Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
وَعَمِلُواْ
dan mereka beramal
ٱلصَّـٰلِحَٰتِ
saleh
وَأَخۡبَتُوٓاْ
dan mereka merendahkan diri
إِلَىٰ
kepada
رَبِّهِمۡ
Tuhan mereka
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
أَصۡحَٰبُ
penghuni
ٱلۡجَنَّةِۖ
surga
هُمۡ
mereka
فِيهَا
didalamnya
خَٰلِدُونَ
mereka kekal
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
وَعَمِلُواْ
dan mereka beramal
ٱلصَّـٰلِحَٰتِ
saleh
وَأَخۡبَتُوٓاْ
dan mereka merendahkan diri
إِلَىٰ
kepada
رَبِّهِمۡ
Tuhan mereka
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
أَصۡحَٰبُ
penghuni
ٱلۡجَنَّةِۖ
surga
هُمۡ
mereka
فِيهَا
didalamnya
خَٰلِدُونَ
mereka kekal
Terjemahan
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta merendahkan diri kepada Tuhan, mereka itulah para penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.
Tafsir
(Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri) merasa tenang dan aman, atau kembali (kepada Rabb mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya).
Tafsir Surat Hud: 23-24
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.
Perumpamaan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin) seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kalian mengambil pelajaran (dari perumpamaan itu)?
Ayat 23
Setelah menyebutkan keadaan orang-orang yang celaka, lalu Allah mengiringinya dengan menyebutkan keadaan orang-orang yang berbahagia. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang saleh. Dengan demikian, berarti hati mereka beriman dan anggota tubuh mereka mengerjakan amal-amal saleh, baik secara lisan maupun perbuatan, misalnya mengerjakan amal ketaatan dan menjauhi perkara-perkara yang mungkar. Karena itulah mereka mewarisi surga-surga yang di dalamnya terdapat gedung yang tinggi-tinggi, pelaminan yang empuk-empuk, buah-buahan yang dekat dipetiknya, hamparan yang tebal-tebal, bidadari yang cantik-cantik, buah-buahan yang beraneka ragam, makanan yang lezat-lezat, minuman-minuman yang lezat, dan dapat melihat Pencipta langit dan bumi.
Mereka kekal dalam kenikmatan itu, tidak mati, tidak tua, dan tidak sakit. Mereka pun tidak tidur, tidak pernah buang hajat, tidak pernah meludah, dan tidak pernah berdahak, melainkan hanyalah berkeringat saja yang baunya seperti minyak kesturi.
Ayat 24
Kemudian Allah ﷻ membuat perumpamaan tentang orang-orang kafir dan orang-orang mukmin. Untuk itu, Allah ﷻ berfirman:
“Perumpamaan kedua golongan itu.” (Hud: 24)
Maksudnya, perumpamaan antara orang-orang yang disebutkan oleh Allah sebagai orang-orang yang celaka dan orang-orang mukmin yang berbahagia ialah: Orang-orang yang celaka itu sama halnya dengan orang yang buta dan yang tuli, sedangkan orang-orang yang berbahagia sama halnya dengan orang yang melihat dan yang mendengar.
Orang kafir buta tidak dapat melihat kebenaran di dunia dan akhirat, tidak mendapat petunjuk kepada kebaikan dan tidak mengenalnya. Dan ia tuli, tidak dapat mendengar hujah-hujah sehingga tidak dapat beroleh manfaat darinya, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat yang lain, yaitu: “Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar.” (Al-Anfal: 23), hingga akhir ayat.
Adapun orang mukmin, maka ia cerdas, cerdik lagi berakal; ia dapat melihat kebenaran dan dapat membedakannya dengan yang batil, lalu mengikuti yang baik dan meninggalkan yang buruk. Dia pun mendengar hujah-hujah dan dapat membedakannya dengan hal yang syubhat, maka dia tidak terpedaya oleh kebatilan. Maka apakah sama antara orang ini dan orang itu? (yakni antara orang mukmin dan orang kafir). Jawabannya, tentu tidak.
“Maka tidakkah kalian mengambil pelajaran (dariperumpamaan itu)?” (Hud: 24)
Tidakkah kalian mengambil pelajaran, kemudian kalian membedakan antara orang-orang mukmin dan orang-orang kafir itu?
