Ayat

Terjemahan Per Kata
فَلَوۡلَا
maka mengapa tidak
كَانَ
adalah
مِنَ
dari
ٱلۡقُرُونِ
kurun/ummat-ummat
مِن
dari
قَبۡلِكُمۡ
sebelum kalian
أُوْلُواْ
orang-orang yang mempunyai
بَقِيَّةٖ
peninggalan/sia-sia
يَنۡهَوۡنَ
mereka melarang
عَنِ
dari
ٱلۡفَسَادِ
kerusakan
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
إِلَّا
kecuali
قَلِيلٗا
sedikit/kecil
مِّمَّنۡ
diantara orang-orang
أَنجَيۡنَا
Kami telah selamatkan
مِنۡهُمۡۗ
diantara mereka
وَٱتَّبَعَ
dan mengikuti/menurutkan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ظَلَمُواْ
(mereka) dzalim
مَآ
apa
أُتۡرِفُواْ
mereka bersenang-senang
فِيهِ
padanya
وَكَانُواْ
dan mereka adalah
مُجۡرِمِينَ
orang-orang yang berdosa
فَلَوۡلَا
maka mengapa tidak
كَانَ
adalah
مِنَ
dari
ٱلۡقُرُونِ
kurun/ummat-ummat
مِن
dari
قَبۡلِكُمۡ
sebelum kalian
أُوْلُواْ
orang-orang yang mempunyai
بَقِيَّةٖ
peninggalan/sia-sia
يَنۡهَوۡنَ
mereka melarang
عَنِ
dari
ٱلۡفَسَادِ
kerusakan
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
إِلَّا
kecuali
قَلِيلٗا
sedikit/kecil
مِّمَّنۡ
diantara orang-orang
أَنجَيۡنَا
Kami telah selamatkan
مِنۡهُمۡۗ
diantara mereka
وَٱتَّبَعَ
dan mengikuti/menurutkan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ظَلَمُواْ
(mereka) dzalim
مَآ
apa
أُتۡرِفُواْ
mereka bersenang-senang
فِيهِ
padanya
وَكَانُواْ
dan mereka adalah
مُجۡرِمِينَ
orang-orang yang berdosa
Terjemahan

Maka, mengapa tidak ada di antara generasi sebelum kamu sekelompok orang yang mempunyai keutamaan yang melarang (berbuat) kerusakan di bumi, kecuali sebagian kecil, yaitu orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka? Orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan dan kemewahan dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.
Tafsir

(Maka mengapa tidak ada) mengapa tidak (dari umat-umat) dari bangsa-bangsa terdahulu (sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan) orang-orang yang teguh dalam beragama dan memiliki keutamaan (yang melarang daripada mengerjakan kerusakan di muka bumi) makna yang dimaksud adalah meniadakan, artinya hal tersebut jelas tidak akan terjadi di kalangan mereka (kecuali) hanya (sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka) yang melakukan nahi mungkar sehingga selamatlah mereka. Huruf min di sini mengandung makna bayan atau penjelasan (dan orang-orang yang lalim hanya mementingkan) mereka tidak mau melakukan nahi mungkar dan selalu senang dengan perbuatan kerusakan (kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka) mereka hanya bersenang-senang saja (dan mereka adalah orang-orang yang berdosa).
Tafsir Surat Hud: 116-117
Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kalian orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang dari (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.
Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedangkan penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.
Ayat 116
Allah ﷻ berfirman, "Mengapa tidak ada dari umat-umat yang terdahulu orang-orang yang masih berbuat kebaikan, di mana mereka mengerjakan nahi munkar di kalangan sesama mereka terhadap perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan di antara mereka, juga terhadap perbuatan-perbuatan kemungkaran dan kerusakan di muka bumi ini?" Firman Allah ﷻ: Kecuali sebagian kecil.” (Hud: 116)
Dengan kata lain, memang di kalangan mereka terdapat sejumlah orang dari jenis ini, tetapi tidak banyak. Mereka adalah orang-orang yang diselamatkan oleh Allah ﷻ di kala murka Allah dan azab-Nya datang menimpa mereka secara tiba-tiba.
