Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَا
dan jangan
تَرۡكَنُوٓاْ
kamu cenderung
إِلَى
kepada
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ظَلَمُواْ
(mereka) dzalim
فَتَمَسَّكُمُ
maka akan menyentuh kamu
ٱلنَّارُ
api/neraka
وَمَا
dan tidak ada
لَكُم
bagi kalian
مِّن
dari
دُونِ
selain
ٱللَّهِ
Allah
مِنۡ
dari
أَوۡلِيَآءَ
penolong
ثُمَّ
kemudian
لَا
tidak
تُنصَرُونَ
kamu diberi pertolongan
وَلَا
dan jangan
تَرۡكَنُوٓاْ
kamu cenderung
إِلَى
kepada
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ظَلَمُواْ
(mereka) dzalim
فَتَمَسَّكُمُ
maka akan menyentuh kamu
ٱلنَّارُ
api/neraka
وَمَا
dan tidak ada
لَكُم
bagi kalian
مِّن
dari
دُونِ
selain
ٱللَّهِ
Allah
مِنۡ
dari
أَوۡلِيَآءَ
penolong
ثُمَّ
kemudian
لَا
tidak
تُنصَرُونَ
kamu diberi pertolongan
Terjemahan
Janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim sehingga menyebabkan api neraka menyentuhmu, sedangkan kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.
Tafsir
(Dan janganlah kalian cenderung) condong hati (kepada orang-orang yang lalim) dengan menyukai mereka atau berbasa-basi terhadap mereka atau menyenangi perbuatan mereka (yang menyebabkan kalian disentuh) kalian terkena (api neraka dan sekali-kali kalian tiada mempunyai selain daripada Allah) selain-Nya (seorang penolong pun) yang dapat memelihara diri kalian dari azab-Nya. Huruf min di sini zaidah (kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan) sehingga kalian tidak dapat selamat dari azab-Nya.
Tafsir Surat Hud: 112-113
Maka tetaplah kamu dalam jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) kepada orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.
Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka, dan sekali-kali kalian tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan.
Ayat 112
Allah ﷻ memerintahkan kepada Rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman agar bersikap teguh dan tetap berjalan pada jalan yang lurus. Karena hal tersebut merupakan sarana yang membantu untuk memperoleh kemenangan atas musuh dan menangkal semua perlawanan mereka. Lalu Allah melarang bersikap melampaui batas, karena sesungguhnya sikap ini mendatangkan kehancuran diri, sekalipun dalam bersikap terhadap orang musyrik. Allah ﷻ memberitahukan pula bahwa Dia Maha Melihat semua amal perbuatan hamba-hamba-Nya, Dia tidak akan lalai terhadap sesuatu pun dan tidak ada sesuatu pun yang samar bagi-Nya.
Ayat 113
Firman Allah ﷻ: “Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang zalim.” (Hud: 113)
Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna latarkanu, bahwa makna yang dimaksud ialah janganlah kalian bersikap diplomasi.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah cenderung kepada kemusyrikan.
Abul Aliyah mengatakan, makna yang dimaksud ialah janganlah kamu rela terhadap perbuatan mereka.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zalim. Pendapat ini cukup baik, yang maksudnya ialah janganlah kalian meminta pertolongan kepada orang-orang yang zalim, karena jadinya seakan-akan kalian rela kepada amal perbuatan mereka.
“Yang akibatnya kalian akan disentuh api neraka, dan sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan.” (Hud: 113)
Maksudnya, kalian tidak akan mempunyai seorang penolong pun yang dapat menyelamatkan diri kalian; dan tidak akan mempunyai seorang pelindung pun yang dapat membebaskan kalian dari azab Allah selain Allah sendiri.
Dan selain itu, janganlah kamu menjadi lemah semangat, sehingga
cenderung tunduk atau loyal kepada orang yang zalim yang tingkah laku
mereka melampaui batas, merampas hak orang lain, atau menghalalkan
segala macam cara yang dilarang oleh agama. Jika kamu loyal atau
mengikuti tingkah laku orang-orang zalim tersebut, maka perbuatan
itu akan menyebabkan kamu ditimpa api neraka bersama dengan mereka,
sedangkan kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan untuk menghindar dari azab
itu. Tidak ada yang kuasa mendatangkan manfaat selain Allah, dan tidak ada yang bisa menolak kemudaratan selain Allah. Setelah diperintahkan untuk istikamah dalam melaksanakan ajaran agama dan memiliki pendirian teguh, maka ayat berikut ini diperintahkan melaksanakan salat serta beramal saleh, karena amaliah tersebut dapat menghapus dosa-dosa kecil, sebagaimana firman-Nya: Dan
laksanakanlah salat dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan
agama, baik syarat, rukun, dan sunah-sunahnya pada kedua ujung siang,
yakni pagi dan petang atau salat Subuh, Zuhur dan Asar dan pada
bagian permulaan malam yaitu salat Magrib, Isya, dan salat sunah seperti
tahajud dan witir. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu seperti
salat sebagaimana disebutkan di atas, zakat, sedekah, zikir, istigfar, dan
amal ibadah lainnya dapat menghapus kesalahan-kesalahan dan dosadosa kecil yang telah dilakukan, lantaran perbuatan itu tidak mudah
dihindari. Adapun dosa besar, harus disertai dengan tobat yang tulus.
Itulah peringatan yang sangat bermanfaat bagi orang-orang yang siap menerimanya dan selalu mengingat Allah.