Ayat ini serupa dengan ayat lain yang disebutkan melalui firman-Nya: “Tidak sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 20)
“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya, dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas, dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendakinya, dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar. Kamu tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan. Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada satu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” (Fathir: 19-24).
Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya
dan membuktikan kebenaran dan ketulusan iman mereka dengan mengerjakan kebajikan dengan tulus ikhlas, dan merendahkan diri menghadapkan wajahnya kepada Tuhan Pemelihara alam semesta. Mereka itu adalah penghuni surga yang tidak pernah keluar darinya, karena mereka
kekal berada di dalamnya. Allah membuat perumpamaan sifat dan keadaan kedua golongan, yaitu golongan orang-orang kafir dan golongan orang-orang mukmin.
Golongan orang kafir ibarat seperti orang buta mata kepala dan mata
hatinya, sehingga tidak melihat tanda-tanda yang dapat menghantarkan
ke jalan yang benar. Dan tuli telinganya, tidak mendengar sedikit pun
tuntunan dan petuah-petuah agama. Adapun orang mukmin diibaratkandengan orang yang dapat melihatdengan mata kepala dan mata hatinya
dan dapat mendengar dalam keadaan sempurna, karena mereka menggunakan penglihatan dan pendengarannya untuk memperhatikan,
memahami, serta mengamalkan isi kandungan ayat-ayat Al-Qur'an.
Samakah kedua golongan itu' Tentu keduanya tidak sama. Maka dengan
itu tidakkah kamu mengambil pelajaran' Karena di balik perumpamaan
terdapat pelajaran yang paling berharga.
Berlainan sekali dengan nasib orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Mereka selalu berserah diri kepada Allah dengan patuh dan taat kepada-Nya dan kepada rasul-Nya, mengerjakan berbagai kebajikan di dunia, melaksanakan ketaatan pada Allah dengan tulus ikhlas dan meninggalkan segala yang mungkar. Mereka itu adalah penghuni-penghuni surga yang tidak akan keluar lagi darinya, dan mereka tidak akan mati, bahkan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
APA YANG DITUJU DALAM HIDUP?
Ayat 15
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, akan Kami sempurnakan ganjaran pekerjaan mereka atasnya. Dan mereka tidak akan dirugikan padanya."
Apakah yang engkau tuju dalam kehidupan ini? Apakah ambisi yang memenuhi hatimu dalam perjuangan hidup itu? Apakah engkau menginginkan dunia dengan segala perhias-annya? Jika engkau bersungguh-sungguh hendak mencapai dunia dengan perhiasannya itu, dengan pangkat yang tinggi, dengan mahligai yang megah, dengan kekayaan yang berlimpah, dan kehormatan diri dan segala kelebihannya, semuanya itu akan engkau capai. Semuanya itu akan diberikan kepadamu. Tak usah khawatir.
Tentu saja untuk mencapai dunia dengan perhiasannya itu engkau menempuh jalanmu sendiri. “Untuk mencapai suatu tujuan, halal segala jalan." Tentu engkau tenggang-menenggang dengan orang lain.
Yang engkau citakan itu akan tercapai!
Ayat 16
“Mereka itulah orang-orang yang tidak akan ada untuk mereka (bagian) di akhirat."
Mengapa tidak? Orang yang akan mendapat bagian di akhirat ialah orang yang menjadikan perjuangan dunia itu untuk akhirat. Orang yang sejak semula sudah meniatkan bahwa dunia yang dikejarnya itu ialah untuk dia menanam amal dan hasil amalnya itu di-sengajanya untuk diterimanya di akhirat. Adapun kalau yang dikejar hanya semata dunia, tidaklah ada bagiannya lagi di akhirat.
Seumpama Fir'aun menjadi raja Mesir. Segala usaha, tipu daya, dan siasat telah dipergunakannya agar dia mencapai tempat yang tinggi itu. Seluruh Mesir di bawah telapak kakinya, Sungai Nil mengalir di bawah kuasanya, dan akhirnya dia mendabik dada mengatakan dirinya Allah!—"Kecuali api neraka."
Mengapa api neraka?
