Ayat
Terjemahan Per Kata
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
مَأۡوَىٰهُمُ
tempat mereka
ٱلنَّارُ
neraka
بِمَا
dengan apa/disebabkan
كَانُواْ
adalah mereka
يَكۡسِبُونَ
mereka kerjakan
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
مَأۡوَىٰهُمُ
tempat mereka
ٱلنَّارُ
neraka
بِمَا
dengan apa/disebabkan
كَانُواْ
adalah mereka
يَكۡسِبُونَ
mereka kerjakan
Terjemahan
mereka itu tempatnya adalah neraka karena apa yang selalu mereka kerjakan.
Tafsir
(Mereka itu tempatnya ialah neraka disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan) berupa kemusyrikan dan perbuatan-perbuatan maksiat.
Tafsir Surat Yunus: 7-8
Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan dunia itu, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami,
Mereka itu tempatnya adalah di neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.
Ayat 7-8
Allah ﷻ berfirman menceritakan keadaan orang-orang yang celaka, yaitu mereka yang ingkar terhadap hari pertemuan dengan Allah kelak pada hari kiamat. Mereka sama sekali tidak percaya dengan hari pertemuan itu, merasa puas dengan kehidupan dunia ini, serta hati dan jiwa mereka merasa tenteram dengan kehidupan dunia.
Al-Hasan mengatakan, "Demi Allah, mereka sama sekali tidak menghiasi dunia dan tidak pula mengangkatnya, melainkan mereka hanya merasa puas dengan kehidupan dunia, sedangkan mereka melupakan tanda-tanda kebesaran Allah yang ada pada semesta alam ini, karena mereka tidak mau memikirkannya. Mereka pun melalaikan hukum Allah yang ada pada syariat agama-Nya.
Karena itulah maka tempat kembali mereka kelak di hari kiamat adalah neraka, sebagai pembalasan atas apa yang selama di dunia mereka lakukan, yaitu berupa dosa-dosa, kesalahan-kesalahan, dan kejahatan-kejahatan, di samping kekufuran mereka kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari kemudian.
Maka mereka itu tempatnya di neraka, karena apa yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia, berupa kedurhakaan kepada Allah. Kebalikan dari orang-orang yang durhaka kepada Allah dan hanya mencintai kehidupan dunia adalah orang-orang yang beriman dan beramal saleh untuk bekal kehidupan di akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan sebagai wujud keimanan tersebut mereka mengerjakan amal kebajikan sebagaimana petunjuk yang disebutkan di dalam AlQur'an, niscaya mereka diberi petunjuk oleh Tuhan karena keimanan mereka. Mereka di dalam surga yang penuh kenikmatan yang tiada tara, tiada pernah terkurangi dan mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Ayat-ayat ini menerangkan bahwa alasan orang-orang yang tidak meyakini akan adanya pertemuan dengan Allah di akhirat nanti dimana semua amal perbuatan akan ditimbang dengan adil, karena mereka lebih mencintai kehidupan dunia dan rela menukar kesenangan hidup di akhirat dengan kesenangan hidup di dunia yang fana ini. Hal itu juga karena mereka terpengaruh oleh kelezatan duniawi, demikian pula orang-orang yang lalai dan tidak mengindahkan ayat-ayat Al-Qur'an, serta tidak mau mempelajari, memahami dan mengamalkannya, maka tempat mereka kelak ialah neraka Jahannam.
Balasan azab yang demikian itu adalah karena dosa-dosa yang mereka kerjakan selama hidup di dunia, dan balasan itu setimpal dengan perbuatan mereka.
Dalam ayat ini disebutkan dua macam sikap dan perbuatan manusia yang menyebabkan mereka masuk neraka, yaitu:
1. Tidak percaya akan adanya hidup sesudah mati nanti, karena telah terpengaruh oleh kesenangan duniawi.
2. Tidak mengindahkan ayat-ayat Al-Qur'an.
Tidak percaya adanya hidup sesudah mati, untuk menemui Allah, berarti tidak percaya akan keadilan Allah, dan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya. Orang-orang yang demikian biasanya adalah orang-orang yang mengira bahwa segala sesuatu yang telah didapatnya itu, adalah semata-mata atas usahanya sendiri, bukanlah sebagai rahmat dan karunia dari Tuhan; seakan-akan dialah yang menentukan segala sesuatu. Sifat-sifat yang demikian dapat menjurus pada kepercayaan atheisme yang berpendapat bahwa Tuhan itu tidak ada, hanya manusia sendirilah yang mengadakan segala sesuatu. Hal ini sangat bertentangan dengan pokok utama akidah Islamiyah.
Demikian pula tidak mengindahkan ayat-ayat Al-Qur'an berarti tidak percaya bahwa Al-Qur'an sebagai kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, nabi yang terakhir dan tidak percaya pula bahwa kitab itu dapat menjadi pedoman bagi manusia dalam melayarkan bahtera hidup di dunia untuk mencapai kehidupan abadi di akhirat nanti.
Kepercayaan kepada adanya hidup sesudah mati, dan Al-Qur'an itu Kitab Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw, adalah merupakan pokok utama ajaran Islam. Mengingkari kedua ajaran pokok itu berarti mengingkari ajaran Islam. Itulah sebabnya Allah mengancam dengan sangsi yang berat berupa azab neraka Jahannam terhadap orang-orang yang mengingkari-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 5
“Dialah yang telah menjadikan matahari terang-benderang dan bulan bercahaya."
