Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱصۡبِرۡ
dan bersabarlah
فَإِنَّ
karena sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يُضِيعُ
menyia-nyiakan
أَجۡرَ
pahala
ٱلۡمُحۡسِنِينَ
orang-orang yang berbuat baik
وَٱصۡبِرۡ
dan bersabarlah
فَإِنَّ
karena sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يُضِيعُ
menyia-nyiakan
أَجۡرَ
pahala
ٱلۡمُحۡسِنِينَ
orang-orang yang berbuat baik
Terjemahan
Bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan.
Tafsir
(Dan bersabarlah) hai Muhammad, di dalam menghadapi perlakuan kaummu yang menyakitkan itu; atau bersabarlah kamu di dalam menjalankan salat (karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan) bersabar di dalam menjalankan ketaatan.
Tafsir Surat Hud: 114-115
Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.
Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat (Allah).
Dan bersabarlah karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.
Ayat 114
Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang.” (Hud: 114) Yakni shalat Subuh dan shalat Magrib.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Hasan dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam. Al-Hasan telah mengatakan dalam suatu riwayat dari Qatadah dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya, bahwa yang dimaksud ialah shalat Subuh dan shalat Asar. Mujahid mengatakan, yang dimaksud dengan shalat pada permulaan siang adalah shalat Subuh, tetapi di lain kesempatan ia mengatakan shalat Zuhur dan shalat Asar.
“Dan pada permulaan malam.” (Hud: 114)
Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, dan lain-lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah shalat Isya.
Al-Hasan dalam riwayat Ibnul Mubarak dari Mubarak ibnu Fudalah, dari Al-Hasan, bahwa yang dimaksud dengan firman-Nya: “Dan pada permulaan malam.” (Hud: 114) Maksudnya adalah shalat Magrib dan shalat Isya.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Keduanya berada pada permulaan malam hari, yaitu shalat Magrib dan shalat Isya.” Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Muhammad ibnu Ka'b, Qatadah, dan Ad-Dahhak, bahwa yang dimaksud adalah shalat Magrib dan shalat Isya.
Tetapi dapat pula diartikan bahwa ayat ini diturunkan sebelum shalat lima waktu difardukan pada malam isra. Karena sesungguhnya shalat yang diwajibkan saat itu hanyalah shalat sebelum matahari terbit dan shalat sebelum tenggelamnya, sedangkan shalat qiyam di malam hari dianjurkan atas Nabi, juga atas umatnya. Kemudian kewajiban atas umatnya melakukan qiyamul lail di-mansukh, tetapi wajib atas Nabi ﷺ. Tetapi menurut suatu pendapat lain, kewajiban melakukan qiyamul lail atas Nabi pada akhirnya di-mansukh pula.
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114)
Sesungguhnya mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik itu dapat menghapuskan dosa-dosa yang terdahulu, seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab Sunnah melalui Amirul Muminin Ali ibnu Abu Talib yang mengatakan, "Aku apabila mendengar dari Rasulullah ﷺ suatu hadis secara langsung, maka Allah memberikan manfaat kepadaku dengan melaluinya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Yakni aku mengamalkannya secara langsung. Tetapi apabila aku mendengar suatu hadis dari orang lain, maka terlebih dahulu aku minta orang itu untuk bersumpah tentang kebenarannya. Apabila orang itu mau bersumpah kepadaku, maka aku baru mempercayainya (dan mengamalkannya).”
Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar, dan benarlah Abu Bakar dengan apa yang diceritakannya, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali seorang mukmin melakukan suatu dosa (kecil), lalu ia melakukan wudu dan shalat dua rakaat, melainkan diberikan ampunan baginya (atas dosanya itu)."
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis melalui Amirul Muminin Usman ibnu Affan, bahwa dia berwudu di hadapan mereka seperti wudu yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, kemudian ia mengatakan, "Demikianlah wudu yang pernah aku lihat Rasulullah ﷺ melakukannya, lalu Rasulullah ﷺ bersabda (sesudahnya): 'Barang siapa yang melakukan wudu seperti wuduku ini, kemudian mengerjakan shalat dua rakaat tanpa berbicara kepada dirinya sendiri dalam dua rakaatnya (yakni ia lakukan keduanya dengan khusyuk), maka diberilah ampunan baginya atas dosa-dosanya yang terdahulu'."
Imam Ahmad dan Abu Ja'far ibnu Jarir telah meriwayatkan melalui hadis Abu Uqail Zahrah ibnu Ma'bad, bahwa ia pernah mendengar Al-Haris maula Usman mengatakan, "Pada suatu hari Usman duduk, dan kami duduk bersama-sama dengannya, lalu juru azan shalat datang kepadanya, maka Usman meminta air dalam sebuah wadah. Menurut pendapatku (perawi), air itu sebanyak satu mud. Kemudian Usman melakukan wudu dan berkata, bahwa ia pernah melihat Rasulullah ﷺ melakukan wudu seperti wudu yang diperagakannya itu, setelah itu Rasulullah ﷺ bersabda: 'Barang siapa yang melakukan wudu seperti wuduku ini, kemudian ia bangkit dan mengerjakan shalat Zuhur, maka diampunilah baginya semua dosa yang dilakukannya antara shalat Zuhur dan shalat Subuhnya. Kemudian (bila) ia melakukan shalat Asar, maka diampunilah baginya dosa yang ia lakukan antara shalat Asar dan shalat Zuhurnya. Kemudian (bila) ia shalat Magrib, maka diampunilah baginya semua dosa yang ia lakukan antara shalat Magrib dan shalat Asarnya. Kemudian (bila) ia shalat Isya, maka diampunilah baginya dosa yang ia lakukan antara shalat Isya dan shalat Magribnya. Kemudian barangkali ia tidur lelap di malam harinya; dan jika ia bangun, lalu wudu dan melakukan shalat Subuh, maka diampunilah baginya semua dosa yang ia kerjakan antara shalat Subuh dan shalat Isyanya. Semuanya itu adalah perbuatan-perbuatan baik yang dapat menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan buruk’.”
Di dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Bagaimanakah pendapat kalian seandainya di depan rumah seseorang di antara kalian terdapat sebuah sungai yang airnya berlimpah, lalu ia mandi lima kali sehari di dalamnya setiap harinya, apakah masih ada yang tersisa dari kotoran yang ada pada tubuhnya? Mereka menjawab, "Tidak, wahai Rasulullah.” Rasulullah ﷺ bersabda, "Demikian pula halnya shalat lima waktu, Allah menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan dengannya."
Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya mengatakan, telah menceritakan kepada kami AbutTahir, yaitu Ibnu Sa'id; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari AbuSakhr, bahwa Umar ibnu Ishaq maula Zaidah pernah menceritakan hadis berikut dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Shalat lima waktu dan shalat Jumat hingga shalat Jumat berikutnya, dan bulan Ramadan sampai dengan bulan Ramadan berikutnya dapat menghapuskan semua dosa yang dilakukan di antaranya, selagi dosa-dosa besar dihindari.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam ibnu Nafi', telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abbas, dari Damdam ibnu Zur'ah, dari Syuraih ibnu Ubaid, bahwa Abu Rahm As-Sam'i pernah menceritakan hadis berikut kepadanya: Abu Ayyub Al-Ansari pernah menceritakan hadis berikut kepadanya, dari Rasulullah ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya setiap shalat dapat menghapuskan dosa yang dilakukan sebelumnya.”
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Ubay, dari Damdam ibnu Zur'ah, dari Syuraih ibnu Ubaid, dari Abu Malik Al-Asy'ari yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Shalat-shalat itu dijadikan sebagai penghapus dosa yang dilakukan di antaranya. Karena sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman: ‘Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk’.” (Hud: 114)
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Ibnu Mas'ud, bahwa pernah ada seorang lelaki mencium seorang wanita, lalu ia datang kepada Nabi ﷺ dan menceritakan apa yang telah dilakukannya itu. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114) Lalu lelaki itu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah hal ini khusus bagiku?" Rasulullah ﷺ menjawab: "Untuk seluruh umatku.”
