Ayat
Terjemahan Per Kata
الٓرۚ
Alif Lam Ra
كِتَٰبٌ
kitab
أُحۡكِمَتۡ
disusun dengan rapi
ءَايَٰتُهُۥ
ayat-ayatnya
ثُمَّ
kemudian
فُصِّلَتۡ
dijelaskan terperinci
مِن
dari
لَّدُنۡ
sisi
حَكِيمٍ
Maha Bijaksana
خَبِيرٍ
Maha Mengetahui
الٓرۚ
Alif Lam Ra
كِتَٰبٌ
kitab
أُحۡكِمَتۡ
disusun dengan rapi
ءَايَٰتُهُۥ
ayat-ayatnya
ثُمَّ
kemudian
فُصِّلَتۡ
dijelaskan terperinci
مِن
dari
لَّدُنۡ
sisi
حَكِيمٍ
Maha Bijaksana
خَبِيرٍ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Alif Lām Rā. (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya telah disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci (dan diturunkan) dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Mahateliti.
Tafsir
Hud
(Alif laam raa) hanya Allahlah yang mengetahui maksudnya; inilah (suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi) hal ini tampak pada susunan ayat-ayatnya yang memukau dan keindahan makna-maknanya (serta dijelaskan secara rinci) yang kandungannya menjelaskan tentang hukum-hukum, kisah-kisah dan nasihat-nasihat (yang diturunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Waspada) yaitu Allah.
Tafsir Surat Hud: 1-4
Alif Lam Ra, (inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,
Agar kalian tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira kepada kalian dari-Nya;
Dan hendaklah kalian meminta ampun kepada Tuhan kalian, dan bertobatlah kepada-Nya. (Jika kalian mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepada kalian sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kalian berpaling, maka sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab di hari kiamat.
Kepada Allah-lah kembali kalian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ayat 1
Dalam permulaan surat Al-Baqarah telah disebutkan perihal huruf-huruf Hijaiyah yang ada pada permulaan surat-surat Al-Qur'an, yaitu dengan keterangan yang tidak perlu untuk diulangi lagi dalam bab ini, dan hanya kepada Allah-lah kami memohon taufik.
Firman Allah ﷻ: “Yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi.” (Hud: 1) Lafaznya tersusun rapi, sedangkan maknanya terinci. Dengan demikian, Al-Qur'an menjadi sempurna ditinjau dari segi bentuk dan maknanya. Demikianlah menurut makna yang diriwayatkan oleh Mujahid dan Qatadah serta dipilih oleh Ibnu Jarir.
Firman Allah ﷻ: “Dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” (Hud: 1)
Yakni yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana dalam semua ucapan dan hukum-Nya, lagi Maha Waspada mengenai akibat segala urusan.
Ayat 2
“Agar kalian tidak menyembah selain Allah.” (Hud: 2)
Artinya, Al-Qur'an yang muhkam dan mufassal ini diturunkan agar hanya Allah sematalah yang disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Ayat ini pengertiannya sama dengan ayat lain yang disebutkan oleh firman-Nya: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka kalian sembahlah Aku." (Al-Anbiya: 25)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Tagut’.“ (An-Nahl: 36)
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira kepada kalian dari-Nya.” (Hud: 2)
Maksudnya, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian tentang azab Allah jika kalian menentang-Nya, dan sebagai pembawa berita gembira dengan pahala yang berlimpah jika kalian taat kepada-Nya.
Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ menaiki Bukit Safa, lalu memanggil semua puak kabilah Quraisy yang terdekat, kemudian yang masih ada hubungan famili dengannya, hingga mereka berkumpul, lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Hai orang-orang Quraisy, bagaimanakah penilaian kalian jika aku beritakan kepada kalian bahwa pasukan berkuda akan menyerang kalian di waktu pagi. Apakah kalian akan percaya kepadaku?” Mereka menjawab, "Kami belum pernah melihat engkau berbuat suatu kedustaan." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Maka sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian tentang azab yang keras yang akan datang.”
Ayat 3
Firman Allah ﷻ: “Dan hendaklah kalian meminta ampun kepada Tuhan kalian, dan bertobatlah kepada-Nya. (Jika kalian mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepada kalian sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (Hud: 3)
Artinya, aku perintahkan kalian untuk memohon ampun kepada Allah dari segala dosa dan bertaubat kepada Allah ﷻ di masa mendatang, dan hendaklah kalian terus-menerus dalam keadaan seperti itu.
“Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepada kalian.” (Hud: 3)
Yakni di dunia ini.
“Sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (Hud: 3)
Yaitu di akhirat nanti. Demikianlah menurut penafsiran Qatadah, perihalnya sama dengan makna ayat lain yang disebutkan oleh firman-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97), hingga akhir ayat.
Di dalam hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Sa'd: “Dan sesungguhnya engkau, tidak sekali-kali mengeluarkan suatu nafkah/infak dengan mengharapkan rida dan pahala Allah, melainkan engkau akan mendapat pahala balasannya, hingga makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.”
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Al-Musayyab bin Syarik, dari Abu Bakar, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu sehubungan dengan firman-Nya: “Dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (Hud: 3) Bahwa barang siapa yang melakukan suatu keburukan, maka dicatatkan atasnya satu keburukan; dan barang siapa yang mengerjakan suatu amal kebaikan, maka dicatatkan untuknya sepuluh pahala kebaikan.
Jika ia diazab karena perbuatan buruk yang pernah dilakukannya di dunia, maka tersisalah baginya sepuluh pahala kebaikan (di akhirat). Jika ia tidak diazab di dunia karena suatu amal keburukannya itu, maka akan diambil satu pahala kebaikan dari sepuluh pahala kebaikannya, sehingga yang tersisa baginya ada sembilan pahala kebaikan. Kemudian Ibnu Mas'ud mengatakan, "Binasalah orang yang satuannya mengalahkan puluhannya," Yakni keburukannya menghabiskan pahala kebaikannya yang sepuluh kali lipat itu.
Firman Allah ﷻ: “Jika kalian berpaling, maka sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab hari kiamat.” (Hud: 3)
Di dalam makna ayat ini terkandung ancaman yang keras bagi orang yang berpaling dari perintah-perintah Allah ﷻ dan mendustakan rasul-rasul-Nya, karena sesungguhnya azab Allah pasti akan mengenainya di hari kiamat kelak tanpa terelakkan lagi.
Ayat 4
“Kepada Allah-lah kalian kembali.” (Hud: 4)
Artinya, kalian akan dikembalikan hanya kepada Allah di hari kiamat kelak.
“Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Hud: 4)
Yakni Dia Maha Kuasa terhadap apa yang dikehendaki-Nya, seperti berbuat baik kepada kekasih-kekasih-Nya dan menyiksa musuh-musuhNya; juga Maha Kuasa untuk menghidupkan semua makhluk di hari kiamat kelak. Di dalam ayat ini terkandung pengertian tarhib (peringatan), sebagai kebalikan dari bagian pertamanya yang mengandung targib (harapan).
Alif Lam Ra. Inilah Kitab, Al-Qur'an yang ayat-ayatnya disusun dengan
rapi, terpelihara dari kekeliruan, kemudian kandungannya dijelaskan
secara terperinci, ada yang mengenai tauhid, hukum, kisah, akhlak, ilmu
pengetahuan, janji dan peringatan, dan lain lain, disusun surat demi
surat, ayat demi ayat, yang diturunkan dari sisi Allah Yang Mahabijaksana
dalam setiap keputusan-Nya, Mahateliti dalam semua ketetapan-NAllah menurunkan ayat-ayat Al-Qur'an yang sangat indah dan tersusun rapi serta mendetail kandungannya, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku, Muhammad, adalah pemberi peringatan adanya siksa bagi orang-orang yang ingkar dan pembawa berita gembira dari-Nya, yakni surga untukmu wahai orang-orang yang beriman.
Allah memulai surah ini dengan tiga buah huruf Alif, Lam, Ra, seperti pada permulaan Surah Yunus yang lalu, dengan maksud yang sama yaitu menuntut perhatian yang sungguh dari pendengar. Sesudah itu Allah menerangkan bahwa Al-Qur'an itu adalah sebuah kitab yang ayat-ayatnya tersusun rapi dan padat, lagi jelas artinya. Karena kerapian dan kepadatan susunan ayat itu, tak mungkin dapat ditukar-tukar kata-katanya, baik letaknya atau hurufnya. Di samping itu, ayat-ayatnya dijelaskan secara terperinci menurut masalahnya dan tersebar di dalam surah. Ada ayat yang berhubungan dengan akidah, hukum, akhlak, kisah, dan ada pula yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, seperti proses kejadian manusia.