Pada ayat ini, Allah ﷻ menandaskan bahwa orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad dan menganut agamanya, supaya jangan sekali-kali cenderung kepada orang-orang zalim, yaitu musuh-musuh kaum Muslimin yang selalu menyakitinya dan orang-orang musyrik yang selalu berusaha mengembalikannya kepada kemusyrikan. Jangan sekali-kali minta bantuan dan pertolongan dari mereka, seakan-akan mereka telah dijadikan pemimpinnya, karena bila hal itu sudah sampai kepada derajat yang demikian, maka termasuklah orang-orang mukmin itu seperti mereka juga yang tidak akan mendapat petunjuk. Firman Allah:
Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (al-Maidah/5: 51)
Satu-satunya yang dapat dijadikan pemimpin serta diminta bantuan dan pertolongannya hanya Allah. Barang siapa yang berbuat selain dari itu, maka ia termasuk orang yang zalim yang tak mempunyai penolong, sebagaimana firman Allah:
Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu. (al-Maidah/5: 72).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SANGGAHAN DAN PERTIKAIAN
Ayat 110
“Dan sesungguhnya telah Kami datangkan kepada Musa itu kitab; maka berselisihlah mereka padanya."
Ayat ini adalah peringatan bahwa kepada Nabi Musa pun telah didatangkan kitab seperti Al-Qur'an itu, yaitu Taurat. Tetapi setelah kitab itu turun, mereka pun berselisih, mereka pun bertengkar, mereka pun berpecah. Ada yang percaya dan lebih banyak yang tidak mau percaya. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan kaumnya kepada Nabi Muhammad ﷺ se-karang ini tidak mengherankan lagi, “Dan kalau bukanlah kalimat yang telah terdahulu dari Allahmu, niscaya sudah diberi keputusan atas mereka." Artinya, kalau bukanlah sudah ada suatu kalimat keputusan dari Allah, yang telah ditetapkan terlebih dahulu, sudah lama kaum Quraisy itu dibereskan saja, sebagaimana yang terjadi pada umat-umat yang telah lalu itu.
Apakah kalimat yang telah terdahulu itu?
Kalimat itu telah termaktub di dalam surah an-Anfaal ayat 33,
“Dan tidaklah Allah akan menyiksa mereka, padahal mereka memohon ampun." (an-Anfaal: 33)
Terlebih dahulu dijelaskan dalam ayat ini bahwa ketika kitab diturunkan kepada Nabi Musa, mereka telah berselisih, ada yang beriman dan ada yang kafir. Umat Muhammad ﷺ pun demikian pula. Tetapi Allah telah mengambil keputusan bahwa umat-umat ini, baik umat Musa maupun umat Muhammad ﷺ, tidak dibinasakan lagi sebagaimana umat kaum ‘Ad, kaum Tsamud, negeri Madyan, atau negeri Sadum dan Gamurrah. Kepada umat Muhammad ﷺ, terutama, diberikan kesempatan berpikir sebab ajaran yang dibawa Muhammad ﷺ adalah rata untuk seluruh manusia di dalam alam. Perselisihan manusia, bahkan kekufuran manusia menjadi ujian kelak akan kebenaran agama yang dibawa Muhammad ﷺ. Dan di dalam sejarah pun kita lihat, betapa hebatnya kaum Quraisy me-nentang Rasulullah dalam berkali-kali perang. Pemimpin tertingginya Abu Sufyan sempat juga bertobat dan memeluk Islam. Lanjutan ayat menyatakan itu dengan tegas,
“Dan sesungguhnya mereka itu adalah dalam syak padanya, lagi ragu-ragu."
Mereka itu yang syak sehingga belum dapat mengambil pendirian dan mereka itu yang ragu-ragu, entah ikut entah tidak ikut, keduanya ialah kafir Quraisy, penduduk Mekah yang masih musyrik itu. Namun pasti akan datang masanya mereka mesti dan pasti tunduk. Pasti tidak akan syak lagi dan pasti tidak akan ragu-ragu. Mereka pasti tunduk kepada kenyataan.
Ayat 111
“Dan sesungguhnya untuk tiap-tiap seseorang akan disempurnakan oleh Allahmu (ganjaran) amal-amal mereka."
Yaitu meskipun pada mulanya mereka masih syak dan masih ragu-ragu, kesempatan masih diberikan kepada mereka buat menyelidik. Wahyu Allah akan tetap datang (selama di Mekah) dan keterangan-keterangan akan dicukupkan. Maka amal perbuatan mereka akan dinilai oleh Allah,
“Sesungguhnya, Dia, dengan apa-apa yang mereka kenjakan itu, adalah Mahatahu."
ISTIQAMAH
Ayat 112
“Sebab itu, tegak luruslah (menurut) sepanjang yang diperintahkan kepada engkau."
Di dalam ayat ini termaktub istaqim, dari pokok kata istiqamah, yang kita artikan ke dalam bahasa Indonesia dengan tegak lurus, yaitu teguh pada pendirian, tidak mengencong atau menyeleweng ke kiri-kanan dan tidak pernah mundur, dan tetap. Dalam ayat ini Nabi kita ﷺ disuruh teguh memegang pendiriannya, jangan bergoncang oleh apa jua pun gejala yang tampak di luar. Kalau kita sambungkan pangkal ayat 112 ini dengan ayat yang sebelumnya, akan lebih jelas lagi maksudnya bahwasanya orang banyak yang masih syak, masih ragu-ragu itu akan berangsur dapat ditaklukkan kalau mereka melihat bahwa Rasulullah ﷺ sebagai penganjur paham tauhid ini tidak berkisar setapak pun dari langkah yang telah ditetapkannya."Dan orang-orang yang bertobat beserta engkau" Selain Ali bin Abi Thalib yang telah menyatakan iman kepada seruan Rasulullah di waktu dia masih belum baligh, semua sahabat Rasulullah ﷺ itu, baik Abu Bakar, Umar, maupun Utsman, atau siapa pun jua, semuanya itu dahulunya adalah orang-orang musyrik belaka. Apabila mereka telah menyetujui ajaran yang dibawa Rasulullah, lalu mereka mengakui dan mengucapkan (syahadat) bahwa tidak ada Allah melainkan Allah dan bahwa Muhammad ﷺ adalah Rasulullah. Sejak itu bertobatlah mereka dari kemusyrikan. Maka di dalam ayat ini Rasulullah diperintahkan Allah supaya teguh istiqamah dalam pendirian dan beliau pun mesti mengajak pula agar seluruh pengikutnya yang telah tobat dari kemusyrikan itu pun menurut langkah yang teguh dari Nabi. Apabila mereka telah istiqamah, telah teguh memegang disiplin iman, maka orang-orang syak dan ragu-ragu itu pasti kian goyah pendiriannya yang saiah dan takluk kepada kebenaran."Dan janganlah kamu sekalian melampaui batas!'