Demikianlah menurut riwayat Imam Bukhari di dalam Kitabus shalatnya.
Imam Bukhari mengetengahkannya pula di dalam kitab Tafsir-nya dari Musaddad, dari Yazid ibnu Zurai' dengan lafaz yang serupa. Imam Muslim dan Imam Ahmad serta para penulis kitab Sunnah kecuali Abu Daud telah meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Abu Usman An-Nahdi yang nama aslinya Abdur Rahman ibnu Mal dengan sanad yang sama.
Imam Ahmad, Imam Muslim, Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Ibnu Jarir telah meriwayatkannya dengan lafaz seperti berikut melalui berbagai jalur dari Samak ibnu Harb: Ia pernah mendengar Ibrahim Ibnu Yazid menceritakannya dari Alqamah ibnu Aswad, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang menghadap Rasulullah ﷺ, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita di dalam sebuah kebun, lalu aku melakukan segala sesuatu terhadapnya, hanya aku tidak menyetubuhinya. Aku menciuminya dan memeluknya, lain itu tidak; maka hukumlah aku menurut apa yang engkau sukai." Rasulullah ﷺ tidak menjawab sepatah kata pun, lalu lelaki itu pergi. Dan Umar berkata, "Sesungguhnya Allah memaafkannya jika dia menutupi perbuatan dirinya (yakni tidak menceritakannya)." Pandangan Rasulullah ﷺ mengikuti kepergian lelaki itu, kemudian beliau bersabda, "Panggillah lelaki itu untuk menghadap kepadaku." Lalu mereka memanggilnya, dan Rasulullah ﷺ membacakan kepadanya ayat berikut, yaitu firman Allah ﷻ: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat (Allah).” (Hud: 114)
Mu'az mengatakan menurut riwayat yang lainnya, bahwa Umar berkata, "Wahai Rasulullah, apakah hal ini khusus baginya, ataukah bagi semua orang?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Tidak, bahkan bagi semua orang.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Aban ibnu Ishaq, dari As-Sabbah ibnu Muhammad, dari Murrah Al-Hamdani, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Sesungguhnya Allah telah membagi di antara kalian akhlak kalian sebagaimana Dia membagi di antara kalian rezeki kalian. Dan sesungguhnya Allah memberikan dunia ini kepada orang yang disukai-Nya dan orang yang tidak disukai-Nya. Tetapi Dia tidak memberi agama kecuali kepada orang yang disukai-Nya. Maka barang siapa yang diberi agama oleh Allah, berarti Allah menyukainya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tidaklah seorang hamba menjadi muslim sebelum hati dan lisannya Islam, dan tidaklah seorang hamba menjadi mukmin sebelum tetangganya aman dari perbuatan jahatnya. Kami (para sahabat) bertanya, "Wahai Nabi Allah, apakah yang dimaksud dengan bawaiq-nya (perbuatan jahatnya)?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Yaitu menipu dan menganiaya. Dan tidaklah seorang hamba menghasilkan sejumlah harta haram, lalu ia membelanjakannya dan diberkati baginya dalam belanjaannya itu; dan tidaklah ia menyedekahkannya), lalu diterima sedekahnya. Dan tidaklah ia meninggalkan harta haramnya itu di belakang punggungnya (untuk ahli warisnya), melainkan akan menjadi bekalnya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak menghapus keburukan dengan keburukan, tetapi Dia menghapuskan keburukan dengan kebaikan. Sesungguhnya hal yang buruk itu tidak dapat menghapuskan yang buruk.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abus Saib, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim yang mengatakan, "Fulan ibnu Mu'tib adalah seorang lelaki dari kalangan ansar, ia pernah bertanya, 'Wahai Rasulullah, saya pernah menggauli seorang wanita dan memperoleh darinya seperti apa yang diperoleh seorang lelaki dari istrinya, hanya saya tidak menyetubuhinya.' Rasulullah ﷺ tidak mengetahui jawaban apa yang harus dikatakan kepadanya, hingga turunlah ayat ini: ‘Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat (Allah).’ (Hud: 114) Maka Rasulullah ﷺ memanggil lelaki itu dan membacakan ayat ini kepadanya."
Menurut riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas, lelaki itu bernama Amr ibnu Gazyah Al-Ansari At-Tammar. Menurut Muqatil, lelaki itu adalah Abu Nafil alias Amir ibnu Qais Al-Ansari. Al-Khatib Al-Bagdadi menyebutkan bahwa lelaki itu adalah Abul Yusr alias Ka'b ibnu Amr.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus dan Affan; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hammad (yakni Ibnu Salamah), dari Ali ibnu Zaid. Dan Affan mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas, bahwa seorang lelaki datang kepada Umar, lalu ia bertanya, "Sesungguhnya pernah ada seorang wanita datang kepadaku untuk melakukan jual beli denganku, lalu aku memasukkannya ke dalam kemah, maka aku mengerjainya kecuali bersetubuh." Umar berkata, "Celakalah kamu, barangkali suaminya sedang pergi berjihad di jalan Allah." Lelaki itu menjawab, "Memang benar." Umar berkata, "Datanglah kepada Abu Bakar dan bertanyalah kepadanya!" Lalu lelaki itu datang kepada Abu Bakar.
Abu Bakar berkata, "Barangkali dia adalah wanita yang ditinggal suaminya pergi berjihad di jalan Allah." Ternyata Abu Bakar mengatakan hal yang sama seperti apa yang dikatakan oleh Umar. Lelaki itu datang kepada Nabi ﷺ. Nabi pun mengatakan hal yang sama, yaitu: "Barangkali dia sedang ditinggal pergi berjihad di jalan Allah oleh suaminya." Lalu turunlah firman-Nya: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114), hingga akhir ayat.
Lelaki itu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah hal ini khusus bagiku, ataukah umum bagi semua orang?" Maka Umar memukul dadanya dengan tangannya dan berkata, "Tidak, tidak, bahkan untuk semua orang." Dan Rasulullah ﷺ bersabda, "Benarlah apa yang dikatakan Umar."
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir telah meriwayatkan melalui hadis Qais ibnur Rabi', dari Usman ibnu Mauhid Musa ibnu Talhah, dari Abul Yusr Ka'b ibnu Amr Al-Ansari yang mengatakan, "Pernah ada seorang wanita datang kepadaku untuk membeli buah kurma sebanyak satu dirham.
Lalu aku berkata kepadanya bahwa sesungguhnya di dalam rumah terdapat sejumlah buah kurma yang jauh lebih baik daripada ini. Wanita itu masuk ke dalam rumah, lalu aku memeluk dan menciuminya. Setelah itu aku datang menemui Umar dan bertanya kepadanya mengenai masalah itu. Maka Umar berkata, 'Bertakwalah kamu kepada Allah, dan tutupilah perbuatanmu itu, jangan kamu ceritakan kepada seorang pun.' Tetapi aku tidak sabar, lalu aku datang kepada Abu Bakar untuk menanyakan hal itu kepadanya.
Abu Bakar menjawab, 'Bertakwalah kamu kepada Allah, tutupilah perbuatanmu itu, dan jangan sekali-kali kamu menceritakannya kepada seorang pun.' Aku tidak sabar, maka aku datang kepada Nabi ﷺ dan menceritakan hal itu kepadanya. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Apakah kamu berani berbuat demikian terhadap keluarga seorang lelaki yang sedang pergi berjihad di jalan Allah?' Sehingga aku menduga bahwa diriku termasuk ahli neraka, dan aku berangan-angan seandainya saja aku baru masuk Islam saat itu. Rasulullah ﷺ menundukkan kepalanya sesaat, dan Jibril turun."
Abul Yusr mengatakan bahwa lalu ia datang menghadap Rasulullah ﷺ (di lain waktu). Maka Rasulullah ﷺ membacakan kepadanya ayat berikut: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114) Lalu ada seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah hal ini khusus baginya ataukah umum bagi semua orang?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Umum bagi semua orang."