Di sini terdapat perbedaan di antara dhau' atau dhiyaa'an yang kita artikan terang, dengan nur yang kita artikan cahaya. Menurut setengah ahli tafsir, dhiyaa'an yang kita artikan terang itu ialah terang yang timbul dari dirinya sendiri. Dan nur yang kita artikan cahaya itu ialah sebagai bekas daripada terang yang menimpa dirinya. Seumpama pelita berapi. Dia adalah terang. Sedangkan terang pelita itu memantul kepada kaca jendela, dan bercahayalah kaca jendela itu tersebab terangnya pelita. Seorang kehilangan sebentuk cincin bermata berlian, lalu dicarinya malam hari. Cincin itu tidak akan bertemu kalau dia tidak membawa pelita atau lampu. Sebab lampu itu memancarkan terang atau sinar, dan lantaran ditimpa sinar terang lampu itu, berlian tadi akan bercahaya. Setelah kita me-ngetahui bahwa bulan itu bukanlah terang bersinar sendirinya, melainkan mataharilah yang memancarkan terang dari dalam dirinya sendiri, sebab sepenuh matahari itu adalah bahan bakar belaka, dan terang matahari itu memantul kepada bulan, lalu bulan menjadi bercahaya, laksana berlian kena cahaya lampu tadi. Lebih pahamlah kita maksud ayat menerangkan bahwa matahari memancarkan sinar terang dan bulan bercahaya.
Menurutahli tafsir az-Zajjaj, kata dhiyaa'an itu adalah jamak dari dhau'an. Sebab katanya, terang matahari itu bukan satu melainkan banyak lantaran itu tidak bisa dikatakan. Lain dari bulan yang mempunyai nur. Nur Bulan hanya satu, bukan banyak nur; anwar. Maka berkatalah ahli warna-warna, bahwa terang sinar matahari itu tersusun daripada warna yang tujuh, yang terkadang dapat dilihat membayang seketika panas bercampur dengan hujan; pelangi atau bianglala. Pada pagi hari, sebelum sepenggalah matahari naik, dikenal sinar matahari itu mengandung warna ultraviolet. Kadang-kadang sinar itu memecah dan memantulkan berbagai campuran warna pada waktu pagi atau petang, tengah hari, musim panas dan musim hujan. Sebab itu dapat pula kita pahamkan jika az-Zajjaj mengatakan bahwa dhiyaa'an bukan kalimat mufrad (tunggal) melainkan jamak (banyak). Dan pada bulan disebutkan nur, kata mufrad, berarti satu cahaya.
“Dan telah Dia tentukan untuknya tempat-tempat perjalanan."
Di sini terdapat dua kalimat yang mempunyai arti mendalam mengenai perjalanan bulan. Pertama, “Dia tentukan untuknya", dari kalimat Wa Qaddarahu. Yang berarti bahwasanya peredaran bulan mengelilingi bumi itu sudah ada ketentuan takdir-Nya yang sudah dipastikan, tidak akan berubah-ubah lagi buat selama-lamanya. Telah ditentukan untuk bulan itu perjalanan atau peredaran yang tetap dari detik ke detik, menit ke menit, malahan setengah detik pun sudah ada ketentuannya yang tidak bisa berubah. Di sini kita mendapat tafsir yang jelas dari kalimat qaddara, yu-qaddiru, taqdiran. Yang berlaku pada bulan, matahari dan seluruh alam cakrawala ini, yang berlaku ketentuan itu dengan sangat sempurna dan teliti sehingga dengan sebab demikian kita tidak boleh lagi memberi arti takdir secara serampangan. Sehingga dapatlah kita lihat kenaikan bulan dari sehari bulan, dua hari bulan, bulan sabit, bulan purnama dan bulan susut; tiap-tiap edaran malam ada ketentuan tempat perjalanannya di dalam falaknya, yang tidak pernah melampaui atau keluar daripada yang telah ditentukan itu.
Ahli-ahli falak menamai Manaazil atau tempat perjalanan bulan itu sejak zaman pur-bakala, sejak manusia memerhatikan keindahan langit di malam hari yang cerah.
Dalam bahasa Arab disebut 28 Manaazil. Pada Manaazil itu bulan dapat dilihat dengan mata. Kalau bilangan bulan 30, dua malam tak dapat bulan dilihat.
“Supaya kamu ketahui bilangan tahun-tahun dan hitungan
Ayat ini menjelaskan bahwasanya perjalanan bulan yang teratur demikian rupa, dan ketentuan yang tetap pada tempat-tempat tertentu menurut nama bintang-bintang yang tertentu itu, ialah supaya kamu ketahui atau kamu pelajari. Sebab hidup di dunia ini pun mesti mempunyai hisab; perhitungan. Umur yang kamu lalui ini adalah kumpulan dari detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun-tahun. Orang yang tidak mempelajari perjalanan bulan yang dua belas bulannya ‘menjadi satu tahun itu, adalah orang yang tidak mempunyai hari lampau, hari kini dan hari esok. Kita hidup dilingkung oleh ruang dan waktu, oleh zaman
dan tempat. Kalau hitungan tidak ada, berarti zaman tidak pula ada.