Sebab dia tidak akan sukses mencapai tempat dunia dan perhiasannya itu kalau tidak dengan merugikan orang lain, menganiaya yang lemah karena dia merasa kuat. Untuk mengejar tempat yang dipandang mulia itu dia mesti melakukan kebatilan, korupsi, menindas yang lema)?, menyuap, membujuk, dan kadang-kadang merampas hak orang lain. Padahal dia kuat dan kuasa itu hanya selama dalam dunia. Dan kalau dia sudah mulai keluar dari dalam dunia ini dan masuk ke dalam alam kubur, seluruh kekuasaannya itu telah habis. Dia kembali sebagai budak dari Allah dan wajib bertanggung jawab di hadapan Allah Rabbul ‘Izzati tentang kezaliman-kezaliman yang telah dilakukannya. Niscaya api nerakalah tempatnya karena dosa-dosanya yang besar itu. Puncak dari dosa-dosa besar itu ialah karena semasa dia diberi Allah kekuasaan itu, dia selalu merebut Maha Kekuasaan Allah.
“Dan gugurlah apa yang meteka usahakan dan batal apa yang mereka amalkan"
Mengapa dikatakan gugur apa yang mereka usahakan? Padahal banyak juga usaha penguasa-penguasa itu yang baik? Mengapa batal apa yang mereka amalkan? Padahal sudah nyata bahwa di samping kejahatan-kejahatan yang dibuatnya, pasti ada juga amal-amalnya yang baik?
Sebabnya ialah karena usaha ataupun amal yang dibuatnya selama dia mendapat dunia dan perhiasaannya itu hanyalah karena riya belaka, karena mengambil muka dan menipu rakyat atau masyarakat.
Dalam sejarah politiknya yang terkenal, buku berjudul De Prins (Jadi Raja), Machiavelli, ahli negara yang terkenal itu, memberi nasihat kepada seorang penguasa yang hendak kekal dalam kekuasaannya, supaya sekali-sekali suka juga berderma, untuk diketahui oleh rakyat bahwa rajanya adalah seorang dermawan. Tetapi janganlah benar-benar hendak jadi dermawan dari hati tulus ikhlas sebab yang demikian itu tidak ada faedahnya sebagai penguasa! Lantaran itu, segala perbuatan dan usaha yang baik, sama sekali itu harus ada tujuan politiknya. Kalau tidak ada membawa keuntungan politik, tidak perlu dikerjakan.
Jika ditindas dan diisap darah rakyat yang tertindas itu sampai seribu kali, hendaklah agak sekali dua kali ditunjukkan belas kasihan, dermawan, adil, bijaksana. Dan hendaklah kebaikan itu dipropagandakan, agar dipuji oleh tukang-tukang propaganda setinggi langit. Sehingga dengan embus-embusan sekali dua kali, yang tertindas tadi tersenyum simpul dan lupa akan luka-luka yang dideritanya.
Tidakkah pantas jika di akhirat api nerakalah bagian yang harus diterimanya?
Berkata Mujahid, “Yang dimaksud dengan ayat ini ialah orang-orang yang beramal dengan riya."
Berkata Qatadah, “Barangsiapa yang tujuan, cita-cita, dan niatnya hanya dunia, akan didapatnya ganjarannya di dunia ini juga. Kemudian setelah sampai ke Hari Akhirat, tidaklah segala perbuatannya itu dapat penghargaan apa-apa walaupun pada lahir keli-hatan baik. Tetapi kalau orang Mukmin yang berbuat baik, di dunia dia dapat ganjaran dan di akhirat dapat pahala."
Di dalam surah al-Israa' ayat 18 dan 19, soal ini pun telah ditegaskan, yaitu barangsiapa yang ingin menerima ganjaran yang cepat (yaitu dunia) akan Kami cepatkan untuknya apa yang Kami kehendaki, untuk siapa yang Kami kehendaki. Kemudian itu, Kami sediakan Jahannam untuk membakar, dalam keadaan tercela dan tersungkur. Tetapi barangsiapa yang inginkan akhirat lalu dia berusaha menempuh jalannya dan dia pun beriman, maka segala usaha mereka itu mendapat ucapan terima kasih dan syukur dari Allah.
IMAN DAN JIWA MURNI
Ayat 17
“Apakah orang yang berada atas ketenangan dari Allahnya."