Al-Hafiz Abul Hasan Ad-Daruqutni mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Sahl Al-Muhamili, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu'az ibnu Jabal, bahwa ketika ia sedang duduk di hadapan Nabi ﷺ, tiba-tiba datang menghadap kepada Nabi ﷺ seorang lelaki dan bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki yang mengerjai wanita yang tidak halal baginya; dia tidak menyia-nyiakan suatu kesempatan ini barang sedikit pun, perihalnya sama seperti apa yang dilakukan oleh seorang lelaki terhadap istrinya, hanya saja dia tidak menyetubuhinya?"
Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Lakukanlah wudu dengan baik lalu berdirilah dan kerjakanlah shalat.” Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang).” (Hud: 114) Lalu Mu'az bertanya, "Apakah ayat ini khusus baginya ataukah bagi seluruh kaum muslim?" Nabi ﷺ menjawab, "Tidak, bahkan buat seluruh kaum muslim."
Ibnu Jarir telah meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Abdul Malik ibnu Umair dengan sanad yang sama.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu muslim, dari Amr ibnu Dinar, dari Yahya ibnu Ja'dah, bahwa seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi ﷺ teringat akan seorang wanita. Saat itu lelaki tersebut sedang duduk bersama Rasulullah ﷺ. Lalu lelaki itu meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk suatu keperluannya, dan Rasulullah ﷺ mengizinkannya. Kemudian lelaki itu pergi mencari wanita yang diingatnya tadi, tetapi tidak menjumpainya. Lelaki itu kembali dengan maksud akan memberitahukan kepada Nabi ﷺ berita gembira akan datangnya hujan. Di tengah perjalanan ia menjumpai wanita itu sedang duduk di atas pancuran air. Lalu ia mendorong wanita itu hingga telentang dan menindihinya di antara kedua kakinya, sehingga penisnya lemas seperti ujung kain (karena telah mengeluarkan air mani). Kemudian ia bangkit dengan rasa menyesali perbuatannya, dan ia langsung pergi hingga datang ke hadapan Nabi ﷺ, menceritakan apa yang telah diperbuatnya itu.
Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu dan kerjakanlah shalat empat rakaat!” Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Nabi ﷺ membacakan firman-Nya: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam.” (Hud: 114), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Ahmad ibnu Sibawaih, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Salim, dari Az-Zubaidi Salim ibnu Amir; ia pernah mendengar Abu Umamah mengatakan bahwa sesungguhnya pernah ada seorang lelaki datang menghadap kepada Nabi ﷺ, lalu berkata: "Wahai Rasulullah, laksanakanlah hukuman had Allah atas diriku," sebanyak sekali atau dua kali, tetapi Rasulullah ﷺ berpaling darinya.
Tidak lama kemudian shalat didirikan; dan setelah Rasulullah ﷺ merampungkan shalatnya, beliau bertanya, "Ke manakah orang yang tadi meminta agar aku menegakkan hukuman had Allah atas dirinya?" Lelaki itu menjawab, "Inilah saya." Rasulullah ﷺ bersabda, "Apakah engkau telah melakukan wudumu dengan baik dan shalat bersama kami tadi?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Maka sesungguhnya engkau telah dibersihkan dari dosa-dosamu seperti pada hari engkau dilahirkan oleh ibumu, maka janganlah kamu ulangi perbuatan itu!” Dan Allah ﷻ menurunkan atas Rasul-Nya firman berikut: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat (Allah).” (Hud: 114)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid, dari Abu Usman yang mengatakan bahwa ketika ia sedang bersama Salman Al-Farisi di bawah sebuah pohon, lalu Salman mengambil salah satu dari rantingnya yang kering dan ia menggoyah-goyahkannya sehingga berguguranlah dedaunannya.
Kemudian Salman berkata, "Hai Abu Usman, mengapa engkau tidak bertanya kepadaku tentang apa yang aku lakukan tadi?" Ia bertanya, "Mengapa engkau melakukannya?" Salman menjawab, bahwa demikianlah ia pernah melihat Rasulullah ﷺ melakukannya, lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya orang muslim itu apabila berwudu dan ia lakukan wudunya itu dengan baik, lalu mengerjakan shalat lima waktunya, maka berguguranlah dosa-dosanya sebagaimana dedaunan ini berguguran.” Lalu Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat (Allah).” (Hud: 114)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Maimun ibnu Abu Syabib, dari Mu'az, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Hai Mu'az, ikutilah amal yang buruk dengan amal yang baik, amal yang baik itu dapat menghapuskannya; dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Habib, dari Maimun ibnu Abu Syabib, dari Abu Zar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, dan ikutilah amal yang buruk dengan amal yang baik, niscaya amal baik itu menghapus dosanya, dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Syamr Ibnu Atiyyah, dari guru-gurunya, dari Abu Zar yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Nabi ﷺ, "Wahai Rasulullah, berwasiatlah kepadaku." Rasulullah ﷺ menjawab: "Apabila kamu berbuat suatu keburukan, maka iringilah ia dengan perbuatan yang baik, niscaya perbuatan yang baik itu menghapus (dosa)nya.” Abu Zar kembali berkata, "Wahai Rasulullah, apakah kalimat 'La ilaha illallah’ (Tidak ada Tuhan selain Allah) termasuk amal yang baik?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Kalimat itu adalah amal baik yang paling utama.”
Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Huzail ibnu Ibrahim Al-Jumani, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abdur Rahman Az-Zuhr (salah seorang putra Sa'd ibnu Abu Waqqas), dan Az-Zuhri, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak sekali-kali seorang hamba mengucapkan 'La ilaha illallah’ (Tidak ada Tuhan selain Allah) dalam suatu saat dari malam atau siang hari melainkan dihapuskan semua dosa yang ada dalam buku catatan amalnya, lalu di bubuhkan kepadanya catatan amal kebaikan yang serupa dengannya.” Usman ibnu Abdur Rahman yang dikenal dengan nama julukan Al-Waqqasi orangnya agak daif.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Adam dan Zaid ibnu Akhram; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ad-Dahhak ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Mastur ibnu Abbad, dari Sabit, dari Anas, bahwa pernah ada seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, aku belum pernah membiarkan suatu keperluan pun, tidak pula sesuatu hal pun." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya yang ini menghapus yang tadi.” Mastur meriwayatkan hadis ini secara munfarid melalui jalur ini.
Dan selain mengerjakan salat, juga bersabarlah dalam menghadapi
cobaan dan kesulitan ketika melaksanakan perintah Allah, karena tanpa
kesabaran, amal ibadah terasa berat, terutama dalam hal beristikamah.
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan sedikit pun pahala yang diberikan kepada orang yang berbuat kebaikan. Perintah bersabar pada ayat ini
mencakup bersabar dalam melaksanakan perintah Allah, dan bersabar
dalam menghindari perbuatan maksiat maupun bersabar dalam menghadapi ujian atau cobaan. Setelah diuraikan tentang perintah menghindari perbuatan dosa,
kemudian bimbingan cara menghapus kesalahan serta perintah bersabar, kemudian dijelaskan tentang gambaran kehancuran umat terdahulu. Maka sungguh disayangkan mengapa dari dahulu tidak ada di
antara umat-umat sebelum kamu yang telah Kami binasakan, terdapat
sekelompok orang yang mempunyai keutamaan karena memiliki akal
sehat dan cerdas yang melarang berbuat kerusakan di bumi, serta mencegah kemungkaran, kecuali sebagian kecil di antara orang yang telah Kami
selamatkan, yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti ajaran yang dibawa rasul-Nya. Dan adapun orang-orang yang zalim
terhadap karunia Allah, hanya mementingkan kenikmatan dan kemewahan hidup duniawi, melupakan kehidupan akhirat, dan mereka mengikuti hawa nafsunya, mereka adalah orang-orang yang berdosa lagi durhaka, dan dosa yang mereka perbuat sudah terlalu berat sehingga Allah
mengazab mereka (Lihat: Surah al-Isra'/17:16).