Ayat yang mula sekali turun ialah iqra', berarti bacalah! Dan ujung dari lima ayat yang mula-mula turun yang dimulai dengan iqra' itu ialah al-Qalam, yang berarti Pena untuk Allah “mengajarkan kepada manusia apa yang tidak mereka ketahui". (‘Allamal Insana Maa Lam Ya'lam). Di dalam surah al-Jumu'ah ayat 2 ditegaskan lagi bahwa kedatangan Rasul ﷺ diutus di dalam kalangan orang yang tadinya ummi, tidak pandai menulis dan membaca ialah hendak membacakan, membersihkan dan mengajarkan kitab dan hikmah meskipun dahulunya mereka itu dalam kesesatan yang nyata. Dari kumpulan segala ayat ini, yang sekarang dijelaskan lagi dengan menyebut satu jurusan yaitu perhitungan perjalanan bulan (hisab), jelas sekali bahwa maksud agama Islam bukanlah hendak membiarkan orang tinggal bodoh. Sekurang-kurangnya peredaran bulan ke bulan mereka wajib tahu. Memperdalam pengetahuan tentang ketentuan perjalanan bulan yang manaazil-nya itu bisa menimbulkan ilmu falak atau ilmu hisab. Dan ilmu ini tidak dapat dipisahkan dengan Ilmu Ukur; sebab perjalanan bintang-bintang itu pun adalah dengan ukuran belaka. Sekarang orang tengah berusaha hendak terbang ke bulan dan hendak menyelidikinya. Usaha ini tidak akan berhasil kalau tidak ada ilmu falak dan ilmu ukur. Hitungan yang sangat teliti tentang edaran bulan mengelilingi bumi dan edaran bumi mengelilingi matahari dan penyelidikan tentang cuaca di cakrawala, itulah yang dipelajari orang sehingga dapat mengirimkan orbit atau mengirimkan manusia ke bulan. (Tafsir Juz 11 ini ditulis pada Januari 1966, sedang astronot sampai ke bulan pada Juli 1969).
Namun, ilmu tentang perjalanan ke bulan itu dapat pula merata, bukan saja untuk sarjana falak dan ahli ilmu alam. Pengetahuan tentang ketentuan perjalanan bulan dan manaazil-nya itu dapat juga diketahui sekadar dasar oleh yang buta huruf sekalipun. Semua mata dapat melihat bulan sabit, bulan purnama dan bulan susut. Malahan orang Badui di Gurun Pasir Arabi ketika ditanyai, dapat menunjukkan bulan dan nama bintang Manaazil tempat lalunya, yang akan memengaruhi pula kepada perubahan udara, musim dingin, musim panas, musim sedang dan musim gugur.
Satu kali kami beristirahat di sebuah Qahwah (kedai kopi Arab) pukul sembilan malam, di bulan Oktober 1950. Si ‘Izzat sopir kami melihat ke langit dan bulan Dzulhijjah mulai susut, karena habis mengerjakan Haji, lalu dia berkata, “itu Mizan!" Sedang si ‘Izzat bukan keluaran sekolah menengah. Sebab di Tanah Arab itu boleh dikatakan seluruh malam jarang diselaputi awan, bulan dan bintang-bintang terang kelihatan dan nama-namanya sampai mereka hafal.
Demikian juga orang-orang pelayaran, mereka pun mengenal nama bintang-bintang, karena bintang-bintang adalah pedoman mereka dalam pelayaran. Orang Bugis, Mandar, Buton, Madura dan lain-lain yang suka belayar menghafal nama-nama bintang, sebagai manaazil dan bulan.
Oleh sebab itu, ilmu tentang perjalanan bulan lebih mudah dari mengetahui perjalanan matahari. Matahari tidak berubah-ubah besarnya tiap terbit dan tiap tenggelam, sedang bulan selalu berubah. Itulah sebabnya di dalam agama Islam, segala perhitungan tahun didasarkan kepada edaran bulan (Qamariyah), bukan matahari (Syamsiyah). Mengerjakan Puasa pada bulan Ramadhan, mengerjakan Haji di bulan Dzulhijjah. Lantaran menuruti perhitungan bulan, bukan Matahari, baik mengerjakan puasa atau mengerjakan haji, orang bisa merasai puasa pada musim hari panjang dan malam pendek, atau hari pendek dan malam panjang. Haji bisa merasai di musim dingin atau di musim sedang. Dalam 35 tahun bisa bergilir merasai peredaran musim mengerjakan puasa.
“Tidaklah Allah menjadikan yang demikian melainkan dengan benar."
Inilah jaminan Allah terhadap terangnya sinar matahari atau cahaya bulan itu ataupun perjalanan falaknya. Semua teratur dengan sangat teliti sehingga manusia terjamin hi-dupnya di muka bumi ini. Malamnya untuk istirahat, siangnya untuk berusaha. Terutama tentang sinar atau cahaya itu, bagaimana pertaliannya dengan hidup, dengan kesehatan. Dan bagaimana pula kegunaan tiap-tiap detik dan menit dan jam dan hari. Kalau sekiranya sinar matahari dan cahaya bulan dan edaran falak tidak teratur dengan benar, niscaya ma-nusia tidak akan berani menentukan suatu rencana dalam kehidupan. Sehingga kalau sekiranya Allah melarang manusia berkata pasti tentang hari esok, bukan berarti bahwa hari esok—misalnya sekarang Rabu dan besok Kamis—akan berubah, melainkan hidup manusia itu sendiri belum pasti akan sampai besok. Adapun cakrawala tetap berjalan benar dan teratur, selama Kiamat belum datang.