Inilah sifat-sifat dan orang yang beriman. Jiwanya yang murni, yang belum dipengaruhi oleh hawa nafsu dan tidak pula berpegang teguh kepada kebiasaan serta tradisi nenek moyang. Mereka telah berada dalam suasana keterangan dari Allah. Artinya, mereka telah percaya. Dan hatinya yang suci serta akalnya yang sehat dia telah mengaku bahwa memang tidak ada yang patut dianggap Allah yang sebenarnya melainkan Allah.
“Dan diiringi oleh saksi dari-Nya" ‘Artinya, fitrah atau pendapat yang murni itu telah mengakui dengan tulus bahwa Allah itu pasti hanya satu, tiadalah berbilang. Kemudian pendapat akal mumi itu dikuatkan lagi oleh satu kesaksian. Kesaksian itu ialah wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang telah tersusun rapi di dalam kitab suci Al-Qur'an,
“Sedang sebelum itu telah ada Kitab Musa sebagai imam dan rahmat"
Artinya, sebelum datang saksi yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ itu telah datang pula Kitab Nabi Musa, yaitu Kitab Taurat. Inti sari yang tersimpul di dalam Kitab Nabi Musa itu pun sama dengan inti sari kitab yang dibawa Muhammad. Kitab itu adalah imam dan rahmat. Imam untuk diikuti kandungannya dan rahmat karena dia membawa manusia dari gelap gulita kepada nur yang terang benderang bagi jiwa.
Sesuailah segala isi itu. Sesuailah wahyu yang datang kepada sekalian Rasulullah, baik yang di dalam Taurat Musa maupun Injil Isa atau Al-Qur'an yang dibawa Muhammad. Semuanya adalah imam untuk diikuti dan rahmat yang menuntun kita kepada jalan yang benar.
Jalan yang sesuai dengan hati nurani (fitrah) manusia.
Ayat ini dimulai dengan pertanyaan, “Apakah orang-orang yang berada di atas keterangan itu, di atas kebenaran, dikuatkan saksi, dikuatkan pula oleh Kitab Musa. Di sini ada lanjutan pertanyaan yang tersembunyi, tetapi jelas, karena telah terbayang pada dua ayat yang sebelumnya, yaitu apakah orang-orang yang begitu indah pendiriannya dan kuat imannya akan sama dengan orang-orang yang beramal hanya karena mengharapkan dunia dan perhiasannya? Yaitu orang yang hidup di dunia, tetapi tidak mempunyai tujuan hidup?"
“Mereka itu (tadi)lah orang yang percaya kepada-Nya." Yaitu orang yang memupuk jiwa murni atau suara hati kecilnya bahwa tidak ada Allah melainkan Allah, diiringi dengan saksi dan diiringi oleh kesaksian kitab nabi yang terdahulu, itulah Mukmin yang sejati."Dan barangsiapayang kufur kepadanya dari antara beberapa golongan." Karena mempertahankan golongan, mempertahankan pusaka yang diterima dari datuk nenek, sehingga tidak lagi menghormati suara dari fitrah sendiri, “Maka nerakalah tempatnya yang dijanjikan ."
Firman Allah dalam ayat ini diperkuat lagi oleh Rasulullah ﷺ dengan sabdanya,
Dari iyyadh bin Hummad, dari Rasulullah ﷺ berfirman Allah Ta'aala,
“Sesungguhnya, Aku telah menjadikan hamba-hamba-Ku dalam keadaan agama yang suci. Maka datanglah setan-setan kepada mereka dan diharamkannya atas mereka mana yang Aku halalkan. Dan disuruhnya mereka mempersekutukan Aku dengan yang lain, dalam hal yang tidak ada sama sekali Aku turunkan kekuasaan padanya." (HR Muslim)
Tegasnya, setan-setanlah yang membawa mereka keluar dari garis kebenaran yang telah digariskan sejak nabi-nabi yang terdahulu itu. Kalau perdayaan setan-setan ini dapat mereka tangkis, niscaya akan tetaplah hati mereka memeluk agama yang hanya mengakui satu Allah.
“Maka janganlah engkau ragu-ragu padanya, sungguhlah dia kebenaran dari Allah eng-kau." Artinya benarlah bahwa Al-Qur'an itu datang sebagai wahyu dari Allah dan sesuai dia dengan akal budi manusia yang murni. Hal itu tidak usah diragukan lagi. Dia dapat dipertanggungjawabkan selama akal manusia masih belum dipengaruhi oleh setan dan hawa nafsu.