Pada ayat ini, Allah ﷻ memerintahkan supaya berlaku sabar. Yang dimaksud dengan sabar dalam ayat ini ialah tabah dan tahan menghadapi segala kesulitan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sabar dan salat adalah dua amal yang kembar yang dapat dijadikan penolong untuk dapat mengatasi segala kesulitan yang dihadapi, sehingga dengan mudah dapat sampai kepada yang dicita-citakan. Tidak sedikit ayat yang menganjurkan supaya sabar dan salat itu dijadikan penolong. Antara lain firman Allah:
Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar. (al-Baqarah/2: 153)
Dan firman-Nya:
Maka sabarlah engkau (Muhammad) atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum matahari terbit, dan sebelum terbenam; dan bertasbihlah (pula) pada waktu tengah malam dan di ujung siang hari, agar engkau merasa tenang. (thaha/20: 130)
Ayat ini disudahi dengan suatu penegasan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan seperti sabar, tetapi Allah akan menyempurnakan pahalanya sebagaimana firman-Nya:
Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. (az-Zumar/39: 10).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SANGGAHAN DAN PERTIKAIAN
Ayat 110
“Dan sesungguhnya telah Kami datangkan kepada Musa itu kitab; maka berselisihlah mereka padanya."
Ayat ini adalah peringatan bahwa kepada Nabi Musa pun telah didatangkan kitab seperti Al-Qur'an itu, yaitu Taurat. Tetapi setelah kitab itu turun, mereka pun berselisih, mereka pun bertengkar, mereka pun berpecah. Ada yang percaya dan lebih banyak yang tidak mau percaya. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan kaumnya kepada Nabi Muhammad ﷺ se-karang ini tidak mengherankan lagi, “Dan kalau bukanlah kalimat yang telah terdahulu dari Allahmu, niscaya sudah diberi keputusan atas mereka." Artinya, kalau bukanlah sudah ada suatu kalimat keputusan dari Allah, yang telah ditetapkan terlebih dahulu, sudah lama kaum Quraisy itu dibereskan saja, sebagaimana yang terjadi pada umat-umat yang telah lalu itu.
Apakah kalimat yang telah terdahulu itu?
Kalimat itu telah termaktub di dalam surah an-Anfaal ayat 33,
“Dan tidaklah Allah akan menyiksa mereka, padahal mereka memohon ampun." (an-Anfaal: 33)
Terlebih dahulu dijelaskan dalam ayat ini bahwa ketika kitab diturunkan kepada Nabi Musa, mereka telah berselisih, ada yang beriman dan ada yang kafir. Umat Muhammad ﷺ pun demikian pula. Tetapi Allah telah mengambil keputusan bahwa umat-umat ini, baik umat Musa maupun umat Muhammad ﷺ, tidak dibinasakan lagi sebagaimana umat kaum ‘Ad, kaum Tsamud, negeri Madyan, atau negeri Sadum dan Gamurrah. Kepada umat Muhammad ﷺ, terutama, diberikan kesempatan berpikir sebab ajaran yang dibawa Muhammad ﷺ adalah rata untuk seluruh manusia di dalam alam. Perselisihan manusia, bahkan kekufuran manusia menjadi ujian kelak akan kebenaran agama yang dibawa Muhammad ﷺ. Dan di dalam sejarah pun kita lihat, betapa hebatnya kaum Quraisy me-nentang Rasulullah dalam berkali-kali perang. Pemimpin tertingginya Abu Sufyan sempat juga bertobat dan memeluk Islam. Lanjutan ayat menyatakan itu dengan tegas,
“Dan sesungguhnya mereka itu adalah dalam syak padanya, lagi ragu-ragu."
Mereka itu yang syak sehingga belum dapat mengambil pendirian dan mereka itu yang ragu-ragu, entah ikut entah tidak ikut, keduanya ialah kafir Quraisy, penduduk Mekah yang masih musyrik itu. Namun pasti akan datang masanya mereka mesti dan pasti tunduk. Pasti tidak akan syak lagi dan pasti tidak akan ragu-ragu. Mereka pasti tunduk kepada kenyataan.
Ayat 111
“Dan sesungguhnya untuk tiap-tiap seseorang akan disempurnakan oleh Allahmu (ganjaran) amal-amal mereka."
Yaitu meskipun pada mulanya mereka masih syak dan masih ragu-ragu, kesempatan masih diberikan kepada mereka buat menyelidik. Wahyu Allah akan tetap datang (selama di Mekah) dan keterangan-keterangan akan dicukupkan. Maka amal perbuatan mereka akan dinilai oleh Allah,
“Sesungguhnya, Dia, dengan apa-apa yang mereka kenjakan itu, adalah Mahatahu."
ISTIQAMAH
Ayat 112
“Sebab itu, tegak luruslah (menurut) sepanjang yang diperintahkan kepada engkau."
Di dalam ayat ini termaktub istaqim, dari pokok kata istiqamah, yang kita artikan ke dalam bahasa Indonesia dengan tegak lurus, yaitu teguh pada pendirian, tidak mengencong atau menyeleweng ke kiri-kanan dan tidak pernah mundur, dan tetap. Dalam ayat ini Nabi kita ﷺ disuruh teguh memegang pendiriannya, jangan bergoncang oleh apa jua pun gejala yang tampak di luar. Kalau kita sambungkan pangkal ayat 112 ini dengan ayat yang sebelumnya, akan lebih jelas lagi maksudnya bahwasanya orang banyak yang masih syak, masih ragu-ragu itu akan berangsur dapat ditaklukkan kalau mereka melihat bahwa Rasulullah ﷺ sebagai penganjur paham tauhid ini tidak berkisar setapak pun dari langkah yang telah ditetapkannya."Dan orang-orang yang bertobat beserta engkau" Selain Ali bin Abi Thalib yang telah menyatakan iman kepada seruan Rasulullah di waktu dia masih belum baligh, semua sahabat Rasulullah ﷺ itu, baik Abu Bakar, Umar, maupun Utsman, atau siapa pun jua, semuanya itu dahulunya adalah orang-orang musyrik belaka. Apabila mereka telah menyetujui ajaran yang dibawa Rasulullah, lalu mereka mengakui dan mengucapkan (syahadat) bahwa tidak ada Allah melainkan Allah dan bahwa Muhammad ﷺ adalah Rasulullah. Sejak itu bertobatlah mereka dari kemusyrikan. Maka di dalam ayat ini Rasulullah diperintahkan Allah supaya teguh istiqamah dalam pendirian dan beliau pun mesti mengajak pula agar seluruh pengikutnya yang telah tobat dari kemusyrikan itu pun menurut langkah yang teguh dari Nabi. Apabila mereka telah istiqamah, telah teguh memegang disiplin iman, maka orang-orang syak dan ragu-ragu itu pasti kian goyah pendiriannya yang saiah dan takluk kepada kebenaran."Dan janganlah kamu sekalian melampaui batas!'
Apabila seseorang telah bertobat dari dosa kemusyrikan dan telah mengakui diri menjadi seorang Muslim, niscaya hidupnya mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilanggar.
Orang yang bertobat artinya yang telah mengakui bahwasanya jalan yang ditempuhnya selama ini adalah jalan salah. Setelah dia tobat, dia pun mengakui tiada Allah melainkan Allah dan Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah, dan mulailah dia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah, dengan tawakal, dengan ridha dan taat menuruti garis-garis yang ditentukan Allah mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan. Kalau tidak demikian, percumalah mengakui menyerah (Muslim).
Dari Abu Tsa'iabah al-Khusyani, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda,
“Sesungguhnya, Allah telah memfardhukan beberapa perintah, janganlah disia-siakan; dan Dia telah memberi beberapa hal, janganlah lampaui; dan Dia berdiam atas beberapa hal, rahmat bagi kamu, bukan karena lupa, janganlah kamu korek-korek lagi." (Hadits Hasan diriwayatkan ad-Daraquthuni dan perawi-perawi lain)
Itulah yang diingatkan di dalam ayat ini bahwa di dalam menghadapi lawan, bagaimana pun besar lawan itu, namun diri sendiri dan golongan hendaklah teguh (konsekuen) dalam pendirian.