Perhatikanlah jaminan Allah ini. Tidak Allah menjadikan yang demikian, melainkan dengan benar. Matahari menjadi suluh, bulan menjadi pelita. Sinar matahari ada dan cahaya bulan pun ada. Dalam diri kita sendiri, laksana berlian tadi, diberi pula akal untuk menyambut cahaya itu. Maka bagaimanapun kerasnya sinar matahari, betapapun lembut-nya cahaya bulan, tidak akan diketahui kebenarannya kalau otak sendiri di dalam keadaan gelap.
Orang yang otaknya kelam tidaklah akan mendapat cahaya kebenaran yang dijaminkan Allah. Oleh sebab itu ujung ayat adalah tepat.
“Dia jelaskan tanda-tanda untuk kaum yang mau mengetahui."
Ya'Iamun artinya ialah orang-orang yang mengetahui. Karena dia adalah fi'il mudharf, dia mengandung zaman sekarang dan zaman depan. Kita terpaksa menjelaskan maksud mudhari-nya itu dengan menambah kata mau, agar terasa bahwa pecinta ilmu itu tidak berhenti menyelidiki, baik kini, besok ataupun seterusnya. Dan di sini baru disebut satu sudut saja daripada ilmu, yaitu ilmu falak. Terkhusus pada bulan, karena ada hubungan dengan perhitungan hidup kita. Dan kelak kita akan bertemu lagi ayat-ayat yang lain, yang menjadi tanda-tanda bagi orang yang mau mengetahui.
Ayat 6
“Sesungguhnya pada perlainan malam dan siang."
Ikhtilaf; kita artikan di sini perlainan, dan boleh juga diartikan pergantian siang dan malam. Kita pilih perlainan, sebab malam dan siang itu bukan semata-mata berganti-ganti, tetapi di dalam pergantiannya itu ada pula perlainannya. Tidak sama ukuran masa segala malam dan segala siang, Ada malam yang panjang dan ada yang pendek, dan siang pun demikian pula, karena perlainan musim. Dan perlainan di antara malam dan siang itu pun menentukan ukuran hidup kita; malam tempat istirahat, siang tempat berusaha."Dan apa yang telah dijadikan Allah di semua langit dan bumi." Alangkah luas yang tercakup di dalam kata-kata firman Allah ini. Alangkah banyaknya yang dijadikan Allah di langit, alangkah banyaknya bintang-bintang yang menghiasi halaman langit. Dan alangkah banyaknya tumbuh-tumbuhan sejak dari rumput yang halus sampai kepada pohon besar di rimba raya, dan binatang-binatang ternak dan yang liar, isi laut dari lumut sampai kerang, sampai ikan. Dan manusia sendiri dengan perbedaan warna kulit dan iklim daerahnya, perlainan benuanya; dan banyak lagi sehingga umur kita tidak cukup buat menyelidiki semuanya. Semuanya itu
“Adalah tanda-tanda bagi kaum yang mau bertakwa."
Untuk mengetahui adanya Allah Maha Pencipta, lihat dan perhatikanlah isi alam, baik di langit maupun di bumi. Pada alam itu semualah akan membuktikan bahwa Allah itu memangada. Gabungkanlah perasaanmu yang halus dengan akalmu yang cerdas, bekerja sama mencari Allah dengan melihat alam, niscaya Allah akan bertemu. Sebab alam yang dijadikan itu adalah ayat-ayat, atau tanda atas adanya Maha Pencipta. Janganlah engkau demikian dangkal, lalu berkata bahwa Allah itu tidak ada, sebab tidak engkau dapati dengan pancaindramu. Sebab pendapat pancaindra bisa salah kalau tuntunan akal tidak ada. Lebih dahulu engkau akan membuktikan bahwa akal sendiri memang ada. Kalau engkau melihat satu bangunan yang indah dan teratur menurut ilmu arsitektur yang tinggi, niscaya engkau kagum akan akal arsitek yang merencanakan bangunan itu, padahal tubuh atau zat dari akal itu sendiri tidak engkau dapati dengan pancaindra. Segala bangunan, gedung pencakar langit, jembatan modern, sputnik mengarung ruang angkasa, dan 1001 lagi yang lain adalah hasil akal. Tetapi akal sendiri tidak bertemu kalau dicari. Demikian pulalah mencari Allah sebagai pencipta alam seluruhnya di bumi dan di langit. Bekas cip-taan-Nya telah ada, akal pula yang memastikan bahwa Dia ada.
Setelah kita sampai kepada maqam yang demikian, niscaya sadarlah kita akan diri dan hubungan diri dengan Allah. Timbullah takwa, yaitu rasa hubungan yang erat dengan Allah, karena melihat bekas kekuasaan-Nya.