Apabila seseorang telah bertobat dari dosa kemusyrikan dan telah mengakui diri menjadi seorang Muslim, niscaya hidupnya mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilanggar.
Orang yang bertobat artinya yang telah mengakui bahwasanya jalan yang ditempuhnya selama ini adalah jalan salah. Setelah dia tobat, dia pun mengakui tiada Allah melainkan Allah dan Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah, dan mulailah dia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah, dengan tawakal, dengan ridha dan taat menuruti garis-garis yang ditentukan Allah mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan. Kalau tidak demikian, percumalah mengakui menyerah (Muslim).
Dari Abu Tsa'iabah al-Khusyani, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda,
“Sesungguhnya, Allah telah memfardhukan beberapa perintah, janganlah disia-siakan; dan Dia telah memberi beberapa hal, janganlah lampaui; dan Dia berdiam atas beberapa hal, rahmat bagi kamu, bukan karena lupa, janganlah kamu korek-korek lagi." (Hadits Hasan diriwayatkan ad-Daraquthuni dan perawi-perawi lain)
Itulah yang diingatkan di dalam ayat ini bahwa di dalam menghadapi lawan, bagaimana pun besar lawan itu, namun diri sendiri dan golongan hendaklah teguh (konsekuen) dalam pendirian.
“Sesungguhnya; Dia,"yaitu Allah itu, “terhadap apa yang kamu kerjakan, adalah Amat Melihat."
Tadi di ayat 111 difirmankan bahwasanya apa saja gerak-gerik orang-orang yang masih syak dan ragu-ragu itu diketahui oleh Allah, maka gerak-gerik orang yang telah bertobat dan menyatakan iman lalu hidup di sekeliling Nabi, disuruh teguh pada pendirian, tetap pada pegangan; di ujung ayat Allah pun memberi ingat bahwasanya mereka tidaklah lepas dari pandangan Allah. Oleh sebab itu, nyatalah bahwa ayat ini menyuruh bergerak terus, melangkah di dalam hidup menegakkan amal yang didorong oleh iman.
Kalau di atas perbuatan yang salah banyak orang yang berani melakukannya di hadapan umum, mengapa orang yang telah bertobat kepada Allah tidak pula akan berani menyatakan pendiriannya di muka umum? Padahal Allah tidak melepaskan mereka dari penglihatan-Nya?
Ayat 113
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zfdim, lantaran kelak akan disentuh kamu oleh api."
La tarkunu ‘janganlah kamu sampai cenderung' atau condong atau miring kepada orang yang zalim. Jangan condong ke sana karena kalau sekali sudah condong yang mengarah kepada dekat, lama-lama akan payahlah menjauhkan diri darinya. Karena kezaliman adalah suatu sikap yang bertentangan dengan perikemanusiaan. Kezaliman artinya aniaya. Aniaya adalah main api. Aniaya menimbulkan benci dan dendam di hati orang yang teraniaya.
Kalau di ayat yang sebelumnya Rasul dan orang-orang yang telah tobat dari kemusyrikan disuruhkan istiqamah, maka di ayat ini dijelaskan lagi, jangankan mendekat kepada orang yang zalim; condong ke sana saja pun jangan. Tegakkanlah disiplin sebagai Mukmin, Per-buatan aniaya bukan saja menganiaya orang lain. Orang yang melanggar peraturan Allah, orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah, semuanya itu adalah aniaya.
pendiriannya yang saiah dan takluk kepada kebenaran."Dan janganlah kamu sekalian melampaui batas!'
Apabila seseorang telah bertobat dari dosa kemusyrikan dan telah mengakui diri menjadi seorang Muslim, niscaya hidupnya mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilanggar.
Orang yang bertobat artinya yang telah mengakui bahwasanya jalan yang ditempuhnya selama ini adalah jalan salah. Setelah dia tobat, dia pun mengakui tiada Allah melainkan Allah dan Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah, dan mulailah dia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah, dengan tawakal, dengan ridha dan taat menuruti garis-garis yang ditentukan Allah mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan. Kalau tidak demikian, percumalah mengakui menyerah (Muslim).
Dari Abu Tsa'iabah al-Khusyani, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda,
“Sesungguhnya, Allah telah memfardhukan beberapa perintah, janganlah disia-siakan; dan Dia telah memberi beberapa hal, janganlah lampaui; dan Dia berdiam atas beberapa hal, rahmat bagi kamu, bukan karena lupa, janganlah kamu korek-korek lagi." (Hadits Hasan diriwayatkan ad-Daraquthuni dan perawi-perawi lain)
Itulah yang diingatkan di dalam ayat ini bahwa di dalam menghadapi lawan, bagaimana pun besar lawan itu, namun diri sendiri dan golongan hendaklah teguh (konsekuen) dalam pendirian.
