Ayat

Terjemahan Per Kata
ثُمَّ
kemudian
بَعَثۡنَا
Kami utus
مِنۢ
dari
بَعۡدِهِۦ
sesudahnya
رُسُلًا
beberapa Rasul
إِلَىٰ
kepada
قَوۡمِهِمۡ
kaum mereka
فَجَآءُوهُم
maka datang kepada mereka
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ
dengan keterangan yang nyata
فَمَا
maka tidak
كَانُواْ
adalah mereka
لِيُؤۡمِنُواْ
mereka hendak beriman
بِمَا
dengan apa/disebabkan
كَذَّبُواْ
mereka mendustakan
بِهِۦ
dengannya
مِن
dari
قَبۡلُۚ
sebelum
كَذَٰلِكَ
demikianlah
نَطۡبَعُ
Kami kunci/cap
عَلَىٰ
atas
قُلُوبِ
hati-hati
ٱلۡمُعۡتَدِينَ
orang-orang yang melampaui batas
ثُمَّ
kemudian
بَعَثۡنَا
Kami utus
مِنۢ
dari
بَعۡدِهِۦ
sesudahnya
رُسُلًا
beberapa Rasul
إِلَىٰ
kepada
قَوۡمِهِمۡ
kaum mereka
فَجَآءُوهُم
maka datang kepada mereka
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ
dengan keterangan yang nyata
فَمَا
maka tidak
كَانُواْ
adalah mereka
لِيُؤۡمِنُواْ
mereka hendak beriman
بِمَا
dengan apa/disebabkan
كَذَّبُواْ
mereka mendustakan
بِهِۦ
dengannya
مِن
dari
قَبۡلُۚ
sebelum
كَذَٰلِكَ
demikianlah
نَطۡبَعُ
Kami kunci/cap
عَلَىٰ
atas
قُلُوبِ
hati-hati
ٱلۡمُعۡتَدِينَ
orang-orang yang melampaui batas
Terjemahan

Kemudian, Kami mengutus setelahnya (Nuh) beberapa rasul kepada kaum mereka (umat masing-masing), maka rasul-rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, tetapi mereka tidak mau beriman karena mereka dahulu telah (biasa) mendustakannya. Demikianlah Kami mengunci hati orang-orang yang melampaui batas.
Tafsir

(Kemudian sesudahnya Kami utus) yakni sesudah Nabi Nuh (beberapa rasul kepada kaum mereka) seperti Nabi Ibrahim, Nabi Hud dan Nabi Saleh (maka rasul-rasul itu datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata), yakni mukjizat-mukjizat (tetapi mereka tidak hendak beriman karena mereka dahulu telah biasa mendustakannya) sebelum rasul-rasul diutus kepada mereka. (Demikianlah Kami mengunci mati) menutup rapat-rapat (hati orang-orang yang melampaui batas) sehingga hati mereka tidak mau menerima iman, seperti Kami mengunci mati hati mereka yang melampaui batas.
Tafsir Surat Yunus: 74
Kemudian sesudah Nuh, Kami utus beberapa rasul kepada kaum mereka (masing-masing), maka rasul-rasul itu datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka tidak hendak beriman karena mereka dahulu telah (biasa) mendustakannya. Demikianlah Kami mengunci mati hati orang-orang yang melampaui batas. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Kemudian sesudah Nuh, Kami utus beberapa rasul kepada kaum mereka (masing-masing), maka rasul-rasul itu datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata. (Yunus: 74) Maksudnya: Sesudah Nuh, datanglah para rasul dengan membawa hujah-hujah, dalil-dalil, dan keterangan-keterangan yang membenarkan apa yang disampaikan oleh para rasul itu kepada mereka.
tetapi mereka tidak hendak beriman karena mereka dahulu telah (biasa) mendustakannya. (Yunus: 74) Yakni umat-umat itu tidaklah mau beriman kepada apa yang disampaikan kepada mereka oleh rasul-rasul-Nya, karena mereka sudah terbiasa mendustakan para rasul sejak para rasul diutus kepada mereka pada pertama kalinya. Hal ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka (Al-An'am: 110), hingga akhir ayat. Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Demikianlah Kami mengunci mati hati orang-orang yang melampaui batas. (Yunus: 74) Sebagaimana Allah mengunci mati hati mereka sehingga mereka tidak beriman karena kedustaan mereka itu.
demikian pula Allah mengunci mati hati orang-orang yang serupa dengan mereka sesudah mereka tiada. Hati orang-orang yang serupa dengan mereka terkunci mati, yang karenanya mereka tidak mau beriman sehingga mereka menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri siksaan yang sangat pedih. Makna yang dimaksud ialah Allah telah membinasakan umat-umat yang mendustakan rasul-rasul-Nya dan menyelamatkan orang-orang yang beriman kepada para rasul.
