Ayat
Terjemahan Per Kata
أَفَمَن
apakah orang
كَانَ
adalah
عَلَىٰ
atas
بَيِّنَةٖ
bukti nyata
مِّن
dari
رَّبِّهِۦ
Tuhannya
وَيَتۡلُوهُ
dan membacakannya
شَاهِدٞ
seorang saksi
مِّنۡهُ
daripada-Nya
وَمِن
dan dari
قَبۡلِهِۦ
sebelumnya
كِتَٰبُ
Kitab
مُوسَىٰٓ
Musa
إِمَامٗا
pedoman
وَرَحۡمَةًۚ
dan rahmat
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
يُؤۡمِنُونَ
mereka beriman
بِهِۦۚ
dengannya
وَمَن
dan barang siapa
يَكۡفُرۡ
kafir
بِهِۦ
dengannya
مِنَ
dari/diantara
ٱلۡأَحۡزَابِ
golongan
فَٱلنَّارُ
maka neraka
مَوۡعِدُهُۥۚ
diancamkannya
فَلَا
maka janganlah
تَكُ
kamu
فِي
dalam
مِرۡيَةٖ
keraguan
مِّنۡهُۚ
daripadanya
إِنَّهُ
sesungguhnya dia
ٱلۡحَقُّ
benar-benar
مِن
dari
رَّبِّكَ
Tuhanmu
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
أَكۡثَرَ
kebanyakan
ٱلنَّاسِ
manusia
لَا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
mereka beriman
أَفَمَن
apakah orang
كَانَ
adalah
عَلَىٰ
atas
بَيِّنَةٖ
bukti nyata
مِّن
dari
رَّبِّهِۦ
Tuhannya
وَيَتۡلُوهُ
dan membacakannya
شَاهِدٞ
seorang saksi
مِّنۡهُ
daripada-Nya
وَمِن
dan dari
قَبۡلِهِۦ
sebelumnya
كِتَٰبُ
Kitab
مُوسَىٰٓ
Musa
إِمَامٗا
pedoman
وَرَحۡمَةًۚ
dan rahmat
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
يُؤۡمِنُونَ
mereka beriman
بِهِۦۚ
dengannya
وَمَن
dan barang siapa
يَكۡفُرۡ
kafir
بِهِۦ
dengannya
مِنَ
dari/diantara
ٱلۡأَحۡزَابِ
golongan
فَٱلنَّارُ
maka neraka
مَوۡعِدُهُۥۚ
diancamkannya
فَلَا
maka janganlah
تَكُ
kamu
فِي
dalam
مِرۡيَةٖ
keraguan
مِّنۡهُۚ
daripadanya
إِنَّهُ
sesungguhnya dia
ٱلۡحَقُّ
benar-benar
مِن
dari
رَّبِّكَ
Tuhanmu
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
أَكۡثَرَ
kebanyakan
ٱلنَّاسِ
manusia
لَا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
mereka beriman
Terjemahan
Apakah orang yang sudah mempunyai bukti yang nyata (Al-Qur’an) dari Tuhannya, diikuti oleh saksi dari-Nya, dan sebelumnya sudah ada pula Kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat; mereka beriman kepadanya (sama dengan orang kafir yang hanya menginginkan kehidupan dunia)? Siapa yang mengingkarinya (Al-Qur’an) dari golongan-golongan (penentang Rasulullah), nerakalah tempat kembalinya. Oleh karena itu, janganlah engkau ragu terhadap Al-Qur’an. Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) itu kebenaran dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.
Tafsir
(Apakah orang yang mempunyai bukti) penjelasan (dari Rabbnya) yaitu Nabi ﷺ atau orang-orang mukmin yang dimaksud dengan bukti adalah Al-Qur'an (dan diikuti pula) dipanuti (oleh saksi) baginya yang membenarkannya (dari-Nya) yaitu dari Allah, yang dimaksud adalah malaikat Jibril (dan sebelumnya) sebelum Al-Qur'an (telah ada kitab Musa) yaitu kitab Taurat yang menyaksikan kebenaran Al-Qur'an pula (yang menjadi pedoman dan rahmat?) menjadi kata keterangan dari Al-Qur'an. Apakah keadaannya sama dengan orang-orang yang tidak demikian keadaannya? Tentu saja tidak (mereka itu) yakni orang-orang yang mempunyai bukti (beriman kepadanya) kepada Al-Qur'an, maka bagi mereka surga. (Dan barang siapa di antara golongan yang bersekutu ingkar kepada Al-Qur'an) semua orang-orang kafir (maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu) menaruh syak (kepadanya) kepada Al-Qur'an (Sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar dari Rabbmu tetapi kebanyakan manusia) penduduk Mekah (tidak beriman).
Tafsir Surat Hud: 17
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyata (Al-Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al-Qur'an itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada Al-Qur'an. Dan barang siapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al-Qur'an, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya. Karena itu, janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al-Qur'an itu. Sesungguhnya (Al-Qur'an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.
