidak dapat melihat kebenaran, dan tidak dapat mendengarnya serta tidak dapat meresapinya, melainkan mereka selalu berada dalam keragu-raguannya dan tenggelam di dalam kegelapan kebodohannya. Mereka adalah orang-orang yang suka membuat-buat kebohongan, pendusta, kecil, dan hina; di akhirat kelak mereka adalah orang-orang yang merugi.
Mendengar ajakan Nabi Nuh untuk mengesakan Allah dan tidak
menyekutukan-Nya, maka berkatalah para pemuka yang kafir dari kaumnya seraya mengemukakan beberapa alasan, Kami tidak melihat engkau sebagai seorang utusan Allah, melainkan hanyalah seorang manusia
biasa yang tidak punya kelebihan dan keistimewaan seperti kami yang
memiliki kedudukan tinggi dan status sosial di masyarakat. Dan kami
pun tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang yang kedudukannya hina dina di antara kami yang tidak memiliki harta kekayaan dan kedudukan di masyarakat sehingga mudah dibujuk dan lekas
percaya menerima ajakanmu. Kami juga tidak melihat engkau memiliki
suatu kelebihan apa pun baik ilmu pengetahuan, kekayaan, atau keistimewaan yang luar biasa yang dapat kamu banggakan atas kami sehingga dapat memikat dan mendorong kami mengikuti seruanmu. Bahkan
atas alasan itu semua, kami menganggap engkau adalah orang pendusta. Setelah menjelaskan bantahan-bantahan kaum Nabi Nuh yang
tidak menerima ajakan menuju jalan yang benar, yaitu menyembah
Allah, pada ayat ini dijelaskan tentang jawaban-jawaban Nabi Nuh kepada kaumnya. Dia (Nabi Nuh) berkata, Wahai kaumku! Apa pendapatmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dan terang dari Tuhanku
bahwa aku benar-benar diutus oleh Allah, dan aku diberi rahmat dari
sisi-Nya berupa kenabian dan risalah yang mengandung keutamaan di
dalamnya, sedangkan rahmat berupa keterangan dan dalil-dalil itu disamarkan, yakni tidak tampak bagimu disebabkan kalian mengikuti hawa
nafsu dan berpaling dari petunjuk. Apa kami akan memaksa kamu untuk
menerimanya, padahal kamu tidak menyukainya' Tugas kami hanya menyampaikan ajaran yang benar, dan kami menyerahkan urusan kalian
kepada Allah.
Pertama, para pemimpinnya berkata, "Kami memandang kamu sebagai manusia biasa, sederajat saja dengan kami. Kamu tidak mempunyai kelebihan apa-apa daripada kami, sehingga kami tidak perlu mengikuti kamu, apalagi mengakui kamu sebagai seorang utusan Allah."
Kedua, "Kami melihat pengikutmu adalah orang hina, rakyat biasa saja, seperti petani, kaum buruh, dan pekerja harian yang tidak mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat. Mereka lekas percaya dan terpengaruh begitu saja tanpa pertimbangan akal."
Ketiga, "Kami tidak melihat kamu dan pengikut-pengikut kamu mempunyai kelebihan ilmu pengetahuan atau kekayaan yang dapat dibanggakan, yang mendorong kami untuk mengikuti seruanmu."
Keempat: "Kami yakin bahwa pengakuanmu sebagai utusan Allah adalah semata-mata dusta.".
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PERJUANGAN NABI NUH
Dari ayat 1 sampai 24 telah diterangkan dasar-dasar yang diperjuangkan dan ditegakkan oleh Rasul ﷺ. Surah yang dikatakan oleh Rasul ﷺ sebagai surah yang melekaskan tumbuh uban beliau ini ialah inti sari dari ajaran tauhid dan segala akibat bagi barang-siapa yang melanggar ketentuan Allah. Lalu dilengkapi dengan perjuangan nabi-nabi dan rasul-rasul Allah membawa kalimat yang satu itu, kalimat tauhid.
Asal pokok turun ayat-ayat dan surah-surah ini ialah menghadapi kaum musyrikin di Mekah atau Ahlul Kitab di Tanah Arab. Tetapi Al-Qur'an adalah pedoman hidup untuk masa-masa selanjutnya, sampai hari Kiamat, atau sampai selama dunia ini masih didiami manusia. Sebab meskipun sudah jelas pokok ajaran itu, namun manusia dengan sadar atau tidak sadar bisa saja terbelok ke dalam syirik, mempersekutukan Allah dengan yang lain. Di dalam segala masa sejak dahulu sampai sekarang, masih saja ada manusia yang menentang jika dia dibawa kepada jalan yang benar, sehingga apabila kita perhatikan kisah perjuangan rasul-rasul dengan kaumnya itu, di dalam Al-Qur'an, kita mendapati sikap-sikap yang sama dari musyrikin zaman dahulu sampai kepada musyrikin zaman sekarang.
Maka dimulailah menceritakan perjuangan Nabi Nuh dengan kaumnya yang durhaka dan menolak kebenaran itu,
Ayat 25
“Dan sesungguhnya telah Kami utus Nuh kepada kaumnya."