Yang demikian itu terjadi pada masa sesudah Nabi Nuh ‘alaihissalam, karena sesungguhnya manusia itu sebelum Nuh ‘alaihissalam dari mulai masa Nabi Adam ‘alaihissalam berada dalam agama Islam hingga manusia memulai penyembahan kepada berhala-berhala. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Nuh ‘alaihissalam kepada mereka. Karena itulah di hari kiamat kelak orang-orang mukmin akan berkata kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam, "Engkau adalah rasul Allah yang pertama untuk penduduk bumi." Ibnu Abbas mengatakan bahwa jarak masa antara Nabi Adam dan Nabi Nuh adalah sepuluh generasi, semuanya memeluk agama Islam.
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan. (Al-Isra: 17) Di dalam ayat ini terkandung makna peringatan yang besar bagi orang-orang musyrik Arab yang mendustakan penghulu para rasul dan penutup para nabi dan para rasul, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Dengan kata lain, apabila orang-orang yang mendustakan rasul-rasul Allah subhanahu wa ta’ala telah tertimpa azab dan pembalasan seperti yang telah disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Kitab-Nya itu. maka apakah yang diduga oleh orang-orang musyrik Arab sehingga mereka berani melakukan hal yang lebih berat daripada para pendusta rasul di masa silam?"
Kemudian setelahnya Yakni Nabi Nuh, Kami utus beberapa rasul kepada kaum mereka masing-masing, seperti Nabi Hud, Saleh, Ibrahim, Lut, dan Syuaib, maka rasul-rasul itu datang kepada mereka dengan membawa keterangan yang jelas, agar mereka beriman kepada Allah, tetapi mereka tidak mau beriman karena mereka dahulu, yakni sebelum datangnya keterangan yang nyata, telah biasa mendustakannya. Demikianlah Kami mengunci hati orang-orang yang melampaui batas, karena mereka telah memilih tidak mau menerima kebenaran.
Setelah pada ayat sebelumnya dijelaskan kisah Nabi Nuh dan para rasul terdahulu, lalu dalam ayat ini dijelaskan kisah Nabi Musa. Kemudian setelah mereka, yakni para rasul terdahulu, Kami utus Musa dan Harun kepada Fir'aun dan para pemuka kaumnya, dengan membawa tandatanda kebesaran dan kekuasaan Kami. Ternyata mereka menyombongkan diri, yakni mendustakan dan enggan menerima kebenaran, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.
Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang pengutusan rasul-rasul sesudah peristiwa topan Nabi Nuh a.s. itu. Nabi-nabi yang diutus itu antara lain Nabi Hud, Saleh, Ibrahim, Lut dan Syuaib a.s. Mereka diutus kepada kaum mereka masing-masing; Nabi Hud kepada kaum ad, Nabi Saleh kepada kaum samud, dan Syuaib diutus kepada kaumnya penduduk Madyan, juga diutus kepada kaum Aikah, tetangganya. Kedua kaum ini sebenarnya satu rumpun, mereka mempunyai bahasa yang sama dan tanah air yang sama. Setiap nabi itu datang kepada kaumnya dengan membawa bukti-bukti kebenaran kerasulannya dan memberikan petunjuk kepada kaum itu. Setiap nabi itu menggariskan pedoman-pedoman hidup bagi kaumnya sesuai pula dengan masa, situasi, dan keadaan lingkungan mereka.
Kebanyakan kaum para nabi itu tidak beriman, bahkan mereka mendustakannya sebagaimana kaum Nuh. Kebiasaan taklid buta kepada pemuka-pemuka mereka selalu diikuti oleh generasi berikutnya. Oleh karena itu, seperti halnya hati nenek moyang mereka, hati mereka terkunci mati, maka hati nurani generasi berikutnyapun ikut terkunci. Hal demikian itu adalah akibat dari tindakan mereka yang melampaui batas.