Allah ﷻ menceritakan perihal orang-orang mukmin yang berada pada fitrah Allah yang telah difitrahkan-Nya kepada semua hamba-Nya, yaitu pengakuan yang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Disebutkan oleh Allah melalui firman-Nya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum: 30), hingga akhir ayat.
Di dalam hadis Sahihain disebutkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Setiap anak dilahirkan atas fitrah, maka hanya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi atau seorang Nasrani atau seorang Majusi.”
Sama halnya dengan ternak unta betina yang melahirkan unta dalam keadaan utuh, apakah kalian melihat adanya kecacatan pada telinganya?
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui Iyad ibnu Hammad, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: “Allah ﷻ berfirman, ‘Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif lalu datanglah setan kepada mereka sehingga setan menyesatkan mereka dari agamanya. Dan setan mengharamkan atas mereka apa yang telah Aku halalkan kepada mereka. Dan setan memerintahkan kepada mereka agar mempersekutukan Aku dengan apa yang Aku tidak menurunkan keterangan tentangnya’.”
Di dalam kitab Musnad dan kitab Sunan disebutkan seperti berikut: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan memeluk agama (Islam) ini, sehingga lisannya dapat berbicara mengungkapkan keinginannya. Tetapi orang mukmin tetap dalam keadaan fitrah ini.”
Firman Allah ﷻ: “Dan diikuti pula oleh seorang saksi dari Allah.” (Hud: 17)
Maksudnya, yang disampaikan oleh saksi dari sisi Allah, yaitu apa yang diwahyukan oleh Allah kepada para nabi, berupa syariat-syariat yang suci sempurna, diagungkan, dan diakhiri dengan syariat Nabi Muhammad ﷺ. Karena itulah Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Abul Aliyah, Ad-Dahhak, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya berikut ini: “Dan diikuti pula oleh seorang saksi dari Allah.” (Hud: 17) Menurut mereka, yang dimaksud adalah Malaikat Jibril a.s.
Diriwayatkan pula dari Ali r.a., Al-Hasan, dan Qatadah, bahwa yang dimaksud ialah Nabi Muhammad ﷺ. Kedua pendapat tersebut berdekatan maknanya, karena Jibril a.s. dan Muhammad ﷺ masing-masing telah menyampaikan risalah Allah ﷻ. Malaikat Jibril menyampaikan kepada Nabi Muhammad, dan Nabi Muhammad menyampaikan kepada umat.
Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud adalah Ali r.a. Tetapi pendapat ini lemah dan tidak diketahui sumbernya; pendapat yang pertama dan yang kedualah yang benar.
Seorang mukmin dengan bekal fitrah yang ada pada dirinya dapat menyaksikan kebenaran syariat secara global, dan secara rinci tersimpulkan dari syariat itu sendiri. Kemudian fitrahnya membenarkan dan mengimaninya. Karena itulah Allah ﷻ berfirman:
“Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyata (Al-Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh saksi dari Allah.” (Hud: 17)
Yakni Al-Qur'an yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi ﷺ, kemudian Nabi Muhammad ﷺ menyampaikannya kepada umatnya.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan sebelum Al-Qur'an itu telah ada kitab Musa.” (Hud: 17) Artinya, sebelum Al-Qur'an telah ada kitab Musa, yaitu Taurat.
“Yang menjadi pedoman dan rahmat.” (Hud: 17)
Allah menurunkannya kepada umat tersebut sebagai pedoman dan panutan yang mereka ikuti serta sebagai rahmat dari Allah buat mereka.
Maka barang siapa yang beriman kepadanya (Taurat) dengan sebenarnya, niscaya hal itu akan membimbingnya untuk beriman kepada Al-Qur'an. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Mereka itu beriman kepada Al-Qur'an.” (Hud: 17)
Kemudian Allah berfirman mengancam orang yang mendustakan Al-Qur'an atau sesuatu dari Al-Qur'an, yaitu: “Dan barang siapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al-Qur'an, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya.” (Hud: 17) Maksudnya, barang siapa dari kalangan penduduk bumi yang kafir kepada Al-Qur'an, baik dari kalangan orang-orang musyrik, orang-orang kafir, orang-orang ahli kitab, dan lain-lainnya dari kalangan keturunan anak Adam dengan berbagai warna kulit, bentuk, dan bangsanya yang telah sampai kepadanya Al-Qur'an, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
“Supaya dengan Al-Qur'an itu aku memberi peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur'an (kepadanya).” (Al-An'am: 19)
“Katakanlah ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua’." (Al- A'raf: 158)
“Dan barang siapa di atara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al-Qur'an, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya.” (Hud: 17)
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadits Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Abu Musa Al-Asy'ari r.a., bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaannya, tiada seorang pun dari kalangan umat ini yang mendengar tentang aku, baik dia orang Yahudi ataupun orang Nasrani, lalu ia tidak beriman kepadaku, melainkan pasti masuk neraka.”