Berpedoman kepada surah asy-Syuraa ayat 13, dapatlah diambil kesimpulan bahwasanya Nabi Nuh adalah Nabi yang pertama membawa syari'at. Adapun yang di atasnya, yaitu Nabi Adam dan Nabi Idris, atau Nabi Syits, meskipun telah menerima wahyu, tetapi belum ditugaskan menyampaikan peraturan (syari'at) yang wajib dijalankan oleh manusia. Maka disuruhlah Nabi Nuh menyampaikan kepada kaumnya itu,
“Sesungguhnya, Aku adalah pemberi ancaman yang nyata."
sifat nazir, pemberi peringatan yang berisi ancaman. Lalu dilebih jelaskan lagi ancaman itu, yaitu ancaman yang nyata, yang jelas, yang tidak berbelok-belok, bahkan tegas mengenai sasaran bahwasanya kalau kedurhakaan ini diteruskan juga, mereka tidak akan dapat mengelakkan diri daripada adzab dan siksaan Allah. Dan ini dapat kita lihat dengan tegas di dalam surah Nuuh ayat 23. Dalam ayat itu disebutkan dengan nyata mana berhala-berhala yang mereka sembah dan puja, yaitu berhala-berhala yang bernama Waddan, Sua'a, Yaghuts, Ya'uq, dan Nasran. Dan dalam surah Nuuh itu pula diterangkan betapa hebatnya perjuangan Nabi Nuh di dalam umur yang mencapai sangat lanjut, yaitu 950 tahun (lihat surah al-'Ankabuut ayat 14). Beliau berjuang siang dan malam, petang dan pagi, dengan lemah lembut dan dengan keras, secara terang dan secara bisik-bisik, namun kaum itu bertambah diajak, bertambah menjauh, bahkan mereka sumbatkan jari tangan mereka ke dalam telinga mereka untuk mengelakkan jangan sampai mendengarkan seruan itu.
Ayat 26
“Bahwa janganlah kamu menyembah kecuali kepada Allah."
“Sesungguhnya, aku takut, ke atas kamu akan jatuh adzab hari yang pedih."
Mempersekutukan yang lain dengan Allah adalah dosa paling besar. Menyamakan ber-hala-berhala yang diberi berbagai nama itu dengan Allah adalah suatu perbuatan yang tidak dapat dimaafkan. Maka sebagai orang yang telah diberi wahyu oleh Allah, karena sangat cintanya kepada kaumnya, Nabi Nuh menyatakan rasa cemas dan takutnya kalau perbuatan yang sangat salah ini diteruskan juga, siksaan Allah yang amat besar akan di-jatuhkan ke atas pundak mereka. Rasa takut yang dinyatakan Nuh ini bukanlah takut ke-pada bahaya yang akan mengancam dirinya sendiri, melainkan karena kasih sayangnya kepada kaum itu. Tetapi kalau sudah terlalu, tidak juga memedulikan ajakan dan ancaman, kasih cinta itu bisa berubah jadi kemurkaan, sehingga pernah Nuh mendoakan kepada Allah agar jangan diberi peluang lagi bagi kaum itu berdiam dalam dunia ini (Nuuh: 22). Tinggalkan saja orang-orang yang beriman.
SAMBUTAN KAUMNYA
Ayat 27
“Maka berkatalah pemuka-pemuka orang-orang yang kafir dari kaumnya itu, ‘Kami tidak memandangmu melainkan seorang manusia sepenti kami (Juga).'"
Artinya, engkau mendakwakan dirimu jadi Rasulullah kepada kami. Melarang kami menyembah kepada yang selain Allah? Siapa benar engkau? Engkau bukan Malaikat, engkau hanya manusia seperti kami, yang kami kenal selama ini. Apa benarkah kelebihan engkau daripada kami, makanya engkau yang akan diistimewakan mendapat wahyu?
Maka di dalam ayat sudah mulai ditegaskan bahwa mereka adalah satu al-mala-u, artinya satu golongan orang-orang yang terkemuka dalam kaumnya, sedangkan pendirian mereka adalah kafir, tidak mau menerima kebenaran.
Berkata a)-Qasyani, “Maka berkatalah orang-orang yang istimewa dalam kaumnya itu, yang diri mereka penuh dan sibuk dengan urusan-urusan dunia, yang merasa diri ber-kuasa, yang akal mereka telah tertutup sehingga tidak dapat lagi mendengarkan seruan kebenaran, “Kami lihat engkau ini hanya manusia seperti kami saja.' Mereka berkata de-mikian karena mereka hanya memandang dari lahir, terbatas sehingga jangkauan akal yang sempit dan ragu, yang bingung karena menuruti hawa, yang dia hanya sekadar akal buat hidup. Orang-orang begitu tidak dapat melihat kemajuan seseorang lebih dari yang dapat mereka perkirakan, mereka tidak dapat melihat tingkat-tingkat kemajuan hidup manusia untuk mencapai hidup yang lebih sempurna, maju bertambah maju, naik bertambah naik, sehingga yang tahu batas kemajuan jiwa manusia itu hanyalah Allah belaka. Sebab itu, mereka tidak dapat memahami dan merasakan apa yang dinamakan nubuwwat dan apa arti yang sebenarnya." Sekian al-Qasyani.