Kaum musyrikin Arab yang menentang Nabi Muhammad saw, hati nuraninya gelap seperti halnya umat-umat yang lampau. Hati mereka tertutup untuk menerima kebenaran. Mereka mendustakan Rasul dan berbuat durhaka. Sunnah Allah tetap berlaku bagi mereka yang menantang dan mengingkari agama. Jika kaum musyrikin Arab itu tetap ingkar, mereka akan ditimpa azab Tuhan seperti halnya umat yang lampau itu. Firman Allah:
Sebagai sunnah Allah yang (berlaku juga) bagi orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan engkau tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. (al-Ahzab/33: 62)
.
Ayat 71
“Dan bacakanlah kepada mereka perkhabaran Nuh."
Artinya, supaya kaum musyrikin itu mengerti keadaan mereka sekarang dan persamaan mereka dengan umat yang terdahulu, cobalah ceritakan kepada mereka berita tentang bagaimana perkataan Nabi Nuh itu ketika kaumnya menentangnya."Seketika dia berkata kepada kaumnya: “Wahai kaumku! Jika adalah keberatan atas kamu kedudukanku dan peringatanku dengan ayat-ayat Allah." Di dalam hidup yang demikian lamanya karena amat panjang umurnya, Nabi Nuh telah mengalami pengalaman yang pahit-pahit. Nabi Nuh telah mengajak kaumnya agar meninggalkan menyembah berhala atau memper-sekutukan yang lain dengan Allah. Tetapi kaumnya merasa keberatan. Merasa hal itu terlalu berat dan besar bagi mereka. Keberatan itu menyebabkan mereka benci kepada Nuh. Nuh menyampaikan seruan ayat-ayat atau peringatan Allah. Mereka keberatan me-nerima keduanya. Mereka keberatan menerima kalau pribadi Nuh yang menjadi Rasul, dan mereka keberatan pula terhadap seruan yang dia sampaikan. Keberatan atas kedua hal itu, keberatan menerima pribadinya dan keberatan menerima ajarannya, telah menim-bulkan rasa benci dan dendam di dalam hati mereka. Mau mereka ialah supaya mereka dibiarkan saja sesuka hati berbuat apa yang mereka hendak kerjakan, baik menyembah berhala atau kemaksiatan yang lain. Mereka marah kepada Nuh. Maka di dalam ayat ini di-terangkanlah bagaimana sambutan Nuh atas sikap mereka. Nuh telah tahu bahwa kaumnya keberatan menerima dirinya dan menerima petunjuk-petunjuk yang dia berikan. Nuh merasa bahwa keberatan itu telah memuncak menjadi kebencian, dan kalau kebencian telah sampai di puncak, niscaya kaumnya itu akan menyingkirkannya dari dunia, akan membunuhnya. Berkatalah dia, “Jika demikian maksud kalian terhadap diriku: Maka kepada Allah-lah aku bertawakal." Bagaimanapun sikap yang akan dilakukan kaumnya itu kepada dirinya, namun dia menyerah dan bertawakal hanya kepada Allah. Nabi Nuh as. memang telah mempunyai pengikut juga, tetapi pengikut itu masih sedikit sekali dan mereka pun lemah-lemah, golongan rendah, yang pernah menjadi satu alasan juga oleh kaumnya yang kaya raya dan berpengaruh untuk mencela Nabi Nuh. Mereka pernah berkata bahwa kami tidak mau mengikut engkau, sebab kami lihat pengikut-pengikut engkau itu hanyalah orang-orang yang rendah martabatnya dari kalangan kami dan lagi sontok dan dungu pikirannya, (surah Huud ayat 27, surah asy-Syu'araa' ayat 111). Sebab itu kami tidak hendak mengikut engkau, sebab kami merasa tidak setaraf dengan mereka. Dalam keadaan seperti demikian, dalam kesombongan kaumnya yang berkedudukan tinggi dan kelemahan serta sedikit jumlah pengikutnya, yang tidak akan bisa membela dia, tidak ada lain tempat Nuh berlindung melainkan Allah, Allah yang telah mengutusnya menjadi Rasul.