“Sesungguhnya;, Dia,"yaitu Allah itu, “terhadap apa yang kamu kerjakan, adalah Amat Melihat."
Tadi di ayat 111 difirmankan bahwasanya apa saja gerak-gerik orang-orang yang masih syak dan ragu-ragu itu diketahui oleh Allah, maka gerak-gerik orang yang telah bertobat dan menyatakan iman lalu hidup di sekeliling Nabi, disuruh teguh pada pendirian, tetap pada pegangan; di ujung ayat Allah pun memberi ingat bahwasanya mereka tidaklah lepas dari pandangan Allah. Oleh sebab itu, nyatalah bahwa ayat ini menyuruh bergerak terus, melangkah di dalam hidup menegakkan amal yang didorong oleh iman.
Kalau di atas perbuatan yang salah banyak orang yang berani melakukannya di hadapan umum, mengapa orang yang telah bertobat kepada Allah tidak pula akan berani menyatakan pendiriannya di muka umum? Padahal Allah tidak melepaskan mereka dari penglihatan-Nya?
Ayat 113
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, lantaran kelak akan disentuh kamu oleh api."
La tarkunu ‘janganlah kamu sampai cenderung' atau condong atau miring kepada orang yang zalim. Jangan condong ke sana karena kalau sekali sudah condong yang mengarah kepada dekat, lama-lama akan payahlah menjauhkan diri darinya. Karena kezaliman adalah suatu sikap yang bertentangan dengan perikemanusiaan. Kezaliman artinya aniaya. Aniaya adalah main api. Aniaya menimbulkan benci dan dendam di hati orang yang teraniaya.
Kalau di ayat yang sebelumnya Rasul dan orang-orang yang telah tobat dari kemusyrikan disuruhkan istiqamah, maka di ayat ini dijelaskan lagi, jangankan mendekat kepada orang yang zalim; condong ke sana saja pun jangan. Tegakkanlah disiplin sebagai Mukmin, Per-buatan aniaya bukan saja menganiaya orang lain. Orang yang melanggar peraturan Allah, orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah, semuanya itu adalah aniaya.
Mukmin sejati mesti menunjukkan bahwa dia tidak menyukai kezaliman dalam segala bentuknya. Karena bila condong ke sana, artinya bermain api, disentuh oleh api, baik api di dunia karena merasa terbakarnya jiwa maupun api neraka di akhirat. Sebab segala penganiayaan dalam dunia ini samalah artinya dengan pembakaran jiwa."Dan tidak ada bagi kamu selain dariAllahyang akan jadi penolong." Artinya, kalau kamu satu kali telah terseret ke dalam suasana orang-orang yang zalim, sedangkan tadinya iman telah timbuh dalam jiwamu, engkau sudah sukar melepaskan diri dari sana, jiwamu akan gelisah terus, namun orang lain tidak seorang pun yang sanggup melepaskan dirimu atau mencabutkan kamu dari jurang tempatmu jauh yang dalam itu. Kamu tinggalkan pimpinan Allah lalu kamu kehilangan pimpinan buat selamanya.
“Kemudian itu, kamu pun tidak akan dibela."
Tidak ada yang sanggup membela. Sayangnya, keruntuhan itu adalah kamu pilih sendiri karena dari semula kamu telah condong kepada orang-orang yang zalim itu. Mungkin karena kamu terpesona oleh kelebihan-kelebihan lahiriyah yang telah dicapai oleh si zalim itu.
Lu tarkanuu: jangan kamu condong ke sana!
Ibnu Abbas dan Hatim al-Asham (si Tuli) menafsirkan, “Jangan kamu condong serambut pun dalam urusan agamamu kepada orang yang zalim."
Menurut tafsir dari Abui Aliyah, “jangan kamu tunjukkan suka atas amal-amal perbuatan orang yang zalim."
Menurut tafsiran Qadatah, “jangan kamu masuk di rombongan orang-orang musyrikin."
Menurut as-Suddi dan Ibnu Zaid, “Jangan kamu ambil muka kepada mereka."
Dan kata setengahnya lagi, “Jangan masuk ke dalam golongan mereka atau meng
gabungkan diri. Jangan menyatakan suka akan perbuatan mereka dan jangan menyatakan simpati. Tetapi kalau masuk ke sana dengan rencana untuk mengetahui rahasia mereka dan menangkis kejahatan mereka, boleh."
Imam az-Zamakhsyari, pengarang Tafsir al-Kasysyaf menafsirkan, “Jangan didekati, putuskan hubungan, jangan berkawan dengan mereka, dan jangan duduk di dalam majelis mereka atau ziarah kepada mereka atau menunjukkan simpati. Bahkan jangan menyerupai mereka dan memakai pakaian yang bentuknya sama dengan pakaian yang mereka pakai, dan jangan terpesona oleh kelebihan dan kemewahan mereka, dan jangan banyak membicarakan serta memuji-muji mereka dan membesar-besarkan mereka."
Sayyid Quthub pada tafsirnya yang beliau tulis di zaman perjuangan Islam sekarang ini menafsirkan, “Jangan menyadarkan diri dan merasakan keenakan berhubung dengan si zalim, yaitu penguasa-penguasa tak terbatas, totaliter, diktator, yang merasa dirinya kuat kuasa sendiri, gagah perkasa sendiri, sehingga tidak ada orang yang akan berani buka mulut kepadanya di permukaan bumi ini. Yang menindas hamba Allah dengan kekuataannya, mentang-mentang dia merasa kuat, dan memaksa orang jadi budaknya. Jangan condong kepada mereka karena condong kepada mereka berarti mengakui kemungkaran yang diperbuatnya. Menyatakan simpati kepada mereka adalah mungkar yang lebih besar: neraka tantangannya!"
