Ayat
Terjemahan Per Kata
قَالُواْ
mereka berkata
ٱتَّخَذَ
mengambil/mempunyai
ٱللَّهُ
Allah
وَلَدٗاۗ
anak
سُبۡحَٰنَهُۥۖ
Maha Suci Dia
هُوَ
Dia
ٱلۡغَنِيُّۖ
Maha Kaya
لَهُۥ
kepunyaanNya
مَا
apa
فِي
di
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَمَا
dan apa
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِۚ
bumi
إِنۡ
jika tidak
عِندَكُم
kamu mempunyai
مِّن
dari
سُلۡطَٰنِ
hujjah/keterangan
بِهَٰذَآۚ
dengan ini
أَتَقُولُونَ
apakah kamu mengatakan
عَلَى
atas/terhadap
ٱللَّهِ
Allah
مَا
apa
لَا
tidak
تَعۡلَمُونَ
(kalian) mengetahui
قَالُواْ
mereka berkata
ٱتَّخَذَ
mengambil/mempunyai
ٱللَّهُ
Allah
وَلَدٗاۗ
anak
سُبۡحَٰنَهُۥۖ
Maha Suci Dia
هُوَ
Dia
ٱلۡغَنِيُّۖ
Maha Kaya
لَهُۥ
kepunyaanNya
مَا
apa
فِي
di
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَمَا
dan apa
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِۚ
bumi
إِنۡ
jika tidak
عِندَكُم
kamu mempunyai
مِّن
dari
سُلۡطَٰنِ
hujjah/keterangan
بِهَٰذَآۚ
dengan ini
أَتَقُولُونَ
apakah kamu mengatakan
عَلَى
atas/terhadap
ٱللَّهِ
Allah
مَا
apa
لَا
tidak
تَعۡلَمُونَ
(kalian) mengetahui
Terjemahan
Mereka (yang menyekutukan Allah) berkata, “Allah mengangkat anak.” Mahasuci Dia. Dialah Yang Mahakaya. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai alasan kuat tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui?
Tafsir
(Mereka berkata) yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang yang menduga bahwa para malaikat itu adalah anak-anak perempuan Allah ("Allah mempunyai anak,") maka Allah berfirman kepada mereka (Maha Suci Allah) memahasucikan Allah dari tuduhan mempunyai anak (Dialah Yang Maha Kaya) tidak membutuhkan kepada seseorang pun, dan sesungguhnya orang-orang yang meminta punya anak itu adalah orang yang membutuhkannya. (Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi) sebagai milik-Nya, makhluk-Nya dan hamba-Nya (tidak) tiada (bagi kalian suatu hujah pun) bukti (tentang ini) seperti apa yang telah kalian katakan itu. (Pantaskah kalian mengatakan terhadap Allah apa yang kalian tidak ketahui?) kata tanya di sini mengandung pengertian cemoohan.
Tafsir Surat Yunus: 68-70
Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, "Allah mempunyai anak. Maha Suci Allah, Dialah Yang Maha Kaya, kepunyaanNya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kalian tidak mempunyai hujah tentang ini. Pantaskah kalian mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?
Katakanlah, "Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung.
(Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka azab yang dahsyat, disebabkan kekafiran mereka.
Ayat 68
Allah ﷻ berfirman mengingkari orang-orang yang beranggapan bahwa Dia mempunyai anak.
“Maha Suci Allah, Dialah Yang Maha Kaya.” (Yunus: 68)
Yakni Maha Suci Allah dari apa yang mereka tuduhkan itu. Dia Maha Kaya, tidak membutuhkan semuanya selain Dia sendiri, tetapi segala sesuatu berhajat kepada-Nya.
“Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi.” (Yunus: 68)
Maka mana mungkin Dia mempunyai anak dari makhluk yang diciptakan-Nya, sedangkan segala sesuatu adalah milik-Nya dan merupakan hamba-Nya.
“Kalian tidak mempunyai hujah (argumen) tentang ini.” (Yunus: 68)
Maksudnya, kalian tidak mempunyai dalil atau bukti atas apa yang telah kalian katakan. Perkataan kalian itu hanyalah dusta dan buat-buatan saja.