Di dalam ayat ini kita mendapat pelajaran bahwasanya tawakal kepada Allah, adalah sandaran yang paling kuat dan kukuh bagi Nabi Nuh. Tawakal bukanlah tanda dari ke-lemahan, tetapi yang teguh dari kekuatan jiwa. Maka oleh sebab tawakalnya itu telah penuh, berkatalah dia selanjutnya, “Maka bu-latkanlah persoalan kamu dan sekutu-sekutu kamu itu." Aku telah bertawakal kepada Allah, dan betapa pun banyak bilangan kamu dan betapa pun jahatnya maksud kamu kepadaku, mentang-mentang kamu kuat, dan orang yang mengikutku kamu anggap orang lemah dan bodoh, aku tidak takut. Seluruh urusanku ini telah aku tawakal bulatkan kepada Allah. Kamu boleh berbuat apa yang kamu kehendaki, boleh menyusun dan mengumpulkan seluruh kekuatanmu yang ada dan membulatkannya menjadi satu. Atau ibarat orang yang akan berangkat musafir, kamu boleh menyediakan seluruh persiapan kamu buat berangkat menentang Allah. Bulatkanlah seluruh persoalan kamu dan kumpulkan semuanya bersama-sama dengan berhala-berhala yang telah kamu persekutukan Allah dengan dia itu."Kemudian itu janganlah menjadikan ragu-ragu atas kamu urusan kamu itu." Artinya, jangan lagi mundur maju kalau hendak melawan, janganlah tanggung-tanggung.
“Dan jangan lagi kamu beri kesempatan bagiku."
Artinya, kalau kamu memang bermaksud hendak menyingkirkanku dari dunia ini, hendak membunuhku, namun aku sendiri nyata tidak berdaya. Kamu boleh melakukan itu.
Ini adalah satu ayat luar biasa di dalam membayangkan imannya seorang Rasulullah saw.. Muhammad saw. disuruh Allah menyampaikan berita itu kepada kaum Quraisy, supaya mereka paham bahwa sekalian Nabi dan Rasulullah saw. itu satu pendiriannya dan sama martabat imannya. Kedudukan Nabi Muhammad saw. di Mekah, terutama ketika ayat-ayat dan Surah Yuunus ini turun, sama dengan kedudukan Nabi Nuh. Yaitu penentang Nabi Muhammad terdiri dari golongan yang merasa dirinya lebih atas dan berpengaruh, sedang pengikut Nabi Muhammad saw. masih lemah. Menceritakan peristiwa betapa pendirian Nabi Nuh ketika dia ditantang kaumnya ini, oleh Nabi Muhammad saw. kepada Quraisy, jauh lebih mendalam pengaruhnya daripada jika Nabi Muhammad saw. sendiri yang me-ngatakan terus terang bawa pendiriannya adalah begitu. Mereka yang paham susun kata yang demikian fasih dari ayat Allah yang begitu mendalam, sudah dapat membawa kesan bahwa Muhammad saw. pun berpendirian seperti Nuh itu pula. Betapa pun lemahnya kelihatan dari luar, bertentangan dengan golongan terbesar dan masih mempunyai peng-ikut yang sedikit, lagi lemah, tetapi dia merasa kuat sebab dia bersandar, menyerah diri dan bertawakal kepada Allah. Sebab itu kalau mau melawan dia, kumpulkanlah kekuatan, jangan ragu-ragu. Dan kalau hendak menyakiti dan membunuh sekalipun, dirinya yang lemah tidak akan dapat bertahan kalau hanya dari segi dirinya sendiri, “Digantung dia akan tinggi, dibuang dia akan jauh, dibunuh dia akan mati." Sebab itu, segala ancaman dan gertak sambel tidaklah akan mempan buat memundurkannya daripada kewajiban yang telah dipikulkan Allah kepada dirinya.
Ayat ini menjelaskan bahwa perjuangan seorang rasul tidaklah perjuangan untuk dirinya. Dia hanya melancarkan kehendak dan perintah Allahv01eh sebab itu, dia bertawakal kepada Allah. Dia percaya bahwa rencana mengutusnya menyampaikan seruan kepada kaumnya adalah dari Allah sendiri, dan Allah tidak akan menyia-nyiakannya. Innahu la ya-dhi'ni (Dia tidak akan mengecewakan Daku).
Ahli-ahli bahasa perenung Al-Qur'an, seumpama imam ahli balaghah Syekh Abdul Qahir Jarjani berkata bahwa ayat ini adalah mengandung suatu balaghah yang luar biasa tingginya, dan mengandung pula pendidikan yang agung bagi jiwa Mukmin di dalam meniru langkah Nabi.