Karena itulah maka Allah ﷻ memerintahkan kepada umat yang dimuliakan ini (umat Nabi ﷺ), hendaklah di kalangan mereka terdapat orang-orang yang menggalakkan amar maruf dan nahi munkar, seperti yang disebutkan Allah ﷻ dalam ayat yang lain melalui firman-Nya: “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Di dalam sebuah hadis disebutkan: “Sesungguhnya manusia itu apabila melihat perkara mungkar, lalu mereka tidak mencegahnya, niscaya dalam waktu yang dekat Allah akan menimpakan siksaan secara umum kepada mereka.”
Untuk itulah dalam surat ini disebutkan melalui firman-Nya: “Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kalian orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang dari (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka.” (Hud: 116)
Firman Allah ﷻ: “Dan orang-orang zalim hanya mementingkan kenikmatan mewah yang ada pada mereka.” (Hud: 116)
Dengan kata lain, mereka tetap mengerjakan maksiat dan perkara mungkar yang biasa mereka lakukan, dan sama sekali tidak tergerak untuk mengingkarinya. Mereka adalah orang-orang yang bakal dikejutkan oleh azab Allah yang menimpa mereka secara tiba-tiba.
“Dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (Hud: 116)
Kemudian Allah ﷻ menyebutkan bahwa tidak sekali-kali Dia membinasakan suatu penduduk kota melainkan bila penduduk kota itu berbuat zalim terhadap diri mereka sendiri. Dan tidak sekali-kali azab dan pembalasan-Nya datang menimpa suatu penduduk kota yang berbuat baik, kecuali bila mereka berbuat zalim. Sehubungan dengan hal ini Allah ﷻ berfirman:
“Dan Kami tidaklah menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.” (Hud: 101)
“Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menzalimi hamba-hamba-Nya.” (Fushshilat: 46)
Setelah diuraikan tentang perintah menghindari perbuatan dosa,
kemudian bimbingan cara menghapus kesalahan serta perintah bersabar, kemudian dijelaskan tentang gambaran kehancuran umat terdahulu. Maka sungguh disayangkan mengapa dari dahulu tidak ada di
antara umat-umat sebelum kamu yang telah Kami binasakan, terdapat
sekelompok orang yang mempunyai keutamaan karena memiliki akal
sehat dan cerdas yang melarang berbuat kerusakan di bumi, serta mencegah kemungkaran, kecuali sebagian kecil di antara orang yang telah Kami
selamatkan, yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti ajaran yang dibawa rasul-Nya. Dan adapun orang-orang yang zalim
terhadap karunia Allah, hanya mementingkan kenikmatan dan kemewahan hidup duniawi, melupakan kehidupan akhirat, dan mereka mengikuti hawa nafsunya, mereka adalah orang-orang yang berdosa lagi durhaka, dan dosa yang mereka perbuat sudah terlalu berat sehingga Allah
mengazab mereka (Lihat: Surah al-Isra'/17:16). Dan sekali-kali Tuhanmu yang membimbing dan memberi petunjuk
kepada hamba-Nya tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim,
yakni membinasakan secara total dan menyeluruh, selama penduduknya
negeri itu adalah orang-orang yang selalu berbuat kebaikan, baik dalam
beragama maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pada ayat ini Allah ﷻ menyatakan celaan-Nya kepada orang-orang pintar, cerdik-pandai yang tidak melarang orang-orang sesamanya berbuat kerusakan di muka bumi, padahal akal sehat dan pikiran cerdas yang mereka miliki itu cukup untuk dapat mengerti dan memahami kebaikan yang diserukan oleh para rasul. Hanya sedikit saja di antara mereka yang mempergunakan akal sehat, pikiran, dan kecerdasannya, untuk melarang berbuat yang mungkar dan menyuruh berbuat yang baik. Mereka yang sedikit itulah yang diselamatkan oleh Allah. Orang-orang dahulu yang cerdik pandai yang zalim lebih mementingkan kemewahan dan kesenangan yang berlebih-lebihan yang menyebabkan mereka itu menjadi sombong, takabur, dan fasik. Ajakan rasul kepada kebaikan ditentangnya, bahkan mereka berbuat sebaliknya. Kejahatan merebak, tidak ada seorang pun di antara mereka yang melarang orang lain berbuat yang mungkar. Oleh karena dosa yang mereka perbuat itu sudah terlalu berat, maka Allah membinasakan mereka. Firman Allah:
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu). (al-Isra/17: 16)
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KEPENTINGAN PEMBERI PERINGATAN
Salah satu sebab merosotnya budi pekerti suatu umat ialah jika tidak ada dalam kalangan itu orang-orang yang disebut ulu baqiyatin, artinya yang mempunyai dasar-dasar baik, yang sudi membendung kemerosotan itu dengan keteguhan hatinya dan berani meng-hadapi tanggung jawab. Sebab itulah, datang peringatan Allah,
Ayat 116
“Alangkah baiknya ada dari angkatan-angkatan sebelum kamu, orang-orang yang mempunyai peninggalan, yang metanang dari berbuat kenusakan di bumi."
