Ayat
Terjemahan Per Kata
أَلَآ
ingatlah
إِنَّ
sesungguhnya
أَوۡلِيَآءَ
wali-wali
ٱللَّهِ
Allah
لَا
tidak ada
خَوۡفٌ
khawatir
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
وَلَا
dan tidak
هُمۡ
mereka
يَحۡزَنُونَ
mereka bersedih hati
أَلَآ
ingatlah
إِنَّ
sesungguhnya
أَوۡلِيَآءَ
wali-wali
ٱللَّهِ
Allah
لَا
tidak ada
خَوۡفٌ
khawatir
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
وَلَا
dan tidak
هُمۡ
mereka
يَحۡزَنُونَ
mereka bersedih hati
Terjemahan
Ketahuilah bahwa sesungguhnya (bagi) para wali Allah itu tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih.
Tafsir
(Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati) di akhirat nanti.
Tafsir Surat Yunus: 62-64
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.
Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.
Ayat 62
Allah ﷻ memberitahukan bahwa kekasih-kekasih-Nya adalah mereka yang beriman dan bertakwa, seperti yang ditafsirkan oleh banyak ulama. Dengan demikian, setiap orang yang bertakwa adalah wali (kekasih) Allah. Maka: “tidak ada rasa takut pada mereka.” (Yunus: 62) dalam menghadapi masa mendatangnya, yaitu kengerian-kengerian dan hal-hal yang sangat menakutkan di hari akhirat nanti.
“Dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62) terhadap apa yang ada di belakang mereka di dunia.
Abdullah bin Mas'ud, Ibnu Abbas, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf telah mengatakan bahwa wali-wali Allah adalah orang-orang yang apabila terbersit perasaan riya dalam hati mereka, maka mereka segera ingat kepada Allah. Hal ini telah disebutkan di dalam sebuah hadis marfu', diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar.
Disebutkan: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Harb Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa'id bin Sabiq, telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Abdullah Al-Asy'ari (yaitu Al-Oummi), dari Ja'far bin Abul Mugirah, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pernah seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah wali-wali Allah itu?” Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Yaitu orang-orang yang apabila terbersit rasa riya dalam hatinya, maka segera ia ingat kepada Allah.” Kemudian Imam Al-Bazzar mengatakan bahwa hadis ini telah diriwayatkan dari Said secara mursal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Hisyam Ar-Rifa'i, telah menceritakan kepada kami Abu Fudail, telah menceritakan kepada kami ayahku. dari Imarah ibnul Qa"qa', dari Abu Zur'ah, dari Amr bin Jarir Al-Bajali, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat banyak hamba yang para nabi dan para syuhada merasa iri melihat mereka.” Ketika ditanyakan, "Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah? Mudah-mudahan kami dapat mencintai mereka." Rasulullah ﷺ bersabda: “Mereka adalah suatu kaum yang saling mengasihi karena Allah tanpa ada harta benda dan tanpa nasab (keturunan di antara sesama mereka), wajah mereka bercahaya berada di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya).
Mereka tidak merasa takut di saat manusia dicekam oleh ketakutan, mereka pun tidak bersedih hati di saat manusia bersedih hati. Kemudian Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)
Imam Abu Dawud meriwayatkannya pula melalui hadis Jarir, dari Imarah ibnul Qa'qa dari Abu Zur'ah, dari Amr bin Jarir, dari Umar ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ dengan lafaz yang serupa. Sanad hadis ini pun termasuk jayyid, hanya di dalam sanadnya terdapat inqita' (mata rantai urutan sanad yang terputus) antara Abu Zur'ah dan Umar ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Di dalam hadis Imam Ahmad, dari Abun Nadhr, dari Abdul Hamid bin Bahram, dari Syahr bin Hausyab, dari Abdur Rahman bin Ghanam, dari Abu Malik Al-Asy'ari disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Kelak akan datang dari golongan-golongan manusia dan puak-puak kabilah suatu kaum yang di antara sesama mereka tidak ada hubungan darah (rahim kekerabatan), tetapi mereka saling mengasihi karena Allah dan saling berikhlas diri karena Allah. Kelak di hari kiamat Allah meletakkan mimbar-mimbar dari nur (cahaya) buat mereka, lalu mendudukkan mereka di atasnya. Semua manusia merasa takut, tetapi mereka tidak takut. Mereka adalah wali-wali Allah yang tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Zakwan bin Abu Saleh, dari seorang lelaki, dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ sehubungan dengan makna firman-Nya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.” (Yunus: 64) Nabi ﷺ bersabda menerangkan hal tersebut: “Mimpi yang baik yang dilihat oleh seorang muslim atau mimpi yang baik yang diperlihatkan kepadanya.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abus Saib, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Ata bin Yasar, dari seorang lelaki dari kalangan penduduk Mesir, dari Abu Darda sehubungan dengan makna firman-Nya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.” (Yunus: 64) Bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Abu Darda mengenai makna ayat ini, lalu Abu Darda menjawab, "Sesungguhnya engkau telah menanyakan sesuatu yang belum pernah aku dengar ada seseorang menanyakannya selain seorang lelaki yang pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentangnya.”
Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Hal itu berupa mimpi yang baik yang dilihat oleh seorang muslim atau mimpi baik yang diperlihatkan kepadanya, sebagai berita gembira buatnya dalam kehidupan di dunia, sedangkan berita gembira untuknya dalam kehidupan di akhirat adalah surga.”
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Sufyan, dari Ibnul Munkadir, dari Ata bin Yasar, dari seorang ulama dari kalangan penduduk Mesir, bahwa ia bertanya kepada Abu Darda mengenai makna ayat ini, kemudian disebutkan hadis yang serupa dengan hadis di atas.
Ayat 63
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid, dari Asim bin Bahdalah, dari Abu Saleh yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Darda ditanya mengenai makna ayat ini, yaitu firman-Nya: “Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa, bagi mereka berita gembira.” (Yunus: 63-64) Lalu disebutkan hadis yang serupa dengan hadis di atas.
Ayat 64
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Abu Salamah, dari Ubadah ibnus Samit; ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang makna firman-Nya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.” (Yunus: 64) Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya kamu menanyakan sesuatu kepadaku yang belum pernah ditanyakan dari kalangan umatku atau tiada seorang pun yang menanyakannya sebelum kamu; itu adalah mimpi yang baik yang dilihat seseorang atau diperlihatkan kepadanya.”
Demikian pula Abu Dawud At-Thayalisi meriwayatkannya dari Imran Al-Qaththan, dari Yahya Ibnu Abu Katsir dengan sanad yang sama, juga Al-Auza'i meriwayatkannya dari Yahya Ibnu Abu Kasir, lalu menyebutkan hadis tersebut.
Dan Ali ibnuI-Mubarak meriwayatkannya dari Yahya, dari Abu Salamah yang mengatakan; telah menceritakan kepada kami. dari Ubadah bin Samit; Ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai ayat ini, lalu Ubadah menyebutkan ayatnya.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Abu Hamid Al-Himsi, telah menceritakan kepada kami Yahya Ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Umar bin Amr bin Abdul Akhmusyi, dari Hamid bin Abdullah Al-Muzni, ia mengatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Ubadah ibnus-Samit, lalu berkata, "Ada suatu ayat Al-Qur'an yang akan aku tanyakan kepadamu yaitu firman-Nya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia.” (Yunus: 64); Ubadah ibnus-Samit menjawab, "Tiada seorang pun yang menanyakannya sebelum kamu, aku pernah menanyakannya kepada Nabi dan beliau mengatakan hal yang sama, yaitu: ‘Tiada seorang pun yang menanyakannya sebelum kamu, bahwa berita gembira itu adalah mimpi yang baik yang dilihat oleh seorang hamba mukmin dalam tidurnya atau diperlihatkan kepadanya’.”
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari hadits Musa bin Ubadah, dari Ayyub bin Khalid bin Safwan, dari Ubadah bin Samit; ia pernah berkata kepada Rasulullah ﷺ mengenai firman-Nya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.” (Yunus: 64) Ia mengatakan, "Kami telah mengetahui bahwa berita gembira di akhirat adalah surga, maka apakah yang dimaksud dengan berita gembira di dunia?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Mimpi yang baik yang dilihat oleh seorang hamba atau yang diperlihatkan kepadanya. Mimpi yang baik itu merupakan suatu bagian dari empat puluh empat atau tujuh puluh bagian dari kenabian.”
Imam Ahmad mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Bahz, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Abu Imran, dari Abdullah ibnus Samit, dari Abu Zar, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan seorang lelaki yang melakukan amalnya, lalu mendapat pujian dari manusia dan sanjungan mereka kepadanya atas amalnya itu?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Hal itu adalah berita gembira yang disegerakan untuk orang mukmin.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Hasan (yakni Al-Asy-yab), telah menceritakan kepada kami Ibnu kahi'ah. telah menceritakan kepada kami Daraj dari Abdur Rahman bin Jubair, dari Abdullah bin Amr, dari Rasulullah ﷺ. Disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia.” (Yunus: 64) Lalu beliau ﷺ bersabda: “Mimpi yang baik yang disampaikan kepada seorang mukmin sebagai berita gembira baginya adalah suatu bagian dari empat puluh sembilan bagian dari kenabian. Maka barang siapa yang melihat hal itu dalam mimpinya, hendaklah ia menceritakannya. Dan barang siapa yang melihat selain itu, maka sesungguhnya hal itu hanyalah dari setan dengan maksud untuk membuatnya bersedih hati. Untuk itu hendaklah ia meludah ke arah kirinya sebanyak tiga kali seraya bertakbir, dan janganlah ia menceritakan hal itu kepada seorang pun.” Para ahli hadis lainnya tidak mengetengahkannya.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, bahwa Darij alias Abus Samah pernah menceritakan kepadanya hadis berikut dari Abdur Rahman bin Jubair, dari Abdullah bin Amr, dari Rasulullah ﷺ. Disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia.” (Yunus: 64) Lalu beliau ﷺ bersabda: “Mimpi yang baik yang diperlihatkan kepada orang mukmin sebagai berita gembira untuknya adalah suatu bagian dari empat puluh enam bagian dari kenabian.”
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abu Hatim Al-Mu-addib, telah menceritakan kepada kami Ammar bin Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah. dari Nabi ﷺ sehubungan dengan firman-Nya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.” (Yunus: 64) Lalu beliau ﷺ bersabda: “Di dunia berupa mimpi yang baik yang dilihat oleh seorang hamba atau diperlihatkan kepadanya, sedangkan di akhirat berita gembira itu adalah surga.”