Ayat 72
“Maka jika kamu berpaling, tidaklah kepada kamu aku akan minta upah."
Artinya, kalau seruan Nabi Nuh supaya mereka mengumpulkan kekuatan dan benar-benar menantang, sehingga lekas jelas kepu-tusan Allah “asal sabut terapung, asal batu terbenam", kalau seruan itu tak dipedulikan, melainkan berhanyut-hanyut juga mereka dalam kekufuran, tidak ada sambutan yang tegas, tetapi *beliau—Nabi Nuh—sekali-kali
tidaklah akan berhenti dan sekali-kali tidaklah akan bosan. Dia akan terus, dan terus menyampaikan seruan. Sampai pada zaman kita ini pun, orang-orang yang kufur itu kerap kali mengajak orang yang menyeru pada kebenaran, mengukur cita-cita yang mulia dengan mata benda. Oleh karena Nabi Nuh tidak mau berhenti-henti menyampaikan seruan kebenaran, mereka ukurlah itu dengan uang. Mungkin Nuh ini menghendaki upah atau gaji dan pekerjaannya. Maka supaya mulutnya berhenti bertutur, lebih baik disumbat dengan uang. Samalah perasaan kaum Nabi Nuh di waktu itu dengan seorang Tuan Besar yang sombong melihat seorang mengepit buku les-derma memasuki pagar pekarangan rumahnya. Dia bosan kalau-kalau tetamu itu masuk ke rumahnya, lalu bercerita panjang tentang kewajiban berderma dan bersedekah, mendirikan sebuah masjid atau rumah pendidikan agama. Sebelum orang itu membuka bicara dan membuka buku les lekas-lekas dikeluarkannya uang logam Rp10, dan disuruhnya orang itu lekas-lekas pergi sebelum membanyol.
Ayat ini menerangkan betapa sambutan Nabi Nuh atas penerimaan yang demikian. Bahwa pekerjaannya ini tidak akan dihentikannya, walaupun mereka berpaling. Dan dari mereka dia tidak meminta upah."Tidak ada upahku, melainkan atas tanggungan Allah." janganlah kamu sangka bahwa kedatanganku ini hendak merugikan kamu dari sisi harta, melainkan hendak memberimu keuntungan dari segi pendirian hidup. Dan naikkanlah tingkat cara kamu berpikir pada yang lebih tinggi, jangan mengikut kedatangan seorang rasul dengan kelobaan hidupmu yang amat rendah, terikat oleh benda, sebab kamu menyembah benda.
“Dan aku telah diperintah"—Oleh Allah—“Supaya adalah aku dari golongan orang yang Muslim (menyerah diri)."
Dengan ujung ayat ini, menceritakan percakapan Nabi Nuh kepada kaumnya, sekali lagi kita mendapat arti yang sangat dalam atau cita yang paling tinggi dari hidup sebagai Muslim. Kita sudah tahu, arti Muslimin ialah orang-orang yang benar-benar telah mem-bulatkan kepercayaannya kepada Allah. Karena sudah insaf bahwa tidak ada yang lain lagi yang berkuasa menentukan hidup ataupun mati kita, menentukan rejeki kita, kaya dan miskin kita, melainkan Allah. Sebab itu, Islam yang sejati itu dirumuskan di dalam kalimat syahadat “Tidak ada Allah, melainkan Allah." Maka Islam adalah mencakup segala kegiatan hidup kita dan tawakal adalah sebagian dari Islam. Di dalam kedua ayat berturut ini, kita telah dapat memahami caranya Nabi Nuh membawakan tawakal dan Islam. Di dalam menghadapi maksud jahat kaumnya, beliau bertawakal kepada Allah, dan di dalam menghadapi seluruh persoalan hidup, dan Islam kepada Allah.
Ayat 73
‘Tetapi mereka telah mendustakan dia."