“Pantaskah kalian mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?” (Yunus: 68)
Ayat ini mengandung makna pengingkaran dan ancaman yang kuat serta peringatan yang keras, sama halnya dengan apa yang terkandung di dalam firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
“Dan mereka berkata, ‘Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.’ Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (Maryam: 88-95)
Ayat 69
Kemudian Allah mengancam orang-orang yang berdusta terhadap-Nya lagi berani membuat kebohongan terhadap-Nya dari kalangan orang-orang yang mendakwakan bahwa Allah mempunyai anak, bahwa mereka tidak beruntung di dunia dan di akhirat.
Adapun di dunia, Allah memenuhi semua cita-cita mereka dan membuat mereka senang sebentar. “Kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam azab yang keras.” (Luqman: 24)
Ayat 70
Dan dalam surat ini disebutkan melalui firman-Nya: “(Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia.” (Yunus: 70)
Maksudnya, dalam waktu yang pendek selama mereka hidup di dunia.
“Kemudian kepada Kami-lah mereka kembali.” (Yunus: 70)
Yakni kelak di hari kiamat.
“Kemudian Kami rasakan kepada mereka azab yang dahsyat.” (Yunus: 70)
Yaitu siksa yang menyakitkan lagi sangat pedih.
“Disebabkan kekafiran mereka.” (Yunus: 70)
Yakni disebabkan kekufuran, kedustaan, dan buatan-buatan mereka terhadap Allah dalam dakwaan mereka yang bohong lagi keji itu.
Pada ayat yang lalu dijelaskan tentang orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dengan menyembah selain Allah, lalu pada ayat ini dijelaskan tentang bentuk lain dari kemusyrikan, yaitu mengatakan bahwa Allah mempunyai anak. Ayat ini membantah siapa pun yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak, sebagaimana mereka orang Yahudi dan Nasrani berkata, Allah mempunyai anak. Orang Yahudi mengatakan, Uzair putra Allah, dan orang Nasrani mengatakan, Isa putra Allah (Lihat: Surah at-Taubah/9: 30). Mahasuci Dia dari prasangka mereka, Dialah Yang Mahakaya, tidak memerlukan apa pun dan siapa pun dalam segala urusan; milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu, yang mengatakan Tuhan punya anak, sama sekali tidak mempunyai alasan kuat bahkan tidak punya bukti sedikit pun tentang kebohongan ini. Pantaskah kamu mengatakan kepalsuan tentang AllaKatakanlah, wahai Nabi Muhammad Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah dengan me-ngatakan bahwa Allah mempunyai anak atau sekutu, mereka tidak akan beruntung, yakni tidak akan mendapatkan apapun yang mereka harapkan.
Allah menjelaskan kepada kaum Muslimin bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang musyrik mengatakan bahwa Allah mempunyai anak, seperti kepercayaan orang-orang Yahudi bahwa Uzair anak Allah, kepercayaan orang-orang Nasrani bahwa Isa Al-Masih putera Allah, dan orang-orang musyrik menduga bahwa para malaikat itu anak perempuan Allah. Allah menyangkal anggapan-anggapan dan tuduhan-tuduhan mereka. Bagaimana mungkin tuduhan-tuduhan itu dapat dibenarkan sebab Dialah Yang Maha mencipta, memiliki, dan berkecukupan, bahkan langit, bumi, dan benda-benda yang ada di antaranya adalah ciptaan-Nya. Dialah Yang Menguasai, Allah tidak memerlukan semua benda yang ada, malahan sebaliknya mereka itulah yang memerlukan Allah. Apabila manusia memerlukan anak, memang sudah sepantasnya, sebab anak itulah yang melanjutkan keturunan dan menjadi kebanggaannya. Akan tetapi Allah tidak memerlukan anak sebab Dialah yang menciptakan manusia dan keturunan-nya.
Allah menandaskan bahwa orang-orang Ahli Kitab dan orang-orang musyrik yang beranggapan demikian itu, tidak mempunyai alasan sedikitpun untuk membuktikan kebenaran anggapannya, bahkan anggapan itu hanyalah menunjukkan kebodohan mereka sendiri. Itulah sebabnya maka Allah menyatakan di akhir ayat ini, bahwa mereka menyatakan sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu kebenarannya, itulah suatu kebodohan besar. Apalagi setelah mereka mendapat keterangan dari wahyu yang dibacakan, dan mereka masih tetap mempertahankan anggapannya, hal ini menunjukkan kebebalan mereka. Dari ayat ini dapat diambil pelajaran bahwa orang yang mengatakan sesuatu tanpa mempunyai alasan adalah menunjukkan kepada kebodohan sendiri.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
ALLAH TIDAK BERANAK
Ayat 68
“Mereka katakan: Allah mempunyai anak!"