Abu Ayyub As-Sakhtiyani telah meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa tidak sekali-kali ia mendengar suatu hadits dari Nabi ﷺ menurut apa adanya melainkan ia menjumpai yang sesuai dengannya atau yang membenarkannya di dalam Al-Qur'an. Telah sampai pula kepadanya bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Tiada seorang pun dari kalangan umat ini yang mendengar aku, baik dia orang Yahudi ataupun orang Nasrani, lalu ia tidak beriman kepadaku melainkan masuk neraka. Kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri, manakah hal yang membenarkannya dari Kitabullah? Karena jarang sekali ia mendengar sesuatu hadits dari Rasulullah, melainkan ia menjumpai hal yang membenarkannya di dalam Al-Qur'an.
Akhirnya ia menjumpainya pada ayat berikut: “Dan barang siapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al-Qur'an, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya.” (Hud: 17) Yakni dari kalangan pemeluk semua agama.
Firman Allah ﷻ: “Karena itu, janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al-Qur'an itu. Sesungguhnya (Al-Qur'an) itu benar-benar dari Tuhanmu.” (Hud: 17), hingga akhir ayat.
Artinya, Al-Qur'an itu benar-benar dari Allah, tiada keraguan dan tiada kebimbangan di dalamnya. Seperti yang disebutkan pula di dalam firman-Nya:
“Alif Lam Mim. Turunnya Al-Qur'an yang tidak ada keraguan padanya (adalah) dari Tuhan semesta alam.” (As-Sajdah: 1-2)
“Alif Lam Mim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya.” (Al-Baqarah: 1-2)
Firman Allah ﷻ: “Tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.” (Hud: 17) Ayat tersebut sama halnya dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)
“Dan Jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An'am: 116)
“Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka, lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian orang-orang yang beriman.” (Saba: 20)
Setelah ayat sebelumnya menjelaskan tentang kelompok orang yang
hanya mengejar kemewahan hidup di dunia, tanpa mempersiapkan
diri untuk kehidupan di akhirat, ayat berikut ini menjelaskan tentang keberadaan orang-orang yang percaya kepada ajaran yang dibawa oleh
Nabi Muhammad dan percaya kepada isi kandungan Al-Qur'an dan
mereka yang tidak percaya kepada Nabi serta ajaran yang terkandung
dalam Al-Qur'an. Maka apakah orang yang sudah beriman kepada Allah
serta mengikuti ajaran Nabi Muhammad dan mereka mempunyai bukti
yang nyata tentang kebenaran isi kandungan Al-Qur'an yang turun dari
Tuhannya sama dengan orang yang hanya mengejar kemewahan hidup
di dunia saja' Dan bukti kebenaran Al-Qur'an tersebut diikuti oleh saksi
dari-Nya, yaitu Al-Qur'an yang membuktikan tentang kebenarannya
sebagai wahyu Allah, dan sebelumnya sudah ada pula Kitab Taurat yang
diturunkan kepada Nabi Musa yang memberi kabar gembira tentang
kedatangan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Kitab suci yang
diturunkan Allah kepada para rasul tersebut menjadi pedoman hidup
bagi seluruh umat manusia dan rahmat bagi mereka yang beriman dan
berharap petunjuk kepadanya. Barang siapa mengingkarinya dan meragukan kebenaran isi kandungan Al-Qur'an di antara kelompok-kelompok
orang Quraisy yang taklid buta terhadap ajaran nenek moyang mereka yang sesat, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya. Karena itu janganlah engkau ragu terhadap kebenaran Al-Qur'an yang tidak
mengandung kebatilan (Lihat: Surah Fushshilat/41: 41-42). Sungguh, AlQur'an itu kebenarannya benar-benar datang dari Tuhanmu yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman
kepada-Nya. Sekalipun bukti-bukti kebenaran Nabi Muhammad sebagai utusan Allah dan Al-Qur'an adalah wahyu Allah sudah jelas, namun
orang-orang kafir tetap tidak memercayainya. Orang-orang kafir tidak
percaya kepada Nabi Muhammad dan ajaran-ajaran Al-Qur'an, karena
hati mereka tertutup oleh sifat dengki, sombong, dan angkuh. Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan
suatu kebohongan terhadap Allah' Seperti anggapan bahwa Allah mempunyai putra, malaikat putri Allah, berhala menjadi perantara menuju
Allah, atau menyamakan Allah dengan manusia. Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan dihadirkan kepadanya para saksi, yaitu
malaikat pencatat amal, para nabi, ulama, dan saksi-saksi lainnya, lalu
mereka berkata, Orang-orang inilah yang telah berbohong terhadap Tuhan
mereka ketika di dunia. Di hadapan Allah dan para saksi, mereka tidak
bisa mengelak, kemudian dikatakan kepadanya, Ingatlah, laknat Allah
akan ditimpakan kepada orang yang berbuat zalim, karena menzalimi
diri sendiri dengan perbuatan bohong dan syirik.