Kita telah dapat membaca di dalam Al-Qur'an, satu surah sendiri khusus dinamai surah Nuuh, bahwa siang dan malam beliau telah menyeru mereka (ayat 5). Sekalipun telah menyampaikan seruan secara terang-terang, berjelas-jelas (ayat 8), secara berhadap-ha-dapan dan secara keras, namun segala seruan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari saja, (ayat 6). Tentu akhirnya Allah menjatuhkan keputusan yang tidak dapat dielakkan lagi."Maka telah Kami selamatkan dia dan orang-orang yang sertanya di dalam bahtera itu." Sebagaimana yang diuraikan Allah di dalam wahyu-Nya pada surah Huud (sesudah surah ini), dan di dalam surah al-Mu'minuun, surah asy-Syu'araa', surah al-A'raaf dan dengan sekilas ringkas pada surah-surah yang lain. Dibawa Nabi Nuh dan orang-orang yang beriman kepadanya dengan sebuah bahtera.
“Dan Kami jadikanlah mereka khalifah-khalifah." Khalifah yang berarti pengganti atau penyambut waris untuk melanjutkan hukum-hukum Allah dalam dunia ini. Dari keturunan Nabi Nuh dan pengikut-pengikutnya di dalam bahtera itu, terutama dari putranya, da-tanglah orang-orang yang akan menurunkan Ibrahim, dan Ibrahim menurunkan pula Nabi-nabi yang lain sehingga walaupun sebahagian besar penduduk bumi karena ingkar kepada kehendak Allah telah binasa, namun bibit atau tampang yang akan melaksanakan ajaran Allah terpelihara baik di dalam bahtera itu."Dan telah Kami tenggelamkan orang-orang yang telah mendustakan ayat-ayat Kami itu." Meskipun dahulu mereka banyak mayoritas, memegang kendali masyarakat, sombong, angkuh dan mengejek rasul, karena merasa diri kuat, merekalah yang tenggelam binasa, sedangkan Nuh dan para pengikutnya yang lemah dan sedikit itu menurunkan manusia-manusia yang sekarang telah memenuhi seluruh dunia ini. Orang-orang yang dalam dunia ini, meskipun di waktu itu mereka hanya sedikit.
“Maka pandanglah, betapa jadinya akibat orang-orang yang kena ancam."
Artinya, pandang dan renungkanlah oleh engkau, wahai Rasui-Ku betapa yang telah terjadi kepada orang-orang yang menentang seorang Rasulullah saw., yaitu Nuh a.s. Bu-kankah akhirnya mereka binasa juga di dalam kekufuran? Tenggelam tidak bangkit lagi. Orang yang mereka hinakan selama ini, itulah yang naik, sedangkan mereka yang bertahan di dalam kesombongan, merekalah yang lulus ke dalam dasar laut. Sampaikanlah hal ini kepada mereka itu, kaum Quraisy musyrikin itu, untuk mereka jadikan qiyas bandingan tentang keputusan kehendak Allah, yaitu bahwasanya kecurangan tidaklah pernah menang menghadapi kejujuran, dan kebatilan tidaklah dapat mengalahkan yang hak.
Di dalam ayat ini kita melihat suatu susunan yang indah dalam Al-Qur'an, yaitu menyebutkan terlebih dahulu keadaan Nabi Nuh dan pengikutnya yang diselamatkan Allah dalam bahtera, karena mereka menjadi khalifah di atas bumi, padahal sepintas lalu kita merasa bahwa mereka menjadi khalifah ialah setelah kaum Nuh yang kufur itu tenggelam. Tetapi setelah kita selidiki lebih mendalam, susunan Allah mendahulukan khalifah itulah yang lebih kena dan tepat, untuk mengelakkan prasangka orang, bahwa yang selamat dalam bahtera ialah khalifah dari kaum yang telah binasa, melainkan khalifah penyambut pengajaran yang disampaikan Allah kepada Adam, dilanjutkan oleh Syits putra Adam, disambut lagi oleh Idris cucu-cicit dari Syits dan ditegakkan lagi oleh Nuh. Maka di dalam penumpang bahtera adalah anak-anak Nuh, di antaranya ialah Sham yang akan menurunkan Ibrahim, dan Ibrahim inilah kelak yang akan menurunkan rasul-rasul dan nabi-nabi, termasuk Musa, Isa, Muhammad saw. membawa obor tauhid ke muka dunia ini.
Inilah pendapat penafsiran dari hamba, penafsir yang dhaif ini, yaitu di samping pe-nafsiran yang lebih umum, bahwasanya mendahulukan sebutan khalaa'if itu daripada orang yang tenggelam, ialah sebagai tasliyah, pengobat hati bagi Rasul dan orang-orang yang beriman, bahwa kesudahan atau akibat dari orang yang beriman haruslah didahulukan, daripada menyebut kaum kafir yang sudah nyata tenggelam, lulus, tungkus-lumus dalam gulungan ombak, badai, taufan dan gelombang.