Di dalam ayat ini bertemu dua kalimat penting yang kita artikan ke dalam bahasa Indonesia dengan agak panjang. Pertama ialah kata-kata quruun, jamak dari qamin, yang kadang-kadang diartikan orang dalam bahasa Indonesia modern abad. Qurun berarti berabad-abad dan qam diartikan satu abad. Tetapi dia pun mengandung arti lain yang cocok dipasangkan di sini, yaitu angkatan-angkatan atau generasi. Sedang kata lain yang kita artikan pula ke dalam bahasa Indonesia, yaitu uluu baqiyatin, kita artikan orang-orang yang mempunyai peninggalan.
Pangkal ayat 116 ini menjelaskan betapa pentingnya ada orang-orang baik yang meninggalkan peninggalan atau meninggalkan jejak yang selalu akan dikenang oleh generasi-generasi yang akan datang. Karena pada masa yang telah lampau itu ada orang-orang yang sudi berkorban mendidik dan mengasuh, menyuruh berbuat ma'ruf, mencegah berbuat mungkar, maka generasi yang akan datang di belakang niscayalah akan selamat.
Di dalam ayat ini diperingatkanlah bahwasanya adzab siksa Allah yang menimpa kepada suatu kaum bukanlah semata-mata tiba di waktu itu saja. Mereka menjadi generasi yang tersiksa karena pada zaman yang lampau tidak ada yang memberikan tuntunan.
Saya teringat kepada kemenangan gilang-gemilang Partai Masyumi di Sumatera Barat pada tahun 1955. Di dalam satu rapat umum menyusuri kemenangan itu saya berpidato bahwa yang menang sekarang ini bukanlah kita generasi yang sekarang. Ini adalah bekas tangan dari ulama-ulama yang telah lalu, yang kebanyakan sudah meninggal dunia. Kemenangan Islam di Sumatera Barat pada tahun 1955 itu telah ditanamkan oleh Imam Bonjol pada tahun 1822, lebih seratus tahun yang lalu. Maka kalau di daerah lain Islam kalah ialah karena dari lama sebelum kekalahan itu tidak ada orang yang mempunyai peninggalan, orang yang meninggalkan jejak, yaitu orang-orang yang berani menentang dan melarang usaha membuat kerusakan di muka bumi."Kecuali sedikit dari mereka yang Kami se-lamatkan" Hanya sedikit orang yang terlepas dari adzab siksaan Allah, diselamatkan dari bahaya, karena sedikit pula usaha orang yang meninggalkan jejak baik, sedikit bilangannya maka sedikit pula hasilnya."Dan mengikuti orang-orang yang zalim akan kemewahan yang telah biasa mereka padanya." Lanjutan ayat ini demikian jelasnya bahwa orang yang zalim, yang bersikap aniaya, baik kepada orang lain maupun kepada dirinya sendiri, bukanlah mereka mengikuti seruan kepada kebenaran; yang mereka ikuti ialah kemewahan, hidup berlebih-lebihan, yang tersebab nafsu tidak dapat dikendalikan lagi. Dikatakan “yang ada mereka padanya", artinya kehidupan mereka, kekayaan, pangkat, dan jabatan memberikan kesempatan kepada mereka untuk hidup bermewah-mewah dan marah kalau ditegur. Tidak ada suatu ajaran agama yang mengendalikan diri mereka. Tidak mereka dengar nasihat-nasihat dari orang-orang yang disebut meninggalkan jejak tadi.
“Dan adalah mereka itu orang-orang yang durhaka."
Mereka tantang segala seruan kepada kebenaran-Mereka durhakai nilai-nilai kebenaran yang disampaikan orang kepada mereka.
Kemudian datanglah ayat yang selanjutnya,
Ayat 117
“Dan sekali-kali tidaklah Allahmu akan membinasakan negeri-negeri dengan kezaliman, padahal penduduknya berbuat kebaikan."