Kemudian Allah menjelaskan bahwa nasib orang-orang kafir yang tersesat itu tidak sama dengan orang-orang yang berada di bawah cahaya yang terang-benderang yang datang dari Allah dan dibimbing pula oleh petunjuk-petunjuk-Nya yang membuktikan kebenaran agamanya yaitu Al-Qur'an. Kebenaran itu juga didukung oleh bukti-bukti yang lain yang datang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat yang diturunkan kepada Musa sebagai landasan iman yang menjadi rahmat bagi orang yang mempercayainya di kalangan Bani Israil. Orang-orang yang mempunyai sifat yang demikian utamanya itu tentu tidak sama dengan orang-orang yang hanya mengejar kehidupan dunia yang fana, dan tidak sama pula dengan orang yang mengutamakan kehidupan kerohanian saja untuk mencapai kebahagiaan di akhirat.
Barang siapa memperhatikan beberapa segi keutamaan yang tersebut dalam ayat ini, mereka itulah orang-orang yang beriman, yang menghimpun antara dalil-dalil yang nyata dan dalil-dalil yang diambil dari kitab lain. Mereka meyakini bahwa Al-Qur'an itu bukan buatan Muhammad akan tetapi semata-mata wahyu dan firman Allah.
Karena itu jangan sampai ada yang meragukan kebenaran Al-Qur'an itu. Al-Qur'an tidak mengandung kebatilan, baik ayat-ayatnya yang pertama turun, hingga yang terakhir. Dia adalah firman Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Terpuji. Tetapi amat disayangkan bahwa kebanyakan manusia tidak beriman kepadanya. Adapun orang-orang musyrik tidak mau beriman disebabkan oleh kesombongan para pemuka-pemukanya dan karena taklid buta dari pengikut-pengikutnya terhadap ajaran nenek moyang mereka yang sesat. Demikian pula ahli kitab, karena suka mengubah agama nabi-nabinya dan mengadakan berbagai macam bidah dalam agama.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
APA YANG DITUJU DALAM HIDUP?
Ayat 15
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, akan Kami sempurnakan ganjaran pekerjaan mereka atasnya. Dan mereka tidak akan dirugikan padanya."
Apakah yang engkau tuju dalam kehidupan ini? Apakah ambisi yang memenuhi hatimu dalam perjuangan hidup itu? Apakah engkau menginginkan dunia dengan segala perhias-annya? Jika engkau bersungguh-sungguh hendak mencapai dunia dengan perhiasannya itu, dengan pangkat yang tinggi, dengan mahligai yang megah, dengan kekayaan yang berlimpah, dan kehormatan diri dan segala kelebihannya, semuanya itu akan engkau capai. Semuanya itu akan diberikan kepadamu. Tak usah khawatir.
Tentu saja untuk mencapai dunia dengan perhiasannya itu engkau menempuh jalanmu sendiri. “Untuk mencapai suatu tujuan, halal segala jalan." Tentu engkau tenggang-menenggang dengan orang lain.
Yang engkau citakan itu akan tercapai!
Ayat 16
“Mereka itulah orang-orang yang tidak akan ada untuk mereka (bagian) di akhirat."
Mengapa tidak? Orang yang akan mendapat bagian di akhirat ialah orang yang menjadikan perjuangan dunia itu untuk akhirat. Orang yang sejak semula sudah meniatkan bahwa dunia yang dikejarnya itu ialah untuk dia menanam amal dan hasil amalnya itu di-sengajanya untuk diterimanya di akhirat. Adapun kalau yang dikejar hanya semata dunia, tidaklah ada bagiannya lagi di akhirat.
Seumpama Fir'aun menjadi raja Mesir. Segala usaha, tipu daya, dan siasat telah dipergunakannya agar dia mencapai tempat yang tinggi itu. Seluruh Mesir di bawah telapak kakinya, Sungai Nil mengalir di bawah kuasanya, dan akhirnya dia mendabik dada mengatakan dirinya Allah!—"Kecuali api neraka."
Mengapa api neraka?
Sebab dia tidak akan sukses mencapai tempat dunia dan perhiasannya itu kalau tidak dengan merugikan orang lain, menganiaya yang lemah karena dia merasa kuat. Untuk mengejar tempat yang dipandang mulia itu dia mesti melakukan kebatilan, korupsi, menindas yang lema)?, menyuap, membujuk, dan kadang-kadang merampas hak orang lain. Padahal dia kuat dan kuasa itu hanya selama dalam dunia. Dan kalau dia sudah mulai keluar dari dalam dunia ini dan masuk ke dalam alam kubur, seluruh kekuasaannya itu telah habis. Dia kembali sebagai budak dari Allah dan wajib bertanggung jawab di hadapan Allah Rabbul ‘Izzati tentang kezaliman-kezaliman yang telah dilakukannya. Niscaya api nerakalah tempatnya karena dosa-dosanya yang besar itu. Puncak dari dosa-dosa besar itu ialah karena semasa dia diberi Allah kekuasaan itu, dia selalu merebut Maha Kekuasaan Allah.
“Dan gugurlah apa yang meteka usahakan dan batal apa yang mereka amalkan"
Mengapa dikatakan gugur apa yang mereka usahakan? Padahal banyak juga usaha penguasa-penguasa itu yang baik? Mengapa batal apa yang mereka amalkan? Padahal sudah nyata bahwa di samping kejahatan-kejahatan yang dibuatnya, pasti ada juga amal-amalnya yang baik?