Ayat 74
“Kemudian itu telah Kami bangkitkan sesudahnya beberapa rasul kepada kaum mereka."
Artinya, sesudah Nuh diseberangkan dengan bahtera dengan selamat, sebagai pelancaran dari apa yang telah diisyaratkan Allah dalam ayat Allah di atas tadi, yaitu datangnya khalaa'if atau pengganti dan penyambung tugas."Sebab negeri telah berkelebaran, anak buah telah berkembangan", satu laki-laki isi perahu dan perempuan jodohnya telah ber-anak, dan anak telah bercucu sehingga telah terbentuk masyarakat bersuku, berkabilah, berkaum, dan berumat manusia, diutus Allahlah kepada kaum-kaum itu beberapa rasul. Diutuslah Hud kepada kaum ‘Ad, Shalih kepada kaum Tsamud, Syu'aib kepada kaumnya ahli Madyan dan tetangganya penduduk Aikah. Demikian pula Ibrahim sebelum itu, dan Luth dan lain-lain. “Maka datanglah rasul-rasul itu kepada mereka dengan serba-serbi keterangan."
Sebagaimana yang diuraikan dalam surah-surah yang lain, yaitu mereka bawakan keterangan-keterangan, baik berupa alasan lidah dengan percakapan yang timbul dari hati ke hati, sebagai keahlian Nabi Syu'aib dalam berpidato, atau Nabi Shalih diberi mukjizat dengan unta, dan berbagai cara yang sepatutnya menarik hati mereka. “Tetapi tidak juga mereka hendak beriman kepada apa yang telah didustakan oleh orang-orang yang terdahulu itu." Meskipun berbagai keterangan, alasan dan dalil telah dikemukakan oleh rasul-rasul yang diutus Allah kemudian dari Nuh itu, namun mereka tidak juga mau menerimanya dan masih tetap menduakan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang dahulu tadi, khususnya yang telah tenggelam karena tidak percaya kepada Nabi Nuh tadi. Hal ini diperingatkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. bahwa jika sekarang ini kuffar Quraisy itu membangkang sedemikian rupa kepada engkau, wahai utusan-Ku, namun yang begitu terjadi juga pada kaum nabi-nabi yang datang sesudah Nuh.
“Demikianlah telah Kami cap atas hati orang-orang yang melanggar."
Pada tiap zaman, terhadap kepada setiap rasul dan nabi, sejak zaman Nuh, sampai nabi-nabi yang datang sesudah Nuh, sampai kepada engkau sendiri, wahai utusan-Ku yang terakhir, bertemulah selalu manusia-manusia yang hati mereka telah dicap. Artinya sudah keras laksana batu, tidak dapat berubah lagi, sebab mereka sendiri yang terlebih dahulu telah melangkah kepada pelanggaran batas. Dapat diumpamakan kepada cerita seorang mandor kebun, yang dahulunya sifatnya lemah lembut, penuh belas-kasihan. Pada suatu hari dia menyepak seorang kuli. Pada penyepakan yang pertama dia masih ragu-ragu dan takut, tetapi buat seterusnya sudah menjadi kebiasaannya, sehingga rasa kasih sayangnya tidak ada lagi. Atau seumpama seorang yang satu kali telah menjadi pembunuh, jiwanya menjadi dicap oleh Allah karena pembunuhan yang pertama itu sehingga buat selanjutnya mudah saja baginya menyentak pisau kalau bertengkar dalam perkara yang kecil sekalipun. Sebab itu, kepada orang-orang Mukmin selalu diberi peringatan, awaslah diri jangan sampai satu kali telah terperosok kepada kejahatan, bahaya besar mulai mengancam, yaitu jiwa akan dicap, atau dimaterai oleh Allah.
Begitulah kebanyakan sebab-sebab dari kekufuran dan kemusyrikan Quraisy pada khususnya, sebagai sebab dari turun ayat, dan jiwa manusia pada umumnya. Kalau pada permulaan mereka tidak menjaga batas-batas sopan, budi, kemanusiaan, suatu hati yang suci bersih; lalu diperturutkan hawa nafsu, maka terlibat ke dalamnya sehingga tidak bisa menarik diri lagi. Dicap oleh Allah.