Ada yang mengatakan bahwa anak Allah itu banyak, sebagai kepercayaan musyrikin Quraisy tadi, dan semuanya dipuja di samping Allah. Ada yang mengatakan bahwa anak itu tunggal, kepercayaan Nasrani terhadap al-masih. Disusun kepercayaan ini demikian rupa sehingga di antara Bapa dengan Anak dan Ruhul Qudus dijadikan satu meskipun dia tiga, yaitu kepercayaan Trinitas atau Trimurti, sehingga bagi Kristen tidaklah boleh percaya kepada Allah saja sebagai Allah Yang Tunggal, tetapi mesti pula dipercayai bahwa Allah itu pun adalah al-Masih dan al-Masih itu adalah Allah dan Allah serta al-Masih itu adalah Ruhul Qudus. Tidak boleh ketiganya dipecah-pecah. Maka dengan kepercayaan kaum Quraisy atau kepercayaan kaum Nasrani itu teranglah bahwa kekuasaan Allah tidak satu padu lagi pada Zat-Nya sendiri, tetapi telah terpecah dengan yang lain. Maka berkatalah Allah pada sambungan ayat, “Mahasuci Dia", atau Subhanahu, yang berarti menyucikan Allah dan membersihkan-Nya daripada persekutuan. Karena bersekutu, baik dengan nama berteman atau dengan nama beranak, betapa pun susunannya, sekali-kali tidaklah layak bagi pertuhanan-Nya.
Mahasuci Dia! Tidak mungkin Dia berteman, bersekutu atau beranak. Sebab semuanya itu mengurangi keesaan-Nya yang mutlak. Dan dijelaskan sambungan ayat, “Dia kaya! Kepunyaan-Nyalah apa yang ada di semua langit dan apa yang di bumi." Dia kaya! Sebab itu ada tidak memerlukan anak. Seluruh benda, snakyang lebih kecil dari zarrah, yang sebesar zarrah ataupun yang lebih besar dan zarrah, Do sendiri yang empunya dan Dia sendiri yang menguasai. Segala yang bernyawa di semua langit dan bumi adalah hambahamba-Nya belaka. budak-Nya belaka. Allah Yang Maha-fcava tidaklah memerlukan anak. Hanya kita manusia yang memerlukan anak. Banyak hal yang menyebabkan kita rindu sekali mendapat anak.
Pertama, karena ingin nama kita jangan hilang saja. Kita menginginkan keturunan buat menyambung nama kita, karena kita takut akan mati dengan tidak meninggalkan jejak. Sedangkan Allah ada selalu, tidak pernah mati, dan tidak takut nama-Nya akan hilang saja kalau tidak meninggalkan keturunan.
Kedua, orang merindukan banyak anak dan melihat anak itu beranak, bercucu dan berkeluarga besar, untuk menjadi kebanggaan dan perhiasan. Sedangkan Allah telah menciptakan seluruh alam ini sebagai bukti dari kekayaan dan kemegahan-Nya.
Ketiga, orang ingin beranak untuk membantunya pada hari tua. Sedangkan Allah tidak pernah tua dan tidak memerlukan pembantu.
Keempat, betapa pun kekayaan manusia, banyak berlimpah-limpah harta bendanya, kalau anak tidak ada menjadi tidak adalah nikmat pada harta itu. Itu sebabnya maka harta dan keturunan tidak dapat dipisahkan. Sedang Allah kaya raya, sebab semua Dia yang empunya, dan tidak merasa takut tidak berguna harta itu, sebab Dia tidak memerlukan sambutan dari anak-anak. Allah kaya pula Zatnya dan untuk Zat-Nya, selama-lamanya.
Kemudian, firman Allah selanjutnya, “Tidak ada pada kamu sedikit pun alasan tentang ini." Artinya, bahwa kamu yang mendakwakan Allah beranak itu, tidak ada mempunyai dasar pikiran atau alasan yang timbul dari pikiran teratur untuk menegakkan pendapat itu.