Demikianlah ayat-ayat Al-Qur'an itu bagaikan bola kristal yang memantulkan bermacam-macam cahaya yang cemerlang dan memiliki nilai keseluruhan yang tinggi. Sesungguhnya Al-Qur'an dengan keserasian susunan redaksi ayat-ayat dan uraiannya yang terperinci menurut isinya, diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, Dengan Bijaksana, Dia turunkan ayat menurut kebutuhan hamba-hamba-Nya, apa yang baik untuk mereka, karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH HUUD
(NABI HUD A.S.)
SURAH KE-ll, 123 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
(AYAT 1-123)
Bismillahirrahmanirrahim
Ayat 1
ALIF LA AM RAA
Oleh karena ketika menafsirkan surah al-Baqarah, ketika menguraikan dari hal huruf-huruf di pangkal surah, telah agak panjang kita bicarakan rahasia-rahasia huruf-huruf itu atau tidak ada rahasia sama sekali, maka di sini tidaklah akan kita ulangi lagi menafsirkan maksud huruf-huruf itu, sudilah para peminat memerhatikan kembali pada Juz 1 tafsiran Alif Lam Mim di awal al-Baqarah,
“(Inilah Kitab) yang telah dikukuhkan ayat-ayatnya." Uhkimat kita artikan telah dikukuhkan, artinya tidak dapat dibanding lagi, tidak terdapat kelemahannya dari sudut mana pun dia dipandang. Jika dipandang dari sudut lafal yang keluar dari mulut, maka kukuhlah pilihan hurufnya sehingga dia menjadi kata-kata yang fasih dan tepat Dan dipandang dari segi maknanya, maka kenalah pilihan lafal untuk mencakup makna, sehingga lekas dapat dipahamkan oleh semua orang yang berakal; sempurna dalam bentuk kata dan tiada taranya dalam uraian kata."Kemudian diterang-terangkan dia!' atau dijelaskan satu demi satu, diperincikan, sehingga tidak ada yang meragukan lagi, diuraikan sehingga dapat dipahamkan.
Maka dapatlah dipahamkan bahwasanya ayat-ayat diturunkan dengan kukuh dan kemas, lalu datanglah Rasulullah ﷺ memberinya tafshil atau perincian dan penguraian. Misalnya perintah mengerjakan shalat. Itu adalah muhkamat atau uhkimat, telah mengan-dung pokok hukum. Kemudian datanglah fiishshilat, bagaimana mengerjakan shalat itu. Perincian itu ialah dari Nabi ﷺ sebagai Rasulullah. Bersabdalah beliau,
“Shalatlah sebagaimana kamu lihat aku shalat."
Maka cara Nabi mengerjakan shalat, berdiri, menghadap kiblat, takbir, rukuk, sujud, i'tidal, duduk di antara dua sujud, duduk tawarruk dan duduk iftiraj, semuanya ini adalah tafshil, perincian cara yang dibawakan Nabi. Maka tidaklah sah kita mengerjakan shalat berbeda dari tafshil yang diberikan Nabi itu.
“Langsung dari Yang Mahabijaksana, Yang Amat Mengetahui."
Ditegaskan dalam ayat ini bahwa wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad ﷺ dan kepada sekalian nabi dan rasul adalah langsung (min ladun) dari Allah, maka bukanlah dia dari Jibril. Jibril hanyalah Ruhul Amin, Ruh Besar, yang diperintahkan menyampaikan wahyu itu kepada Muhammad ﷺ dan tidak pula dari buah pikiran Muhammad ﷺ sendiri.
Wahyu adalah perintah atau larangan, penggembiraan ataupun ancaman. Allah yang Mahabijaksana lebih mengetahui keadaan manusia yang akan dituruni wahyu, bagaimana suasana mereka dan bagaimana pula tingkat kecerdasan mereka, dan Dia pun Maha Mengetahui dan Mahateliti tentang keadaan makhluk-Nya, Sebab itu, turunnya setiap wahyu ialah menurutkebijaksanaan Ilahi belaka. Itulah pula sebabnya maka wahyu turun tidaklah sekaligus, tetapi berangsur menurut keadaan dan kenyataan umat pada suatu masa, sehingga apabila Al-Qur'an telah menjadi mushaf, umat yang datang di belakang pun dapat memasangkan setiap ayat dengan keadaan umat pada waktu itu, dengan terlebih dahulu mengetahui asbabun nuzul, sebab-sebab turun ayat. Supaya ahli-ahli memakai kebijaksanaan dan pengetahuan yang teliti pula.