Kemudian Imam Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Abu Kuraib, dari Abu Bakar bin Ayyasy, dari Abu Husain, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa mimpi yang baik adalah berita gembira dari Allah, dan mimpi yang baik itu merupakan salah satu dari kabar gembira. Demikianlah riwayatnya dari jalur ini secara mauquf.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Mimpi yang baik adalah berita gembira yang dilihat oleh orang muslim atau diperlihatkan kepadanya.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Hammad Ad-Daulabi. telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ubaidillah bin Abu Yazid, dari ayahnya, dari Siba' bin Sabit, dari Ummu Kuraiz Al-Kabiyyah, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Kenabian telah tiada, dan yang masih ada adalah berita-berita gembira (mimpi-mimpi yang baik).”
Hal yang sama telah diriwayatkan bersumber dari Ibnu Mas'ud, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, Yahya bin Abu Kasir, Ibrahim An-Nakhai, Ata bin Abu Rabah, dan lain-lainnya, bahwa mereka menafsirkan hal tersebut dengan arti mimpi yang baik.
Menurut pendapat lain, hal itu merupakan berita gembira dari para malaikat buat orang mukmin di saat menjelang ajalnya, yaitu dengan menampakkan surga dan ampunan kepadanya, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih’; dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian. Kamilah Pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Sebagai hidangan (bagi kalian) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 30-32)
Di dalam hadis Al-Barra radhiyallahu ‘anhu disebutkan: “Seorang mukmin itu apabila ajalnya telah habis, maka para malaikat yang berwajah putih datang kepadanya dengan berpakaian serba putih, lalu mereka mengatakan, ‘Keluarlah, hai roh yang baik, untuk menuju kepada ketenteraman dan rezeki serta Tuhan yang tidak murka!’ Maka keluarlah rohnya dari mulutnya, sebagaimana tetesan air keluar mengalir dari mulut wadah minuman.”
Adapun mengenai berita gembira bagi mereka di akhirat, maka hal ini adalah seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya,
“Mereka tidak disusahkan oleh kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat) dan mereka disambut oleh para malaikat. (Para malaikat berkata), ‘Inilah hari kalian yang telah dijanjikan kepada kalian’.” (Al-Anbiya: 103)
“(Yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan sedangkan cahaya mereka bersinar di hadapan dan sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka), ‘Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kalian kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar’.” (Al-Hadid: 12)
Adapun firman Allah ﷻ: “Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah.” (Yunus: 64)
Maksudnya, janji ini tidak akan diubah, tidak akan diingkari, dan tidak akan diganti; bahkan ditetapkan, dikukuhkan, dan pasti akan terjadi. “Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (Yunus: 64)
Pada ayat sebelumnya dijelaskan bahwa apapun yang dikerjakan oleh manusia baik ketaatan maupun kemaksiatan, maka tidak sedikit pun terlewatkan dari pengetahuan Tuhan, lalu pada ayat ini dijelaskan tentang kesudahan orang-orang yang selalu dalam ketaatan. Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, yakni kekasih Allah tidak ada rasa takut, yakni kekhawatiran pada mereka terhadap apa yang akan mereka hadapi di akhirat dan merWali-wali Allah yang disebut pada ayat sebelumnya, yaitu orangorang yang beriman tanpa ada sedikit pun keraguan dan senantiasa bertakwa, yakni selalu mengerjakan amal saleh sehingga mereka terhindar dari azab Allah.
Di ayat ini, Allah mengarahkan perhatian kaum Muslimin agar mereka mempunyai kesadaran penuh, bahwa sesungguhnya wali-wali Allah, tidak akan merasakan kekhawatiran dan gundah hati.
Wali-wali Allah dalam ayat ini ialah orang-orang yang beriman dan bertakwa, sebagai sebutan bagi orang-orang yang membela agama Allah dan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum-Nya di tengah-tengah masyarakat, dan sebagai lawan kata dari orang-orang yang memusuhi agama-Nya, seperti orang-orang musyrik dan orang kafir (lihat tafsir Surah al-Anam/6: 51-55).
Dikatakan tidak ada rasa takut bagi mereka, karena mereka yakin bahwa janji Allah pasti akan datang, dan pertolongan-Nya tentu akan tiba, serta petunjuk-Nya tentu membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan apabila ada bencana menimpa mereka, mereka tetap sabar menghadapi dan mengatasinya dengan penuh ketabahan dan tawakal kepada Allah. (lihat tafsir Surah al-Baqarah/2: 249).
Hati mereka tidak pula gundah, karena mereka telah meyakini dan rela bahwa segala sesuatu yang terjadi di bawah hukum-hukum Allah berada dalam genggaman-Nya. Mereka tidak gundah hati lantaran berpisah dengan dunia, dengan semua kenikmatan yang besar. Mereka tidak takut akan menerima azab Allah di hari pembalasan karena mereka dan seluruh sanubarinya telah dipasrahkan kepada kepentingan agama. Mereka tidak merasa kehilangan sesuatu apapun, karena telah mendapatkan petunjuk yang tak ternilai besarnya (lihat tafsir Surah al-Baqarah/2: 2 dan al-Anfal/8: 29).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 61
“Dan tidaklah engkau berada dalam suatu persoalan."
Yaitu ketika persoalan dan urusan-urusan penting yang senantiasa dihadapi oleh Rasul ﷺ baik berkenaan dengan urusan kemasyarakatan, rumah tangga, pemerintahan, peperangan; yang senantiasa selesai suatu persoalan, datang pula persoalan yang baru, semuanya pasti bertemu oleh Rasul ﷺ dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat. Atau mengadakan dakwah dan seruan kepada manusia yang masih kafir."Dan tidak engkau membaca suatu bacaan dari Al-Qur'an" Yaitu sebagian besar dari persoalan yang engkau hadapi itu, wahai Rasul-Ku, Aku berikan bimbingan untuk mengatasinya dengan Wahyu Al-Qur'an, lalu engkau baca dan engkau perhatikan, ataupun bimbingan Al-Qur'an tentang bacaan yang hendaknya engkau baca di dalam melakukan ibadah kepada Allah."Dan tidak kamu mengerjakan suatu amalan." Dalam susun kata tentang menghadapi persoalan dan membaca Al-Qur'an, khithab panggilan dihadapkan Allah kepada Rasul-Nya. Sebab Rasulullah ﷺ yang menjadi “pusat jala pumpunan ikan", pimpinan dan himpunan segala tanggung jawab. Tetapi setelah Allah menyebutkan tentang amal dan usaha, dihadapkan-Nyalah kepada seluruh umat yang telah memercayai Rasul ﷺ. Sebab itu, dalam suku kata ayat ini mulai disebut kamu, untuk orang banyak. Sudahlah jelas bahwa pusat segala persoalan dan urusan ada di tangan Rasul ﷺ sebab dia pimpinan tertinggi. Dan Al-Qur'an pun mula-mula turun ialah kepada beliau dan beliaulah yang dahulu sekali membacanya, sebelum dia sampaikan dan ajarkan kepada umatnya. Tetapi, perihal amal dan usaha adalah kewajiban daripada tiap-tiap diri umat itu, yang di dalamnya pun termasuk diri beliau sendiri. Maka terhadap seluruh persoalan yang dihadapi Rasul ﷺ, dan tiap-tiap ayat yang beliau baca itu, dan tiap-tiap amalan yang dikerjakan oleh Rasul dan umatnya."Melainkan adalah Kami menjadi saksi atas kamu, seketika kamu tertarik kepadanya." Bagaimana Rasul ﷺ dan umatnya menghadapi persoalan? Dan bagaimana sikap dan sambutan Rasul ﷺ ketika ayat telah turun? Bagaimana caranya umat mengamalkan segala yang telah diberikan petunjuk oleh Allah? Adakah menjadi perhatian? Perhatian kamu kepadanya, perbondongan kamu dan berduyun kamu menyambutnya karena kamu tertarik kepadanya itu benar-benar timbul dari keinsafan? Semuanya itu diketahui oleh Allah dan menjadi perhatian pula dari Allah.
Ayat ini berisi peringatan Allah bahwa tertariknya perhatian masing-masing kita pada seruan agama dan melakukan perintah Ilahi, yang timbul dari semangat dan kesadaran, adalah sambut menyambut dengan perhatian Allah kepada kita. Kita datang berduyun ka-rena tertarik kepada petunjuk Allah, dan Allah menyambut pula kedatangan hamba-hamba-Nya dengan gembira. “Dan tidak ada yang terluput dari Allah engkau." Artinya, tidak ada yang jauh bagi-Nya dan tidak ada yang gaib tersembunyi daripada-Nya."Dari yang seberat zarrah pun."
Kita sudah mafhum arti zarrah, yaitu yang disebut al-Jauhar al-Fard, benda yang tidak dapat dibagi lagi karena sangat halusnya, yaitu atom (a = tidak, torn = terbagi). Ilmu pe-ngetahuan tentang atom telah menjelaskan bahwa zarrah yang diberi nama oleh filsuf Yunani dengan atom itu, tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Sebab atom itu pun terbagi. Sebab itu kalimat zarrah lebih sesuai dipakai terus daripada kalimat atom. Maka zarrah yang sangat halus itu pun tidaklah luput daripada pengetahuan Allah dan tidaklah tersembunyi “Baik di bumi dan tidak pula di langit." Bila direnungkan bunyi suku-suku ayat ini, tampaklah bahwa hasil penyelidikan manusia terhadap zarrah telah mendekati maksud ayat ini, yaitu bahwasanya seluruh wilayah alam ini, bumi dan langit, segala benda (materi) yang ada adalah kumpulan, pertemuan dan perpaduan daripada zarrah-zarrah. Di antara berjuta-juta manusia, turunan demi turunan hanya sedikit sekali, yaitu sarjana-sarjana ulung, terutama di dalam abad kita ini, yang telah menumpahkan minat memerhatikan zarrah atau atom itu. Maka sampailah orang pada kesimpulan betapa dahsyatnya tenaga yang tersimpan di dalam zarrah itu. Bumi, langit, matahari, bulan dan berjuta-juta bintang-bintang semuanya terdiri dari paduan atom atau zarrah yang amat halus tidak terbagi itu. Setelah mereka merenungkan tenaga yang tersimpan dalam atom, sampailah mereka pada keyakinan, tidak mungkin, atau mustahillah bahwa tenaga yang begitu besar di dalam alam, yang menyebabkan alam berkeadaan seperti sekarang ini, berjalan dengan peraturan yang sangat teliti, bahwasanya semuanya itu terjadi secara kebetulan saja. Penyelidikan terakhir, yang telah menimbulkan revolusi terbesar dalam lapangan ilmu pengetahuan alam ini, telah mempertemukan sebagian besar dari sarjana-sarjana itu dengan maksud ayat ini, yaitu bahwa semuanya itu adalah di bawah lingkungan dan peraturan daripada Zat Yang Mahakuasa.
“Dan tidak pula yang lebih kecil dari itu dan tidak yang lebih besar, melainkan semuanya ada di dalam Kitab yang nyata."