Arti takwa telah kita ketahui, di antaranya ialah memelihara hubungan, memelihara per-aturan. Setelah menilik teraturnya perjalanan alam dan sempurna tadbirnya, maka insan pun insaflah akan dirinya. Dia akan selamat hidup, sejak dari dunia sampai ke akhirat, asal dia tidak melanggar dua peraturan. Peraturan pertama ialah yang tampak jelas dalam alam, yang dinamai undang-undang alam (natuurwet), yang tidak satu pun makhluk dapat melanggarnya. Yang kedua undang-undang sya-ri'at.yang dibawa dan dituntunkan oleh Rasul ﷺ, di dalam menentukan buruk dan baik, manfaat dan mudharat, terpuji atau tercela, ilmu dan takwa.
• Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, dan mereka telah merasa senang dengan kehidupan dunia dan telah tenteram dengan dia, dan orang-orang yang lalai dari ayat-ayat Kami.
• Mereka itu, tempat kembali mereka adalah neraka, lantaran apa yang mereka usahakan.
• Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Allah mereka akan memimpin mereka dengan iman mereka itu. Mengalir di bawah mereka sungai-sungai di dalam surga-sur-ga kenikmatan.
• Seruan mereka di dalam iaiah:"Mahasuci Engkau ya Allah", dan ucapan hormat mereka di dalamnya ialah: “Salam" dan akhir doa mereka: “Bahwa sekaitan puji-pujian bagi Allah, Allah sarwa sekalian alam.
HATI TERPAUT KEPADA DUNIA
Pada ayat-ayat yang terdahulu, terutama ayat 5 dan ayat 6, disuruh merenung alam, guna memerhatikan kebesaran Ilahi pada semua langit dan bumi. Disuruh memerhatikan perlainan dan pergantian siang dan malam. Segala sesuatu cobalah renung dan pelajari dengan saksama, sampai pun kepada ulat kecil yang menjalar di atas tanah, semuanya itu adalah ayat-ayat, semuanya adalah tanda bukti bahwa alam ini tidak terjadi dengan sia-sia, bahkan semuanya dijadikan dengan benar. Tuntutlah ilmu pengetahuan, terutama berhitung dengan segala cabangnya, aljabar, wyskunde (matematika), khemitris, ilmu ukur dan ilmu pasti, yang kesemuanya itu di dalam bahasa Arab disebut Ibnur Riadhah, artinya latihan akal untuk berpikir.
Apabila ilmu ini telah dipakai untuk merenung fakta-fakta yangterlalubanyakdi dalam alam ini, dan yang dapat kita selidiki hanya terbatas jua, namun akhir kelaknya semua itu akan sampai kepada satu kesimpulan. Yaitu kesimpulan yang telah disebutkan Allah dalam ayat 5 di atas tadi."Tidaklah Allah menjadikan yang demikian, melainkan dengan benar."
Bagaimana kita akan dapat mendekati kebenaran itu, kalau alat guna mencapainya tidak terlatih?
Maka terkenallah beberapa ahli pikir yang sampai kepada kesimpulan kebenaran sejati itu, atau al-Haqqu itu setelah dicarinya dengan jalan Riadhah. Al-Kindi filsuf Arab (873) menyatakan pendapatnya bahwa ilmu pasti (Riadhah) adalah ilmu alat untuk mengenal Hakikat. Dan hakikat sejati menurut dia adalah mengakui adanya Allah. Yang sangat terkenal pada zaman kita ialah Einstein, yang akhirnya sampai pada suatu kesimpulan dalam derajat ilmul yaqin, bahwa Allah pasti ada, setelah dihitungnya dengan teori relativitasnya yang terkenal.
Anjuran ini bukan untuk Einstein saja, tetapi untuk seluruh manusia yang berakal, agar dicapainya menurut kemampuan akalnya.
Sekarang setelah nyata ada Allah menurut tanda-tandanya sehingga menimbulkan takwa kepada-Nya, datanglah ayat memberi tuntunan bagi nilai hidup.
Kalau sekiranya sudah diketahui bahwa segala yang terjadi ini adalah tanda dari adanya Yang Mencipta, janganlah hidupmu itu kamu sediakan untuk yang dicipta, tapi langsunglah hubungan jiwamu dengan Pencipta itu sendiri. Pengetahuanmu tentang alam dan pencipta alam, gunakanlah untuk mempertinggi nilai dirimu dan diri kemanusiaan. Sadarlah bahwa kamu adalah khalifah dari Pencipta itu di dalam alam ini. Bukan untuk merusak, melainkan untuk melanjutkan bangunan. Dan kami hanya singgah di sini, bukan buat tetap.
Sebab itu, anjuran menilik alam di ayat 6 menimbulkan tiga fakta. Pertama, alam yang tampak oleh mata. Kedua, Allah yang tampak oleh akal. Ketiga, diri kita sendiri. Sesudah yang ketiga ini, yaitu siapa diri, timbullah kelaknya pertanyaan akan arti hidup. Dari sini akan menyusul takwa, sebagai yang disebut pada ayat 6 di atas tadi. Dan insaf bahwa hi-dup ini bukan hingga ini saja, melainkan ada kelanjutannya. Orang yang tidak memikirkan kelanjutan dia mati, dan gelap pulalah keadaannya sesudah dia mati. Inilah yang dije-laskan pada lanjutan ayat,
Ayat 7
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami."