Ayat ini adalah penegas apa yang telah dibayangkan, tidaklah akan terjerumus ke dalam lembah kehinaan kalau dalam generasi yang telah lampau masih ada orang-orang yang mempunyai peninggalan atau meninggalkan bekas ajaran, agar dunia ini jangan dirusak oleh perbuatan manusia. Kalau ada sedikit yang dipelihara Allah, tidak termasuk dalam adzab. Mereka itu ialah penerima pusaka ajaran orang tua-tua yang berjasa. Yang banyak menjerumuskan suatu negeri ke dalam kecelakaan ialah kemewahan beberapa gelintir manusia yang zalim, yaitu yang tidak mau terikat dirinya oleh tuntunan Ilahi. Proses atau perkembangan dan perjalanan selanjutnya pasti akan mencapai klimaks. Pada akhirnya mesti datang keputusan dari Allah, yaitu kehancuran. Untuk ini, manusia harus memeriksai dirinya sendiri. Kalau dalam suatu negeri masih ada orang baik-baik, Allah tidaklah akan membinasakan negeri itu dengan aniaya, dengan tidak ada sebab. Karena itu, manusia harus mencari kesalahannya sendiri jika terdiri apa-apa. Jangan Allah yang disesali.
Ayat 118
“Dan jika Allah engkau menghendaki, niscaya dijadikan-Nyalah manusia umat yang satu. Akan tetapi, senantiasa jualah mereka berselisih."
Artinya, kalau Allah menghendaki, bisa sajalah manusia itu bersatu semua, akur semua, tidak ada berkelahi-kelahi. Sama rata saja semua, akur dalam membangun, akur dalam berketurunan, damai saja, diam saja. Mustahillah Allah tidak sanggup menakdirkan manusia sama seperti demikian. Lihatlah dan buktikan kehidupan lebah menciptakan madu atau semut membuat sarang. Akur semuanya, tidak ada selisih. Ada orang tuanya satu, perempuan. Yang lain ikut saja. Kalau Allah mau, manusia ini pun bisa saja dibuat-Nya sebagaimana semut. Akan tetapi, Allah telah menakdirkan lain. Manusia tetap saja dalam perselisihan atau perlainan. Ada yang jadi Fir'aun, ada yang jadi Musa. Ada yang jadi Abu Jahal, ada yang jadi Muhammad ﷺ. Atau lebih jauh lagi, ada orang-orang yang berpikiran besar dan agung, tetapi ada yang berpikiran sederhana saja. Ada manusia yang diberi kecerdasan pikiran sehingga dapat mengetahui rahasia alam, lalu dari hasil renungannya itu keluarlah listrik, radio, televisi, pesawat Apollo untuk naik ke bulan. Tetapi di samping itu ada pula manusia yang hanya sanggup mengail ikan di tepi sungai, ada yang lingkungan pikirannya berusaha keras, keluar keringat, berhabis tenaga dan umur, yang dapat hanya seliter beras untuk satu hari makan.
Sekarang kita bertanya kepada manusia itu sendiri. Kalau ada manusia yang ingin supaya manusia ini disamaratakan saja di dunia ini bersatu, berpadu, semua sama pintar pergi ke bulan, semua sama pintar menyelami laut, dan semua sama pintar menciptakan mobil dan televisi, apakah manusia pada waktu itu? Cobalah pikirkan.
Ujung ayat ini menjelaskan bahwa manusia itu senantiasa berselisih. Orang yang sempit jiwanya kecewa mengapa tidak sama. Tetapi orang yang mengerti apa artinya pe-rikemanusiaan itu menjadi kagum akan kekayaan Allah bahwasanya karena pendapat manusia, kecerdasan manusia tidak sama, ramailah hidup ini. Masing-masing hidup ber-kembang menurut bakat yang dicurahkan Allah buat dirinya.
Maka datanglah lanjutan ayat,
Ayat 119
“Kecuali barangsiapa yang dinahmati oleh Allah engkau."