Di ujung ayat ini firman Allah, “Tidak ada yang lebih kecil" daripada zarrah itu, telah memperjelas lagi bahwasanya yang lebih kecil daripada atom pun ada. Tadi sudah kita katakan bahwa pendirian kuno yang mengartikan zarrah dengan atom, yang berarti tidak terbagi, yang disebut dalam bahasa Arab “al-Jauhar al-Fard" sekarang telah berubah. Arti atom untuk “Atom" sudah tidak tepat; atom terbagi kepada neutron, proton, elektron dan sebagainya. Satu yang dinamai atom itu terdiri dari inti dan satelit atau pengiring. Ahli-ahli mengatakan bahwa perjalanan zarrah yang sangat halus itu, dengan inti dan satelitnya, persis sama dengan matahari sebagai inti dengan bintang-bintang dan satelitnya pula. Sedang matahari itu terdiri dari berjuta matahari pula, yang mempunyai satelit sendiri-sendiri. Kekeluargaan satu matahari diberi nama oleh ahli penyelidikan dengan galaksi. Maka setelah dikaji sejak zarrah yang paling kecil, sampai pada kekeluargaan matahari dalam angkasa-raya yang besar ini, jelaslah sesuai dengan ujung ayat ini, yaitu ada alam yang lebih kecil daripada zarrah tadi. Sedangkan zarrah itu sendiri hanya didapat dengan ilmu hitung tertinggi (wiyskunde/matematika), apatah lagi yang kecilnya di bawah dari zarrah itu.
Untuk memudahkan kita memikirkan, ingatlah pada perhitungan ilmu aljabar. Kita misalkan zarrah kecil itu dengan angka satu. Apabila kita hitung secara menuju ke atas dan meningkat (positif) menjadilah dia alam maharaya. Dan apabila kita menghitung pada
pecahan yang satu sebagai pusat hitungan itu, sampai dan menghitung kita telah mengada-kan yang tidak ada, padahal dia memang ada dalam pikiran, kita menurun ke bawah (negatif). Maka adalah anak-anak pelajar yang mendapat angka 8 dan 9 dalam ilmu aljabar, dan kelak akan naiklah perhitungannya sampai ke puncak tertinggi, sebagai yang telah dicapai oleh Einstein, jelaslah oleh kita bahwasanya bukan menghitung yang besar-besar dan alam raya cakrawala saja yang patut disebut sarjana, bahkan menghitung zarrah dan yang di bawah zarrah itu pun lebih sarjana lagi. Maka di ujung ayat ini si sarjana bertemu dengan ilmu. Padahal aljabar memanglah suatu ilmu pasti. Kalau bukan karena kepastiannya bukanlah dia bernama ilmu. Baru orang berani menamainya ilmu ialah karena terbukti bahwa dia pasti, meskipun kelak penyelidikan selanjutnya akan menambah lagi pengetahuan baru tentang rahasia yang baru diperoleh. Ujung ayat ini ditegaskan oleh Allah bahwa semuanya itu adalah dalam kitab yang nyata. Dan kenyataan itu baru didapat setelah diselidiki.
Tidak ada jalan lain lagi. Ayat ini dengan sendirinya telah menuntun kita kepada iman atas adanya Allah. Ilmu yang begitu luas tentang alam, hanya didapat manusia-manusia sekadar kekuatan otak dan penyelidikannya. Masing-masing manusia sarjana mendapatnya sebagian kecil. Bertambah ilmu dikhususkan, dispesialisasikan, bertambah mengerut dia menjadi kecil, sedang bagian yang tidak diketahui sejuta kali lebih banyak dari yang telah diketahui. Sehingga kita berani mengatakan bahwa sarjana sejatilah yang bisa insaf bahwa hanya sedikit yang dapat diketahuinya. Umur kita tidak cukup buat mengetahui semuanya. Maka terbentanglah di hadapan kita lapangan yang masih amat luas, mahaluas buat percaya akan sifat Allah yang disebut Alim bahkan Allah itu pun disebut ilmun. Sifat Ma'ani-Nya ialah ilmun, dan sifat Maknawiyah-Nya ialah alim.
Ayat ini pun menambah teguh kepercayaan kita bahwa Al-Qur'an memang wahyu Ilahi, bukan semata karangan Muhammad ﷺ. Di dalam masyarakat Arab seketika ayat ini di-turunkan, malahan di dalam masyarakat dunia pada waktu itu, belumlah semaju sekarang pengetahuan manusia tentang alam, baik alam raya ataupun alam zarrah (macrocos-mos dan microcosmos), Pada masa itu belum ada mikroskop untuk menyelidiki hama, kuman, miang yang sangat kecil. Belum pula ada teleskop, peneropong bintang-bintang, ilmu hitung tertinggi sebagai aljabar beratus tahun setelah Rasulullah ﷺ wafat, disusun Jabir sehingga nama aljabar itu dibangsakan kepadanya. Sebab itu berani kita mengatakan bahwa penafsiran ayat 61 dari surah Yuunus ini dan ayat-ayat lain yang menyerupainya, barulah dapat ditafsirkan lebih jelas dalam abad kesembilanbelas setelah Erlioh, Pasteur, dan lain-lain. Setelah itu barulah kemajuan dalam penyelidikan kuman-kuman, dan lebih jelas lagi di abad keduapuluh ini, setelah lebih maju penyelidikan tentang atom. Sebab itu abad kita ini dinamai orang Abad Atom.
***
• Ketahuilah! Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka berduka cita.
• (Yaitu) orang-orang yang beriman dan adalah mereka orang-orang yang bertakwa.
• Untuk merekalah kegembiraan pada kehidup-dupan dunia dan akhirat. Tidak ada penggantian bagi perjanjian-perjanjian Allah. Yang demikian itulah kejayaan yang besar.
Pada ayat 58 telah dianjurkan agar merasa gembira, bersuka cita, dan hati terbuka, sebab Allah telah memberikan karunia dan rahmat. Di dalam ayat 60 telah diulang lagi supaya memenuhi hidup dengan syukur. Di ayat 61 yang baru lalu diterangkan pula, bahwa bukan saja urusan yang besar-besar yang meliputi langit dan bumi di dalam Ilmu Allah Ta'aala, bahkan sampai kepada yang halus-halus dan tersembunyi pun di bawah pengetahuan Allah dan diatur sempurna oleh Allah. Lantaran itu semuanya, hendaklah kita makrifat dengan Allah. Bila melihat kepada kebesaran kuasa Allah atas alam, timbullah kepercayaan bahwa Allah itu Ada. Namun, semata-mata kepercayaan saja tidak cukup, melainkan hendaklah diikuti dengan ibadah, takwa dan amal saleh. Hendaklah kita melatih diri menjadi Wali dari Allah, artinya menjadi orang yang Qarib, yang dekat kepada Allah. Kalau jiwa kita tidak dilatih menjadi wali Allah tidaklah kita akan merasai kegembiraan hidup ber-Allah sebagaimana yang disebut pada ayat 58 di atas tadi. Inilah yang diperjelas lagi dengan ayat 62 selanjutnya,
Ayat 62
“Ketahuilah! Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita."
Ayat ini telah dipangkali dengan Alaa yang berarti Ketahuilah! Yaitu sebagai peringatan dan untuk menghilangkan kebimbangan. Tegasnya jangan bimbang lagi, teruskanlah usa-hamu mencapai derajat menjadi wali Allah.
Telah banyak kita berbicara tentang wali sejak juz yang pertama surah al-Baqarah dan surah-surah yang lain yang telah kita tafsirkan terlebih dahulu. Di dalam surah al-Baqarah ayat 257 (Juz 3) telah ditegaskan bahwa wali dari orang yang beriman ialah Allah. Setelah kita pergabungkan di antara ayat 257 surah al-Baqarah itu dengan ayat 62 dari surah Yuunus yang tengah kita tafsirkan ini, sudah terang sangat bahwa Allah menjadi wali dari orang yangberiman, dan orangyang beriman menjadi wali dari Allah. Kemudian itu, telah kita temui pula di dalam surah al-Anfaal ayat 72 (Juz 10), orang-orang yang beriman dan berhijrah dan berjihad pada jalan Allah dengan harta benda dan jiwa raga, maka masing-masing menjadi wali satu dengan yang lain. Malahan di dalam surah at-Taubah ayat 71 (Juz 10 juga), telah kita temui bahwa orang laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman, masing-masingnya pun menjadi wali dari yang lain. Dan dikatakan pula bahwa orang kafir walinya ialah setan.
Oleh karena itu, sepatutnya kita kaji lagi makna kata wali dan segala cabang pecahannya.
Setelah kita lihat dalam Al-Qur'an, Allah itu pun disebut Maula (surah al-Anfaal ayat 40) dan lain-lain. Tetapi, seorang hamba sahaya yang telah dimerdekakan tuannya, lalu diberi hak membangsakan diri kepada tuan yang memerdekakannya itu, sebab tidak ada lagi yang lain yang dapat memeliharanya, diberi juga sebutan Maula, (surah al-Ahzaab ayat 5, Juz 21). Dari semua ayat itu dapat kita lihat bahwa Allah disebut Wali, orang Mukmin disebut wali, seorang orang dewasa yang diberi tugas melindungi dan memelihara anak kecil yang masih yatim, disebut juga wali, demikian juga orang dungu atau lemah yang tidak mengerti mengurus harta bendanya sendiri, lalu dipelihara keluarga yang dewasa, maka keluarga dewasa itu disebut juga wali. (al-Baqarah ayat 282, Juz 3).
Penguasa pemerintahan yang diberi tanggung jawab oleh kepala negara untuk mengurus suatu daerah, seumpama Mu'awiyah memerintah di Syam dan Amr bin al-Ash me
merintah di Mesir, yang diangkat Khalifah Umar bin Khaththab, disebut juga wali. Ayah atau mahram yang berkuasa menikahkan perempuan disebut juga wali. Dan ini pun terpakai di dalam susunan kenegaraan di Indonesia pada masa lampau. Pada zaman Hindia Belanda Gubernur Jenderal disebut Wali Negeri, dari kata-kata Landvoogd. Di zaman Federal, Kepala-kepala Negara Bahagian yang dibentuk oleh Van Mook disebut Wali Negara. (Dr. Mansur, Wali Negara Sumatera Timur, Abdulmalik Wali Negara Sumatera Selatan, dan lain-lain). Tetapi, pada Zaman Revolusi itu juga, di Sumatera Barat, Kepala Negeri ditukar sebutannya menjadi Wali Negeri.