“Sesungguhnya; Dia,"yaitu Allah itu, “terhadap apa yang kamu kerjakan, adalah Amat Melihat."
Tadi di ayat 111 difirmankan bahwasanya apa saja gerak-gerik orang-orang yang masih syak dan ragu-ragu itu diketahui oleh Allah, maka gerak-gerik orang yang telah bertobat dan menyatakan iman lalu hidup di sekeliling Nabi, disuruh teguh pada pendirian, tetap pada pegangan; di ujung ayat Allah pun memberi ingat bahwasanya mereka tidaklah lepas dari pandangan Allah. Oleh sebab itu, nyatalah bahwa ayat ini menyuruh bergerak terus, melangkah di dalam hidup menegakkan amal yang didorong oleh iman.
Kalau di atas perbuatan yang salah banyak orang yang berani melakukannya di hadapan umum, mengapa orang yang telah bertobat kepada Allah tidak pula akan berani menyatakan pendiriannya di muka umum? Padahal Allah tidak melepaskan mereka dari penglihatan-Nya?
Ayat 113
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zfdim, lantaran kelak akan disentuh kamu oleh api."
La tarkunu ‘janganlah kamu sampai cenderung' atau condong atau miring kepada orang yang zalim. Jangan condong ke sana karena kalau sekali sudah condong yang mengarah kepada dekat, lama-lama akan payahlah menjauhkan diri darinya. Karena kezaliman adalah suatu sikap yang bertentangan dengan perikemanusiaan. Kezaliman artinya aniaya. Aniaya adalah main api. Aniaya menimbulkan benci dan dendam di hati orang yang teraniaya.
Kalau di ayat yang sebelumnya Rasul dan orang-orang yang telah tobat dari kemusyrikan disuruhkan istiqamah, maka di ayat ini dijelaskan lagi, jangankan mendekat kepada orang yang zalim; condong ke sana saja pun jangan. Tegakkanlah disiplin sebagai Mukmin, Per-buatan aniaya bukan saja menganiaya orang lain. Orang yang melanggar peraturan Allah, orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah, semuanya itu adalah aniaya.
pendiriannya yang saiah dan takluk kepada kebenaran."Dan janganlah kamu sekalian melampaui batas!'
Apabila seseorang telah bertobat dari dosa kemusyrikan dan telah mengakui diri menjadi seorang Muslim, niscaya hidupnya mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilanggar.
Orang yang bertobat artinya yang telah mengakui bahwasanya jalan yang ditempuhnya selama ini adalah jalan salah. Setelah dia tobat, dia pun mengakui tiada Allah melainkan Allah dan Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah, dan mulailah dia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah, dengan tawakal, dengan ridha dan taat menuruti garis-garis yang ditentukan Allah mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan. Kalau tidak demikian, percumalah mengakui menyerah (Muslim).
Dari Abu Tsa'iabah al-Khusyani, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda,
“Sesungguhnya, Allah telah memfardhukan beberapa perintah, janganlah disia-siakan; dan Dia telah memberi beberapa hal, janganlah lampaui; dan Dia berdiam atas beberapa hal, rahmat bagi kamu, bukan karena lupa, janganlah kamu korek-korek lagi." (Hadits Hasan diriwayatkan ad-Daraquthuni dan perawi-perawi lain)
Itulah yang diingatkan di dalam ayat ini bahwa di dalam menghadapi lawan, bagaimana pun besar lawan itu, namun diri sendiri dan golongan hendaklah teguh (konsekuen) dalam pendirian.
“Sesungguhnya;, Dia,"yaitu Allah itu, “terhadap apa yang kamu kerjakan, adalah Amat Melihat."
Tadi di ayat 111 difirmankan bahwasanya apa saja gerak-gerik orang-orang yang masih syak dan ragu-ragu itu diketahui oleh Allah, maka gerak-gerik orang yang telah bertobat dan menyatakan iman lalu hidup di sekeliling Nabi, disuruh teguh pada pendirian, tetap pada pegangan; di ujung ayat Allah pun memberi ingat bahwasanya mereka tidaklah lepas dari pandangan Allah. Oleh sebab itu, nyatalah bahwa ayat ini menyuruh bergerak terus, melangkah di dalam hidup menegakkan amal yang didorong oleh iman.
Kalau di atas perbuatan yang salah banyak orang yang berani melakukannya di hadapan umum, mengapa orang yang telah bertobat kepada Allah tidak pula akan berani menyatakan pendiriannya di muka umum? Padahal Allah tidak melepaskan mereka dari penglihatan-Nya?
Ayat 113
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, lantaran kelak akan disentuh kamu oleh api."
La tarkunu ‘janganlah kamu sampai cenderung' atau condong atau miring kepada orang yang zalim. Jangan condong ke sana karena kalau sekali sudah condong yang mengarah kepada dekat, lama-lama akan payahlah menjauhkan diri darinya. Karena kezaliman adalah suatu sikap yang bertentangan dengan perikemanusiaan. Kezaliman artinya aniaya. Aniaya adalah main api. Aniaya menimbulkan benci dan dendam di hati orang yang teraniaya.
Kalau di ayat yang sebelumnya Rasul dan orang-orang yang telah tobat dari kemusyrikan disuruhkan istiqamah, maka di ayat ini dijelaskan lagi, jangankan mendekat kepada orang yang zalim; condong ke sana saja pun jangan. Tegakkanlah disiplin sebagai Mukmin, Per-buatan aniaya bukan saja menganiaya orang lain. Orang yang melanggar peraturan Allah, orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah, semuanya itu adalah aniaya.
Mukmin sejati mesti menunjukkan bahwa dia tidak menyukai kezaliman dalam segala bentuknya. Karena bila condong ke sana, artinya bermain api, disentuh oleh api, baik api di dunia karena merasa terbakarnya jiwa maupun api neraka di akhirat. Sebab segala penganiayaan dalam dunia ini samalah artinya dengan pembakaran jiwa."Dan tidak ada bagi kamu selain dariAllahyang akan jadi penolong." Artinya, kalau kamu satu kali telah terseret ke dalam suasana orang-orang yang zalim, sedangkan tadinya iman telah timbuh dalam jiwamu, engkau sudah sukar melepaskan diri dari sana, jiwamu akan gelisah terus, namun orang lain tidak seorang pun yang sanggup melepaskan dirimu atau mencabutkan kamu dari jurang tempatmu jauh yang dalam itu. Kamu tinggalkan pimpinan Allah lalu kamu kehilangan pimpinan buat selamanya.
“Kemudian itu, kamu pun tidak akan dibela."
Tidak ada yang sanggup membela. Sayangnya, keruntuhan itu adalah kamu pilih sendiri karena dari semula kamu telah condong kepada orang-orang yang zalim itu. Mungkin karena kamu terpesona oleh kelebihan-kelebihan lahiriyah yang telah dicapai oleh si zalim itu.
Lu tarkanuu: jangan kamu condong ke sana!
Ibnu Abbas dan Hatim al-Asham (si Tuli) menafsirkan, “Jangan kamu condong serambut pun dalam urusan agamamu kepada orang yang zalim."
Menurut tafsir dari Abui Aliyah, “jangan kamu tunjukkan suka atas amal-amal perbuatan orang yang zalim."
Menurut tafsiran Qadatah, “jangan kamu masuk di rombongan orang-orang musyrikin."
Menurut as-Suddi dan Ibnu Zaid, “Jangan kamu ambil muka kepada mereka."
Dan kata setengahnya lagi, “Jangan masuk ke dalam golongan mereka atau meng
gabungkan diri. Jangan menyatakan suka akan perbuatan mereka dan jangan menyatakan simpati. Tetapi kalau masuk ke sana dengan rencana untuk mengetahui rahasia mereka dan menangkis kejahatan mereka, boleh."