Di sini terdapat kalimat Laa Yarjuuna, kita artikan tidak mengharapkan. Atau di dalam ungkapan bahasa Indonesia modern, tidak mempunyai harapan, atau tidak punya hari depan, yaitu putus kepercayaannya sehingga masa mati itu saja. Di belakang mati tidak ada apa-apa lagi. Asal katanya ialah rajaa'an, berarti harapan. Dan menurut Alfayumi di dalam kamus al-Mishbah, di dalam kalimat rajaa'an yang berarti pengharapan itu terkandung juga arti takut.
Sebab orang yang mengharapkan sesuatu, seketika itu juga merasa takut harapannya tidak akan tercapai. Dan rajaa'an itu pun dapat diartikan cita-cita.
Ayat 7 ini masih bersangkut rapat dengan ayat 6. Orang yang merenung semua langit dan bumi dan memerhatikan perlainan malam dan siang, niscaya akan timbul kepercayaan, timbul iman akan adanya Allah. Sebab itu dia menjadi seorang yang takwa. Kalau takwa telah timbul, akan percayalah dia bahwa hidupnya bukanlah sehingga ini saja. Tetapi dia akan mati, dan sesudah mati mempunyai harapan akan bertemu dengan Allah. Orang yang telah sampai kepada maqam iman itu, menjadi tidak takut lagi akan mati, tetapi bersedia menerimanya dengan ridha, dan pekerjaan apa saja pun yang dia kerjakan di dunia ini tidak lain daripada persediaan atau bekal untuk hidup yang kelak itu. Dia pun merasa gembira menjalani hidup dunia ini, sebab dalam hidup yang pendek ini dia dapat menyiapkan bekal persediaan yang akan diha-dapkannya ke hadapan Allah kelak. Sebab itu dia selalu optimis, atau tafa'ul, atau gembira menghadapi hari depan.
Sangat berbeda keadaannya dengan orang yang renungannya di dalam hidup ini hanya di sekitar benda. Dia beredar di sekitar makhluk, tetapi tidak sampai kepada Khaliq. Dalam kaidah para filsuf: Dia hanya melihat fisika, tidak memerhatikan metafisika. Orang yang seperti ini tidak merasa ada sesuatu yang mengontrol dirinya. Sebab itu dia tidak berkeberatan mengerjakan pekerjaan yang merugikan orang lain atau merugikan dirinya sendiri. Nilainya tentang baik dan buruk hanya bergantung kepada kepentingan dirinya saja. Lil ghayati tubarrirul wasilah. Artinya, “Untuk mencapai suatu tujuan, segala jalan boleh ditempuh." Sebab itu, sifat hidup orang demikian dijelaskan lagi oleh lanjutan ayat: “Dan mereka telah merasa senang dengan kehidupan dunia dan telah tenteram dengan dia." Hidup hanya di dunia ini sajalah, akhirat tidak ada, pertemuan dengan Allah tidak ada, surga neraka tidak ada. Kalau mau masuk surga, carilah surga dunia ini saja. Sebagaimana ungkapan penyair Indonesia Khairil Anwar, “Jangan dicari lagi surga yang dijanjikan oleh Muhammadiyah dan Masyumi, tenteramkan sajalah hati dengan yang telah nyata ini."
“Dan orang-orang yang lalai dari ayat-ayat Kami"
Tidak ada perhatian kepada tanda-tanda adanya kekuasaan Allah, malahan tidak mau percaya. Kalau pun terbentang ayat-ayat dan tanda-tanda itu di hadapan matanya, per-hatiannya tidak ada ke jurusan itu, malahan kadang-kadang menjadi buah semu (tertutup sama sekali).
Bagaimana akhir atau akibat dari orang yang seperti ini? Lanjutan ayat menegaskan,
Ayat 8
“Mereka itu, tempat kembali mereka adalah neraka, lantaran apa yang telah mereka usahakan."
Ayat ini mengandung mantiq yang wajar. Orang yang tidak mempunyai harapan pada hari depan, tidak percaya bahwa segala perbuatan di kala hidup ini akan dipertang-gungjawabkan di hadapan Allah kelak, merasa bahwa tidak ada sama sekali tempat dia bertanggung jawab.
Oleh karena itu, mereka tidak berkeberatan berbuat dosa, baik untuk kecelakaan dirinya atau kecelakaan masyarakat. Dia akan mencuri harta orang lain dengan sembunyi, kalau dia lemah. Dan dia akan bersikap sewenang-wenang kepada orang lain, kalau dia kuat. Untuk mencapai syahwat faraj, mereka tidak mengenal apa yang dinamai zina. Untuk mencapai syahwat perut, mereka tidak mengenal apa yang dinamai tipu atau rampok. Yang di tangan orang lain pun akan dirampasnya/ asalkan perutnya berisi. Oleh
sebab itu, naik-turunnya grafik kejahatan seseorang, atau naik-turunnya kezaliman di da-lam sesuatu masyarakat besar, adalah menurut ukuran turun naik kepercayaan kepada pertemuan di hari akhirat dengan Allah itu juga.
Jika telah diingatkan ujung yang wajar daripada hidup yang tidak mempunyai ke-percayaan bahwa tempat kembalinya ialah neraka, sekarang timbullah keinginan kita me-ngetahui, apa pula yang akan dirasai manusia jika imannya itu dipupuknya, dan diiringinya dengan amal perbuatan yang baik. Berkatalah lanjutan ayat,
Ayat 9
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Allah mereka akan memimpin mereka dengan iman mereka itu."