Tersebutlah perkataan tentang al-Muwaffaq. Wali Negara menjalankan pemerintahan Khalifah Bani Abbas. Al-Mu'tmid (256 H—279 H, 870 M—892 M). Meskipun bukan dia yang khalifah, tetapi dia yang berkuasa, karena gagah perkasanya dan disegani. Pada suatu hari pahlawan al-Muwaffaq itu shalat jadi makmum di suatu masjid di Baghdad. Tiba-tiba imam shalat membaca ayat la tarkanuu ini. Al-Muwaffaq mendengar dengan khusyuk. Sehabis ujung ayat ini, kedengaran orang jatuh, imam meneruskan shalat. Rupanya al-Muwaffaq, pahlawan Bani Abbas yang besar itu, yang jatuh pingsan mendengar ayat itu yang dibaca imam dalam shalat. Setelah beliau siuman dari pingsannya, beliau berkata, “Sedangkan condong saja kepada orang zalim sudah begitu siksaannya, betapa lagi kalau berlaku zalim. Ya, Allah! Peliharakan daku dari kezaliman."
Orang yang menyandarkan jiwa kepada si zalim, apatah lagi si zalim itu sendiri tidaklah akan merasa tawar dan sejuk dalam jiwanya. Jiwanya selalu terbakar, menggelegak dan mendesak untuk meneruskan kezaliman. Orang yang iman satu kali telah meresap ke dalam hatinya, akan turut terbakar jika mendekat ke situ. Akhirnya iman itu sendiri pun terbakar.
Keimanan kepada Allah menyebabkan jiwa bebas merdeka dari segala pengaruh alam. Namun kalau sudah disandarkan kepada yang zalim, iman terancam akan merosot. Tidaklah sama nilai orang yang bebas merdeka dengan orang yang jiwanya telah jadi budak.
Inilah peringatan Allah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang mengaku bertobat serta mengikut Rasul. Sahabat Nabi ﷺ yang terkenal, Abu Dzar al-Ghifari, sangat terkenal berpendirian tegas bahwa mengumpulkan harta benda dan kekayaan untuk diri sendiri adalah melanggar dasar ajaran Islam. Kalau seseorang mempunyai harta sudah lebih dari keperluannya sendiri—menurut beliau— segeralah bagikan kepada yang patut dibantu dan percayalah bahwa untuk keperluan hari esok sudah dijamin oleh Allah.
Pendiriannya ini dipandang amat berbahaya oleh Mu'awiyah yang di waktu itu menjadi gubernur di negeri Syam, sedangkan khalifah di Madinah adalah Utsman bin Affan. Tetapi Mu'awiyah belum percaya pendirian itu sebelum diujinya. Pada suatu sore, sehabis Maghrib Mu'awiyah mengirimkan sebuah pundi-pundi berisi penuh dengan uang emas (dinar). Utusdn yang mengantarkan mengatakan bahwa itu hanya semata-mata hadiah gubernur buat dirinya. Uang itu diterimanya dan utusan kembali kepada Mu'awiyah.
Pagi-pagi buta selesai shalat Shubuh, utusan itu datang kembali tergesa-gesa menemui Abu Dzar dan dia meminta maaf karena dia sudah salah beri. Uang itu bukan untuk Abu Dzar, melainkan untuk orang lain. Gubernur meminta uang itu kembali.
Dengan jujur Abu Dzar mengatakan bahwa uang itu sudah habis dibagi-bagikannya tadi malam, sebelum dan sesudah shalat Isya, kepada orang-orang yang dipandangnya patut dibantu, sehingga ketika dia datang shalat Shubuh ke masjid, satu dinar pun tidak ada lagi yang tinggal pada tangannya. Dia yakin bahwa uang itu dihadiahkan gubernur kepadanya. Sebab itu, dia tidak ragu-ragu lagi buat membagikannya.
Karena itu, yakinlah Mu'awiyah bahwa Abu Dzar ini memang benar-benar berpendirian demikian. Maka dipandangnyalah Abu Dzar amat berbahaya bagi ketenteraman negara. Lalu Abu Dzar, sebagai salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang dimuliakan, diiringkan dengan segala hormat kembali ke Madinah. Mu'awiyah mengirimkan juga sepucuk surat kepada Khalifah menerangkan pendirian Abu Dzar yang berbahaya itu.
Sampai di Madinah, Sayyidina Utsman bin Affan pula yang mengujinya, sekali lagi. Seorang budak disuruhnya mengantarkan kepada Abu Dzar sebuah pundi-pundi yang berisi uang emas penuh. Khalifah berkata, “Kalau dapat engkau memberikan uang ini kepada Abu Dzar dan dia sudi menerimanya, engkau aku merdekakan dari perbudakan."
Budak itu pun segera menemui Abu Dzar dan menyatakan hadiah Khalifah itu.
Abu Dzar menolak.
Lalu dengan hati-hati budak itu berkata, “Silakan Tuan terima hadiah ini. Dia hanya semata-mata hadiah Amirul Mukminin, dengan tidak ada maksud apa-apa. Kalau hadiah ini Tuan terima, Tuan telah menolong saya. Amirul Mukminin berjanji akan memerdekakan saya dari perbudakan jika Tuan sudi menerimanya. Kasihanilah saya. Saya ingin merdeka."
Dengan tenang dan wajah sedih pula Abu Dzar menjawab, “Bawalah uang ini kembali kepada Amirul Mukminin. Saya mengerti bahwa engkau ingin merdeka. Tetapi saya tidak mau apabila sesaat setelah engkau merdeka itu, di saat itu pula aku hilang kemerdekaan. Menerima uang ini bagiku adalah kehilangan kemerdekaan."