Sebab itu, tidaklah kita heran jiwa sebaik Nuh menyampaikan seruannya, bukanlah seruan itu yang mereka perhatikan, melainkan siapa benarkah orangnya Nuh itu, apa benar lebihnya dari kita. Kita tidak heran! Sebab sampai kepada zaman kita ini, orang-orang yang berkedudukan (berposisi) baik dalam masyarakat atau dalam kekuasaan, masih begitu saja sikapnya kalau ada orang membawa seruan yang baru, mengajak berpikir yang mendalam, ini karena pikiran mereka telah terikat kepada benda dan kemegahan.
“Dan tidak kami lihat engkau, orang-orang yang mengikuti engkau, melainkan orang-orang yang rendah di antara kami, permulaan pendapat." Dan tidak kami lihat engkau, orang-orang yang mengikuti engkau. Dua dijadikan satu: engkau, pengikut engkau. Arti-nya mereka ukur nilai Nabi Nuh itu sendiri dengan penilaian mereka atas pengikut Nuh. Untuk menilai orangnya, hendaklah lihat siapa pengikutnya. Pengikut-pengikut engkau itu dalam pandangan masyarakat adalah orang yang derajatnya lebih rendah daripada kami, orangmiskin, orang hina, dan tiada terpandang. Itulah ukuran engkau, yaitu pengikut engkau.
Dikatakan pula kedangkalan pengikut Nuh itu, yaitu bahwa mereka belum mempunyai pemikiran dan pertimbangan yang melanjutkan dan mendalam; permulaan pendapat. Itulah sifat mereka. Artinya, karena mereka itu belum mempunyai kecerdasan yang tinggi, akal dan pendapat mereka masih saja dalam taraf permulaan. Sebab itu, apa saja yang dikatakan Nuh, terus mereka terima, tanpa pikir panjang. Itulah yang disebutkan dalam ayat baadiarra'yi. Kata-kata baadi berarti permulaan. Bada'a berarti memulai. Maknanya lagi ialah yang dapat mereka terima ialah yang mula-mula tampak pada lahir; mereka tidak dapat menyelami sampai ke batin. Setelah berpikir mendalam, barulah orang akan mengerti apa yang ada di balik yang lahir itu.
Dalam pemakaian kata zaman sekarang bolehlah kita artikan bahwa pemuka-pemuka yang kafir dari kaum Nuh itu memandang pengikut Nuh adalah orang-orang yang masih primitif atau kampungan, yang belum terpelajar dan belum hidup berkebudayaan yang tinggi,
An-Nashir menafsirkan demikian, “Orang-orang itu mendebat dan menyangkal Nuh dan pengikut-pengikutnya itu dari dua segi.
Pertama, pengikutnya semua orang rendah; tidak ada yang patut dicontoh orang, tidak ada yang patut diteladari.
Kedua, dalam hal itu mereka pun tidak mempunyai kesanggupan mempertimbangkan apa yang diikutinya, asal ikut-ikutan saja. Pikiran mereka tidak sanggup memperbe-dakan yang benar dan yang salah, menurut saja dengan tidak berpikir dan menimbang. Maksud mereka itu ialah untuk mempertahankan bahwa mereka tidak dapat disalahkan jika mereka tidak mau mengikut Nabi Nuh." Demikian tafsiran an-Nashir.
Al-Qasimi dalam tafsirnya, Mahasin at-Ta'wit, memberikan komentar lagi atas penafsiran an-Nashir itu, “Dengan demikian, terbukti, meskipun mereka merasa diri istimewa dalam kedudukan dan kecerdasan pikiran, sebenarnya mereka adalah bodoh dan sontok akal. Kebenaran itu tidaklah akan hina meskipun pendukung dan pengikutnya orang-orang miskin. Bahkan kalau direnungkan, pengikut kebenaran itulah orang yang mulia walaupun dalam hal harta mereka miskin. Dan yang menolak kebenaran itulah yang hina walaupun mereka kaya raya. Bahkan pada umumnya, pengikut utama kebenaran selalu orang-orang yang dianggap lemah, sedangkan penentang kebenaran umumnya ialah orang-orang i?ede. Hal ini telah dijelaskan Allah dalam surah az-Zukhrufayat 23,
“Demikianlah adanya: tidaklah Kami utus sebelum engkau pada suatu desa, dari seorang pengancam (rasul), melainkan berkata orang-orang yang hidup mewah dalam dusun itu bahwa telah kami dapati nenek moyang kami memegang suatu pendirian. Dan sesungguhnya kami, atas jejak-jejak nenek moyang itu, selalu mengikuti." (az-Zukruf: 23)
Pengikut Nabi Muhammad ﷺ yang mula-mula, inti utama dari penegak Islam, kader-kader sejati beliau, ialah orang-orang lemah itu atau yang disebut dhu'afaak.