“Tetapi kebanyakan manusia tidaklah percaya."
Meskipun kebenaran Al-Qur'an itu tidak diragukan lagi selama manusia memakai akalnya yang sehat, namun banyak juga manusia yang tidak mau percaya sebab mereka tidak mau berpikir. Ataupun karena buat menanam iman yang teguh dalam hati bukanlah perkara yang mudah. Banyak sekali rintangan yang harus ditempuh.
Bersabda lagi Nabi Muhammad ﷺ,
“Demi Dia, yang diriku ini ada dalam tangan-Nya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seorang pun dari umat ini, haik dia Yahudi maupun dia Nasrani, kemudian tidak dia mau percaya kepadaku, melainkan pastilah dia masuk neraka." (HR Muslim dari Abu Musa al-Asy'ary)
Ayat 18
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan atas nama Allah suatu kedustaan?"
Dengan bentuk pertanyaan, yang dalam bahasa Arab dfsebut istifham-inkari, dijelaskan bahwasanya mengada-ada atau mengarang-ngarangkan suatu keterangan dusta tentang Allah adalah puncak segala dari segala perbuatan zalim. Yang berarti memutar balik kebenaran dan mencoba mendustai kenyataan.
Pada lanjutan ayat dijelaskanlah, “Mereka itu akan dihadapkan ke hadapan Allah me-reka!' Pada hari Kiamat esok, hari memperhitungkan (hisab) segala amal baik dan amal buruk manusia, “Dan akan berkata saksi-saksi, ‘Inilah orang-orang yang berdusta atas nama Allah mereka!" Saksi-saksi itu kelak, baik terdiri atas Malaikat maupun dari sesamanya manusia, akan tegak dengan kesaksian dan pembuktian mereka, yang tidak dapat dibantah lagi. Meskipun dengan tidak pakai saksi pun perkara mereka itu akan jelas jua sebab Allah sendiri menyaksikan gerak-gerik manusia. Saksi akan menuduh, menunjuk hidung, mengatakan bahwa orang ini adalah tukang bohong, berdusta dengan membawa-bawa nama Allah.
“Ketahuilah, sungguh laknat Allah atas orang-orang yang zalim."
Zalim pecahan dari pokok kata (mashdar) zhulm, yang berarti gelap, yang jadi lawan dari terang. Padahal jalan yang terang telah ditunjukkan Allah dengan perantaraan nabi-nabinya dan kitab-kitab suci-Nya. Namun mereka itu masih saja menghindar dari jalan terang itu lalu mencari jalan gelap. Dengan sengaja! Bukankah patut orang itu mendapat kutuk dari Allah?
Ayat selanjutnya menjelaskan lagi tingkah laku orang itu,
Ayat 19
“(Yaitu) orang-orang yang menghambat jalan Allah."
Atau sengaja membendungnya dan meng-halang-halanginya. Karena dia tidak suka kepada jalan yang terang itu dan benci melihat orang lain lalu di jalan itu. “Dan mau supaya dia bengkok" yakni kalau jalan itu sudah bengkok, berbelok-belok, niscaya lama baru sampai kepada yang dituju. Padahal sabilillah atau jalan Allah itu atau yang diberi nama oleh Allah sendiri ash-shirathal mustaqim, jalan yang lurus, itulah yang selalu dianjurkan Allah kepada hamba-Nya supaya lalu di jalan itu.
Kemudian itu, ditunjukkan lagi perangainya dan pendiriannya yangamatmencelakakan dirinya sendiri, yaitu,
“Dan mereka itu terhadap Hari Akhinat tidak mau percaya."
Memanglah bahwa keberanian membuat pelanggaran yang besar-besar itu, berbuat zalim, mengada-ada atas nama Allah, menghambat jalan Allah atau membuatnya bengkok berbelok-belok, ialah berpokok pangkal dari tidak teguhnya kepercayaan bahwa perbuatah jahat itu mesti dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di Hari Akhirat kelak.
Ayat 20
“Mereka itu tidaklah akan terlepas di bumi ini."