Imam az-Zamakhsyari, pengarang Tafsir al-Kasysyaf menafsirkan, “Jangan didekati, putuskan hubungan, jangan berkawan dengan mereka, dan jangan duduk di dalam majelis mereka atau ziarah kepada mereka atau menunjukkan simpati. Bahkan jangan menyerupai mereka dan memakai pakaian yang bentuknya sama dengan pakaian yang mereka pakai, dan jangan terpesona oleh kelebihan dan kemewahan mereka, dan jangan banyak membicarakan serta memuji-muji mereka dan membesar-besarkan mereka."
Sayyid Quthub pada tafsirnya yang beliau tulis di zaman perjuangan Islam sekarang ini menafsirkan, “Jangan menyadarkan diri dan merasakan keenakan berhubung dengan si zalim, yaitu penguasa-penguasa tak terbatas, totaliter, diktator, yang merasa dirinya kuat kuasa sendiri, gagah perkasa sendiri, sehingga tidak ada orang yang akan berani buka mulut kepadanya di permukaan bumi ini. Yang menindas hamba Allah dengan kekuataannya, mentang-mentang dia merasa kuat, dan memaksa orang jadi budaknya. Jangan condong kepada mereka karena condong kepada mereka berarti mengakui kemungkaran yang diperbuatnya. Menyatakan simpati kepada mereka adalah mungkar yang lebih besar: neraka tantangannya!"
Tersebutlah perkataan tentang al-Muwaffaq. Wali Negara menjalankan pemerintahan Khalifah Bani Abbas. Al-Mu'tmid (256 H—279 H, 870 M—892 M). Meskipun bukan dia yang khalifah, tetapi dia yang berkuasa, karena gagah perkasanya dan disegani. Pada suatu hari pahlawan al-Muwaffaq itu shalat jadi makmum di suatu masjid di Baghdad. Tiba-tiba imam shalat membaca ayat la tarkanuu ini. Al-Muwaffaq mendengar dengan khusyuk. Sehabis ujung ayat ini, kedengaran orang jatuh, imam meneruskan shalat. Rupanya al-Muwaffaq, pahlawan Bani Abbas yang besar itu, yang jatuh pingsan mendengar ayat itu yang dibaca imam dalam shalat. Setelah beliau siuman dari pingsannya, beliau berkata, “Sedangkan condong saja kepada orang zalim sudah begitu siksaannya, betapa lagi kalau berlaku zalim. Ya, Allah! Peliharakan daku dari kezaliman."
Orang yang menyandarkan jiwa kepada si zalim, apatah lagi si zalim itu sendiri tidaklah akan merasa tawar dan sejuk dalam jiwanya. Jiwanya selalu terbakar, menggelegak dan mendesak untuk meneruskan kezaliman. Orang yang iman satu kali telah meresap ke dalam hatinya, akan turut terbakar jika mendekat ke situ. Akhirnya iman itu sendiri pun terbakar.
Keimanan kepada Allah menyebabkan jiwa bebas merdeka dari segala pengaruh alam. Namun kalau sudah disandarkan kepada yang zalim, iman terancam akan merosot. Tidaklah sama nilai orang yang bebas merdeka dengan orang yang jiwanya telah jadi budak.
Inilah peringatan Allah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang mengaku bertobat serta mengikut Rasul. Sahabat Nabi ﷺ yang terkenal, Abu Dzar al-Ghifari, sangat terkenal berpendirian tegas bahwa mengumpulkan harta benda dan kekayaan untuk diri sendiri adalah melanggar dasar ajaran Islam. Kalau seseorang mempunyai harta sudah lebih dari keperluannya sendiri—menurut beliau— segeralah bagikan kepada yang patut dibantu dan percayalah bahwa untuk keperluan hari esok sudah dijamin oleh Allah.
Pendiriannya ini dipandang amat berbahaya oleh Mu'awiyah yang di waktu itu menjadi gubernur di negeri Syam, sedangkan khalifah di Madinah adalah Utsman bin Affan. Tetapi Mu'awiyah belum percaya pendirian itu sebelum diujinya. Pada suatu sore, sehabis Maghrib Mu'awiyah mengirimkan sebuah pundi-pundi berisi penuh dengan uang emas (dinar). Utusdn yang mengantarkan mengatakan bahwa itu hanya semata-mata hadiah gubernur buat dirinya. Uang itu diterimanya dan utusan kembali kepada Mu'awiyah.
Pagi-pagi buta selesai shalat Shubuh, utusan itu datang kembali tergesa-gesa menemui Abu Dzar dan dia meminta maaf karena dia sudah salah beri. Uang itu bukan untuk Abu Dzar, melainkan untuk orang lain. Gubernur meminta uang itu kembali.
Dengan jujur Abu Dzar mengatakan bahwa uang itu sudah habis dibagi-bagikannya tadi malam, sebelum dan sesudah shalat Isya, kepada orang-orang yang dipandangnya patut dibantu, sehingga ketika dia datang shalat Shubuh ke masjid, satu dinar pun tidak ada lagi yang tinggal pada tangannya. Dia yakin bahwa uang itu dihadiahkan gubernur kepadanya. Sebab itu, dia tidak ragu-ragu lagi buat membagikannya.
Karena itu, yakinlah Mu'awiyah bahwa Abu Dzar ini memang benar-benar berpendirian demikian. Maka dipandangnyalah Abu Dzar amat berbahaya bagi ketenteraman negara. Lalu Abu Dzar, sebagai salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang dimuliakan, diiringkan dengan segala hormat kembali ke Madinah. Mu'awiyah mengirimkan juga sepucuk surat kepada Khalifah menerangkan pendirian Abu Dzar yang berbahaya itu.
Sampai di Madinah, Sayyidina Utsman bin Affan pula yang mengujinya, sekali lagi. Seorang budak disuruhnya mengantarkan kepada Abu Dzar sebuah pundi-pundi yang berisi uang emas penuh. Khalifah berkata, “Kalau dapat engkau memberikan uang ini kepada Abu Dzar dan dia sudi menerimanya, engkau aku merdekakan dari perbudakan."
Budak itu pun segera menemui Abu Dzar dan menyatakan hadiah Khalifah itu.
Abu Dzar menolak.
Lalu dengan hati-hati budak itu berkata, “Silakan Tuan terima hadiah ini. Dia hanya semata-mata hadiah Amirul Mukminin, dengan tidak ada maksud apa-apa. Kalau hadiah ini Tuan terima, Tuan telah menolong saya. Amirul Mukminin berjanji akan memerdekakan saya dari perbudakan jika Tuan sudi menerimanya. Kasihanilah saya. Saya ingin merdeka."
Dengan tenang dan wajah sedih pula Abu Dzar menjawab, “Bawalah uang ini kembali kepada Amirul Mukminin. Saya mengerti bahwa engkau ingin merdeka. Tetapi saya tidak mau apabila sesaat setelah engkau merdeka itu, di saat itu pula aku hilang kemerdekaan. Menerima uang ini bagiku adalah kehilangan kemerdekaan."
Artinya, uang itu dianggap oleh Abu Dzar sebagai pembeli kemerdekaannya.
Inilah contoh teladan yang diberikan oleh salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ, padahal Mu'awiyah dan Utsman bin Affan adalah sahabat Rasulullah pula.
Inilah pendirian yang diperintahkan Allah supaya dipegang teguh ketika mulai mene-gakkan paham dan menyampaikan risalah kepada manusia. Maka tidaklah berlawan disiplin karena ini dengan sikap yang dilakukan kemudian oleh Rasulullah ﷺ sebagai membuat perjanjian bertetangga baik dengan Yahudi ketika mula pindah ke Madinah atau ketika mengadakan perdamaian dengan kaum musyrikin di Hudaibiyah. Sebab kedua hal itu dilakukan setelah kekuasaan berada dalam tangan Islam, sehingga boleh melakukan taktik, mengadakan perjanjian, dan sebagainya. Maka kebolehan mengadakan perdamaian dengan lawan dalam kedudukan kita yang kuat, tidaklah berlawan dengan perintah meneguhkan disiplin dan jangan condong kepada kafir, karena untuk mencapai kelapangan di Madinah mesti juga lebih dahulu melalui keteguhan disiplin secara di Mekah. Sebelum kuat keluar hendaklah teguh di dalam.