Ketika Abu Sufyan masih menjadi penantang Nabi ﷺ, dia pernah pergi ke negeri Syam (Damaskus) tempat bersemayam Heraclius (Hiraqlu), raja muda Romawi untuk Syam. Ketika itu, gerakan Nabi Muhammad ﷺ menegakkan Islam telah sampai juga ke telinga raja Romawi itu. Lalu dipanggilnya Abu Sufyan menghadapnya ke istana karena dia hendak mencari keterangan tentang Nabi Muhammad ﷺ. Dan dia bukan tidak tahu bahwa Abu Sufyan adalah salah seorang penantang utama dari Nabi ﷺ pada waktu itu.
Ketika ditanyai tentang gerakan Nabi ﷺ, tentang pribadi beliau dan sifat-sifat per-juangannya, Abu Sufyan terpaksa menjawab dengan jujur dan objektif. Di antara pertanyaan Heraclius demikian bunyinya, “Apakah orang-orang muliawan yang jadi pengikutnya ataukah orang-orang yang lemah?"
Abu Sufyan menjawab, “Bahkan orang-orang yang lemah kedudukannya!" Heraclius menyambut, “Memang, orang-orang yang lemahlah biasanya yang jadi pengikut dari rasul-rasul."
Lalu komentar al-Qasimi selanjutnya, “Bersegera menceburkan diri untuk menganut kebenaran adalah budi yang utama. Karena kalau kebenaran sudah nyata, tidak ada waktu lagi buat merenung-renung dan berpikir lama. Segala orang yang mempunyai perasaan di waktu itu sudah mesti menerima. Yang mundur-maju hanyalah orang yang bodoh atau sontok pikirannya. Dan tidak ada sesuatu pun di dalam hidup ini yang lebih jelas ke-benarannya selain seruan rasul-rasul!" Sekian komentar Syekh al-Qasimi dalam tafsirnya atau penafsiran an-Nashir itu.
Sanggahan mereka disebutkan lagi dalam ayat selanjutnya, “Dan tidak kami lihat pada kamu, atas kami, sesuatu kelebihan pun." Artinya, baik engkau sendiri, hai Nuh, atau gabungan engkau dengan pengikut-peng-ikutmu itu, kami pandang tidaklah ada satu kelebihan pun dari kami sehingga kami mesti tunduk pula kepada ajakan yang engkau sampaikan itu. Engkau sendiri hanya manusia biasa, bukan Malaikat. Kaya pun engkau tidak, terkemuka dalam masyarakat pun tidak. Apatah lagi orang-orang yang mengikutmu itu; kampungan, primitif, berengsek, berpikir masih dangkal, harta tidak ada, sehingga tidak sebuah pun yang harus kami segankan kepada engkau dan mereka.
Ditafsirkan oleh Jarullah az-Zamakhsyari dalam tafsirnya, “Orang-orang terkemuka itu disegani orang, mempunyai ja'ah (ditakuti, dikagumi) dan harta. Sebagaimana sampai kini orang-orang yang menamai dirinya orang Islam merasa dirinya demikian pula. Di atas keadaan demikianlah mereka membangun kemuliaan diri mereka dan menghinakan orang-orang yang dianggap rendah itu. Mereka tidak insaf bahwasanya kemajuan seseorang dalam berlomba mengejar keduniaan, belumlah akan dapat mendekatkan seseorang kepada Allah, bahkan itulah yang kerap kali menjauhkan. Bukan mengangkat naik, melainkan meruntuhkan turun. Apatah lagi kalau telah berkenaan dengan nubuwwat, siapa yang dipilih Allah jadi nabi dan siapa yang berkeahlian untuk itu. Apatah lagi nabi-nabi itu diutus Allah ke dunia ini bukanlah mengajarkan untuk mengejar dunia, melainkan hidup untuk menuntut akhirat. Urusan dunia bagi nabi-nabi hanyalah urusan kecil belaka, bukan urusan orang yang hendak kekal di dalamnya. Alangkah jauhnya nabi-nabi yang mulia itu dari sifat-sifat yang akan merenggangkan dari Allah, bahkan alangkah jauh nabi-nabi itu dari suatu kemuliaan, yang hina di sisi Allah." Sekian az-Zamakhsyari.
Lalu sanggahan mereka seterusnya,
“Bahkan berat sangka kami, kamu adalah dari golongan orang-orang pendusta."
Artinya, segala seruan engkau, mengajak kami supaya hanya menyembah kepada Allah Yang Esa, tidak boleh mempersekutukan yang lain dengan Dia, atau pengakuan engkau bahwa engkau ini nabi atau rasul, atau pembawa ancaman, atau bahwa kalau masih tetap mempertahankan pendirian kami, engkau takut kami akan kena siksaan Allah kelak kemudian hari, semuanya itu belum sebuah pun yang dapat kami terima. Berat sangka kami (zhan) bahwa yang engkau serukan ini hanya omong kosong, bohong melompong, dusta belaka.
Sanggahan itu disambut oleh Nuh dengan mata tenang dan tegas.
Ayat 28
“Dia berkata, Wahai, kaumku! Bagaimana pendapatmu kalau ternyata aku ini ada di atas kebenaran dari Allahku?'"