Sebabnya ialah karena usaha ataupun amal yang dibuatnya selama dia mendapat dunia dan perhiasaannya itu hanyalah karena riya belaka, karena mengambil muka dan menipu rakyat atau masyarakat.
Dalam sejarah politiknya yang terkenal, buku berjudul De Prins (Jadi Raja), Machiavelli, ahli negara yang terkenal itu, memberi nasihat kepada seorang penguasa yang hendak kekal dalam kekuasaannya, supaya sekali-sekali suka juga berderma, untuk diketahui oleh rakyat bahwa rajanya adalah seorang dermawan. Tetapi janganlah benar-benar hendak jadi dermawan dari hati tulus ikhlas sebab yang demikian itu tidak ada faedahnya sebagai penguasa! Lantaran itu, segala perbuatan dan usaha yang baik, sama sekali itu harus ada tujuan politiknya. Kalau tidak ada membawa keuntungan politik, tidak perlu dikerjakan.
Jika ditindas dan diisap darah rakyat yang tertindas itu sampai seribu kali, hendaklah agak sekali dua kali ditunjukkan belas kasihan, dermawan, adil, bijaksana. Dan hendaklah kebaikan itu dipropagandakan, agar dipuji oleh tukang-tukang propaganda setinggi langit. Sehingga dengan embus-embusan sekali dua kali, yang tertindas tadi tersenyum simpul dan lupa akan luka-luka yang dideritanya.
Tidakkah pantas jika di akhirat api nerakalah bagian yang harus diterimanya?
Berkata Mujahid, “Yang dimaksud dengan ayat ini ialah orang-orang yang beramal dengan riya."
Berkata Qatadah, “Barangsiapa yang tujuan, cita-cita, dan niatnya hanya dunia, akan didapatnya ganjarannya di dunia ini juga. Kemudian setelah sampai ke Hari Akhirat, tidaklah segala perbuatannya itu dapat penghargaan apa-apa walaupun pada lahir keli-hatan baik. Tetapi kalau orang Mukmin yang berbuat baik, di dunia dia dapat ganjaran dan di akhirat dapat pahala."
Di dalam surah al-Israa' ayat 18 dan 19, soal ini pun telah ditegaskan, yaitu barangsiapa yang ingin menerima ganjaran yang cepat (yaitu dunia) akan Kami cepatkan untuknya apa yang Kami kehendaki, untuk siapa yang Kami kehendaki. Kemudian itu, Kami sediakan Jahannam untuk membakar, dalam keadaan tercela dan tersungkur. Tetapi barangsiapa yang inginkan akhirat lalu dia berusaha menempuh jalannya dan dia pun beriman, maka segala usaha mereka itu mendapat ucapan terima kasih dan syukur dari Allah.
IMAN DAN JIWA MURNI
Ayat 17
“Apakah orang yang berada atas ketenangan dari Allahnya."
Inilah sifat-sifat dan orang yang beriman. Jiwanya yang murni, yang belum dipengaruhi oleh hawa nafsu dan tidak pula berpegang teguh kepada kebiasaan serta tradisi nenek moyang. Mereka telah berada dalam suasana keterangan dari Allah. Artinya, mereka telah percaya. Dan hatinya yang suci serta akalnya yang sehat dia telah mengaku bahwa memang tidak ada yang patut dianggap Allah yang sebenarnya melainkan Allah.
“Dan diiringi oleh saksi dari-Nya" ‘Artinya, fitrah atau pendapat yang murni itu telah mengakui dengan tulus bahwa Allah itu pasti hanya satu, tiadalah berbilang. Kemudian pendapat akal mumi itu dikuatkan lagi oleh satu kesaksian. Kesaksian itu ialah wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang telah tersusun rapi di dalam kitab suci Al-Qur'an,
“Sedang sebelum itu telah ada Kitab Musa sebagai imam dan rahmat"
Artinya, sebelum datang saksi yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ itu telah datang pula Kitab Nabi Musa, yaitu Kitab Taurat. Inti sari yang tersimpul di dalam Kitab Nabi Musa itu pun sama dengan inti sari kitab yang dibawa Muhammad. Kitab itu adalah imam dan rahmat. Imam untuk diikuti kandungannya dan rahmat karena dia membawa manusia dari gelap gulita kepada nur yang terang benderang bagi jiwa.
Sesuailah segala isi itu. Sesuailah wahyu yang datang kepada sekalian Rasulullah, baik yang di dalam Taurat Musa maupun Injil Isa atau Al-Qur'an yang dibawa Muhammad. Semuanya adalah imam untuk diikuti dan rahmat yang menuntun kita kepada jalan yang benar.
Jalan yang sesuai dengan hati nurani (fitrah) manusia.
Ayat ini dimulai dengan pertanyaan, “Apakah orang-orang yang berada di atas keterangan itu, di atas kebenaran, dikuatkan saksi, dikuatkan pula oleh Kitab Musa. Di sini ada lanjutan pertanyaan yang tersembunyi, tetapi jelas, karena telah terbayang pada dua ayat yang sebelumnya, yaitu apakah orang-orang yang begitu indah pendiriannya dan kuat imannya akan sama dengan orang-orang yang beramal hanya karena mengharapkan dunia dan perhiasannya? Yaitu orang yang hidup di dunia, tetapi tidak mempunyai tujuan hidup?"