Sulthan di ayat ini diartikan alasan, padahal arti asal dari sulthan ialah kekuasaan. Mak-sudnya, kalau seseorang mempunyai pendapat pikiran yang benar, dia kuasa dan sanggup mempertahankannya. Dia mempunyai kekuasaan menegakkan itu. Tetapi, kalau pendirian itu tidak benar, tidak sehat menurut akal, jika datang bantahan yang tegas dengan pikiran sehat, dia akan gugur dan tidak dapat dipertahankan lagi. Sebab itu, kalau kita adakan pertukaran pikiran mendalam, sampai pada zaman kita ini dengan golongan-golongan yang mengatakan Allah beranak itu, akhirnya mereka sampai juga pada tauhid. Dan kalau mereka pertahankan juga pendirian Allah beranak, cara mempertahankannya pun menjadi berputar belit; “menegakkan benarg basah".
Selanjutnya datanglah ujung ayat,
“Apakah akan kamu katakan tentang Allah hal yang tidak kamu ketahui."
Mengatakan sesuatu perkara yang tidak diketahui, atau tidak timbul dari pengetahuan yang masuk akal, adalah satu kebodohan. Maka pertanyaan di ujung ayat ini adalah se-bagai suatu hardikan atas keburukan, jahil, bodoh dan kufur, terutama di dalam saat akal wajib dipergunakan buat menilai sesuatu.
Al-Baidhawi berkata di dalam tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bahwasanya tiap per-kataan yang tidak berdalil beralasan adalah suatu kebodohan, dan suatu kepercayaan tak dapat tidak, mestilah yang tegas dan dapat dipertahankan. Sedang taklid, yaitu turut-tu-rutan saja di dalam soal kepercayaan, tidaklah dapat diterima."
Tentang peringatan atas kebodohan pendirian bahwa Allah beranak ini telah dibicarakan juga di dalam surah al-Baqarah, surah ali-Imran, surah an-Nisaa', surah al-Maa'idah, surah al-An'aam, sesudah itu di dalam surah Yuunus di ayat ini, dan dibantah lagi di dalam surah Maryam dan surah al-Anbiyaa'.
Oleh karena itu, kata ikhlas, tauhid dan Islam, demikian juga fitrah adalah mengandung satu maksud belaka, yaitu menyatukan pikiran kepada Keesaan Allah Yang Mutlak. Kalau sudah terdapat di dalam pikiran sesuatu gejala pikiran bahwa ada lagi yang lain yang berkuasa bersama Allah, di samping Allah, yang dinamai syirik niscaya rusaklah tauhid, ikhlas, Islam dan fitrah itu. Maka berfirman Allah selanjutnya,
Ayat 69
“Katakanlah: Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan sesuatu kedustaan atas nama Allah."
Mengada-adakan, mengarang-ngarangkan, menjadikan suatu khayal pikiran sebagai ke-percayaan, mengarang-ngarang, bahwa Allah itu beranak, anak tunggal atau banyak, anak laki-laki atau perempuan; ataupun mengharamkan barang yang tidak ada nash yang sharih bahwa Allah mengharamkannya, atau menghalalkan barang yang nyata telah diharamkan Allah, atau menambah-nambah sya-ri'at dari apa yang telah tergaris dengan nyata dari Allah, atau menguranginya dan lain sebagainya. Seumpama berbagai macam gerakan tasawuf yang mengatakan kalau kita sudah yakin, kita tidak perlu beribadah lagi, ataupun mewajibkan membaca-baca bacaan sebagai wirid, padahal tidak ada keterangan daripada Al-Qur'an atau hadits; semuanya itu
“Tidaklah mereka akan menang."
Artinya, segala perbuatan mereka mengada-ada itu tidaklah akan berhasil untuk mencapai kemenangan akhirat. Tidaklah amal mereka akan diterima Allah. Khususnya tidaklah apa dan siapa yang mereka katakan bersekutu dengan Allah itu, atau apa yang mereka katakan Anak Allah itu akan dapat menolong mereka dan melepaskan mereka daripada siksaan api neraka di akhirat.
Ayat 70
“Kesenangan sementara di dunia."
Pangkal ayat ini adalah jawaban dari pertanyaan yang mungkin timbul karena orang hanya melihat kenyataan yang lahir saja. Terutama pada zaman ayat ini mulai turun. Orang-orang Quraisy yang mempertahankan kemusyrikan, yang mengatakan, berhala adalah perlambang daripada anak perempuan Allah, atau orang Nasrani mengatakan bahwa al-Masih anak Allah yang tunggal.