Satu pertanyaan yang dalam sekali maknanya. Pertanyaan yang mengajak mereka berpikir kembali agar jangan terburu-buru menolak. Karena tadi mereka telah mengatakan bahwa mereka bukanlah orang-orang asal mendengar suatu seruan, langsung saja menerima tanpa pikir! Sekarang coba pikirkan kembali dengan saksama. Kalau betul terbukti kelak bahwa aku ini memang utusan Allah dan yang aku serukan itu ternyata kebenarannya, maka kamu sebagai orang yang merasa dirinya istimewa, akan bagaimana sikapmu pada waktu itu? Dan bagaimana pula sikapmu kelak jika, “Dan didatangkan-Nya kepadaku rahmat dari sisi-Nya." Rahmat perlindungan yang langsung dari Allah kepadanya, sebagai seorang nabi, dengan mukjizat yang tertinggi sehingga tidak tercapai oleh akal manusia? Waktu itu pasti datang! Pertolongan (ladunni) yang langsung dari Allah? Bagaimanakah sikapmu pada waktu itu? “Lalu digelapkan itu buat kamu?" Yaitu bahwa kamu masih saja membutakan mata karena kesombongan? Padahal rahmat itu pasti datang, baik kamu membutakan mata maupun kamu menyombongkan diri?
“Apakah akan kami paksa kamu menerimanya, padahal kamu benci padanya?"
Berkata ahli tafsir, “Pertanyaan-pertanyaan ini adalah istifham inkari. Artinya, apakah kami akan menghalau kamu menerima kebenaran ini dengan paksaan? Padahal kami tidak ingin memaksa kamu? Alangkah baiknya jika dari sekarang, sebelum ketentuan Allah datang, kalian terima ini dengan sukarela, dengan hati tulus ikhlas, sebab kebenaran itu sudah nyata. Karena kalau Allah sendiri yang bertindak nanti menghukum kamu, merun-tuhkan kesombongan kamu, alangkah sedihnya hati kami, padahal kamu semuanya adalah kaum kami."
AKU TIDAK MINTA UPAH
Ayat 29
“Dan wahai kaumku! Tidaklah aku meminta harta kepada kamu atasnya."
Artinya, atas pekerjaanku menyeru kamu kepada jalan yang benar, hanya menyembah kepada Allah saja, tidaklah aku meminta supaya aku diberi harta.
Ketika menafsirkan ayat ini, teringatlah penulis Tafsir al-Azhar ini akan nasib orang-orang yang menyediakan diri menjadi penyambut waris nabi-nabi itu, yaitu ahli-ahli dakwah, mubalig-mubalig yang berjuang didorong oleh kewajibannya buat menyampaikan seruan kebenaran lalu seruan itu mereka sampaikan kepada orang-orang kaya, orang berpangkat, orang-orang yang berkedudukan penting, lalu diukurnya seruan itu dengan sangkanya yang buruk. Mentang-mentang mubalig-mubalig dan ahli-ahli dakwah itu biasanya hidup miskin, mereka sangka bahwa orang datang hendak mengemis kepadanya. Disangkanya asal orang datang menyerukan kebenaran bahwa orang itu mengharapkan harta.
Ayat ini ditafsirkan oleh al-Qasyani, “Kamu telah biasa memandang segala perjuangan ialah karena jadi mata pencarian, padahal bukan itu yang aku minta dari kamu. Kalau kamu mendakwakan bahwa kamu adalah orang-orang yang berpikiran mendalam, niscaya tidak akan begitu kamu menyangka orang." “Tidak lain upahku, hanyalah (terserah) kepada Allah!' Allah yang memerintahkan daku menyampaikan ini dan Allah pula yang menjamin hidupku. Urusan ini tidak ada hubungan dengan upah-mengupah. “Dan tidaklah aku pengusir orang-orang yang beriman."
Apakah rahasia yang terkandung maka sampai Nabi Nuh terpaksa mengeluarkan perkataan ini? Bahwa beliau tidak hendak mengusir orang yang telah mengaku beriman?
Apakah karena pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya itu serupa pula yang pemuka-pemuka Quraisy? Yang tidak senang jika disamaratakan saja kedudukan mereka dengan orang-orang yang mereka pandang rendah? Dan asal mereka diistimewakan oleh Nuh lalu mereka bersedia memberikan Nuh uang? Astaghfirullah!!
Susunan ayat memang telah mengisyaratkan demikian.
Mereka merasa diri istimewa karena mereka berpangkat, mereka berharta dan ber-pengaruh. Asal mereka diistimewakan, mereka mau membayar. Mereka hanya mau duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan orang yang sama berbangsa, sama berharta. Nafsu congkak manusia zaman purbakala itu masih mengalir ke dalam zaman modern kita ini. Manusia dihargai bukan karena penderitaannya, bukan karena cita-citanya, bukan karena luhur budinya, tetapi karena kedudukan dan harta. Tetapi Nuh a.s. telah mem-berikan kata tegas, “Dan tidaklah aku pengusir orang-orang beriman."