Ujungayatll8menjelaskanbahwamanusia itu selalu berselisih. Ayat 119 ini menjelaskan bahwa orang yang diberi rahmat oleh Allah tidaklah akan celaka karena perselisihan itu. Bagi mereka, perselisihan adalah rahmat. Perselisihan pendapat, perlainan pikiran, dan penilaian atas sesuatu, karena perlainan lingkungan dan iklim, bukanlah menambah mundur manusia, melainkan menambah majunya. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia diberi Allah persenjataan akal. Hasil pendapat akal itu diketengahkan kepada sesama manusia. Kepada Adam telah diajarkan nama-nama semuanya (al-Baqarah: 31). Perikemanusiaan itu semuanya yang dibagi-bagi Allah kepadanya ilmu atau nama-nama itu. Dia berlomba mencari nama-nama itu dan kadang-kadang sudah tentu dia berselisih karena tempat memandang tidak sama. Timbullah pergumulan dengan berbagai rintangan. Semuanya menghasilkan kemajuan hidup manusia. Itulah dia rahmat! Sebab itu, tegas-tegas lanjutan ayat mengatakan, “Dan lantaran itulah Dia menjadikan mereka." Untuk berselisih pikiran, untuk berlain pendapat, untuk menilai sesuatu menurut kesanggupan, lalu perikemanusiaan mendapat rahmat. Untuk itulah manusia dijadikan."Dan untuk itulah mereka dijadikan" Suku ayat ini ditanggapi oleh al-Qasyani di dalam tafsirnya,
“Untuk berselisih pikiran itulah mereka dijadikan oleh Allah. Supaya mereka semuanya bersedia terus menghadapi suatu soal dan bekerja. Dipilihnya sendiri pekerjaan dan usaha yang sesuai dengan bakatnya. Dengan demikianlah mereka turut menegakkan susunan alam ini, dan teratur pembagian kehidupan. Maka mereka itu didorong oleh sebab-sebab dan pembagian rezeki, dan apa-apa saja yang menjadi sumber usaha, maka tersusunlah, tertiblah kehidupan di dunia ini. Sebagaimana golongan yang diberi rahmat dengan usaha dan kegiatannya itu dapat memperlihatkan kesanggupan dan kesempurnaan, Allah pun memperlihatkan perantaraan mereka. Dia jadikan mereka tempat mempertunjukkan hikmah-hikmah-Nya dan pengetahuan-Nya serta rahasia-Nya."
Jadi, menurut al-Qasyani, pertikaian pikiran dan perselisihan pendapat adalah perlu, bahkan untuk itulah manusia dijadikan supaya kehidupan di dunia ini lebih maju.
“Dan sudah sempurnalah kalimat Allah engkau!" Artinya, itulah keputusan dan ke-tentuan Allah. Tidak ada lagi yang lebih baik dari itu. Janganlah derajat manusia diturunkan menjadi hanya seumpama lebah atau semut, yang hidup dengan tuntunan insting belaka, tidak ada perselisihan. Kalau manusia ditakdirkan Allah hidup sebagaimana semut dan lebah atau berbondong laksana ikan di laut, tidaklah akan ada rahmat dalam alam ini dan tidak pula sempurna nikmat. Malahan manusia yang sombong mencoba hendak menegakkan kekuasaannya menjadi raja atau menjadi kepala negara dengan sikap diktator. Orang disuruh bersatu menurut pikirannya semua, jangan ada bising-bising, jangan ber-kelahi-kelahi, namun akhirnya keruntuhan jugalah yang mereka hadapi. Sebab yang dia paksa bersatu itu manusia, bukan semut, bukan lebah.
Perselisihan adalah rahmat dan nikmat yang sempurna kalau manusia pandai mem-bawakannya. Sebab itu, hendaklah dipertinggi kecerdasan dan kesadaran beragama sehingga perselisihan dan pertikaian benar-benar menguntungkan bagi perikemanusiaan. Tetapi ada setengah manusia, perselisihan menumbuhkan hasad dan dengki, ributdan perang. Dia hendak memonopoli dunia untuk kepentingan dirinya sendiri. Di waktu dia naik, hendak menginjak orang lain. Di waktu dia mendapat nikmat, dia lupa kepada yang memberi nikmat. Yang begitu ada dalam kalangan manusia dan ada juga dalam kalangan jin. Maka berfirmanlah Allah selanjutnya sebagai penegasan dari kalimat-Nya atau keputusan yang telah diambil-Nya,
“Akan Aku penuhkan Jahannam dengan jin dan manusia sekaliannya."