Inilah jaminan taraf pertama dari Allah di dalam hidup di dunia ini. Hidup kita tidaklah akan membeku dalam taraf pertama saja, kalau kita telah menyatakan iman. Semua orang dapat membuka muiut dan bersorak-sorak mengatakan beriman, mendakwakan diri percaya kepada Allah sebab mulut mudah berkata. Orang-orang Islam yang fanatik di kampung-kampung, sebelum jiwa mereka diracuni paham materialis, amat marah kalau mereka dikatakan kafir, walaupun mereka tidak mengerjakan shalat. Dan sebagian besar apa yang mereka katakan itu adalah benar. Memang mereka telah percaya kepada Allah. Tetapi di dalam ayat ini ditegaskan lagi, bahwa pengakuan percaya saja belum cukup. Iman adalah kepercayaan di dalam hati, dan dia belum berarti sebelum dibuktikan dengan amal saleh. Artinya, iman itu dipraktikkan dengan perbuatan, atau mengambil inisiatif untuk melancarkan perjaianan hidup dengan iman. Apabila Allah telah melihat kegiatan hamba-Nya itu dengan iman dan amal salehnya, Dia sendiri akan memimpin, memberi petunjuk dengan iman yang ada padanya itu sehingga dia selamat menempuh ash-shi-rathal mustaqim.
Orang yang beriman dan beramal saleh tidaklah pernah lepas dari bimbingan Allah, dari tauhid dan hidayah-Nya. Betapa pun besarnya kesukaran yang ditempuhnya, namun di dalam kesukaran itu akan bertemu kemudahan. Dia tidak pernah kehilangan cahaya, sebab cahaya ada dalam hatinya sendiri. Dia tidak pernah merasa sepi, sebab Allah lebih dekat kepadanya dari urat lehernya sendiri. Dia selalu bertutur bercengkerama dengan Allah. Percobaan Allah kepadanya dirasai-nya sebagai suatu tanda kasih. Datang suatu percobaan ditangkisnya dengan sabar. Sebab dari berkali-kali pengalaman dia telah tahu bahwa suatu percobaan Allah yang ditangkis dengan sabar, akan berakhir dengan suatu kemenangan jiwa dan martabat iman yang lebih tinggi, saat itu dia pun syukur. Oleh sebab itu, segala senang dan sakit, mujur dan. malang, senyum dan tangis di dalam hidup ini, karena iman yang ada dalam dadanya, jiwanya telah tergembleng buat menjadi rabbani, yang telah diartikan orang Keluarga Allah. Atau orang kemanjaan Allah. Sebab tidak pernah dilepaskan Allah dari bimbingan-Nya, atau dia sendiri tidak mau melepaskan dirinya daripada bergantung kepada cerpu telapak kaki Allah. Segala perdayaan telah dicobakan oleh iblis untuk memisahkannya dari Allah, dia tidak mau. Bertambah ditarik tangannya supaya terlepas, bertambah dipegangnya dengan erat. Walaupun dia akan mati dalam memegang itu.
Maka datanglah kelanjutan ayat, bahwa pimpinan Allah ini sesudah menyelamatkannya dari perdayaan dunia, sampai ke akhirat lancarlah jalannya buat masuk ke dalam surga.
“Mengalir di bawah mereka sungai-sungai di dalam surga-surga kenikmatan."
Arti air mengalir di bawah surga-surga
itu tidak perlu kita ulang lagi di dalam ayat ini, karena acap kali kita telah bertemu dengan ayat demikian dan kerap kali lagi akan bertemu. Yang perlu kita ketahui di sini ialah pentingnya perjuangan menegakkan iman.
Ayat ini menjelaskan benar kepada kita, bahwa kalau tunas iman telah mulai terasa tumbuh dalam diri kita, janganlah kita pasif, atau kita diamkan saja. Lekas buktikan, lekas pupuk. Sebab dengan demikian kita telah mendapat modal besar untuk menempuh hidup, Kalau iman telah mulai terasa, walaupun begitu sedikit, pupuklah dia dengan amal dan ibadah. Sebab amal dan ibadah itu akan menambah suburnya. Iman itu adalah cahaya. Cahaya iman itu mempunyai kiio-watt sebagai lampu listrik juga. Dia akan naik dari 10 kw, 15 kw, 100 kw, dan seterusnya, apatah lagi bila Allah telah membuktikan bahwa kita memang telah bekerja memupuknya, Allah akan membantu kita, Allah akan membimbing, memimpin dan memberi petunjuk. Kalau saudara ingat betapa besarnya hati seorang petani yang sedang menyebar berih, lalu datang petugas pertanian memberi pupuk sehingga hasil padinya berlipat dari tahun yang lalu, bagaimana rasa hati saudara kalau seorang Mukmin yang memupuk imannya, lalu Allah berjanji pula memberi bantuan?
Dan bantuan yang dijanjikan Allah hanya akan terasa sesudah usaha kita memupuk iman itu berjalan. Dan oleh sebab itu pula teranglah bahwa jalan ke surga itu telah dimulai dari sekarang juga. Gembira dalam surga kelak, memetik hasil apa yang telah ditanam di dalam dunia, dan gembira sebab di dunia telah terasa bahwa Allah selalu ada di dekatnya, dan di akhirat kelak akan bertemu langsung dengan wajah-Nya.