Pengikut-pengikutnya yang telah menyatakan iman itu tidak akan diusirnya. Karena hubungan Nuh dengan mereka bukanlah hubungan harta. Meskipun orang-orang yang beriman itu miskin tidak memberikan harta apa-apa kepada Nuh, mereka itu lebih utama bagi Nuh daripada orang-orang menilai pendirian manusia dengan harta itu. Dan sekali lagi Nuh menjelaskan kepada pemuka-pemuka itu kelebihan orang-orang yang beriman itu dan kekurangan pemuka-pemuka itu. Kata Nuh selanjutnya,
“Sesungguhnya, mereka akan bertemu dengan Allah mereka, tetapi aku lihat kamu ini adalah kaum yang bodoh."
Akan datang kelak satu hari, hari Kiamat, “Pada hari itu tidaklah ada manfaatnya harta benda dan tidak pula anak turunan, kecuali barangsiapayang datang kepada Allah dengan
hati yang bersih!' Demikian tersebut di dalam surah asy-Syua'raa' ayat 88—89. Maka orang-orang yang beriman inilah yang akan datang ke hadirat Allah membawa hati mereka yang suci bersih dari syirik dan kufur. Adapun pemuka-pemuka yang kaya raya dan bermegah itu, berapa pun banyak hartanya, betapapun kembang biak keturunannya, tidaklah akan mendapat penerimaan yang layak dari Allah. Oleh sebab itu, kebanggaan mereka selama ini, sehingga sampai menawar Rasulullah dengan harta berapa kami mesti bayar, telah ditegaskan oleh Nabi ﷺ bahwa mereka adalah orang-orang bodoh sebab mereka menilai kehidupan dengan harta, bukan dengan keluhuran budi dan keteguhan aqidah.
Ayat 30
“Dan wahai kaumku, siapakah yang akan menolongku dari (siksa) Allah jika aku usil mereka itu?"
Maka dengan pertanyaan Nabi Nuh a.s. yang seperti itu, beliau lebih meninggikan lagi martabat orang-orang yang beriman kepadanya itu walaupun mereka dianggap oleh pemuka-pemuka itu araadziluna, orang-orang yang kami anggap hina jelata. Mereka itu semuanya adalah kekasih Allah sebab mereka beriman kepada Allah. Kalau mereka aku usir, aku sisihkan, Allah akan murka kepadaku, padahal aku diutus Allah ke dunia ini ialah hendak membangkitkan orang-orang semacam itu di tengah-tengah masyarakat ma-nusia. Mengusir mereka berarti bagiku meng-khianati tugasku sendiri. Niscaya Allah murka kepadaku, aku pun akan ditempelak Allah. Kalau demikian halnya, siapakah yang akan dapat menolong dan membelaku ketika aku menyesali perbuatanku?
“Apakah kamu tidak hendak ingat?"
Apakah kamu tidak hendak mempergunakan pikiranmu dan mengingat akibat yang jauh dari sikap kamu yang berkeras kepala itu?
Ayat 31
“Dan tidaklah aku berkata kepadamu, ‘Disisiku ada perbendaharaan-perbendaharaan Allah."
Dengan perkataan begini, Nabi Nuh melanjutkan lagi, lebih tertekan lagi bahwa meskipun pemuka-pemuka yang kafir itu membanggakan ketinggian, kekuasaan dan kekayaan, Nuh tidaklah mempunyai harta untuk menandingi mereka. Nuh tidak bermodal, dia tidak memegang perbendaharaan Allah. Kekayaannya hanyalah kekayaan batin, kekayaan jiwa yang dianugerahkan Allah. Sebagaimana aku tidak mengharapkan harta kekayaan dari kalian, kalian pun kalau masuk menjadi pengikut dari ajaran yang aku bawa ini, janganlah mengharap apa-apa dariku."Dan aku tidaklah mengetahui yang gaib." Apa yang akan kejadian di belakang hari, Allahlah Yang Mahatahu. Aku ini hanyalah manusia biasa sebagaimana kamu juga, “Dan tidak aku mengatakan bahwa aku ini Malak" Malak berarti seorang Malaikat. Kalau telah banyak (jamak) disebut Malaikat. Tetapi dalam peminjaman bahasa kita (Melayu—Indonesia), untuk satu kita pakai juga Malaikat. Dalam keterangan ini Nuh menjelaskan bahwa dia bukan Malaikat, dia adalah manusia. Tidaklah dia sunyi dari kealpaan dan kelemahan. Sebab itu, tidaklah Nuh sanggup akan menciptakan suatu hal atau perkara yang ganjil kalau Allah tidak mengizinkan. Dan terhadap pengikut-pengikut yang telah menyatakan iman kepada seruan yang beliau bawa itu, yang dipandang hina dan rendah oleh golongan penguasa kafir itu, beliau adakan pula pembelaan, “Dan tidak aku mengatakan dari hal orang-orangyang hina di pandangan matamu itu bahwa Allah sekali-kali tidak akan memberikan kebaikan kepada mereka." Artinya, apakah kalian sangka bahwa orang-orang yang kamu pandang rendah hina itu, yang sekarang telah menyatakan iman kepada seruanku bahwa keadaan mereka tidak akan berubah? Bahwa mereka akan tetap begitu-begitu saja? Bukankah nasib manusia itu laksana roda pedati juga? Berganti naik dan berganti turun? Hari ini bisa kamu anggap mereka itu hina dan rendah, mungkin di lain hari keadaan terbalik! “Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam diri-diri mereka." Artinya, mungkin sekali di dalam diri orang-orang yang kamu anggap hina rendah itu tersembunyi kekuatan iman dan takwa yang hebat, yang bisa mengubah keadaan, baik diri mereka maupun masyarakat mereka.