Lantaran itu, dapatlah kita mengambil kesimpulan makna yang luas sekali dari kalimat wali ini. Terutama sekali artinya ialah hubungan yang amat dekat (karib), baik karena pertalian darah keturunan, atau karena persamaan pendirian, atau karena kedudukan, atau karena kekuasaan atau karena persahabatan yang karib. Allah adalah Wali dari seluruh hamba-Nya dan makhluk-Nya, sebab Dia Kuasa Mahatinggi. Dan kuasa-Nya itu adalah langsung. Si makhluk tadi pun wajib berusaha agar dia pun menjadi wali dari Allah. Kalau Allah sudah nyata tegas dekat atau karib kepadanya, dia pun hendaklah taqarrub, artinya mendekati pula kepada Allah. Timbullah hubungan perwalian yang timbal balik. Segala usaha memperkuat iman, memperteguh takwa, menegakkan ibadah kepada Allah menurut garis-garis yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya, semuanya itu adalah usaha dan ikhtiar mengangkat diri menjadi wali Allah. Segala amal saleh, sebagai akibat dari iman, adalah rangka usaha mengangkat diri menjadi wali.
Orang yang musyrik mempersekutukan yang lain dengan Allah, wali mereka ialah setan, dan mereka pun adalah wali setan. Wali orang yang beriman hanya satu, yaitu Allah. Untuk mencapai tempat menjadi wali Allah itu hendaklah tegas tujuan kepada Dia saja, tiada berserikat dengan yang selain Dia. Satu ingatan, satu tujuan, tak bercabang sedikit pun pada yang lain. Ikhlas ibadah kepada-Nya, tawakal, menyerah bulat-bulat kepada-Nya. Menumpahkan segenap cinta hanya kepada Dia saja. Tidak ada wali yang lain, tidak ada syaff yang lain, tidak ada perantaraan. Dan sekalian orang yang beriman itu bersatu padu di bawah pimpinan Rasul menempuh satu jalan, dan tidak bersimpang dan tidak menyimpang. Segala sistem atau cara-cara yang dijalankan, tidak berubah dari apa yang ditentukan oleh Rasul ﷺ. Mereka menjadi tergabung satu dalam barisan Nabi Muhammad ﷺ. Oleh sebab mereka bukan seorang melainkan banyak, lebih dari berdua, maka di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini disebut aulia Allah, wali-wali dari Allah.
Niscaya derajat aulia Allah itu bertingkat-tingkat pula. Niscaya yang memberi pengakuan bahwa mereka adalah wali, ialah Allah sendiri, bukan manusia. Oleh sebab itu jelaslah bahwa Allah menjadi Wali dari mereka, yang di sini dapat diartikan pelindung dan pembela. Dan mereka pun menjadi wali dari Allah yang di sini berarti orang-orang yang telah mendapat jaminan lindungan dari Allah.
Maka di dalam ayat ini ditegaskan kekuatan mereka, yaitu bahwa mereka tidak ada mempunyai rasa takut dan tidak akan berduka cita dan bersedih hati.
Inilah keistimewaan jiwa yang akan dianugerahkan Allah kepada aulia-Nya itu, dan anugerah yang amat utama untuk hidup di dunia dan akhirat kelak. Hilang rasa takut menghadapi segala ancaman hidup, segala rintangan dan hambatan kesesatan dan keseng-saraan. Dan tidak pula akan berduka cita kelak kemudian hari, yaitu di akhirat. Rasa takut timbul karena menghadapi suatu bahaya. Duka cita timbul karena mengenangkan suatu maksud yang tidak tercapai atau kehilangan yang dicintai. Orang yang hatinya telah bulat
kepada Allah, tidak ada lagi tempat dia takut. Tidak ada di dalam alam ini sesuatu yang pantas buat ditakuti. Tidak ada yang dapat berkicuh berdaya, membawa mudharat atau kesusahan di sini, sebab alam tidak memberi bekas. Yang paling ditakuti orang ialah maut. Orang yang takut menghadapi maut ialah karena dia tidak tahu akan hakikat maut. Aulia Allah menghadapi maut dengan senyum. Sebab dengan maut dia telah dapat melampaui batas yang selama ini menghambatnya akan Liqcta' yaitu bertemu dengan Allah. Bagaimana dia akan takut kepada maut, padahal selama ini dia telah berlatih untuk menghadapi yang: ba'dal maut: sesudah mati?
Orang yang ditimpa duka cita dan kesedihan hati, ialah orang yang hatinya lekat pada nikmat dan lupa kepada yang memberikan nikmat. Bagaimana seorang wali Allah akan duka cita, padahal segala yang didatangkan Allah kepadanya, baik senang maupun susah, dengan makrifatnya diketahuinya bahwa semuanya itu adalah nikmat?
Bagaimana dia akan berduka cita jika suatu percobaan menimpa dirinya, padahal di dalam pengalaman hidup, sesudah suatu percobaan dilampaui, ternyata bahwa percobaan itu ialah memperkaya jiwa dan kewaliannya?
Ayat selanjutnya menjelaskan siapa waliyullah itu.
Ayat 63
“(Yaitu) orang-orang yang beriman."
Inilah pokok pertama dan utama atau anak tangga pertama di dalam menuju martabat menjadi wali. Yaitu iman, kepercayaan. Percaya bahwa Allah itu ada. Rukun iman yang enam perkara mudah menghafalnya, tetapi seluruh tenaga wajib dikerahkan untuk me-laksanakannya. Rukun iman enam perkara, keenamnya diresapkan benar-benar ke dalam jiwa. Percaya kepada adanya Allah. Allah yang tunggal tiada bersekutu, bersih ikhlas dan bebas dari pengaruh yang lain. Diiringi dengan kepercayaan kepada malaikat, diiringi dengan kepercayaan kepada kitab-kitab yang diwahyukan Allah, percaya kepada rasul-ra-sul dan percaya kepada adanya hari Akhirat, Kepercayaan yang lima itu kadang-kadang disimpulkan kepada dua saja, sebab yang dua itulah yang menghendaki penyerahan diri betul-betul. Yaitu percaya kepada Allah dan hari Akhirat, Sebab percaya kepada Malaikat dan kitab-kitab dan rasul-rasul, akan tumbuh dengan sendirinya apabila telah percaya ke-pada Allah. Maka kepercayaan yang lima, dan kalau disimpul menjadi dua ini, digarami dan diikat dengan kepercayaan keenam, yaitu bahwa datangnya sesuatu yang menimpa diri, baik ataupun buruk, senang ataupun susah, adalah semata-mata dari Allah, bukan dari kekuasaan yang lain.
Kemudian menyusullah lanjutan yang pasti dari iman,
“Dan adalah mereka orang-orang yang bertakwa."
Yaitu bahwa iman itu hendaklah dijadikan kenyataan dan dipelihara terus, yaitu dengan melakukan takwa.
Sudah banyak kita ketahui pada penafsiran-penafsiran yang telah lalu tentang arti takwa. Asal kata dari wiqayah, yang berarti pemeliharaan. Maka terhadap Allah itu bukan semata-mata hanya percaya bahwa Dia ada, melainkan hendaklah diadakan hubungan de-ngan Dia. Kita sudah tahu bahwa dalam diri kita ini bukanlah semata-mata akal yang ada. Banyak orang yang merasa akalnya atau inteleknya mengaku bahwa Allah itu ada, tetapi dia tidak berusaha mengadakan hubungan dengan Allah dan tidak pula memelihara hu-bungan itu, sebab itu maka pengetahuannya akan adanya Allah, tidaklah menimbulkan makrifat. Kata ahli kejiwaan Islam, “Dia alim, tetapi tidak arif."
Ibarat kepada Allah dan amal yang saleh, keduanya itu adalah sebagai pelancaran dari takwa dan hasilnya ialah ridha dan tawakal. Dan di dalam takwa itu timbul pula khauf, yaitu takut. Takut kalau-kalau diri sia-sia dan umur terbuang percuma dan habis tidak menentu sehingga nilai diri tidak ada. Oleh sebab itu dalam takwa, rasa takut sebagai naluri diri telah tersalur dalam jalan yang wajar sehingga takut yang ditakuti tidak ada lagi. Di samping khauf yang demikian timbullah timbalannya, yaitu rajaa, yang berarti pengharapan. Alangkah buntunya jalan hidup kalau tidak ada pengharapan.
Seluruh sunnah Rasulullah ﷺ adalah tuntunan dalam pelaksanaan iman dan takwa buat mencapai menjadi waliyullah ini, yang jamaknya menjadi aulia'ullah. Supaya jangan sepi sendiri-sendiri, supaya beramai-ramai dari wali menjadi aulia, disuruh shalat yang berjamaah dan disuruh berpuasa bersama-sama dalam satu bulan, disuruh yang kaya memberikan zakat dan sedekah kepada fakir miskin. Dan disuruh naik haji pada bulan yang sama kepada tempat yang sama.
Selain dari bebas dari rasa takut dan rasa sedih dan duka cita itu ditegaskan lagi oleh Allah dengan ayat selanjutnya,
Ayat 64
“Untuk merekalah kegembiraan pada kehidupan dunia dan akhirat"
Kalau iman dan takwa telah menjadi perjalanan hidup, atau apa yang disebut way of life, karena melalui berbagai latihan yang ditentukan Rasul ﷺ itu, bukan saja rasa takut dan duka cita menjadi hilang, bahkan berganti dengan kegembiraan menghadapi hidup di du-nia dan kegembiraan terus-menerus sampai ke akhirat.
Hidup janganlah murung dan janganlah duka cita, jangan cemas menghadapi kesulitan. Ketakutan, duka cita, cemas dan murung, kalau tidak dijaga oleh takwa, adalah penyakit yang akan menghambat kemajuan langkah. Sehabis takut dan duka cita, jiwa menjadi gembira, muka jadi bersinar dan tampak jalan yang akan ditempuh. Kita tidak pernah merasa sepi, sebab kita yakin bahwa kita hidup tidak sendirian. Malaikat-malaikat menemani kita dan Allah menemani kita, Dia dekat kepada kita lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Dan kita tidak menghitung lagi berapa panjangnya umur, Karena umur bukanlah ukuran tahun, melainkan nilai pelaksanaan. Kegembiraan datang karena kemenangan; kemenangan di dalam mengatasi diri sendiri dan menghadapi serta mengatasi suatu kesulitan. Gembira di dunia karena ada pendirian, dan orang yang berpendirian itulah yang akan mencapai apa yang dicita-citakannya. Dia menjadi khalifah di bumi. Kegembiraan pula menghadapi hari depan, hari akhirat. Pada surah Fushshilat ayat 30, kegembiraan menghadapi hari depan itu dilebih-tegaskan lagi oleh Allah. Yaitu ba-rangsiapa yang berkata bahwa “Kami ini beriman kepada Allah", lalu dia istiqamah dengan pengakuan itu, yaitu tetap lurus tiada berkisar, tidak berombang-ambing, jalan terus dan teguh, selangkah demi selangkah, maka Malaikat akan turun dan mengatakan ke-pada mereka supaya mereka jangan merasa takut dan jangan berduka cita, dan agar ber-gembira bersuka cita, karena surga yang telah dijanjikan buat mereka telah menunggu. Dan Malaikat berkata selanjutnya bahwa mereka sendirilah yang akan menjadi aulia bagi mereka di dunia dan di akhirat (ayat 31). Sehingga ayat ini menambah tafsir lagi, bah-wasanya orang Mukmin yang telah menjadi aulia'ullah itu, selain dari Allah yang menjadi wali mereka, Malaikat pun menyediakan diri pula menjadi aulia mereka, yaitu yang disuruh Allah menjamin dan melindungi.