Kemudian datanglah ayat yang kedua menjelaskan inti sari dari wahyu yang turun di dalam kitab yang kukuh dan rapi itu,
Ayat 2
“Supaya janganlah kamu menyembah, kecuali kepada Allah."
TAUHID
Yang disembah hanya Allah saja, tidak ada yang lain. Pemusatan pemujaan kepada Yang Esa, tiada la berserikat dan bersekutu dengan siapa saja dan barang mana saja. Maka kalau diteliti 6.236 ayat dalam Al-Qur'an yang tergabung di dalam 114 surah, nyatalah bahwa maksud tujuan hanya satu, yaitu mengakui keesaan Allah. Segala pemujaan dan per-sembahan kepada yang lain tidak ada yang diterima. Karena yang lain itu hanyalah makh-luk belaka dari Allah Yang Tunggal.
“Sesungguhnya, aku ini adalah dari Dia, pemberi ancaman dan penggembirakan bagi kamu."
Pangkal ayat menjelaskan tujuan hidup beragama, yaitu menyembah Allah Yang Satu. Ujung ayat menjelaskan bahwa sesungguhnya aku ini adalah utusan, buat menyampaikan ancaman bagi barangsiapayangtidakmematuhi peringatan wahyu ini, dan memberikan pula kabar gembira, kabar bahagia bagi barangsiapa yang mematuhinya dan menerimanya. Adapun kabar ancaman dan warta berita gembira itu
bukanlah bikinanku sendiri; demikian dijelaskan oleh Nabi ﷺ, melainkan min-hu, yaitu dari Dia juga, dari Allah.
Ayat 3
“Dan bahwa hendaklah kamu memohon ampun kepada Allah kamu, kemudian tobatlah kepada-Nya, niscaya akan dianugenahi-Nya kamu satu kesenangan yang baik, sampai waktu yang tertentu."
Dapatlah kita pahami susunan ayat sejak ayat 1 sampai ayat 3 ini. Manusia diseru agar meninggaikan persembahan yang lain dan tujuan persembahan hanyalah kepada Allah, Yang Satu, tiada berserikat. Padahal selama ini mereka itu telah hidup dalam dosa dan kesesatan, yaitu menyembah berhala dan yang lain-lain. Dan dalam hati kecilnya, mereka mengakui bahwa pencipta seluruh alam itu hanyalah Allah Ta'aala saja. Sebab itu, per-buatan mereka selama ini jelas berlawanan dengan hati sanubari mereka sendiri. Sekarang datanglah rasul mengajak mereka kembali kepada jalan yang benar. Untuk itu, hendaklah terlebih dahulu mereka memohonkan ampun kepada Allah Yang Esa itu sebab selama ini Dia telah dipersekutukan dengan yang lain. Dan hendaklah mereka tobat. Arti tobat ialah kembali. Maka hendaklah mereka kembali ke dalam jalan yang benar. Maka orang yang telah insaf akan kesalahannya, mohon ampun dan tobat, permohonannya itu akan dikabulkan oleh Allah. Selanjutnya dijelaskan Allah di sini, apabila mereka telah kembali ke jalan yang benar, mereka akan menempuh hidup yang baru, hidup yang bahagia, karena keluar dari gelap gulita syirik, berganti dengan medan yang luas dari iman. Itulah kesenangan yang menghayati seluruh hidup, sampai datang ajal, atau janji waktu yang tertentu, yaitu maut. Iman sejati kepada Allah sebagai ganti dari kegelapan dosa, adalah kebahagiaan hidup yang sejati. Kalau suasana ini telah didapat, tidaklah ada lagi keraguan, ketakutan, dan kedukacitaan menempuh hidup ini. Mati pun tidak mengapa, “Dan niscaya akan diberi-Nya kepada tiap-tiap orang yang empunya keutamaannya (pula)!'