Perkataan Nuh yang seperti ini sudah dapatlah kita kiaskan dengan keadaan yang lain, terutama di zaman hidup Nabi Muhammad ﷺ sendiri. Pengikut beliau yang pertama-tama menyatakan diri menjadi Muslim, yang disebut assabiqunal awwaluna, perintis-perintis yang pertama itu, pada umumnya adalah orang-orang yang dianggap hina oleh masyarakatnya. Ada budak belian, ada anak kecil, dan ada perempuan. Kalau ada orang dewasa masuk, mereka itu tidak kaya dan sudah dikucilkan dari masyarakat bangsanya. Adapun pemuka-pemuka yang lain adalah orang-orang mampu dan terkemuka. Sebagaimana Abu Lahab, Abu Jahal, Abu Sufyan, dan lain-lain. Merekalah yang menantang Rasul ﷺ Tetapi sebagaimana jadinya kejadian? Bukankah orang-orang be-kas jahiliyyah itu, yaitu orang sebagaimana Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan lain-lain itu yang menjadi pahlawan Islam? Orang-orang besar yang disegani dan ditakuti?
Lantaran itu, kata Nuh selanjutnya, jika aku ikuti kehendak kamu, hai pemuka-pemuka kaumku yangtidak mau beriman, supaya peng-ikutku itu aku singkirkan, aku usir, aku tolak,
“Sesungguhnya jadilah aku dari golongan orang-orang yang zalim."
Aku tidak mau masuk golongan orang yang zalim, yaitu orang yang mengerjakan suatu pekerjaan dengan kurang pikir, tidak memikirkan suatu akibat dari perbuatan yang dikerjakan dengan tergopoh-gopoh. Oleh sebab kata zalim berasal dari kata zulm, yang berarti gelap, maka tepat juga ungkapan bahasa bagi seseorang yang mengerjakan suatu pekerjaan atau melakukan suatu tindakan yang salah hanya karena hendak melepaskan kehendak hawa nafsu, dikatakan orang yang gelap mata.
Nabi Nuh tidak mau bersikap dan bertindak gelap mata. Allah tidak menyukai perbuatan demikian. Betapapun jua, pengikutnya akan tetap beliau pertahankan karena mereka mengikut dengan tulus ikhlas.
TANTANGAN KAUMNYA SETERUSNYA
Ayat 32
“Mereka berkata, ‘Wahai, Nuh! Sesungguhnya, engkau telah sangkal kami."
Artinya, engkau telah berdebat terhadap kami, engkau salahkan pendirian kami, “Maka telah engkau banyakkan bantahan itu kepada kami!' Berbagai dakwaan telah engkau kemukakan, permintaan kami buat menyingkirkan orang-orang yang hina itu tidak engkau terima, kami tidak engkau hormati, malahan engkau selalu menegakkan juga bahwa eng-kaulah yang benar. Sekarang kami tegaskan; kami tidak mau mengikut ajaranmu itu. Engkau mau apa? Oh, engkau mengancam kami? “Kalau begitu, datangkanlah kepada kami apa yang telah engkau janjikan kepada kami itu" Engkau pernah mengatakan bahwa orang yang tidak mau menuruti ajaran yang engkau bawa ini bahwa tidak ada Allah selain Allah dan hanya Allah saja yang patut dipuja, tidak ada berhala, tidak ada patung, dan barangsiapa yang masih tetap pada pegangan yang lama itu, tidak mau kembali kepada kebenaran, kata engkau, adzab Allah akan datang menyiksanya. Silakan! Bawa kemari adzab itu! Kami mau melihatnya,
“jika engkau termasuk (orang-orang yang benar)"
inilah satu tantangan yang benar-benar berisi kesombongan.
Namun sebagai seorang rasul yang dituntun Allah dengan wahyu dan percaya benar bahwa dirinya memang Rasulullah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakannya, Nabi Nuh tetap menjawab dengan tenang,
Ayat 33
“Dia menjawab, Tidak lain yang akan mendatangkannya kepada kamu hanya Allah jua.'"
Bukan aku! Sebab itu, tidaklah ada perlunya kamu menantang diriku sendiri buat men-datangkan adzab siksa Allah atas kedurhakaan kamu itu. Aku ini apalah! Aku telah katakan kepadamu bahwa aku ini hanya manusia sebagaimana kamu juga, yang gaib aku tak tahu."Jika Dia kehendaki" jadilah adzab siksaan itu,
“Dan tidaklah kamu akan terlepas."
Walaupun bagaimana kamu hendak mengelakkan diri, walaupun bagaimana kuat kuasamu. Semua kamu kecil di hadapan Allah.