Perhatikanlah kalimat mu'jiziina, yang kita artikan dengan arti yang kita anggap dekat dengan maksudnya, yaitu tidaklah akan terlepas. Untuk mendalami maksud pangkal ayat ini, bandingkanlah dengan seorang penjahat yang berusaha menyembunyikan dirinya daripada kejaran polisi karena suatu kesalahan yang besar. Ke mana pun dia bersembunyi, dia mesti dapat tertangkap! Maka orang yang bersalah mendurhakai Allah, menghambat jalan Allah, berbuat zalim, tidaklah akan dapat melepaskan diri ataupun membebaskan dirinya dari kejaran hukum Allah walaupun ke bagian bumi yang mana pun dia lari.
“Dan tidaklah ada bagi mereka selain Allah yang akan melindungi"
Cobalah pikirkan! Dia berperkara dengan Allah. Hak Allah yang dilanggarnya, sedangkan lain dari Allah tidak ada Allah yang lain. Siapa yang akan melindunginya? Dalam ayat disebut min auliya. Auliya adalah jamak dari wail, artinya banyak pelindung, namun
pelindung selain dari Allah, yang selama ini amat diharapkan untuk melindungi, tidaklah ada yang akan berhasil sebab kekuasaan auliya tidak ada. Mereka semuanya itu hanyalah semata-mata makhluk dari Allah. Mereka hanya dapat melindungi kalau ada penghargaan Allah atasnya. Bagaimana Allah akan segan kepada makhluk-Nya?
“Akan digandakan bagi mereka adzab." Mengapa dilipatgandakan? Sebab kesalahan mereka pun berlipat ganda. Berbuat dosa atas nama Allah, menghambat jalan Allah, mem-buat jalan Allah itu jadi bengkok, dan tidak mau percaya akan adanya Hari Akhirat. Maka adzab berlipat ganda itu adalah sewajarnya sebab salahnya berlipat ganda pula.
“Tidaklah ada pada mereka kesanggupan mendengar dan tidaklah mereka dapat melihat."
Di ujung ayat 18 sudah dijelaskan terlebih dahulu apa sebabnya, yaitu bahwa mereka telah dilaknat oleh Allah, kutuk telah menimpanya. Sebab itu, tertutuplah bagi mereka kesanggupan untuk mendengar kebenaran ataupun melihat kenyataan. Padahal kedua alat itulah yang amat penting untuk menghubungkan pribadi kita sebagai manusia dengan alam yang ada di sekeliling kita, buat kelak menyimpulkan suatu pendapat yang yakin bahwa Allah itu ada. Karena yang bergerak pada manusia itu, sebagai penyambung keluar dari akal dan pikiran manusia, ialah pancaindra yang lima, sedangkan pendengaran dan penglihatan adalah yang paling tertonjol dari kelima (panca) indra itu.
Ayat 21
“Mereka itulah orang-orang yang telah merugikan diri sendiri."
Dengan pangkal ayat ini dijelaskanlah bahwasanya tindakan yang menyalahi garis kebenaran itu bukanlah merugikan orang lain, bahkan bukanlah mengurangi kemuliaan
Allah, melainkan yang jelas adalah merugikan diri orang yang bersangkutan itu sendiri.
“Dan telah menyesatkan kepada mereka hal-hal yang mereka ada-adakan itu."
Mereka disesatkan oleh perbuatan mereka sendiri. Seumpama orang-orangyang menyem-bah berhala. Berhala itu mereka sendiri yang membuatnya, timbul dari khayalnya. Orang mendirikan patung-patung raksasa, yang menurut khayal mereka hidungnya besar, se-hingga terulur seperti saing harimau, matanya mendelik besar, kumisnya meranting dan janggutnya menjagau, yaitu khayal yang amat menakutkan. Kemudian si pembuat itu sendiri pun takutlah kepada kayu-kayu atau batu yang mereka perbuat itu, sehingga yang khayal sudah menjadi kenyataan, yang mereka buat-buat dan mereka ada-adakan dengan khayal dan tangannya, mereka takuti sendiri. Mereka disesatkan oleh khayal mereka sendiri atau takut pada bayang-bayang sendiri.
Ayat 22
“Tak ayal lagi bahwasanya mereka di akhinat adalah orang-orang yang sangat rugi."