Di lanjutan ayat, Allah menegaskan lagi, “Tidak ada penggantian bagi perjanjian-per-janjian Allah." Lanjutan ayat ini adalah kunci dari janji-janji yang telah diterangkan Allah sejak ayat 62 itu. Sehingga dapatlah kita berpikir menurut mantiq (Logika), bahwa janji ini tidak akan diubah Allah, suatu janji yang pasti. Kerjakanlah dan tempuhlah jalan ini. Allah telah memberikan kepastian bahwa maksud itu pasti tercapai. Dengan iman dan takwa, takut dan duka cita hilang, berganti dengan kegembiraan dan kamu menjadi wali Allah. Di dunia mendapat nur dari kehidupan dan di akhirat mendapat surga, malaikat selalu mengawal atas kehendak Allah. Maka kalau Allah telah berfirman bahwa apa yang telah dijanjikan oleh Allah itu pasti bertemu, dan sekali-kali tidak akan diganti Allah janji-Nya itu dengan yang lain, mengapa kita akan menempuh juga jalan yang lain?
Suatu ayat Al-Qur'an kerapkali ditafsirkan oleh ayat yang lain. Di dalam surah al-'Ashr disebutkan bahwa seluruh kehidupan manusia itu adalah rugi semata-mata. Barulah ke-rugian dapat dielakkan apabila kita menanam iman dan berbuat amal saleh dan ber-wasiat-wasiatan dengan kebenaran (al~Haq) dan dengan sabar. Di dalam surah at-Tiin di-terangkan pula bahwa hidup manusia itu bisa luntur, hancur dan jatuh ke bawah kuruk yang paling rendah, kecuali dengan iman dan amal saleh. Dan ayat-ayat yang lain pun berkata demikian. Maka dengan ayat ini kita diberi tuntutan yang jelas di dalam menempuh hidup yang lebih tinggi, menjadi Aulia Allah. Lalu di ujung ayat, Allah memberikan ketegasan lagi.
“Yang demikian itulah kejayaan yang besar."
Kejayaan disebut juga kemenangan dan disebut juga kebahagiaan.
Apabila sekali-sekali kita masuk ke dalam alam filsafat, maka di dalam ilmu etika dibicarakan orang dengan panjang lebar tujuan hidup untuk mencapai bahagia. Di dalam masalah-masalah ilmu akhlak ini, panjang lebarlah menjadi pembicaraan para filsuf ten-tang bahagia, atau dalam bahasa Arab yang disebut as-sa'ad, dalam filsafat disebut he-donisme. Menurut Socrates puncak bahagia ialah apabila kita telah mencapai makrifat. Yaitu kenal diri dan kenal Allah! Filsafat Socrates ini bertemu dengan ujung renungan ahli-ahli tasawuf: Sekarang kita bertemu dengan tuntunan dari wahyu yang memberikan keterangan lebih jelas tentang mencapai bahagia. Hilang rasa takut dan bimbang, hilang rasa duka cita dan kecewa, hidup mempunyai harapan akan hari kini dan hari depan. Dan bertemulah kita di dalam ayat ini bahwasanya puncak bahagia ialah menjadi wali Allah! Ujung ayat memberikan tuntunan yang tegas, bahwa itulah kebahagiaan atau kejayaan sejati. Di ujung ayat ditegaskan bahwa apa yang telah dijanjikan Allah itu pasti jadi, tidak akan bertukar lagi.
Supaya jangan salah paham, haruslah kita ingat bahwasanya rasa takut dan duka cita adalah termasuk naluri atau insting dalam diri manusia. Tidak ada manusia yang tidak takut menghadapi bahaya dan tidak ada yang tidak bersedih hati karena ditimpa hal-hal yang menyebabkan sedih. Sedangkan Nabi Muhammad ﷺ sendiri menamai tahun ke-matian istrinya yang dicintainya Khadijah dan paman yang dihormatinya Abu Thalib, dengan Tahun Kesedihan. Sedangkan pada waktu putra beliau Ibrahim wafat, beliau akui terus terang bahwa hatinya sedih atas kematian itu. Dan pada waktu sahabatnya Ja'far bin Abi Thalib syahid di peperangan Yarmuk, disuruhnya sahabat-sahabatnya yang lain mengantarkan makanan ke rumah keluarga ja'far, karena kata beliau, “Mereka itu sedang bersedih hati." Maka, karena rasa takut dan duka cita itu tumbuh saja dengan sendirinya di dalam jiwa manusia bila datang hal yang menyebabkan takut dan duka cita; diberilah Mukmin alat supaya dia dapat mengatasi ketakutan dan kesedihan itu. Disuruh Mukmin membangun suatu tujuan kehidupan yang besar, taqarrub Ilallaah, mendekati Allah dan menjadi wali-Nya. Kemudian, dipesankan di dalam surah al-'Ankabuut, bahwa manusia tidaklah akan dibiarkan saja mengakui beriman, padahal mereka tidak diberi percobaan.
Tidaklah hidup akan terlepas dari berbagai macam cobaan, yang menakutkan dan me-nyedihkan. Bertambah tinggi martabat dalam iman dan takwa, bertambah pula hebat badai percobaan yang menyentuh. Tidak ada seorang Rasul atau seorang Nabi yang tidak disentuh angin badai percobaan yang hebat itu. Tetapi karena mereka telah mempersenjatai jiwa dengan tujuan yang tegas, yaitu menjadi wali Allah, keballah jiwa mereka dari gangguan yang menakutkan dan menyedihkan itu. Dan kita orang darai3 ini pun disuruh mempersenjatai jiwa, membangun benteng jiwa yang bernama cita jadi wali Allah itu dalam dada kita.
Apabila telah diakui oleh Allah menjadi wali-Nya, pada saat yang sulit selalu Dia men-datangkan pertolongan-Nya, Kadang-kadang perhitungan kita sebagai manusia tidak habis heran dari mana dan sebab apa pertolongan itu datang. Di dalam beberapa hadlts yang marfu' bertemu keterangan-keterangan yang diambil menjadi tafsir ayat ini oleh sebahagian besar ahli-ahli tafsir. Menurut riwayat dari sahabat-sahabat Nabi ﷺ, Abu Hurairah dan Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, dan diriwayatkan tabi'in, yaitu Mujahid, Urwah bin Zubair, Yahya bin Abi Kutsir, Ibrahim an-Nakha'i dan Atha' bin Abi Rabah, bahwa setengah dari kabar gembira yang disampaikan kepada aulia Allah itu ialah “ar-ru'yatush shalihah", artinya mimpi yang baik.
Hadits-hadits dan riwayat dari sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ dan tabi'in itu, sampai menyebutkan bahwa setengah dari kabar gembira yang disampaikan Allah itu ialah mimpi yang baik. Dan tersebut lagi dalam lain hadits bahwa mimpi yang baik itu adalah satu cabang dari berbagai cabang nubuw-wat. Ibnu Khaldun di dalam Muqaddimah-nya mengatakan bahwasanya orang yang telah
Orang darai artinya orang kebanyakan, laksana pasir berderai.
mengadakan latihan jiwa itu, memang bisa diberi Allah kasyaf, artinya, dibukakan dinding yang membatas di antara dirinya yang hidup dalam alam syahadah dengan kehidupan alam ruhaniah yang lebih tinggi. Karena kalau ruh telah dilatih sehingga mencapai kekuatannya, maka lemahlah pengaruh tanggapan yang lahir dan menjadi lebih kuat nalar ruhnya. Sehingga bertemulah dia dengan pemberian-pemberian ketuhanan (al-mawahibur rabbaniyah) dan bertambah dekat (qurb) dirinya ke jihad atas, sampai berdekat dengan maqam malaikat, sehingga lebih banyak dia mendapat tahu dari ruh yang tidak berlatih. Demikian Ibnu Khaldun.
Al-Imam Ibnul Qayyim menulis juga soal ini dalam kitabnya, Madarijus Salikin.
Dengan ayat-ayat yang tengah kita tafsirkan ini bertemulah kita dengan sumber asli dari apa yang dimaksud Allah dengan kalimat wali dan aulia. Mengertilah kita bahwasanya apabila iman telah tumbuh dalam jiwa kita, hendaklah jiwa itu dilatih terus dalam takwa. Apabila latihan ini telah dijalani, dengan memperbanyak ibadah, amal saleh dan dzikir se-hingga hati dapat mencapai thuma'ninah (surah ar-Ra'd, ayat 28), dan istiqamah (surah Fushshilat ayat 30 dan 31), dan tabah menghadapi cobaan (surah al-Ankabuut ayat 2), kita semua bisa jadi wali, dan bersama-sama bisa menjadi aulia. Kata-kata bisa jadi wali dan aulia itu pun masih kurang kuat, bahkan dianjurkan agar kita semua berusaha mencapai tempat menjadi wali Allah. Karena kalau kita tidak menjadi wali Allah, niscaya kita akan terperosok jadi wali setan. Pintu wilayah terbuka bagi semua!
MAKNA WALI BERUBAH
Itulah yang dimaksudkan dengan wali atau aulia dalam Al-Qur'an. Yaitu orang-orang yang beriman, beramal saleh dan bertakwa, yang terus melatih diri dalam ibadah. Apabila kita pergi ke hulu pangkal agama, yaitu Al-Qur'an, kita pun mendapat keterangan yang sejelas ini. Dan ini pun pegangan dari sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ dan ulama-ulama salaf. Tetapi kemudian, setelah di sekitar kurun-kurun ketiga Hijriyah, setelah timbul berbagai macam gerakan tasawuf, timbullah arti yang lain dari kalimat wali itu, yang sudah sangat jauh menyimpang daripada maksudnya yang pertama, yang jelas nyata dalam ayat Al-Qur'an tadi. Dikatakanlah bahwasanya yang disebut waliyullah ialah manusia-manusia istimewa yang sangat tinggi derajatnya, dan berkuasa atas seluruh alam ini, bisa menahan jalan matahari, bisa dengan isyaratnya saja menahan air sungai mengalir, bisa pula tiap hari Jum'at shalat fum'at di Masjidil Haram dan thawaf keliling Ka'bah, walaupun tempat tinggalnya di Pulau Jawa dan Sumatera misalnya.