Artinya, mana yang tidak dapat menerima rahmat Allah karena perselisihan atau perbedaan kedudukan manusia itu, menyelewenglah dia dari jalan yang benar. Petunjuk
Allah ditinggalkannya, jalan yang sesat ditempuhnya. Maka adalah ketentuan yang wajar dari Allah, kalimat atau keputusan, bahwa orang yang demikian, tidak dapat tidak, tentu masuk ke Jahannam. Di ujung ayat disebut jin dan manusia sekaliannya. Artinya, bila tiba ke dalam neraka Jahannam itu samalah hukum yang mereka terima semuanya, jami'ah, tidak ada perbedaan. Sebagaimana masuk surga pun diperlakukan sama di antara jin dan manusia adanya.
KISAH RASUL-RASUL ALLAH DALAM AL-QUR'AN
Ayat 120
“Dan tiap-tiapnya itu, telah Kami kisahkan kepada engkau dari hal berita-berita rasul-rasul itu, ialah untuk Kami menetapkan hati engkau dengan dia."
“Dan tiap-tiapnya itu," yaitu berita tentang rasul-rasul dan perjuangan mereka, yang telah tersebut di dalam surah Huud ini, sejak kisah Nabi Nuh sampai Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Syu'aib, Nabi Ibrahim, dan Nabi Musa, ialah kisah dari rasul-rasul dengan perjuangan suka duka, penderitaan, dan kesulitan di dalam menegakkan hukum Allah di muka bumi. Semuanya itu Kami ceritakan kepada engkau, ya Nabi Muhammad, adalah untuk menetapkan hatimu supaya insaflah engkau hendaknya dan insaf pula setiap orang yang telah menyediakan diri menuruti ajaranmu itu bahwa menegakkan kebenaran itu tidaklah mudah."Dan telah datang kepada engkau di dalam semua (berita-berita) ini dengan kebenaran." Artinya, ini bukanlah berita fantasi, kabar bohong, atau khayal imajinasi untuk pelemak-lemakan kata."Dan pengajaran." Supaya dari segala kejadian rasul-rasul dengan kaumnya itu menjadi cermin perbandingan; pengalaman orang pur-bakala jadi pengajaran bagi yang datang di belakang. Apatah lagi meskipun sejarah tidak berulang, namun kelakuan manusia sama di segala masa, yaitu sukar sekali menerima ajaran yang benar karena kungkungan hawa nafsu.
“Dan peringatan bagi orang-orang yang beriman."
Jadi pengajaran dan peringatan bagi orang yang beriman. Supaya tidak mereka tempuh jalan salah yang ditempuh oleh orang dahulu itu. Sebab kita datang ke dunia ini hanya sekali, sesudah itu kita pun meninggal Maka pesan-pesan tentang keadaan umat yang dahulu itu dapatlah menjadi peringatan pula bagi orang yang beriman bahwasanya pembalasan Allah mesti menimpa kepada orang yang durhaka kepada peringatan Allah.
Ayat 121
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang tidak mau percaya itu, ‘Bekerjalah kamu menurut pendirianmu itu, sesungguhnya kami pun akan bekerja pula.'"
Tantangan dari orang-orang yang tidak mau beriman itu amat berat dan hebat. Mereka tidak peduli kepada seruan Rasul. Mereka menyatakan tidak percaya kepada balasan Allah. Mereka mengatakan bahwa mereka akan jalan terus. Tidak peduli walaupun pendirian dan pegangan mereka dikatakan salah. Maka datanglah ayat ini sebagai sambutan tegas dari Rasulullah ﷺ atau sebagai sambutan tegas dari Islam terhadap segala tantangan. Bekerjalah kamu, berusahalah dan pertahankanlah pendirian kamu itu, namun kami pun akan bekerja pula. Mari kita lihat di belakang hari hasil dari usaha kita, manakah yang akan berhasil. Inilah yang ditegaskan pada ayat selanjutnya,
Ayat 122
‘Dan tunggulah kamu, sesungguhnya kami pun menunggu pula."