Pada lanjutan ayat ini teranglah tingkat-tingkat penyempurnaan yang ditempuh oleh seorang yang beriman. Pertama dia memohon ampun atas kesalahannya selama ini, zaman jahiliyyah, disertai meminta tobat Dengan pengakuannya bahwa Allah cuma satu, tiada bersekutu dengan yang lain, yang diungkapkannya dengan pengakuan (syahadat) “laa ilaha illallah", telah memohon ampun dan tobatlah dia dari dosa yang besar selama ini. Kemudian diikutinya lagi dengan pengakuan (syahadat kedua) “Muhammadar Rasulullah", menjadilah dia seorang Islam dan beroleh limpah karunialah jiwanya, merasakan kesenangan yang baik, lepas dari perhambaan benda. Kemudian dilanjutkanlah hidupnya sebagai seorang Muslim, yaitu bahwa iman diikutinya dengan amal yang saleh, jelaslah bahwa amal yang saleh itu membuat orang jadi utama. Orang yang beramal ialah orang yang utama. Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang yang beramal adalah orang yang utama. Maka Allah akan mengakui keutamaan itu. Allah akan memberikan penghargaan kepadanya lantaran keutamaannya.
Di dalam hadits-hadits disebutkan bahwasanya orang yang berbuat suatu kebajikan akan diberi pahala sepuluh, sedangkan kalau dia telanjur berbuat salah, ganjaran dosa atas kesalahannya itu hanya satu.
Maka berlombalah manusia Mukmin itu berbuat pekerjaan yang utama menurut bakatnya masing-masing, menurut kecenderungannya. Amalnya itu dilihat oleh Allah, dilihat oleh Rasul, dan dilihat pula oleh orang yang beriman. Timbullah penghargaan. Penghargaan dari Allah dan Rasul bukanlah membuat sombongnya seorang Mukmin, melainkan menambah kegiatannya lagi buat berbuat utama lebih banyak. Maka bahagialah dunia ini oleh halsil usaha orang-orang yang utama.
Cobalah lihat betapa Rasulullah ﷺ menghargai keutamaan sahabat-sahabatnya. Keutamaan Abu Bakar ialah karena dia membenarkan seratus persen apa pun yang di-sampaikan oleh Rasul. Ketika orang ragu-ragu akan kebenaran berita Nabi ﷺ bahwa beliau Isra' dan Mi'raj, Abu Bakar sendiri saja yang mengatakan, “Walaupun lebih dari itu yang dikatakannya, saya tetap percaya. Saya percaya!" Sebab itu, diberi dia gelar utama oleh Rasulullah “ash-Shiddiq".
Demikian juga Umar bin Khaththab yang beroleh gelar al-Faruq, yang berarti orang yang selalu dapat membedakan di antara yang hak dan yang batil.
Karena gagah perkasa menjadi panglima perang, Khalid bin Walid diberi panggilan utama “Saifullah", Pedang Allah.
Ada juga gelar anumerta, dianugerahkan setelah meninggal di dalam perjuangan. Hamzah diberi gelar “Sayyidusy-Syuhada", tuan dari sekalian orang yang mati syahid. Ja'far bin Abi Thalib, karena kedua tangannya putus dalam pertempuran di Mu'tah, diberi gelar utama “Dzul Jahanahain", yang empunya dua sayap, sebab kedua tangannya diganti Allah dengan dua sayap di dalam surga kelak.
Maka bertambah martabat iman, bertambah pula martabat amal, bertambahlah keutamaan seseorang dan diberilah pengakuan keutamaannya itu oleh Allah: tidak ada yang dilupakan dan disia-siakan.
“Dan jikalau kamu berpaling! maka sesungguhnya aku takut akan menimpa atas kamu azab hati yang besar."
Suku pertama dari ayat 3 ini adalah bujukan, rayuan, kabar gembira untuk orang yang memohon ampun atas kesalahan selama ini, diiringi dengan tobat. Hidup akan berbahagia, dunia dan akhirat. Keutamaan seseorang akan dihargai oleh Allah. Tetapi kalau terus-menerus saja dalam kufur, berpaling dan tidak mau mengacuhkan seruan kebenaran, takut aku— kata Nabi—bahwa kamu kelak akan ditimpa oleh adzab yang pedih pada hari yang besar itu, yaitu hari Kiamat Sebab hidup itu bukanlah sehingga ini saja. Di belakang hidup yang sekarang, yang amat pendek ini, ada lagi hidup yang di hari esok, hidup yang sebenarnya.