Namun mereka masih saja menyombong, berbesar diri, menolak kebenaran. Tidak ada ajakan yang lalu, tidak ada pengajaran yang masuk. Lantaran itu, berkatalah Nuh dengan penuh pengertian,
Ayat 34
“Dan tidaklah bermanfaat untukmu nasihat-nasihatku, jika aku hendak menasihatimu jua, bila adalah Allah hendak menyesatkan kamu."
Di dalam sejumlah kata Nuh yang seperti ini, tidaklah terkandung rasa putus asa, tetapi rasa kesadaran akan tugas. Dia mesti melanjutkan seruannya, sebab dia rasul, dia utusan. Kewajibannya ialah menyampaikan. Walaupun ditolak bagaimana jua pun, dia tidak akan berhenti karena Allah melarang berhenti. Bila Allah hendak menyesatkan mereka jua, karena kesalahan mereka sendiri, tidak ada yang dapat menghalangi. Sebab itu, diingatkannya juga, “Dialah Allah kamul" Dialah yang Mahakuasa menentukan nasib kamu, bukan aku,
“Dan kepada-Nyalah kamu sekalian akan kembali."
Seorang nabi tidak bosan buat menerangkan hakikat yang sebenarnya itu, yaitu bahwa kepada Allah semuanya akan kembali dan di sanalah akan mereka rasakan kelak betapa akibat dari keingkaran mereka terhadap kebenaran yang disuruh sampaikan oleh Allah.
Kemudian, setelah menceritakan sebagian besar perjuangan Nabi Nuh dengan kaumnya itu, perkataan dibawa kembali kepada hubungan di antara Nabi Muhammad ﷺ dengan kaumnya, kaum Quraisy jahiliyyah itu, yang mereka telah menolak seruan Muhammad ﷺ sebagaimana kaum Nuh telah menolak seruan Nuh. Maka berkatalah ayat selanjutnya,
Ayat 35
“Ataukah mereka akan berkata."
Mereka yang dimaksud di sini ialah kaum musyrikin yang menolak seruan Muhammad ﷺ di Mekah itu, “Dia telah mengada-ada-kannya." Yaitu bahwasanya Al-Qur'an itu hanyalah diada-adakan saja oleh Muhammad ﷺ Dia hanya berdusta dan segala apa yang dikatakannya wahyu dari Allah itu hanyalah omong kosongnya belaka, sebagaimana di pangkal kisah perjuangan Nuh a.s. di ayat 27 di atas tadi sudah dapat kita saksikan.
Maka disuruhlah Rasulullah ﷺ menangkis tuduhan bahwa dia mengada-adakan itu, “Katakanlah, ‘Jika aku mengada-adakannya, maka atas akulah tonggungan dosaku."‘
Perhatikanlah tangkisan kata ini bahwa Nabi Muhammad ﷺ telah menyampaikan seruannya, seruan yang masuk akal dan tidak dapat dibantah kebenarannya oleh pikiran yang sehat. Tetapi mereka menolak, bukan dengan menangkis seruan itu dan membantahnya dengan alasan yang kuat, melainkan menuduh bahwa wahyu Ilahi itu adalah palsu, hanya buatan Muhammad ﷺ saja. Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan pendiriannya sebagai seorang yang bertanggung jawab dan mengerti akan tugasnya bahwa kalau engkau tuduh aku ini mengada-ada bahwa wahyu itu hanya palsu.
aku berani bertanggung jawab di hadapan Allah. Aku sangat mengerti bahwa kalau aku berbuat dusta atas nama Allah, aku ini akan dihukum Allah dengan seberat-berat hukuman. Tetapi bagaimana dengan kelakuanmu yang terus-menerus berbuat dosa? Yang tidak mau ditegur itu? Untuk itu, kamu berdosa. Kalau kamu berdosa, apakah kamu berani, seberani aku pula mempertanggungjawabkan di hadapan Allah?
Aku sampaikan seruan ini kepadamu supaya kamu berhenti dari menyembah dan memuja yang selain Allah. Kalau aku berani menanggung jawab dosaku sendiri di hadapan Allah, maka dosamu itu tidaklah aku mesti menanggung jawabnya, tetapi kamu sendiri. Beranikah kamu?
Dosa kamu mengolok-olok, menentang kebenaran, menuduh-nuduh, dan bersikeras mempertahankan perbuatan yang batil, siapa yang mesti menanggung jawabnya? Bukankah kamu sendiri?
"Tetapi aku lepas diri dari dosa yang kamu kerjakan."
Di ujung ayat ini Rasulullah ﷺ menelanjangi jiwa orang-orang yang kafir itu, bahkan kalau mereka yang didesak menyuruh membuktikan kebenaran pendirian mereka, mereka tidak akan bisa menjawab. Hal-hal yang seperti ini sampai sekarang tetap terjadi. Mereka selalu mencari segi-segi yang lemah dari Al-Qur'an, padahal apabila orang-orang arif bijaksana membacanya, yang kelihatan lemah bukanlah Al-Qur'an, melainkan diri mereka sendiri.