Tersebutlah dalam kitab Manaqib Sayyid Abdul Qadir Jailani, bahwa pada suatu hari ada seorang yang sangat fasik meninggal dunia. Selama hidupnya tidaklah orang ini me-ngerjakan agama, dan tidaklah dia mengerti segala kewajiban beragama, yang diketahui-nya hanya satu saja, yaitu bahwa Sayyid Abdul Qadir Jailani ialah wali quthub yang paling besar. Kalau Muhammad ﷺ disebut khata-mul anbiya, maka Sayyid ini adalah khatamul aulia. Lain dari itu tidak ada pengetahuannya. Dia pun meninggal lalu dimasukkan ke dalam kubur, maka datanglah malaikat Munkar dan Nakir menanyakan hal-hal yang akan ditanyakan setelah manusia masuk ke dalam alam kubur. Ditanyai siapa Allah engkau, dijawabnya, “Abdul Qadir." Ditanyai pula siapa nabi engkau, dia menjawab, “Abdul Qadir." Ditanyai pula siapa-siapa imam engkau, dia pun menjawab, “Abdul Qadir." Ditanyai pula apa agama engkau, dia pun menjawab, “Abdul Qadir." Pendeknya segala pertanyaan dijawabnya, “Abdul Qadir." Maka bingunglah kedua malaikat itu, lalu keduanya melaporkan kepada Allah, akan di-apakan orang ini. Maka berfirmanlah Allah,
“Surgalah tempat orang itu, sebab dia telah mencintai wali-Ku." Dan banyak lagi cerita lain dalam Manaqib itu, yang untuk menerima kebenarannya, hendaklah terlebih dahulu kita membongkar kepercayaan kita kepada wahyu Allah sendiri di dalam Al-Qur'an dan sabda dari Nabi saw, kita di dalam hadits-hadits. Dan hendaklah terlebih dahulu dibekukan ayat 49 di atas tadi, yaitu bahwa Nabi saw, sendiri mengakui bahwa beliau tidak menguasai manfaat dan mudharat untuk dirinya.
Di dalam kitab Manaqib Syekh Samman di Madinah disebut pula bahwa kalau kapal hen-dak karam, panggilan “Ya Samman!" niscaya akan selamat daripada tenggelam.
Cerita-cerita wali semacam ini pun sangat banyak tersebar di Indonesia. Menurut orang Aceh, Syekh Abdurrauf al-Fanshuri merupakan waliyullah yang sangat besar. Ketika dia berhadapan dengan gurunya Syekh Muhammad al-Qusyasyi di negeri Madinah al-Munawwarah, telah bertandinglah para wali memperlihatkan keramatnya masing-masing. Maka tersebutlah bahwa ketika gurunya menanyakan apakah buah-buahan yang paling ganjil di Jawi (Indonesia), beliau menjawab ialah durian. Lalu, gurunya menyuruh meng-hadirkan durian itu saat itu juga. Maka beliau masukkanlah tangan kanannya ke dalam le-ngan jubahnya yang kiri, lalu dikeluarkannya durian dari lengan jubah itu.
Cerita orang Jawa tentang Wali Songo, lebih-melebihi hebatnya. Sunan Borang— katanya—belayar ke Mekah tidak naik kapal, tetapi di atas sehelai tikar shalat. Dan muridnya Sunan Kalijaga disuruhnya menunggunya di tepi pantai Demak, Maka sampai tiga tahun Sunan Kalijaga itu menunggu gurunya pulang, tidak makan dan tidak minum, hanya duduk tafakur sambil dzikir sehingga beliau fana. Ketika gurunya datang kembali, didapatinya telah tumbuh pohon bambu di atas debu yang terkumpul menimbuni badan Sunan Kalijaga itu. Maka terpaksalah diminumkan air kerak ke dalam mulutnya supaya dia jangan mati, karena akan terkejut perutnya menerima nasi.
Ketika penulis tafsir ini berziarah ke kubur Syekh Burhanuddin di Ulakan, daerah Pariaman Sumatera Barat (1947), bertemulah di sana berpuluh-puluh orang yang mendakwakan dirinya bermuqim di kuburan itu memohonkan berkat beliau. Maka bertemulah sebuah batu licin datar di hadapan kuburan itu. Di tengah-tengah batu itu kelihatan bekas batu lain yang dipukul-pukulkan padanya sehingga berlubang. Kata penghuni kuburan itu, di atas batu itulah selalu Syekh Burhanuddin memukul zakarnya (kemaluannya) jika syahwat beliau timbul dalam mengerjakan suluk. Mereka tidak mengatakan apakah tidak hancur lumat zakarnya karena ditumbuk dengan batu di atas batu!
Di dalam kitab ThabaqatulAuliya (Tingkat-Tingkat Wali-Wali), karangan Imam SyaVani, bertemulah kita riwayat beberapa orang yang disebut wali. Sebagaimana kita katakan tadi, hendaklah terlebih dahulu kita membuangkan kepercayaan pada Al-Qur'an, baru dapat kita percaya bahwa mereka itu adalah wali. Misalnya Imam Sya'rani meriwayatkan bahwa ada seorang wali yang bernama Syekh Sya'ban al-Majdzub selalu bertelanjang, dan yang ditutupnya hanya sekadar dua kemaluannya saja dengan kulit. Dan ada pula seorang wali majdzub yang lain bernama Syekh Ali Wahisy, yang sangat banyak keramatnya. Beliau itu selalu berdiri di hadapan rumah pelacuran, menunggu orang-orang yang datang berzina dengan perempuan lacur, setelah mereka itu keluar, beliau berkata, “Berdirilah supaya aku beri engkau syafa'at dan hapus dosamu." Artinya, wali itu jadi pelindung para pelacur!
Tersebut pula dalam Manaqib Sayyid Abdul Qadir Jailani, bahwa pada suatu hari adalah salah seorang murid beliau meninggal dunia. Sangatlah sedih hati ibunya karena kematian anaknya yang sangat dicintainya itu, sehingga dia datang mengadu kepada Sayyid Abdul Qadir Jailani. Melihat perempuan itu menangis, jatuhlah iba kasihan dalam hati Sayyid, sedangkan ruh murid itu telah dimasukkan ke dalam sebuah peti penyimpanan ruh yang dikumpulkan oleh malaikat buat segala arwah yang diambilnya pada hari itu dan dibawanya terbang ke langit. Melihat malaikat itu telah terbang membawa peti ruh itu, dikejarlah dia oleh Sayyid, yaitu beliau terbang ke udara mengejar maiakul-maut meminta diserahkan ruh muridnya itu kepada beliau akan dikembalikan kepada jasadnya yang sedang terlantar di rumah, belum dikubur. Tetapi malaikat tidak menyerahkan. Lalu disentakkan peti itu oleh Sayyid dari pegangan malaikat sehingga terlepas. Maka bertaburanlah sekalian arwah yang ada dalam peti itu, pulang kembali kepada jasad mereka masing-masing, sehingga bukan murid itu saja yang kembali hidup, melainkan sekalian ruh yang ada dalam peti itu kembali pulang ke jasadnya dan semua hidup kembali.
Kita pelajari dari dalam Al-Qur'an tentang mukjizat nabi-nabi. Setiap kita baca kisah mukjizat yang shahih itu, kita melihat jelas bahwa nabi-nabi dan rasul-rasul itu tidak berkuasa, tidak sanggup melakukan sebagaimana yang dikuasai oleh Allah. Seumpama Musa, walaupun dua tiga kali tongkatnya telah menunjukkan keganjilan, tetapi tiap-tiap dia terdesak seumpama akan menyeberangi. Lautan Qulzum menyeberangkan Bani Israil, atau ketika Bani Israil meminta agar diberi air minuman, tidaklah Musa terlebih dahulu dapat berbuat apa-apa. Barulah tongkat itu menghasilkan yang ganjil lagi setelah datang perintah Allah kepada Musa, misalnya, “Pukulkanlah tongkatmu ke laut" atau “Pukulkanlah tongkatmu ke batu," dan sebagainya. Tetapi, bila kita baca cerita-cerita tentang wali dalam kitab-kitab dongeng dalam suasana tasawuf yang demikian, nyata sekali bahwa wali atau aulia itu dianggap sebagai Allah di samping Allah, lebih tinggi mar-tabatnya daripada rasul-rasul dan nabi.
Pengikut-pengikut Syekh Ahmad ar-Rifa'i (di Mesir) percaya bahwa Syekh Ahmad Rifa'i berkuasa menghidupkan dan mematikan, membahagiakan orang atau menyengsarakan, mengayakan atau memiskinkan, dan beliau telah sampai ke maqam yang menyebabkan sekalian langit yang tujuh tingkat itu ada di bawah kakinya. Di dalam kitab al-Bahjatur Rifa'iyah disebutkan bahwa sementara masih hidupnya Syekh Ahmad Rifa'i pernah menjual setumpak kebun yang ada dalam surga kepada murid-muridnya, dengan ditentukan bahwa di sebelah timur berbatas dengan kebun si anu, di sebelah barat, utara dan selatan dengan kebun si fulan.
Dalam kalangan ahli tasawuf itu disebut lagi tentang wali yang paling tinggi, yang mereka namai Quthub atau Ghauts. Di dalam kitab at-Ta'rifat karangan al-jarjani dan kitab Jami'ul Ushul karangan al-Kamasykhanli disebutkan tentang quthub itu, bahwa dia adalah manusia yang paling sempurna, berdiri sendirinya, tempat Allah meletakkan pandang-Nya di atas bumi ini pada tiap zaman, dan di atas dirinyalah beredar segala hal-ihwal makhluk ini, dan atas kehendaknya peredaran segala yang ada, dialah ain-nya yang batin dan yang zahir di dalam alam, laksana berjalannya nyawa dalam badan, dan dia pula yang meng-alirkan ruh kehidupan atas seluruh yang wujud ini sejak yang paling tinggi sampai pada yang paling rendah. Quthub itu disebut juga Ghauts, artinya ialah tempat memohonkan hujan rahmat.
Kata mereka, di bawah quthub tertinggi itu, yang disebut juga Quthubul Aqthab, ada dua imam. Kedudukannya sebagai wazir dari quthub. Imam pertama mengatur al-alamul malak. Imam Kedua mengatur al-alamul malakut. Di bawah dua imam itu terdapat lagi al-Autad, yang berarti pasak atau tiang. Banyaknya empat orang. Kata mereka, jika Quthub al-Waqti meninggal, naiklah seorang di antara autad itu menggantikan kedudukannya. Ilmu mereka adalah limpahan dari quthub tertinggi. Kalau mereka mati, rusaklah alam ini. Sebab itu, yang di bawah segera menggantikan tempatnya. Di bawah autad ialah Abdal, banyaknya 40 orang. 22 orang berkedudukan di Syam dan 18 orang berkedudukan di Irak. Yang di bawah itu ialah an-Nujaba", jamak dari najib. Martabatnya di bawah dari abdal, bilangannya 70 orang dan kedudukannya ialah di Mesir. Di bawah itu ialah an-Nuqaba', kata jamak dari naqib, bilangannya 300 orang. Yang 300 orang itulah yang mengeluarkan segala isi perbendaharaan bumi.