Rasulullah menyatakan bahwa beliau takut karena beliau kasihan kepada kaumnya. Sebab itu, disampaikannya peringatan itu dari sekarang. Maka kecintaan Rasulullah ﷺ itu meliputilah kepada seluruh manusia di dalam alam ini, sampai kepada hari Kiamat. Kasih Rasul kepada umat pada hakikatnya adalah limpahan kasih Allah kepada makhluk-Nya. Selamat hendaknya makhluk menempuh perjalanan hidupnya, selamat hendaknya mereka di dunia dan di akhirat.
Amat menarik hati sekali sebuah hadits shahih dari Nabi kita ﷺ tentang orang yang sesat jalan dan kehilangan kendaraan, di tengah padang serenjana mata memandang. Seorang musafir mengendarai seekor unta di tengah padang pasir yang luas. Setelah payah lelah berjalan, berhentilah dia di satu perhentian di tengah padang itu hendak melepaskan lelahnya dan dilepaskannya pula untanya supaya dia mencari makanannya pula dan istirahat. Dalam berhenti itu dia tertidur sebentar. Ketika dia tersentak bangun, matahari telah condong dan sudah patut dia berangkat pula. Lalu dijemput untanya itu ke tempat dia lepaskan tadi. Rupanya unta itu tidak bertemu, padahal itulah kendaraan satu-satunya. Dicarinya ke mana-mana di keliling padang itu, namun dia tidak juga bertemu. Sampai sudah payah pula dia dan nyaris putus harapan. Dan karena sudah terlalu payah bernaunglah dia ke satu tempat bernaung, dengan perasaan putus asa. Bagaimana dia akan melanjutkan perjalanan? Padahal kendaraan hilang? Bilakah kafilah lain akan lalu supaya dia dapat menumpang? Dan makanan yang jadi bekal tergantung di punggung unta itu pula? Apa lagi akal?
Akan diteruskan sendiri perjalanan, tidak tahu ke mana hendak ditempuh. Awak sudah tersasar dan tenaga tidak ada lagi.
Dengan setengah putus asa dia pergi berteduh, melepaskan lelah, dan tidak tahu lagi apa yang akan diperbuat.
Tiba-tiba sedang pikirannya menerawang langit, memikirkan bahaya yang akan menimpa kalau hari sampai malam di tempat yang sunyi sepi itu, yang di sana pun banyak binatang buas, tiba-tiba untanya yang hilang itu telah berdiri di kalang-hulunya. Dia terkejut dan sangat gembira, dan bersyukur kepada Allah karena dia telah dilepaskan dari bahaya besar yang tengah mengancam, sehingga dari sangat gembiranya tidak teratur lagi ucapan syukurnya kepada Allah, dia berkata,
“Tuhanku, engkau hambaku dan aku ini Tuhanmu. Aku bersyukur!"
Kata hadits itu, “Tersenyum Allah mendengar ucapannya itu?
Maka dapatlah inti sari dari hadits ini, karena gembira terlepas dari bahaya, gembira berjumpa yang tadinya disangka akan hilang, gembira doa dikabulkan Allah walaupun tak tentu lagi yang akan disebut, sehingga terka-takan Tuhan hambanya dan dia Tuhan dari Tuhan. Sedang Allah pun gembira atas rasa syukur yang ikhlas murni dan hamba-Nya itu walaupun tidak teratur lagi apa yang hendak dikatakan. Sebagaimana kata orang kampung penulis, “Lantaran gembira, tidak tentu lagi apa yang akan kusebut (indak tantu lai a nan ka den sabuik
Setelah itu, ditunjukkanlah dengan jelas, kita ini hendak ke mana,
Ayat 4
“Kepada Allah-lah tempat kembali kamu, dan Dia atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahakuasa."