Ayat 10
“Setuan mereka di dalam ialah: “Mahasuci Engkau ya Allah ."
Inilah ucapan si Mukmin itu apabila mereka telah sampai ke surga kelak, “Mahasuci Engkau, ya Allah." Ucapan ini hanya akan dapat dirasakan jika kita kenangkan kembali betapa hebatnya perjuangan menegakkan iman itu, Perdayaannya banyak, pendayaan setan dan hawa nafsu, syahwat faraj dan syahwat perut. Dari kiri dan dari kanan pendayaan datang, percobaan menimpa nyaris jatuh, bahkan kadang-kadang jatuh, tetapi bangun lagi, pasang pernah naik dan pernah turun, tetapi kemudi tidak pernah lepas. Kadang-kadang sebelum mati timbul pertanyaan dalam hati, akan diterima Allah jugakah amalku yang tidak seberapa ini? Kadang-kadang timbul ragu, apa betulkah Allah itu ada? Tetapi datang waktu shaiat, dia shaiat kembali dengan khusyuknya. Dan akhirnya mati! Rupanya setelah selesai segala perhitungan, datanglah keputusan dari Allah, “Engkau masuk surga!" Bagaimana tidak akan terloncat dari mulut Mukmin itu, “Mahasuci Engkau, ya Allah!" Sebab menilik kelemahan diriku dan hebatnya cobaan yang menimpa, karena menegakkan asma-Mu, serasa-rasa tidak akan sampai aku ke tempat yang mulia ini, sekarang—Segala Puji bagi Engkau— sampai juga aku kemari.
“Dan ucapan hormat mereka di dalamnya ialah “Salam". Salam, sejahtera, aman, damai! Masa payah sudah lepas, sekarang sudah aman! Paceklik sudah habis, sekarang mengetam mengambil hasil. Benci, dengki, berebut pengaruh, sakit hati, dan segala prasangka sesama manusia tidak ada lagi. Sebab semua mendapat menurut hasil usahanya. Itulah tuah surga, yang di dunia ini tidak ada. Di dunia ini untuk mendapat suatu nikmat, kerap kali dengan menjerumuskan orang lain.
“Dan akhir doa mereka: “Bahwa sekalian puji-pujian ialah bagi Allah, Allah sarwa sekalian alam."
Akhir doa orang-orang yang telah masuk surga itu ialah puji-pujian seluruhnya untuk
Allah. Sebab sudahlah terang bahwa selama hidup di dunia yang telah lampau itu, yang mendatangkan manfaat bagi mereka dan menjauhkan mudharat, tidak lain hanyalah Allah. Dan puji-pujian pula atas karunia yang diterima sekarang di dalam surga ini, nikmat ruhani dan jasmani.
Tiga kalimat menjadi ucapan ahli surga; pertama, tasbih menyucikan Allah; kedua, salam yang berarti damai, sehingga surga itu sendiri dinamai juga Darus Salam: Negeri Damai. Ketiga, tahmid, yakni puji-pujian yang setinggi-tingginya bagi Allah.
Dengan ini jelaslah bahwa nikmat surga itu lebih banyak yang bersifat ruhaniah, meskipun kita percaya di dalamnya ada juga nikmat jasmani, sebagaimana telah banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an. Maka di dalam hidup kita yang sekarang ini pun telah kita rasai bahwasanya nikmat ruhani itulah nikmat yang kekal dan sejuk. Walaupun kita diberi nikmat jasmani dengan gedung yang indah, vila yang mewah, kendaraan luks model baru, dan lengkap pula dengan barang-barang luks dalam rumah, tidaklah ada artinya kalau jasmani sakit ataupun pikiran kacau dan jiwa tertekan. Nikmat itu hanyalah akan bagus tampak dari luar. Baru dirasai adanya nikmat jasmani itu kalau ruhani sendiri tenteram, puas, syukur dan rasa bahagia. Ini jarang akan terdapat di dunia. Oleh karena itu, seyogianyalah kita berusaha membersihkan dan memerinci ruhani kita, mempertinggi martabat jiwa, dengan langsung sendiri mendekati Allah: takarub. Segala ajaran ibadah, seumpama shaiat dan doa, adalah hubungan langsung pada Allah, Maka segala tawassul kepada yang lain, menyembah Allah dengan perantara, baik perantaraan orang atau berhala, atau kuburan keramat dan waliyullah, tidaklah akan dapat membersihkan jiwa, melainkan menambah kotornya. Sebab sudah terang di saat itu pikiran si pemuja benda itu telah terpecah, tidak langsung kepada Allah lagi.
Heranlah kita melihat orang yang sangat khusyuk menekur, menangis tersedu-sedu di hadapan suatu kubur yang dianggapnya keramat, memohon kepada kubur itu supaya permohonannya disampaikan kepada Allah, malahan sampai mengeluarkan hadiah berupa barang atau uang kepada penjaga kuburan itu, dan keluar dan sana dengan rasa puas. Padahal kelak seketika shalat lima waktu yang langsung hendak menghadap Allah, tidaklah mereka sekhusyuk ketika di hadapan kubur itu. Malahan ada yang jarang sekali mengerjakan shalat, tetapi tekun dan setia pergi ke kuburan keramat, padahal dia mengaku sebagai orang Islam.
Jiwa seperti ini tidaklah mempunyai pegangan dan tidak tentu arah.