Sama-sama kita tunggu manakah usaha dan amalan kita yang akan berhasil, kaliankah atau kami. ‘
Di sana yang dipertahankan hanyalah kedudukan atau pusaka lama dari nenek moyang, warisan dari bapak-bapak, dengan tidak menilai benar atau salahnya. Sedangkan di sini adalah suatu keyakinan, suatu kebenaran yang dapat dipertahankan menurut akal yang sehat. Sebab itu, pasti bahwa di sanalah yang akan gagal, bukan di sini. Di dalam surah ar-Ra'd ayat 17, pendirian ini telah dikuatkan oleh Allah dan surah ar-Ra'd ini pun turun di Mekah. Yaitu bahwasanya hujan pun turun dari langit, maka mengalirlah air itu membuat wadi-wadi atau lembah-lembah menurut ukurannya yang telah tertentu, dan dia pun membawa banjir, di atas banjir ada buih. Selain dari itu, bisa orang menyalakan api, tukang emas membuat perhiasan, ketika mereka menyalakan api itu ataupun ketika memukul menempa emas yang telah padu menyala itu, dia pun menimbulkan semacam buih. Begitulah selalu Allah membuat perumpamaan perjuangan di antara yang hak dan yang batil. Ada air sebenar air, ada buih bawaan banjir. Ada api sebenar api, ada pula hanya gejala api. Akhirnya buih-buih itu, baik buih air dibawa banjir maupun buih api tatkala menempa emas, akan hilang saja diembus angin, namun barang yang bermanfaat bagi manusia akan tetaplah dia tinggal di muka bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan.
Oleh sebab itu, marilah kita sama bekerja dan marilah kita sama menunggu hasil kerja kita. Hanya yang bermanfaat juga yang akan kekal, sedangkan yang buih akan diembus angin.
Ayat penutup,
Ayat 123
“Dan bagi Allah-tah rahasia senuta langit dan bumi."
Inilah ayat penutup surah atau kuncinya. Artinya, betapapun urusan yang dihadapi di dunia ini dan bagaimanapun kesulitan yang dihadapi, bukakanlah pintu hati dan lihatlah alam sekeliling. Itulah langit dengan warnanya yang biru di siang hari, kilap kemilau cahaya bintang dan bulan bercahaya, matahari bersinar. Alangkah luasnya alam ini dan alangkah kecilnya insan. Di atas langit ada langit lagi, tujuh tingkatnya yang disebut, berarti banyak. Kemudian itu menekurlah ke bumi, ke padang pasir yang luas menggemakan fatamorgana atau bagian subur yang hijau. Apalah artinya manusia di hadapan kebesaran ini. Allah semuanya yang punya. Allah yang menguasai semuanya.
Semuanya penuh dengan kegaiban, dengan rahasia. Lebih banyak yang tidak kita ketahui dari yang kita ketahui. Hatta diri kita sendiri pun gaib bagi kita. Bertambahlah dicari, bertambah tidak bertemu, padahal dia pun ada. Apatah lagi bumi, apatah lagi ketujuh petala langit. Begitu banyak bintang berserak di cakrawala, berjuta-juta dan berjuta lagi, baru sebuah saja yang dapat didatangi, yaitu bulan, namun buat tempat tinggal dan tempat hidup, rasanya tidaklah bisa. Berapalah yang kita ketahui. Semua gaib. Yang nyata pun akhirnya jadi gaib.
“Dan kepada-Nyalah pulang urusan semuanya." Dia yang tahu semua dan Dia yang menentukan. Sesudah hidup ini kita pun akan mati, nanti pun akan dihisab di akhirat. Jasa atau dosa, pahala atau bahala, pulang urusan semuanya kepada-Nya. Oleh sebab itu, “Maka sembahlah dia dan bertawakallah kepada-Nya." Oleh sebab itu, karena rahasia langit dan bumi dan rahasia diri kita sendiri pun Dia yang menguasai, Dia yang memegang kuncinya, ke mana kita akan menghadap lagi kalau bukan kepada-Nya. Siapa lagi yang akan kita sembah kalau bukan Dia. Ke mana kita bertawakal menyerah kalau bukan kepada Dia. Dengan menghambakan diri dan bertawakal, kita mengisi jiwa dengan kekuatan yang baru untuk meneruskan langkah ini.
“Dan tidaklah Allah engkau tengah dari apapun yang kamu kerjakan."
Kalau di ayat 121 orang yang tidak beriman telah disuruh bekerja dan kita pun menunggu, maka kaum Muslimin pengikut Nabi Muhammad ﷺ harus menghambakan diri dan bertawakal sambil bekerja dan beramal.
Allah tidak akan melengahkan kita dari penilikan dan penjagaan-Nya.
Inilah inti sari dari surah Huud.