Di dalam kitab Futuhat dari Ibnu Arabi dikatakan bahwa salah seorang dari Imam yang menjadi wazir dari Quthub al-Aqthab itu ialah Nabi Khidhir yang disebut Mudawil Kalum, artinya yang akan mengobati segala hati yang patah. Dan dia tidak pernah mati-mati.
Kemudian ada pula keterangan bukan nabi-nabi saja yang mempunyai khatamul anbiya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ, bahkan wali-wali pun mempunyai khatimul auliya, penutup dari segala wali-wali, dan beberapa orang mengakui dirinyalah yang khatimul auliya. Ibnu Arabi mengakui bahwa dialah khatimul aulia itu, tetapi penganut ajaran Thariqat Qadiriyah berkeyakinan bahwa yang khatimul auliya ialah Sayyid Abdul Qadir jailani.
Lalu, mereka mempunyai kepercayaan pula bahwa wali-wali dengan berbagai ragam nama dan tingkatan itu, di bawah pimpinan quthub tertinggi, mengatur alam ini dalam satu Dewan Batin. Dewan Pimpinan Kewalian tertinggi ini, diterangkan oleh ad-Dabbagh di dalam kitabnya al-lbriz, bahwa tempatnya bersidang ialah di dalam Gua Hira', tempat Nabi ﷺ mula-mula menerima wahyu. Quthub tertinggi duduk di luar gua, Mekah terletak di belakang bahu kanannya dan Madinah di hadapan lututnya yang kiri, dan empat orang quthub yang di bawahnya, duduk di sebelah kanannya. Di sanalah dibicarakan apa yang
akan dilakukan dalam seluruh penjuru dunia ini buat besok hari. Anggota-anggota majelis wali itu bersidang setiap malam, dan semua mesti hadir, dengan tidak dibatas oleh ruang atau waktu. Mereka datang dari penjuru mana saja dan pergi ke penjuru mana saja, melalui padang, laut dan gunung tidak terhambat-hambat.
Menurut kepercayaan setengah penganut tasawuf, martabat wali lebih tinggi daripada martabat nabi.
Tersebut dalam salah satu ucapan Abu Yazid Bustami, “Kamu mengambil ilmu kamu dalam keadaan mati dari orang yang telah mati. Tetapi kami mengambil ilmu kami dari yang tetap hidup dan tidak mati-mati/' Dan Abu Yazid juga yang berkata, ‘Akan menyelami laut yang dalam, dan nabi-nabi hanya berdiri di tepi pantainya."
Ibnu Arabi berkata, “Uiamur Rusum (yaitu Ulama yang mementingkan syari'at saja), mengambil ilmu dari khalaf kepada salaf sampai hari Kiamat, sehingga kian lama hu-bungan turunan kian putus. Tetapi aulia Allah mengambil ilmu langsung dari Allah, dan ditumpahkan Allah langsung ke dalam dada mereka."
Mereka berkata, “Nabi menerima ilmu dengan perantaraan malaikat, sedang wali me-nerimanya dengan tidak ada perantaraan."
Syekh Ali al-Khawwash menceritakan, pada suatu hari dia mengendarai keledainya. Karena lamban, dipukulnyalah keledai itu. Tiba-tiba si keledai mengangkat kepalanya, lalu berkata kepada tuan Syekh, “Pukul terus! Karena yang engkau pukul ialah kepalamu sendiri." Artinya bahwa keledai itu mengatakan bahwa dia sendiri pun keledai.
Kata yang lain pula, pada suatu hari seekor ular jatuh ke atas badan Syekh Abdul Qadir jailani sedang beliau mengajar. Lalu berdirilah ular tersebut di hadapan beliau dan bercakap-cakap yang tidak dapat dipahami oleh para hadirin, kecuali beliau seorang. Tersebut pula dalam cerita lain bahwa seekor buaya menelan seorang anak kecil, lalu kelihatan oleh Syekh ad-Dasuqi, lalu beliau panggil buaya itu dengan suara keras. Mendengar suara beliau itu keluarlah buaya tadi dari tengah laut, lalu diletakkannya anak kecil yang telah ditelannya itu di hadapan Syekh.
Bercerita lagi al-Qusyairi bahwa sebatang pohon delima bercakap dengan Ibrahim bin Adham, sufi yang terkenal itu. Pohon delima itu memohon dengan segala kerendahan hati kepada Ibrahim bin Adham agar sudi kiranya memakan buahnya, tetapi Ibrahim tidak mau. Kemudian, pohon delima tersebut meminta tolong dengan perantaraan teman seperjalanan Ibrahim bin Adham, sudi kiranya menyampaikan permohonannya kepada beliau supaya buahnya dimakan. Karena perantaraan teman itu dikabulkanlah beliau permohonan itu, lalu dimakannya buah delima itu dua buah.
Seorang sufi memancangkan tombaknya di bumi. Tiba-tiba datang seekor burung dan hinggap di atas puncak tombak itu, lalu bercerita kepada beliau, Syekh itu, bahwa satu ekspedisi tentara Islam sedang berperang di negeri Rum, tentara Islam itu mendapat ke-menangan dan banyak membawa harta rampasan, dan mereka akan kembali pada hari sekian. Lalu, Syekh bertanya kepada burung itu: “Engkau ini siapa?" Burung itu menjawab, ‘Aku ini adalah bertugas menghilangkan segala perasaan duka cita dari hati orang-orang yang beriman."
Diceritakan orang dari Abu Jalar al-A'war, bahwa beliau ini berkata, “Pada suatu masa aku berada di sisi Zin Nun al-Mishri. Lalu kami membicarakan tentang betapa besar kuasanya wali-wali terhadap segala sesuatu. Maka berkatalah Zin Nun,
“Tanda taat ialah bila aku perintahkan pada tempat tidur ini, supaya dia berjalan me-ngelilingi keempat sudut rumah ini, setelah itu supaya kembali ke tempatnya, hendaklah segera dia kerjakan." Baru saja habis dia bercakap, berkelilinglah tempat tidur itu sendi-rinya pada empat penjuru rumah itu. Setelah selesai, dia pun kembali ke tempatnya semula.
Al-Qusyairi menceritakan lagi di dalam Risalat-nya yang terkenal itu bahwa suatu hari Zin Nun al-Mishri, menunjuk kepada sepohon kayu yang tidak berbuah, supaya segera ber-buah. Maka pohon kayu itu pun berbuahlah sebentar itu juga.
Dikabarkan lagi dari al-Wasithi, “Aku berlayar bersama istriku yang sedang bunting. Tiba-tiba perahu kami pecah dan tenggelam, sehingga tinggal aku dan istriku bergantung pada sebilah papan. Dalam keadaan yang demikianlah anakku lahir. Lalu istriku merintih menyatakan bahwa dia sangat haus, yang ada hanya air laut belaka. Lalu, aku berkata, “Dia tetap melihat kita!" Lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba datang seorang laki-laki, sedang di tangannya sebuah rantai emas, di ujungnya sebuah piala dari berlian yang merah. Lalu dia berkata, “Minumlah!" Kami berdua pun minum. Rupanya isinya lebih harum dari kasturi, lebih dingin dari salju, lebih manis dari air madu. Lalu aku berkata, “Engkau ini siapa? Moga-moga Rahmat Allah melimpah kepadamu!" Dia menjawab, “Aku ini adalah hamba dari Allahmu." Aku pun bertanya pula, “Bagaimana maka engkau bisa mencapai derajat setinggi ini?" Dia menjawab, “Aku tinggalkan nafsu dan hawaku. Lalu aku didudukkan-Nya di atas hawa." (hawa = udara).
Diceritakan pula bahwa seorang sufi yang tinggal di negeri Bashrah, apabila ragu-ragu dalam suatu masalah, langsung bertanya kepada gurunya yang tinggal di negeri Astakhar (Persia). Sebentar itu juga datang jawabnya, meskipun begitu jauh jarak kedua negeri itu.
Dan berkata pula seorang murid dari al-Karakhi, bahwa pada suatu hari dilihatnya pada wajah gurunya bekas luka, yang sebelumnya belum pernah dia lihat. Lalu dia bertanya, apa sebab wajah ustadz kelihatan bekas seperti itu. Lalu al-Karakhi menjawab, “Pada suatu malam timbullah keinginanku hendak mengerjakan thawaf keliling Ka'bah." (Padahal ketika itu dia sedang berada di Irak—pen.). Maka terbanglah dia dari Irak ke Mekah. Setelah selesai dia ingin meminum air zamzam, lalu dia pergi ke sumur zamzam itu, tetapi sesampai di pintu sumurnya, tergelincirlah kakinya di pintu, lalu terjatuh dan luka sedikit di mukanya.
Bisyir al-Hafi berjalan di atas air.
Seorang sufi belayar, lalu dia meninggal di tengah lautan. Penguasa kapal bermaksud hendak melemparkannya sebagaimana patutnya ke dalam laut. Tiba-tiba, laut di sekitar itu menjadi kering, dan terletaklah bahtera itu di atas tanah dasar lautan. Orang-orang pun terpaksa turun akan menggali kubur dan menguburkan beliau. Lalu, beliau dikuburkan sebagaimana mestinya. Setelah selesai penguburan dan ditimbuni, berangsurlah air laut naik kembali, dan naiklah orang-orang yang menguburkan sufi itu ke atas kapal, dan kapal pun belayarlah kembali dengan selamat sejahtera.
Seorang pemuda berniat jahat hendak mencuri baju Syekh Ibrahim al-Khawwash. Lalu Syekh menentang mata penjahat itu dengan kerasnya. Tiba-tiba, jatuhlah kedua mata penjahat itu.
Katanya lagi, Sufi al-Ajuri melemparkan bajunya dan baju seorang Yahudi ke dalam api. Tiba-tiba hanguslah baju Yahudi itu dan baju Syekh keluar dengan selamat.
Di dalam kitab Risalat al-Qu$yairiyah sampai 16 halaman penuh dengan cerita semacam ini. Satu cerita rata-rata 40 halaman. Dan Syekh Sya'rani pun doyan pula menyusun cerita semacam ini di dalam kitabnya, Thaqqat al-Auliya dan paling akhir Syekh Yusuf bin Isma'il an-Nabbani pun asyik pula menyusun cerita semacam ini.
Inilah beberapa dongeng, yang sama sekali tidak ada asalnya dari kitab ataupun dari sunnah, hanya timbul dari khayalan orang-orang sufi yartg i'tikadnya telah bercampur-aduk dengan paham Wahdatul Wujud, yang pada zahirnya kita sangka masih berpokok pada Islam, padahal sudah sangat jauh meninggalkannya.