Apa yang kita rasakan dengan membaca ayat ini? Tak ubahnya kita dengan seorang peng-gemar ikan dalam aquarium melihat ikan itu keliling berkawan-kawan, aneka warna dengan gembira di dalamnya. Sekali-kali dilemparkan makanan, dia pun berebut makan. Alangkah jernih air dan alangkah senangnya ikan itu. Tetapi kitalah, manusia yang memeliharanya, yang lebih tahu akan nasib mereka, aquarium tempat mereka hidup itu terbatas, air bisa kita keringkan dan dia pun bisa kita tangkap. Untung mujur dan untung malang mereka bergantung kepada kita. Maka demikianlah misal kecil tentang kita hidup di dunia ini, merasa diri kita bebas, padahal terbatas. Mereka gembira, padahal pedang Izrail selalu mengancam, rezeki sudah diagakkan. Keliling dan keliling, namun kembali kepada Allah juga. Sedang gembira takdir mengintip dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Sedang panas terik, hujan tiba-tiba turun. Sedang gembira bermayapada, terlolong menangis tidak disangka. Hanya keinsafan bahwa kita akan kembali kepada Allah jualah yang akan menjadikan kita dapat tenang menghadapi keadaan.
Ayat 5
“Ketahuilah, sesungguhnya mereka memalingkan dada mereka karena hendak bersembunyi dari-Nya."
Pada ayat ini diberitahukan kepada Nabi Muhammad ﷺ bahwasanya orang-orang yang kafir itu tidak sudi mendengarkan kebenaran wahyu yang turun dari Ilahi karena mereka hendak berkeras bertahan pada pendirian yang tidak benar itu. Tiap-tiap ayat turun, mereka selalu memalingkan dada. Mereka berpaling karena takut bahwa panahan kebenaran itu akan tepat mengenai sasarannya, yaitu hati mereka sendiri, sedangkan mereka bertahan dalam kesalahan.
Ini akan selalu bertemu di dalam kehidupan manusia. Orang-orang yang berpendirian yang salah itu hanya mau benar sen
diri! Tidak mau menghadapkan dadanya buat menerima dan mempertimbangkan kebe-naran orang lain.
“Ketahuilah, di waktu mereka memakai pakaian mereka." Mereka memakai pakaian buat menutup dan menyembunyikan dada, buat berpaling. Mereka bungkus diri dengan pakaian."Dia pun tahu apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka terangkan." Artinya, biarpun ditutup dengan berbagai bentuk pakaian, untuk menyembunyikan yang di dalam, Allah mengetahuinya juga.
“Sesungguhnya, Dia adalah amat tahu apa yang ada di dalam tiap-tiap dada."
Berpaling atau menghadapkan dada, berpakaian atau bertelanjang, namun Allah tidaklah dapat ditipu dan didustai.
Dalam ayat ini disebutkan dan ditegaskan perkara pakaian. Karena di dalam pergaulan hidup manusia, kerap kali pengaturan pakaian dijadikan orang untuk menyembunyikan hakikat pribadi yang sebenarnya. Ada pakaian khusus bagi raja-raja, bagi orang besar-besar, bagi penglima-panglima perang. Kadang-kadang dihiasi dengan bintang-bintang untuk menambah gagah dan menanamkan pengaruh. Manusia biasanya memang dapat dipengaruhi dan dipertakuti dengan pakaian seperti demikian. Tetapi apa yang terselubung di balik pakaian? Nafsu-nafsu jahat, angkara murka, yang dapat disembunyikan terhadap manusia, tidaklah dapat disembunyikan dari hadapan Allah. Pakaian-pakaian kebesaran itu tidaklah akan senantiasa dipakai. Sampai di rumah, dia akan ditanggalkan kembali. Pakaian kebesaran tidak akan dipakai sampai tidur atau sampai ke dalam kamar mandi. Bila dia ditanggalkan, akan kelihatan seorang insan sebenarnya. Sedang mata Allah menembus sampai ke batang tubuh dan langsung ke dalam celah tenunan baju dan jahitan celana, buat sampai ke batang tubuh dan langsung ke dalam sudut hati sanubari.
Maka ayat kelima ini, yang mulanya hanya untuk membuka rahasia hati orang-orang musyrikin yang keras kepala, tidak mau atau takut menghadapi kenyataan dengan dada terbuka, lalu membungkus diri dengan pakaian kebesaran karena hendak menanamkan pengaruh, berlakulah juga menjadi peringatan pada setiap zaman, bagi orang yang mau benar sendiri. Berani mencela, tetapi lari menyembunyikan dada karena tidak mau ditangkis. Kadang-kadang bertahan pada kekuasaan karena merasa diri lebih dari orang lain. Orang lain saja yang salah, dia benar selalu.