“Mereka itu (tadi)lah orang yang percaya kepada-Nya." Yaitu orang yang memupuk jiwa murni atau suara hati kecilnya bahwa tidak ada Allah melainkan Allah, diiringi dengan saksi dan diiringi oleh kesaksian kitab nabi yang terdahulu, itulah Mukmin yang sejati."Dan barangsiapayang kufur kepadanya dari antara beberapa golongan." Karena mempertahankan golongan, mempertahankan pusaka yang diterima dari datuk nenek, sehingga tidak lagi menghormati suara dari fitrah sendiri, “Maka nerakalah tempatnya yang dijanjikan ."
Firman Allah dalam ayat ini diperkuat lagi oleh Rasulullah ﷺ dengan sabdanya,
Dari iyyadh bin Hummad, dari Rasulullah ﷺ berfirman Allah Ta'aala,
“Sesungguhnya, Aku telah menjadikan hamba-hamba-Ku dalam keadaan agama yang suci. Maka datanglah setan-setan kepada mereka dan diharamkannya atas mereka mana yang Aku halalkan. Dan disuruhnya mereka mempersekutukan Aku dengan yang lain, dalam hal yang tidak ada sama sekali Aku turunkan kekuasaan padanya." (HR Muslim)
Tegasnya, setan-setanlah yang membawa mereka keluar dari garis kebenaran yang telah digariskan sejak nabi-nabi yang terdahulu itu. Kalau perdayaan setan-setan ini dapat mereka tangkis, niscaya akan tetaplah hati mereka memeluk agama yang hanya mengakui satu Allah.
“Maka janganlah engkau ragu-ragu padanya, sungguhlah dia kebenaran dari Allah eng-kau." Artinya benarlah bahwa Al-Qur'an itu datang sebagai wahyu dari Allah dan sesuai dia dengan akal budi manusia yang murni. Hal itu tidak usah diragukan lagi. Dia dapat dipertanggungjawabkan selama akal manusia masih belum dipengaruhi oleh setan dan hawa nafsu.
“Tetapi kebanyakan manusia tidaklah percaya."
Meskipun kebenaran Al-Qur'an itu tidak diragukan lagi selama manusia memakai akalnya yang sehat, namun banyak juga manusia yang tidak mau percaya sebab mereka tidak mau berpikir. Ataupun karena buat menanam iman yang teguh dalam hati bukanlah perkara yang mudah. Banyak sekali rintangan yang harus ditempuh.
Bersabda lagi Nabi Muhammad ﷺ,
“Demi Dia, yang diriku ini ada dalam tangan-Nya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seorang pun dari umat ini, haik dia Yahudi maupun dia Nasrani, kemudian tidak dia mau percaya kepadaku, melainkan pastilah dia masuk neraka." (HR Muslim dari Abu Musa al-Asy'ary)
Ayat 18
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan atas nama Allah suatu kedustaan?"
Dengan bentuk pertanyaan, yang dalam bahasa Arab dfsebut istifham-inkari, dijelaskan bahwasanya mengada-ada atau mengarang-ngarangkan suatu keterangan dusta tentang Allah adalah puncak segala dari segala perbuatan zalim. Yang berarti memutar balik kebenaran dan mencoba mendustai kenyataan.
Pada lanjutan ayat dijelaskanlah, “Mereka itu akan dihadapkan ke hadapan Allah me-reka!' Pada hari Kiamat esok, hari memperhitungkan (hisab) segala amal baik dan amal buruk manusia, “Dan akan berkata saksi-saksi, ‘Inilah orang-orang yang berdusta atas nama Allah mereka!" Saksi-saksi itu kelak, baik terdiri atas Malaikat maupun dari sesamanya manusia, akan tegak dengan kesaksian dan pembuktian mereka, yang tidak dapat dibantah lagi. Meskipun dengan tidak pakai saksi pun perkara mereka itu akan jelas jua sebab Allah sendiri menyaksikan gerak-gerik manusia. Saksi akan menuduh, menunjuk hidung, mengatakan bahwa orang ini adalah tukang bohong, berdusta dengan membawa-bawa nama Allah.
“Ketahuilah, sungguh laknat Allah atas orang-orang yang zalim."
Zalim pecahan dari pokok kata (mashdar) zhulm, yang berarti gelap, yang jadi lawan dari terang. Padahal jalan yang terang telah ditunjukkan Allah dengan perantaraan nabi-nabinya dan kitab-kitab suci-Nya. Namun mereka itu masih saja menghindar dari jalan terang itu lalu mencari jalan gelap. Dengan sengaja! Bukankah patut orang itu mendapat kutuk dari Allah?
Ayat selanjutnya menjelaskan lagi tingkah laku orang itu,
Ayat 19
“(Yaitu) orang-orang yang menghambat jalan Allah."