SHALAT DALAM RANGKA DISIPLIN
Ayat 114
“Dan dirikanlah shalat pada dua tepi dari siang, dan di bagian terdekat dari malam,"
Di samping meneguhkan pendirian dengan istiqamah dan tidak mau condong kepada orang yang zalim dan tidak mau melanggar batas, perlulah selalu iman dan takwa itu dipupuk dengan shalat. Yang dimaksud dengan dua tepi dari siang ialah waktu pagi (Shubuh) dan lepas tengah hari atau petang. Selepas tergelincir matahari dari pertengahan siang, itu namanya sudah petang atau sore. Bagian terdekat dari malam, yang kita salinkan dari kalimat zulafan, yang waktu Maghrib (habis terbenam matahari) dan waktu Isya, yang telah masuk apabila telah hilang syafaq yang merah. Di dalam ayat ini tercakuplah rupanya waktu yang lima, shalat yang menjadi satu di antara lima tiang (rukun) islam.
Memang, siang itu mempunyai dua tepi. Kalimat tepi memang diambil dari bahasa Arab juga, yaitu tharafun. Di sini disebut tharafai, yang berarti dua tepi. Dalam bahasa Inggris pun hari itu dibagi dua tepi juga. Sebelum pagi, mereka istilahkan dengan a.m.: ante meridiem (before noon); above mentioned. Dan kalau telah lewat Zhuhur (tergelincir matahari), mereka istilahkan dengan p.m.: post meridiem (between noon dan midnight; afternoon) lepas tengah hari.
Tsalabi mengatakan bahwa arti zulafan ialah permulaan malam.
Al-Akhfasy mengatakan arti zulafan itu ialah seluruh saat-saat malam, tetapi beliau mengakui asal makna dari zulafan ialah dekat. Memanglah Maghrib dan Isya itu masih permulaan dari malam.
Ada seorang yang mengakui alim sendiri di Pare-Pare Sulawesi Selatan, mengeluarkan fatwa bahwa dalam Al-Qur'an tidaklah ada tersebut waktu yang lima: Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Dan dia mengeluarkan fatwa bikinannya sendiri pula bahwa orang hanya diwajibkan shalat dua rakaat, tidak ada yang empat rakaat. Rupanya orang ini baru membaca salinan-salinan Al-Qur'an ke dalam bahasa Indonesia dan tidak menyelidiki tafsir dari hadits-hadits sehingga disesatkannyalah murid-muridnya dengan fatwanya itu. Padahal kalau dia benar-benar menyelidiki agama dari sumber aslinya, tidaklah dia akan membuat agama sendiri seperti yang telah dilakukannya itu. Di dalam ayat 114 surah Huud ini dan di dalam surah al-Israa' ayat 78 pun ada ayat semacam ini,
“Dirikanlah oleh engkau shalat itu karena tergelincir matahari sampai kepada kelam malam dan di kala quran fajar."
bertambah tagih, bertambah bersemangat akan berbuat kebaikan-kebaikan yang lain. Sehingga lama-kelamaan kesalahan tadi menjadi berkurang karena kita berlatih terus-menerus berbuat baik.
Hal ini dibuktikan oleh Sabda Rasulullah ﷺ,
“Sesungguhnya, dari satu shalat kepada shalai yang berikutnya adalah sebagai penebus dari (kesalahan) yang terdapat di antara keduanya, asal saja dijauhi dosa besar (al-kabaair)." (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Tergelincir matahari ialah waktu Zhuhur, dengan kata ilaa, yang berarti sampai ter-masuklah waktu Ashar, dan disambut oleh waktu Maghrib, karena dengan terbenamnya matahari, malam-sudah mulai tiba, dan dengan habisnya cahaya merah di sebelah barat (syafaq), mulailah malam, dan dengan menyebut. quran fajar, tercakuplah waktu Shubuh.
Khabarnya konon guru baru di Pare-Pare itu sampai dilarang dan dihukumkan sesat pengajarannya oleh ulama-ulama Pare-Pare khususnya dan Sulawesi Selatan umumnya karena di sana memang banyak ulama-ulama yang menjadi ikutan dan pedoman orang banyak.
Lanjutan ayat menyatakan hikmah yang terkandung dengan mengerjakan shalat lima waktu itu. Firman Allah selanjutnya ialah,
“Sesungguhnya, kebaikan-kebaikan dapat menghapuskan kejahatan-kejahatan!' Artinya, mengerjakan shalat lima waktu dalam sehari semalam, artinya membuat puncak-puncak dari kebaikan. Maka kalau kita telanjur berbuat kesalahan-kesalahan, dengan adanya shalat lima waktu tadi, pengaruh kesalahan-kesalahan tadi akan hapus dan hati kita bertambah ‘lama bertambah keranjingan,
Dan sebuah hadits lagi,
“Ikutilah satu kesalahan dengan berbuat satu kebaikan niscaya kesalahan itu akan dihapuskan oleh kebaikan itu." (HR Imam Ahmad dalam Musnad-nya)
“Demikian itulah peringatan bagi orang-orang yang mau ingat."
Kalau orang ingat dan insaf bahwasanya maksud yang utama dan pertama dari shalat ialah untuk mengingat Allah, sebagaimana tersebut dalam surah Thaahaa ayat 14,
“Sesungguhnya, Akulah Allah, tidak ada Allah kecuali Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat karena mengingat Daku'. (Thaahaa: 14)
Sekiranya orang hanya semata-mata mengerjakan shalat, tidak diingat maksud shalat yaitu mengingat Allah, dzikrullah, niscaya tidaklah akan dirasakan faedah shalat itu bagi kemajuan jiwa dan pembersihan batin.
Maka, bersabdalah Rasulullah ﷺ pada sebuah hadits shahih yang dirawikan oleh Bukhari dari Abu Hurairah, demikian bunyinya,
“Adakah kamu perhatikan laksana sebuah sungai mengalir di muka pintu rumah seorang di antara kamu, lalu dia mandi membersihkan diri tiap-tiap hari di sungai itu lima kali? Masihkah akan ada sisa kotoran pada dirinya?" Mereka jawab, “Niscaya tidak!" Maka beliau bersabda, “Demikianlah perumpamaannya shalat iima uaktu itu. Allah menghapuskan dengan dia akan dosa-dosa." (HR Bukhari)
Bukhari pun merawikan juga hadits ini dari Jabir bin Abdullah. Ada juga hadits ini dirawikan dari Salman dan Utsman bin Affan.
Dengan demikian, diumpamakanlah orang yang mengerjakan shalat lima waktu itu dengan sadar, dengan dzikir dan khusyuk, serupa dengan orang berumah di tepi sungai, lima kali sehari semalam mereka membersihkannya di sungai itu sehingga dia pun menjadi seorang yang bersih, sebagai pepatah orang Melayu “Berumah di tepi sungai, orang menjadi ber-sih. Karena perut kenyang, orang berpikir tenteram."