Di dalam ayat tersebut ditegaskan, seluruh keyakinan yang mengada-adakan dusta atas nama Allah tidaklah akan beroleh kejayaan atau kemenangan. Padahal dalam ke-nyataannya waktu itu, hidup mereka senang, kekayaan mereka berlimpah-limpah. Karena memang orang yang pikirannya dangkal, hanya melihat kenyataan yang terlihat mata, dan tidak memikirkan kelanjutan. Seumpama di zaman kita ini ada orang yang berkata, “Kalau tidak berani menipu, tidak akan dapat hidup senang. Cobalah lihat si anu, kekayaannya banyak sebab dia berani korupsi. Tetapi si fulan melarat, tidak sedang menyedang, sebab dia terlalu jujur."
Oleh karena itu, datanglah pangkal ayat 70 ini menjawab keraguan itu bahwa itu ialah semata-mata mata'un fid elunya. Kita artikan mata'un itu ialah kesenangan sementara. Oleh sebab itu masanya tidaklah lama, sebab dia hanya semata-mata kesenangan dunia. Kesenangan dunia ini amat terbatas waktunya. Sepanjang-panjangnya hanyalah sekadar di kala manusia itu hidup. Sesudah dia mati, habislah. Atau ketika dia masih muda. Setelah dia tua, habislah. Atau ketika dia masih sehat; setelah dia sakit, habislah."Kemudian itu, kepada Kamilah tempat kembali merekaMati dan pulang kembali kepada Allah. Di kala nyawa telah bercerai dengan badan, segala kesenangan sementara atau mata' tadi pun habislah, tidak ada lagi yang akan dibawa ke akhirat, Segala kebesaran, kemegahan, pang-kat dan kedudukan, pengaruh dan kekuasaan, kekayaan dan kelebihan-kelebihan yang telah menyilaukan mata orang yang terpesona tadi, habislah pada hari itu. Bangkai manusia yang telah tergelimpang, tidak ada artinya lagi kalau dipakaikan kepada pakaian tersalut emas.
“Kemudian itu akan Kami nasakan kepada mereka adzab yang sangat sekali, dari sebab apa yang telah mereka kufurkan itu."
Dapatlah dipahamkan mengapa adzab yang pedih yang akan diderita pada saat kelak kembali kepada Allah itu. Sebabnya ialah karena mengada-adakan sesuatu kedustaan atas nama Allah ialah mendustai jiwa murni sendiri. Mendustai fitrah. Orang yang selalu berusaha menyesuaikan kehendaknya dengan fitrahnya sehingga halus perasaannya dan bersih hati nuraninya, di dunia ini saja pun akan merasai suatu tekanan batin apabila dia telah berdusta. Dia akan disiksa oleh dustanya sendiri. Apabila kita telah mati, artinya berpindah daripada hidup di dunia yang fana kepada hidup yang kekal, atau hidup yang sebenarnya, tentu akan merasai lebih hebat lagi tekanan batin itu. Sebab itu kalau orang kena adzab karena dosanya, sebab dosa itu seluruhnya adalah kedustaan atas diri sendiri, terutama puncak-puncak dari sekalian dosa, yaitu mempersekutukan Allah, maka adzab yang diterimanya itu adalah hal yang wajar. Allah tidak melakukan aniaya kepada hamba-hamba-Nya.
Lantaran itu beranilah kita mengemukakan suatu misal. Misalkanlah seseorang yang terlebih dahulu melemparkan sekalian agama dari dirinya, membuang sekalian kepercayaan. Baik Budha, Kristen, Yahudi, Hindu, Islam dan sekalian ajaran agama yang ada dalam dunia ini. Kemudian dia hendak mencari satu kepercayaan saja, dengan menyaring kembali segala inti sari sekalian agama itu dengan mempergunakan akal murni. Dan dia mencari dengan jujur. Niscaya akhirnya dia akan sampai kepada hakikat dari segala agama itu, yaitu, memang ada yang menjadikan alam
ini dan mengaturnya, dan tidak mungkin dia berbilang. Dia mesti satu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak bersekutu dengan yang lain. Dengan demikian dia menjadi Islam kembali.