Atau sengaja membendungnya dan meng-halang-halanginya. Karena dia tidak suka kepada jalan yang terang itu dan benci melihat orang lain lalu di jalan itu. “Dan mau supaya dia bengkok" yakni kalau jalan itu sudah bengkok, berbelok-belok, niscaya lama baru sampai kepada yang dituju. Padahal sabilillah atau jalan Allah itu atau yang diberi nama oleh Allah sendiri ash-shirathal mustaqim, jalan yang lurus, itulah yang selalu dianjurkan Allah kepada hamba-Nya supaya lalu di jalan itu.
Kemudian itu, ditunjukkan lagi perangainya dan pendiriannya yangamatmencelakakan dirinya sendiri, yaitu,
“Dan mereka itu terhadap Hari Akhinat tidak mau percaya."
Memanglah bahwa keberanian membuat pelanggaran yang besar-besar itu, berbuat zalim, mengada-ada atas nama Allah, menghambat jalan Allah atau membuatnya bengkok berbelok-belok, ialah berpokok pangkal dari tidak teguhnya kepercayaan bahwa perbuatah jahat itu mesti dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di Hari Akhirat kelak.
Ayat 20
“Mereka itu tidaklah akan terlepas di bumi ini."
Perhatikanlah kalimat mu'jiziina, yang kita artikan dengan arti yang kita anggap dekat dengan maksudnya, yaitu tidaklah akan terlepas. Untuk mendalami maksud pangkal ayat ini, bandingkanlah dengan seorang penjahat yang berusaha menyembunyikan dirinya daripada kejaran polisi karena suatu kesalahan yang besar. Ke mana pun dia bersembunyi, dia mesti dapat tertangkap! Maka orang yang bersalah mendurhakai Allah, menghambat jalan Allah, berbuat zalim, tidaklah akan dapat melepaskan diri ataupun membebaskan dirinya dari kejaran hukum Allah walaupun ke bagian bumi yang mana pun dia lari.
“Dan tidaklah ada bagi mereka selain Allah yang akan melindungi"
Cobalah pikirkan! Dia berperkara dengan Allah. Hak Allah yang dilanggarnya, sedangkan lain dari Allah tidak ada Allah yang lain. Siapa yang akan melindunginya? Dalam ayat disebut min auliya. Auliya adalah jamak dari wail, artinya banyak pelindung, namun
pelindung selain dari Allah, yang selama ini amat diharapkan untuk melindungi, tidaklah ada yang akan berhasil sebab kekuasaan auliya tidak ada. Mereka semuanya itu hanyalah semata-mata makhluk dari Allah. Mereka hanya dapat melindungi kalau ada penghargaan Allah atasnya. Bagaimana Allah akan segan kepada makhluk-Nya?
“Akan digandakan bagi mereka adzab." Mengapa dilipatgandakan? Sebab kesalahan mereka pun berlipat ganda. Berbuat dosa atas nama Allah, menghambat jalan Allah, mem-buat jalan Allah itu jadi bengkok, dan tidak mau percaya akan adanya Hari Akhirat. Maka adzab berlipat ganda itu adalah sewajarnya sebab salahnya berlipat ganda pula.
“Tidaklah ada pada mereka kesanggupan mendengar dan tidaklah mereka dapat melihat."
Di ujung ayat 18 sudah dijelaskan terlebih dahulu apa sebabnya, yaitu bahwa mereka telah dilaknat oleh Allah, kutuk telah menimpanya. Sebab itu, tertutuplah bagi mereka kesanggupan untuk mendengar kebenaran ataupun melihat kenyataan. Padahal kedua alat itulah yang amat penting untuk menghubungkan pribadi kita sebagai manusia dengan alam yang ada di sekeliling kita, buat kelak menyimpulkan suatu pendapat yang yakin bahwa Allah itu ada. Karena yang bergerak pada manusia itu, sebagai penyambung keluar dari akal dan pikiran manusia, ialah pancaindra yang lima, sedangkan pendengaran dan penglihatan adalah yang paling tertonjol dari kelima (panca) indra itu.
Ayat 21
“Mereka itulah orang-orang yang telah merugikan diri sendiri."
Dengan pangkal ayat ini dijelaskanlah bahwasanya tindakan yang menyalahi garis kebenaran itu bukanlah merugikan orang lain, bahkan bukanlah mengurangi kemuliaan
Allah, melainkan yang jelas adalah merugikan diri orang yang bersangkutan itu sendiri.
“Dan telah menyesatkan kepada mereka hal-hal yang mereka ada-adakan itu."
Mereka disesatkan oleh perbuatan mereka sendiri. Seumpama orang-orangyang menyem-bah berhala. Berhala itu mereka sendiri yang membuatnya, timbul dari khayalnya. Orang mendirikan patung-patung raksasa, yang menurut khayal mereka hidungnya besar, se-hingga terulur seperti saing harimau, matanya mendelik besar, kumisnya meranting dan janggutnya menjagau, yaitu khayal yang amat menakutkan. Kemudian si pembuat itu sendiri pun takutlah kepada kayu-kayu atau batu yang mereka perbuat itu, sehingga yang khayal sudah menjadi kenyataan, yang mereka buat-buat dan mereka ada-adakan dengan khayal dan tangannya, mereka takuti sendiri. Mereka disesatkan oleh khayal mereka sendiri atau takut pada bayang-bayang sendiri.