Yang lebih lagi ialah sebuah hadits yang dirawikan dari beberapa riwayat, berbagai jalannya, tetapi satu isinya. Di antaranya ialah yang dirawikan oleh Bukhari dari Abdullah bin Mas'ud bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ mengadukan halnya dengan terus terang dan jujur bahwa dia mengobati seorang perempuan di ujung kota.Tetapi karena berkhalwat, tidak ada orang lain, timbullah nafsu syahwatnya melihat perempuan itu sampai telanjur tangannya memperbagai-bagaikannya, cuma untungnya tidak sampai dia menyetubuhi perempuan itu. Lalu akhirnya dia insaf sehingga dapat menahan dirinya dan merasa menyesal. Dalam satu riwayat hadits itu diterangkan bahwa saking menyesalnya dia pergi menemui Sayyidina Umar, mengakui ketelanjuran nafsunya itu dengan terus terang. Sayyidina Umar menasihatinya supaya tutup saja rahasianya itu, tidak perlu diberitakan kepada orang lain, sebab Allah sendiri pun telah menutup rahasianya. Tetapi hatinya tidak senang juga lalu dia pergi menemui Sayyidina Abu Bakar. Beliau pun memberi nasihat agar disimpan saja rahasia itu, jangan banyak orang yang tahu, sebab Allah pun telah menutup rahasia itu karena dia dengan perempuan itu saja yang tahu. Namun dia rupanya merasakan tekanan batin juga. Dia datang akhirnya kepada Rasulullah ﷺ, dibukanya pula kesalahannya itu terus terang seraya berkata, “Itulah ke-salahanku yang aku telah telanjur membuatnya. Inilah aku, ya Rasulullah! Hukumlah aku bagaimana baiknya!"
Rasulullah ﷺ diam saja. Lalu laki-laki itu dengan muka muram meninggalkan majelis Rasulullah dan pergi. Lalu Rasulullah tegak dari majelisnya dan diikutinya orang itu dari belakang dan dipanggilnya suruh kembali. Lalu beliau baca ayat yang tengah kita tafsirkan ini, yang memerintahkan bangun shalat di kedua tepi siang dan di dekat masuknya malam, karena perbuatan-perbuatan yang baik dapat menghapuskan perbuatan-perbuatan yang salah.
Menurut riwayat cerita ini yang disampaikan dari Abu Umamah, Nabi ﷺ bertanya kepadanya, “Apakah engkau berwudhu dengan sempurna dan engkau shalat bersama kami." Orang itu menjawab, “Aku berwudhu dengan baik dan shalat bersama-sama dengan Rasulullah ﷺ!"
Lalu Rasulullah ﷺ bersabda,
“Kalau demikian, engkau keluar dari dosa engkau sebagai baru dilahirkan oleh ibu engkau. Tetapi jangan diulang lagi!" Beliau lalu mem-baca ayat itu.
Dan di dalam satu hadits lain yang di-rawikan Bukhari, ada orang bertanya, “Ya, Rasulullah! Apakah ini hanya khusus untuk dia?" Beliau menjawab, “Untuk semua orang'."
Begitulah pengaruh iman. Sehingga laki-laki itu merasa hebatnya tekanan batin karena bersalah memegang-megang bini orang, dan terus datang kepada Rasulullah mengakui dengan terus terang kesalahannya itu dan belum merasa puas sebelum beliau menjatuhkan hukuman. Sama juga rupanya tekanan batin yang menimpa dirinya dengan Ma'iz yang terkenal mengakui terus terang bahwa dia telah telanjur berzina dan meminta supaya kepada dirinya dijalankan hukuman sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah. Kejujurannya inilah yang diketahui Rasulullah ﷺ sehingga beliau pastikan, asalkan dia mengerjakan shalat lima waktu dengan khusyuk, moga-moga akan habislah dosanya berzina itu diampuni Allah, dengan beliau tekankan, jangan diulangi lagi.
Dengan sebab itu, dapatlah kita pahami betapa hebatnya pengaruh shalat lima waktu itu. Dia menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu, asalkan jangan dosa besar. Dan dia pun menjadi penghalang pula bagi dosa yang akan datang. Karena baru saja kita akan tergelincir berbuat dosa di waktu menjelang tengah hari, tiba-tiba waktu Zhuhur pun masuk, dan kita pun dzikir lagi, ingat lagi kepada Allah, sehingga tidak jadi. Demikian seterusnya ke waktu-waktu yang lain.
Pengalaman penulis sendiri di waktu muda dalam musafir ke negeri lain menambah yakin penulis kepada hadits-hadits ini. Di negeri orang, jauh dari anak istri, kaum kerabat, dan murid serta pengikut, tatkala badan masih muda.
Bagaimanapun naiknya nafsu syahwat akan berbuat zina, di negeri orang Barat yang perzinaan tidak dipandang satu kejahatan lagi, yang menghalangi penulis berbuat ke-hinaan itu ialah bila mengingat besok pagi. Penulis berpikir, kalau pada malam ini aku telanjur berbuat zina, bagaimana aku akan menyusun kata-kata dan ucapan shalatku di hadapan Allah di waktu Shubuh besok? Apalah artinya lagi ucapan iftitah (pembukaan shalat) yang berbunyi, “Sesungguhnya, shalatku dan semua ibadahku, hidupku dan matiku, ada-lah untuk Allah, Allah sarwa sekalian alam." Alangkah hinanya diriku mengulang-ulangi perkataan demikian ketika shalat dan alangkah malunya aku kepada Allah jika tadi malam aku telah mendustai-Nya.
Aku berpikir, kalau telanjur berbuat salah yang hina ini, tidakada lagi jalan lain yang mesti ditempuh melainkan meninggalkan shalat sama sekali sebab sudah malu menghadapkan wajah kepada Allah.
Sebab itu, dapat aku berkata bahwa sha-latlah yang paling banyak menjadi benteng pertahanan batinku dalam menghadapi rayuan dosa, dalam pengembaraan-pengembaraanku di negeri-negeri orang di kala muda usiaku.
Al-Qasyani menulis dalam tafsirnya tentang rahasia shalat lima waktu, yang patut menjadi perhatian,
“Oleh karena pancaindra yang lima ini selalu dirintangi oleh hal-hal yang dapat menghambat kontaknya dengan hati karena hal-hal yang bersifat kejasmanian dan selalu pula merenggutkannya ketika hati hendak menghadap ke hadirat Rahmaniyah, dan menutupi dari cahaya dan kehadiran, terpaling dari kesucian kepada kekotoran, dari kemurnian hubungan dengan Allah kepada kekacauan, maka diperintahkanlah shalat lima waktu, karena dalam shalat itu seorang hamba hadir di hadapan Allahnya, tertutup pintu-pintu pancaindra keluar, tertumpu hati ke dalam, terbuka pintu hati ituuntuk menghadap kepada Allah dengan tawajjuh dan niat. Waktu itu mulailah datang sinar
Nur itu dan pikiran yang tadinya bersilang-siur jadi tertuju ke Jihad Yang Satu, dan diri pun ramailah karena merasa dekat dengan Allah sesudah tadinya sepi karena menghadap kepada yang lain. Lantaran itu, shalat lima waktu adalah pintu hati yang terbuka menuju ke hadapan Ilahi, yang sinarnya masuk dari lima pintu, dan kian lama kegelapan itu kian hilang, sampai akhirnya ruang hati itu dipenuhi oleh Nur semata-mata. Itulah maksud ayat, ‘Sesungguhnya, beberapa kebajikan itu menghabis-hapuskan segala bekas dan kesan dari berbagai kejahatan."‘
DIPATRI DENGAN SABAR
Ayat 115
“Dan bersabarlah! Karena sesungguhnya Allah tidaklah akan mengabaikan ganjaran bagi orang-orang yang berbuat baik."
Di ayat ini diberikanlah kunci bagi semua supaya perjuangan berhasil, yaitu sabar! Asal sabar, ganjaran Allah pasti ada. Sabar adalah sikap dari jiwa yang besar dan terlatih.
Maka dapatlah kita jadikan pedoman pula bila kita ingin menjadi pengikut Nabi Muhammad ﷺ dan pelanjut warisannya rentetan tuntunan yang diberikan Allah kepada-nya pada ayat-ayat ini:
• jangan ragu (ayat 109),
• tetap pendirian (ayat 112),
• sekali-kali jangan cenderung kepada orang-orang yang zalim (ayat 113),
• dirikanlah shalat pada waktunya (ayat 114),
• sabar dan tabah (ayat 115).
Susunan ini patutlah jadi buah renungan, jadilah pedoman perjuangan bagi sekalian orang yang berjuang untuk kejayaan Islam.