Artinya, uang itu dianggap oleh Abu Dzar sebagai pembeli kemerdekaannya.
Inilah contoh teladan yang diberikan oleh salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ, padahal Mu'awiyah dan Utsman bin Affan adalah sahabat Rasulullah pula.
Inilah pendirian yang diperintahkan Allah supaya dipegang teguh ketika mulai mene-gakkan paham dan menyampaikan risalah kepada manusia. Maka tidaklah berlawan disiplin karena ini dengan sikap yang dilakukan kemudian oleh Rasulullah ﷺ sebagai membuat perjanjian bertetangga baik dengan Yahudi ketika mula pindah ke Madinah atau ketika mengadakan perdamaian dengan kaum musyrikin di Hudaibiyah. Sebab kedua hal itu dilakukan setelah kekuasaan berada dalam tangan Islam, sehingga boleh melakukan taktik, mengadakan perjanjian, dan sebagainya. Maka kebolehan mengadakan perdamaian dengan lawan dalam kedudukan kita yang kuat, tidaklah berlawan dengan perintah meneguhkan disiplin dan jangan condong kepada kafir, karena untuk mencapai kelapangan di Madinah mesti juga lebih dahulu melalui keteguhan disiplin secara di Mekah. Sebelum kuat keluar hendaklah teguh di dalam.
SHALAT DALAM RANGKA DISIPLIN
Ayat 114
“Dan dirikanlah shalat pada dua tepi dari siang, dan di bagian terdekat dari malam,"
Di samping meneguhkan pendirian dengan istiqamah dan tidak mau condong kepada orang yang zalim dan tidak mau melanggar batas, perlulah selalu iman dan takwa itu dipupuk dengan shalat. Yang dimaksud dengan dua tepi dari siang ialah waktu pagi (Shubuh) dan lepas tengah hari atau petang. Selepas tergelincir matahari dari pertengahan siang, itu namanya sudah petang atau sore. Bagian terdekat dari malam, yang kita salinkan dari kalimat zulafan, yang waktu Maghrib (habis terbenam matahari) dan waktu Isya, yang telah masuk apabila telah hilang syafaq yang merah. Di dalam ayat ini tercakuplah rupanya waktu yang lima, shalat yang menjadi satu di antara lima tiang (rukun) islam.
Memang, siang itu mempunyai dua tepi. Kalimat tepi memang diambil dari bahasa Arab juga, yaitu tharafun. Di sini disebut tharafai, yang berarti dua tepi. Dalam bahasa Inggris pun hari itu dibagi dua tepi juga. Sebelum pagi, mereka istilahkan dengan a.m.: ante meridiem (before noon); above mentioned. Dan kalau telah lewat Zhuhur (tergelincir matahari), mereka istilahkan dengan p.m.: post meridiem (between noon dan midnight; afternoon) lepas tengah hari.
Tsalabi mengatakan bahwa arti zulafan ialah permulaan malam.
Al-Akhfasy mengatakan arti zulafan itu ialah seluruh saat-saat malam, tetapi beliau mengakui asal makna dari zulafan ialah dekat. Memanglah Maghrib dan Isya itu masih permulaan dari malam.
Ada seorang yang mengakui alim sendiri di Pare-Pare Sulawesi Selatan, mengeluarkan fatwa bahwa dalam Al-Qur'an tidaklah ada tersebut waktu yang lima: Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Dan dia mengeluarkan fatwa bikinannya sendiri pula bahwa orang hanya diwajibkan shalat dua rakaat, tidak ada yang empat rakaat. Rupanya orang ini baru membaca salinan-salinan Al-Qur'an ke dalam bahasa Indonesia dan tidak menyelidiki tafsir dari hadits-hadits sehingga disesatkannyalah murid-muridnya dengan fatwanya itu. Padahal kalau dia benar-benar menyelidiki agama dari sumber aslinya, tidaklah dia akan membuat agama sendiri seperti yang telah dilakukannya itu. Di dalam ayat 114 surah Huud ini dan di dalam surah al-Israa' ayat 78 pun ada ayat semacam ini,
“Dirikanlah oleh engkau shalat itu karena tergelincir matahari sampai kepada kelam malam dan di kala quran fajar."
bertambah tagih, bertambah bersemangat akan berbuat kebaikan-kebaikan yang lain. Sehingga lama-kelamaan kesalahan tadi menjadi berkurang karena kita berlatih terus-menerus berbuat baik.
Hal ini dibuktikan oleh Sabda Rasulullah ﷺ,
“Sesungguhnya, dari satu shalat kepada shalai yang berikutnya adalah sebagai penebus dari (kesalahan) yang terdapat di antara keduanya, asal saja dijauhi dosa besar (al-kabaair)." (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Tergelincir matahari ialah waktu Zhuhur, dengan kata ilaa, yang berarti sampai ter-masuklah waktu Ashar, dan disambut oleh waktu Maghrib, karena dengan terbenamnya matahari, malam-sudah mulai tiba, dan dengan habisnya cahaya merah di sebelah barat (syafaq), mulailah malam, dan dengan menyebut. quran fajar, tercakuplah waktu Shubuh.
Khabarnya konon guru baru di Pare-Pare itu sampai dilarang dan dihukumkan sesat pengajarannya oleh ulama-ulama Pare-Pare khususnya dan Sulawesi Selatan umumnya karena di sana memang banyak ulama-ulama yang menjadi ikutan dan pedoman orang banyak.