Ayat 22
“Tak ayal lagi bahwasanya mereka di akhinat adalah orang-orang yang sangat rugi."
Di dunia mereka telah memuja dan takut kepada barang-barang yang tumbuh dari khayal mereka sehingga segala macam upacara itu adalah pelaksanaan khayal belaka, dengan tidak ada tuntunan dan tidak ada bimbingan. Kemudian di akhirat bertambah jelaslah bagi mereka bahwa segala yang mereka khayalkan itu tidak ada sama sekali. Tidak ada yang akan menolong mereka dan tidak ada penilaian yang baik atas usaha mereka yang telah habis di kala hidup di dunia dahulu. Kerugian akhirat adalah puncak terakhir dan kerugian, yaitu kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Ayat 23
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan menekun tunduk kepada Allah mereka."
Di sini terdapatlah tiga syarat utama untuk melalui pintu bahagia dunia dan akhirat. Pertama, beriman. Percaya kepada Allah Ta'aala dan percaya bahwa di Hari Kemudian, untuk menerima penilaian Allah atas kepercayaan yang kita anut di dunia ini, adalah dia seukuran dengan yang telah dibawakan oleh para rasul.
Kedua, itu dibuktikan dengan amalan yang saleh, kerja dan usaha, perbuatan dan pe-laksanaan. Apa yang dikerjakan di dunia ini? Apa jasa sebagai insan yang diturunkan Allah ke dunia buat menjadi khalifah-Nya. Adakah datang kosong dan pulang kosong?
Ketiga, Allah itu bukan semata-mata dipercayai dengan otak dan rasional. Bukan saja membuktikan ada Allah dengan pikiran (intelek), melainkan dirasakan dalam jiwa se-dalam-dalamnya. Percaya yang menimbulkan harapan karunia-Nya dan takut akan balasan-Nya. Sehingga berusaha merapatkan diri kepada Allah, meningkatkan jiwa untuk mencapai ridha-Nya. Malu tersipu-sipu jika terbuat kesalahan. Yakin bahwa kelak kemudian akan datang menghadap Allah.
Maka dengan melengkapi ketiga syarat ini, amal saleh dan ketundukan kepada Ilahi dijanjikan Allah-lah tempatyang layak baginya,
“Mereka itu akan jadi ahli sunga, yang di dalamnya mereka akan kekal."
Seterusnya Allah pun menyuruh kita membandingkan di antara kedua golongan itu, orang kafir dan fasik dengan orang beriman dan beramal saleh,
Ayat 24
“Penumpammn kedua golongan itu adalah laksana orang buta dan orang tuli dengan orang yang melihat dan yang mendengar."
Di ayat ini kita disuruh mengumpamakan dan membandingkan. Tegakkanlah dalam ingatan seorang pekak dan tuli, bercakap dengan seorang yang terang pendengaran dan jelas penglihatan. Betapa bingung si buta dan bagaimana bingung si tuli, si pekak. Lain di orang, lain di dia.
Si buta tak dapat memperbedakan warna dan menunjukkan ukuran karena alat penglihatan untuk pembanding tidak ada. Si tuli pun demikian pula. Suara nyaring atau badak, suara yang jauh atau dekat, tak dapat diperbe-dakannya. Ini adalah perumpamaan sebab yang dimaksud sejati ialah si buta hati dan si tuli jiwa.
“Suaramu bisa didengar, kalau yang engkau panggil itu orang hidup. Padahal yang engkau panggil ini sama dengan mati."
Adakah sama orang yang hatinya tertutup dari kebenaran dengan orang yang hatinya ter-buka lantaran iman? Adakah sama di antara orang yang datang ke dunia, tetapi tidak berbuat jasa yang baik, dan orang yang menentukan hidupnya yang hanya sebentar singgah di dunia ini, tetapi memberi nilai hidup yang sebentar itu dengan bekas yang beratus tahun? Pasti tidak sama, terang tidak sama.
Maka datanglah penutup ayat, berupa pertanyaan juga,
“Apakah kamu tidak hendak ingat?"
Apakah kamu tidak hendak sadar? Apa artinya kamu menjadi manusia yang diberi Allah alat hidup, yaitu akal dan pikiran, kalau tidak engkau pergunakan untuk beringat-ingat dan berawas-awas melalui hidup ini? Sehingga kedatanganmu ke dunia ini hilang percuma?
Ayat-ayat ini memberi tuntunan kepada kita supaya beragama hendaklah dengan peringatan dan kesadaran. Dengan berpikir dan menilai. Dan bertambah terang bahwa kedatangan ke dunia bukanlah semata-mata untuk makan, minum, dan berkelamin. Hidup jauh lebih tinggi dan sangat tinggi dari itu; asal kita sadar dan ingat!