Di dunia mereka telah memuja dan takut kepada barang-barang yang tumbuh dari khayal mereka sehingga segala macam upacara itu adalah pelaksanaan khayal belaka, dengan tidak ada tuntunan dan tidak ada bimbingan. Kemudian di akhirat bertambah jelaslah bagi mereka bahwa segala yang mereka khayalkan itu tidak ada sama sekali. Tidak ada yang akan menolong mereka dan tidak ada penilaian yang baik atas usaha mereka yang telah habis di kala hidup di dunia dahulu. Kerugian akhirat adalah puncak terakhir dan kerugian, yaitu kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Ayat 23
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan menekun tunduk kepada Allah mereka."
Di sini terdapatlah tiga syarat utama untuk melalui pintu bahagia dunia dan akhirat. Pertama, beriman. Percaya kepada Allah Ta'aala dan percaya bahwa di Hari Kemudian, untuk menerima penilaian Allah atas kepercayaan yang kita anut di dunia ini, adalah dia seukuran dengan yang telah dibawakan oleh para rasul.
Kedua, itu dibuktikan dengan amalan yang saleh, kerja dan usaha, perbuatan dan pe-laksanaan. Apa yang dikerjakan di dunia ini? Apa jasa sebagai insan yang diturunkan Allah ke dunia buat menjadi khalifah-Nya. Adakah datang kosong dan pulang kosong?
Ketiga, Allah itu bukan semata-mata dipercayai dengan otak dan rasional. Bukan saja membuktikan ada Allah dengan pikiran (intelek), melainkan dirasakan dalam jiwa se-dalam-dalamnya. Percaya yang menimbulkan harapan karunia-Nya dan takut akan balasan-Nya. Sehingga berusaha merapatkan diri kepada Allah, meningkatkan jiwa untuk mencapai ridha-Nya. Malu tersipu-sipu jika terbuat kesalahan. Yakin bahwa kelak kemudian akan datang menghadap Allah.
Maka dengan melengkapi ketiga syarat ini, amal saleh dan ketundukan kepada Ilahi dijanjikan Allah-lah tempatyang layak baginya,
“Mereka itu akan jadi ahli sunga, yang di dalamnya mereka akan kekal."
Seterusnya Allah pun menyuruh kita membandingkan di antara kedua golongan itu, orang kafir dan fasik dengan orang beriman dan beramal saleh,
Ayat 24
“Penumpammn kedua golongan itu adalah laksana orang buta dan orang tuli dengan orang yang melihat dan yang mendengar."
Di ayat ini kita disuruh mengumpamakan dan membandingkan. Tegakkanlah dalam ingatan seorang pekak dan tuli, bercakap dengan seorang yang terang pendengaran dan jelas penglihatan. Betapa bingung si buta dan bagaimana bingung si tuli, si pekak. Lain di orang, lain di dia.
Si buta tak dapat memperbedakan warna dan menunjukkan ukuran karena alat penglihatan untuk pembanding tidak ada. Si tuli pun demikian pula. Suara nyaring atau badak, suara yang jauh atau dekat, tak dapat diperbe-dakannya. Ini adalah perumpamaan sebab yang dimaksud sejati ialah si buta hati dan si tuli jiwa.
“Suaramu bisa didengar, kalau yang engkau panggil itu orang hidup. Padahal yang engkau panggil ini sama dengan mati."
Adakah sama orang yang hatinya tertutup dari kebenaran dengan orang yang hatinya ter-buka lantaran iman? Adakah sama di antara orang yang datang ke dunia, tetapi tidak berbuat jasa yang baik, dan orang yang menentukan hidupnya yang hanya sebentar singgah di dunia ini, tetapi memberi nilai hidup yang sebentar itu dengan bekas yang beratus tahun? Pasti tidak sama, terang tidak sama.
Maka datanglah penutup ayat, berupa pertanyaan juga,
“Apakah kamu tidak hendak ingat?"
Apakah kamu tidak hendak sadar? Apa artinya kamu menjadi manusia yang diberi Allah alat hidup, yaitu akal dan pikiran, kalau tidak engkau pergunakan untuk beringat-ingat dan berawas-awas melalui hidup ini? Sehingga kedatanganmu ke dunia ini hilang percuma?
Ayat-ayat ini memberi tuntunan kepada kita supaya beragama hendaklah dengan peringatan dan kesadaran. Dengan berpikir dan menilai. Dan bertambah terang bahwa kedatangan ke dunia bukanlah semata-mata untuk makan, minum, dan berkelamin. Hidup jauh lebih tinggi dan sangat tinggi dari itu; asal kita sadar dan ingat!