Lanjutan ayat menyatakan hikmah yang terkandung dengan mengerjakan shalat lima waktu itu. Firman Allah selanjutnya ialah,
“Sesungguhnya, kebaikan-kebaikan dapat menghapuskan kejahatan-kejahatan!' Artinya, mengerjakan shalat lima waktu dalam sehari semalam, artinya membuat puncak-puncak dari kebaikan. Maka kalau kita telanjur berbuat kesalahan-kesalahan, dengan adanya shalat lima waktu tadi, pengaruh kesalahan-kesalahan tadi akan hapus dan hati kita bertambah ‘lama bertambah keranjingan,
Dan sebuah hadits lagi,
“Ikutilah satu kesalahan dengan berbuat satu kebaikan niscaya kesalahan itu akan dihapuskan oleh kebaikan itu." (HR Imam Ahmad dalam Musnad-nya)
“Demikian itulah peringatan bagi orang-orang yang mau ingat."
Kalau orang ingat dan insaf bahwasanya maksud yang utama dan pertama dari shalat ialah untuk mengingat Allah, sebagaimana tersebut dalam surah Thaahaa ayat 14,
“Sesungguhnya, Akulah Allah, tidak ada Allah kecuali Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat karena mengingat Daku'. (Thaahaa: 14)
Sekiranya orang hanya semata-mata mengerjakan shalat, tidak diingat maksud shalat yaitu mengingat Allah, dzikrullah, niscaya tidaklah akan dirasakan faedah shalat itu bagi kemajuan jiwa dan pembersihan batin.
Maka, bersabdalah Rasulullah ﷺ pada sebuah hadits shahih yang dirawikan oleh Bukhari dari Abu Hurairah, demikian bunyinya,
“Adakah kamu perhatikan laksana sebuah sungai mengalir di muka pintu rumah seorang di antara kamu, lalu dia mandi membersihkan diri tiap-tiap hari di sungai itu lima kali? Masihkah akan ada sisa kotoran pada dirinya?" Mereka jawab, “Niscaya tidak!" Maka beliau bersabda, “Demikianlah perumpamaannya shalat iima uaktu itu. Allah menghapuskan dengan dia akan dosa-dosa." (HR Bukhari)
Bukhari pun merawikan juga hadits ini dari Jabir bin Abdullah. Ada juga hadits ini dirawikan dari Salman dan Utsman bin Affan.
Dengan demikian, diumpamakanlah orang yang mengerjakan shalat lima waktu itu dengan sadar, dengan dzikir dan khusyuk, serupa dengan orang berumah di tepi sungai, lima kali sehari semalam mereka membersihkannya di sungai itu sehingga dia pun menjadi seorang yang bersih, sebagai pepatah orang Melayu “Berumah di tepi sungai, orang menjadi ber-sih. Karena perut kenyang, orang berpikir tenteram."
Yang lebih lagi ialah sebuah hadits yang dirawikan dari beberapa riwayat, berbagai jalannya, tetapi satu isinya. Di antaranya ialah yang dirawikan oleh Bukhari dari Abdullah bin Mas'ud bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ mengadukan halnya dengan terus terang dan jujur bahwa dia mengobati seorang perempuan di ujung kota.Tetapi karena berkhalwat, tidak ada orang lain, timbullah nafsu syahwatnya melihat perempuan itu sampai telanjur tangannya memperbagai-bagaikannya, cuma untungnya tidak sampai dia menyetubuhi perempuan itu. Lalu akhirnya dia insaf sehingga dapat menahan dirinya dan merasa menyesal. Dalam satu riwayat hadits itu diterangkan bahwa saking menyesalnya dia pergi menemui Sayyidina Umar, mengakui ketelanjuran nafsunya itu dengan terus terang. Sayyidina Umar menasihatinya supaya tutup saja rahasianya itu, tidak perlu diberitakan kepada orang lain, sebab Allah sendiri pun telah menutup rahasianya. Tetapi hatinya tidak senang juga lalu dia pergi menemui Sayyidina Abu Bakar. Beliau pun memberi nasihat agar disimpan saja rahasia itu, jangan banyak orang yang tahu, sebab Allah pun telah menutup rahasia itu karena dia dengan perempuan itu saja yang tahu. Namun dia rupanya merasakan tekanan batin juga. Dia datang akhirnya kepada Rasulullah ﷺ, dibukanya pula kesalahannya itu terus terang seraya berkata, “Itulah ke-salahanku yang aku telah telanjur membuatnya. Inilah aku, ya Rasulullah! Hukumlah aku bagaimana baiknya!"
Rasulullah ﷺ diam saja. Lalu laki-laki itu dengan muka muram meninggalkan majelis Rasulullah dan pergi. Lalu Rasulullah tegak dari majelisnya dan diikutinya orang itu dari belakang dan dipanggilnya suruh kembali. Lalu beliau baca ayat yang tengah kita tafsirkan ini, yang memerintahkan bangun shalat di kedua tepi siang dan di dekat masuknya malam, karena perbuatan-perbuatan yang baik dapat menghapuskan perbuatan-perbuatan yang salah.
Menurut riwayat cerita ini yang disampaikan dari Abu Umamah, Nabi ﷺ bertanya kepadanya, “Apakah engkau berwudhu dengan sempurna dan engkau shalat bersama kami." Orang itu menjawab, “Aku berwudhu dengan baik dan shalat bersama-sama dengan Rasulullah ﷺ!"
Lalu Rasulullah ﷺ bersabda,
“Kalau demikian, engkau keluar dari dosa engkau sebagai baru dilahirkan oleh ibu engkau. Tetapi jangan diulang lagi!" Beliau lalu mem-baca ayat itu.
Dan di dalam satu hadits lain yang di-rawikan Bukhari, ada orang bertanya, “Ya, Rasulullah! Apakah ini hanya khusus untuk dia?" Beliau menjawab, “Untuk semua orang'."
Begitulah pengaruh iman. Sehingga laki-laki itu merasa hebatnya tekanan batin karena bersalah memegang-megang bini orang, dan terus datang kepada Rasulullah mengakui dengan terus terang kesalahannya itu dan belum merasa puas sebelum beliau menjatuhkan hukuman. Sama juga rupanya tekanan batin yang menimpa dirinya dengan Ma'iz yang terkenal mengakui terus terang bahwa dia telah telanjur berzina dan meminta supaya kepada dirinya dijalankan hukuman sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah. Kejujurannya inilah yang diketahui Rasulullah ﷺ sehingga beliau pastikan, asalkan dia mengerjakan shalat lima waktu dengan khusyuk, moga-moga akan habislah dosanya berzina itu diampuni Allah, dengan beliau tekankan, jangan diulangi lagi.
Dengan sebab itu, dapatlah kita pahami betapa hebatnya pengaruh shalat lima waktu itu. Dia menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu, asalkan jangan dosa besar. Dan dia pun menjadi penghalang pula bagi dosa yang akan datang. Karena baru saja kita akan tergelincir berbuat dosa di waktu menjelang tengah hari, tiba-tiba waktu Zhuhur pun masuk, dan kita pun dzikir lagi, ingat lagi kepada Allah, sehingga tidak jadi. Demikian seterusnya ke waktu-waktu yang lain.
Pengalaman penulis sendiri di waktu muda dalam musafir ke negeri lain menambah yakin penulis kepada hadits-hadits ini. Di negeri orang, jauh dari anak istri, kaum kerabat, dan murid serta pengikut, tatkala badan masih muda.
Bagaimanapun naiknya nafsu syahwat akan berbuat zina, di negeri orang Barat yang perzinaan tidak dipandang satu kejahatan lagi, yang menghalangi penulis berbuat ke-hinaan itu ialah bila mengingat besok pagi. Penulis berpikir, kalau pada malam ini aku telanjur berbuat zina, bagaimana aku akan menyusun kata-kata dan ucapan shalatku di hadapan Allah di waktu Shubuh besok? Apalah artinya lagi ucapan iftitah (pembukaan shalat) yang berbunyi, “Sesungguhnya, shalatku dan semua ibadahku, hidupku dan matiku, ada-lah untuk Allah, Allah sarwa sekalian alam." Alangkah hinanya diriku mengulang-ulangi perkataan demikian ketika shalat dan alangkah malunya aku kepada Allah jika tadi malam aku telah mendustai-Nya.
Aku berpikir, kalau telanjur berbuat salah yang hina ini, tidakada lagi jalan lain yang mesti ditempuh melainkan meninggalkan shalat sama sekali sebab sudah malu menghadapkan wajah kepada Allah.
Sebab itu, dapat aku berkata bahwa sha-latlah yang paling banyak menjadi benteng pertahanan batinku dalam menghadapi rayuan dosa, dalam pengembaraan-pengembaraanku di negeri-negeri orang di kala muda usiaku.
Al-Qasyani menulis dalam tafsirnya tentang rahasia shalat lima waktu, yang patut menjadi perhatian,
“Oleh karena pancaindra yang lima ini selalu dirintangi oleh hal-hal yang dapat menghambat kontaknya dengan hati karena hal-hal yang bersifat kejasmanian dan selalu pula merenggutkannya ketika hati hendak menghadap ke hadirat Rahmaniyah, dan menutupi dari cahaya dan kehadiran, terpaling dari kesucian kepada kekotoran, dari kemurnian hubungan dengan Allah kepada kekacauan, maka diperintahkanlah shalat lima waktu, karena dalam shalat itu seorang hamba hadir di hadapan Allahnya, tertutup pintu-pintu pancaindra keluar, tertumpu hati ke dalam, terbuka pintu hati ituuntuk menghadap kepada Allah dengan tawajjuh dan niat. Waktu itu mulailah datang sinar
Nur itu dan pikiran yang tadinya bersilang-siur jadi tertuju ke Jihad Yang Satu, dan diri pun ramailah karena merasa dekat dengan Allah sesudah tadinya sepi karena menghadap kepada yang lain. Lantaran itu, shalat lima waktu adalah pintu hati yang terbuka menuju ke hadapan Ilahi, yang sinarnya masuk dari lima pintu, dan kian lama kegelapan itu kian hilang, sampai akhirnya ruang hati itu dipenuhi oleh Nur semata-mata. Itulah maksud ayat, ‘Sesungguhnya, beberapa kebajikan itu menghabis-hapuskan segala bekas dan kesan dari berbagai kejahatan."‘
DIPATRI DENGAN SABAR
Ayat 115
“Dan bersabarlah! Karena sesungguhnya Allah tidaklah akan mengabaikan ganjaran bagi orang-orang yang berbuat baik."
Di ayat ini diberikanlah kunci bagi semua supaya perjuangan berhasil, yaitu sabar! Asal sabar, ganjaran Allah pasti ada. Sabar adalah sikap dari jiwa yang besar dan terlatih.
Maka dapatlah kita jadikan pedoman pula bila kita ingin menjadi pengikut Nabi Muhammad ﷺ dan pelanjut warisannya rentetan tuntunan yang diberikan Allah kepada-nya pada ayat-ayat ini:
• jangan ragu (ayat 109),
• tetap pendirian (ayat 112),
• sekali-kali jangan cenderung kepada orang-orang yang zalim (ayat 113),
• dirikanlah shalat pada waktunya (ayat 114),
• sabar dan tabah (ayat 115).
Susunan ini patutlah jadi buah renungan, jadilah pedoman perjuangan bagi sekalian orang yang berjuang untuk kejayaan Islam.