Beberapa orang orientalis bangsa Barat mempelajari aliran-aliran tasawuf yang timbul dalam kalangan Islam itu sampai sedalam-dalamnya. Di antaranya ialah Louis Masignon, Nickolson, De Boer, Hourgronye, Gotdziher, Moltke dan berpuluh-puluh lagi yang lain se-hingga kerap kali pengetahuan mereka tentang itu lebih luas daripada pengetahuan kita sendiri. Sehingga terkuncilah mulut kita untuk mempertahankan bahwa Islam agama tauhid, apabila mereka mengemukakan kenyataan-kenyataan kaum sufi dengan kepercayaannya tentang wali itu. Dan di antara mereka ada juga yang bercakap jujur, bahwa sama sekali itu bukanlah ajaran Islam, tetapi telah masuk menyusup ke dalam Islam karena pengaruh-pengaruh lain.
Kadang-kadang dianjurkan pula kepada intelektual beragama Islam supaya mempelajari tasawuf Islam itu secara mendalam. Buah tangan al-Hallaj, Syekh Siti Jennar, Hamzah Fansuri, Sunan Borang dan lain-lain. Sebab tasawuf Islam ini amat dalam. Maksudnya ialah supaya orang Islam tahu bahwa ajaran tasawufnya sangat dekat dengan ajaran Kris-ten, dalam hal Hului, yaitu bahwa Allah itu bisa menjelma ke dalam diri manusia, yang puncaknya terdapat dalam diri Isa al-masih (Yesus Kritus) sendiri, dan terdapat pula da-lam diri al-Hallaj.
Dengan perkembangan ajaran tasawuf semacam ini, nyatalah bahwa arti wali dan aulia yang sejelas itu di dalam Al-Qur'an, yaitu orang-orang yang benar-benar taat melak-sanakan perintah Allah dan menghentikan larangannya, telah berbelok jauh sekali. Telah berarti bahwa ada manusia yang martabatnya lebih tinggi dari nabi, malahan mendekati atau menyamai Allah, yang patut disembah dan dipuja, baik di kala hidupnya atau sesudah matinya dengan mengadakan berbagai upacara pada kuburnya. Maka terdengarlah kata-kata wasilah, yang berarti menjadi orang perantara di antara kita manusia ini dengan Allah. Dan wali itu dapat berbuat hal yang ganjil-ganjil, yang hanya dapat dilakukan oleh Allah.
Maka terdapatlah di negeri-negeri Islam yang besar-besar, baik di Mesir maupun di Baghdad, di Isfahan atau di Turki, kubur-kubur yang luar biasa dibesarkan atau diagungkan, tempat orang berziarah meminta syafa'at dan berkat dari wali dan aulia; satu perbuatan yang sudah sangat jauh menyimpang dari pokok ajaran tauhid. Dan kalau ada ulama yang berani menentang perbuatan yang sudah menjadi syirik ini, dituduh sajalah orang itu dengan serta-merta bahwa dia telah keluar dari madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan banyak jugalah kubur-kubur semacam itu yang dijadikan mata pencarian dari juru kunci yang menjaganya. Sebagai Ibnu Hazm di Andalusia, Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, dua kurun yang telah lalu dibangkitkan lagi oleh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab. Tetapi tiap-tiap teguran itu datang, bukan sedikit pukulan yang mereka terima dari pihak yang mempertahankan. Apatah lagi kalau pihak yang mempertahankan itu dibela oleh pihak yang berkuasa, yaitu sultan-sultan dan ulama-ulama yang telah menjual dirinya kepada sultan. Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim sampai meringkuk dalam penjara. Karangan-karangan Ibnu Hazm pernah disuruh bakar. Kekuasaan Kerajaan Turki Osmani memerintahkan Muhammad Ali Pasya, Raja Mesir menghancurkan kekuasaan kaum Wahabi yang mulai tumbuh di tanah Arab yang berdasar kepada ajaran tauhid itu.
Yang sangat merusak agama pula, yang ditimbulkan oleh golongan-golongan tasawuf semacam itu ialah tentang adanya Kasyaf. Kasyaf artinya pembukaan rahasia yang tersembunyi. Menurut mereka, seorang yang telah mencapai martabat wali bisa diberi Allah kelebihan, dengan dikasyafkan kepadanya oleh Allah rahasia-rahasia yang tersembunyi, yang gaib. Kadang-kadang mereka mengubah hukum agama yang tertulis dalam Al-Qur'an dan hadits, sebab tuan Syekh telah mendapat kasyaf dari Allah, baik di dalam satu mimpi maupun ilham, supaya dikerjakan begini atau begitu, yang tidak ada dari pokok syari'at dari Al-Qur'an dan hadits itu.
Imam Ghazali, setelah beliau menyelami kehidupan tasawuf sedalam-dalamnya, dapatlah menyisihkan mana tasawuf yang sejati dan mana yang penipuan. Maka menulislah beliau di dalam buah tangannya yang besar Ihya Ulumiddin di dalam kitab al-Ghurrur (Penipuan), bahwa banyak orang yang tertipu atau menipu dengan soal-soal kasyaf itu. Jika disebut perkara wali, tidaklah dilepaskan dengan soal karamah, atau kiramat, dalam bahasa Minang, atau keramat, dalam bahasa Jakarta. Kata mereka, kalau nabi mendapat irhaash, dan rasul mendapat mukjizat dan orang saleh mendapat ma'unat, maka wali-wali itu mendapat karamah, atau keramat. Di sinilah bermain segala macam khayal atau takhayul yang telah banyak kita lukiskan di atas tadi. Bahwa Wali Fulan mendapat keramat dari Allah sehingga bisa shalat dalam 30 masjid dalam satu hari Jum'at dan wali yang lain ber-Jum'at di Mekah, “banyak" orang melihat, padahal dia tinggal di Jakarta.
Syekhuth Thaifah sendiri, Junaid al-Baghdadi, terkenal apa yang beliau katakan berkenaan dengan soal-soal keramat ini, “Meskipun engkau lihat seseorang berjalan di atas air, atau terbang di udara, janganlah engkau lekas percaya kepadanya, sebelum nyata olehmu bahwa dia berjalan menurut garis al-Kitab dan as-Sunnah."
Perkataan ini memang tepat! Sebab seorang pendeta Cina dalam satu kelenteng pun bisa berjalan di atas api yang sedang bernyala-nyala. Permainan debus, menginjak pecahan kaca, atau sebagai yang dipertunjukkan orang Hindu Bali, menusuk badan mereka dengan keris, tidak tembus, adalah pekerjaan yang ganjil juga. Apakah itu pun akan disebut ke-ramat juga?
Orang yang bermain kuda kepang, sesudah dimantrakan pawangnya, bisa melompat-lompat dan menari-nari, lama-lama dia merasa dirinya benar-benar jadi kuda, lalu dimakannya rumput dan dedak. Apakah ini boleh dikatakan keramat juga?
Dan kadang-kadang tampil seorang penipu, mengatakan bahwa dia telah mendapat kasyaf. Kemudian, dipertunjukkannya telapak tangannya di hadapan orang banyak. Mengalirlah air dari ujung jarinya. Orang-orang yang bodoh tentu menyangka bahwa dia itu telah keramat, lalu segera berguru doa-doa, wirid dan dzikir kepadanya. Pada suatu hari, terbukalah rahasianya. Yaitu ada pompa kecil diikatkannya di dalam kepitan ketiaknya, bersambung ke ujung pergelangan tangannya dengan karet halus. Jika ditekan dikepitkannya ketiaknya, menyumpitlah air itu keluar.
Sekarang, marilah kita simpulkan kembali dan kita pulang pada ayat yang tengah kita tafsirkan.
Semua kita asal sudah beriman, diiringi dengan amal saleh dan takwa dan diperkuat ibadah kepada Allah, bisa menjadi wali Allah. Bukan saja bisa, bahkan memang menjadi wali atau aulia itulah kita dianjurkan oleh Allah. Dekatilah Dia! Makrifatlah kepada-Nya. Kian lama maka rasa takut dan duka citamu akan hilang dan bagi kamu akan diberi Allah berita gembira, bahagia dunia dan bahagia akhirat. Kadang-kadang memang ditunjukkan-Nya jalan keluar dari suatu kesulitan, dan diberikan rejeki dari jurusan yang sama sekali tidak dikira-kirakan dari semula (surah ath-Thalaaq, ayat 3). Atau turun malaikat menyampaikan berita, entah ini yang bernama kasyaf, entah sebagai hatif, bahwa engkau tidak usah takut dan tak usah duka cita, sebab Kami menjadi pelindung dampengawal (Fushshilat, ayat 30).
Hendaklah masing-masing kita mencapai martabat itu dengan melatih diri menuruti sunnah, dan janganlah orang yang belum mendapatnya menukar Allahnya dengan ma-nusia-manusia yang telah dianugerahi Allah martabat wali itu, sebab kalau demikian, dengan tidak sadar kita telah menukar agama.
Kalau kita lihat seseorang telah diberi Allah, janganlah kita meminta kepada orang itu, atau memujanya jadi setengah Allah, melainkan segeralah langsung meminta kepada Allah. Sebab perbendaharaan yang ada pada Allah tidak terpermanai banyaknya, sedang-kan yang ada di tangan manusia pemberian dari Allah itu juga.
Karena pengalaman sendiri, saya percaya sangat akan kemurahan Allah pada saat-saat yang sulit itu. Dalam tafsir ini akan saya uraikan beberapa pengalaman itu, bukan sengaja untuk mempropagandakan diri sendiri, untuk memengaruhi murid-muridku supaya ber-tambah fanatik dan memandang saya wali keramat, melainkan untuk menjelaskan bahwa karunia Allah itu amat besar dan diberikan-Nya kepada barangsiapa yang dikehendaki-Nya, baik saya atau saudara!
Pertama, pada tahun 1951 saya menjadi Pegawai Kementerian Agama. Kami mengadakan konferensi dinas di Malang (Jawa Timur). Kami menginap di sebuah hotel. Kami satu kamar tiga orang, yaitu Saudara Shalih Su'aidi, Saudara H. Busthami Ibrahim, dan saya penulis tafsir ini. Sehabis shalat Jum'at kami makan siang, sehabis makan siang kami dan Saudara Busthami Ibrahim kembali ke kamar. Tetapi kunci kamar dibawa pergi oleh Saudara H. Shalih Su'aidi, sehingga kami tidak dapat masuk. Kunci reserve tidak ada pada pengurus hotel, sebab kunci-kunci yang hilang pada zaman Revolusi belum berganti. Hampir satu jam kami mengungkit-ungkit pintu kamar, namun pintu itu tidak bisa dibuka. Sedangkan Saudara H. Shalih Su'aidi belum juga pulang. Nyaris kami berputus asa. Hari ketika itu kira-kira pukul dua siang. Akhirnya saya pegang gerendel pintu tersebut kuat-kuat, saya ingat Allah dan saya baca “Bismillahir Rahmanir Rahim", dan saya tarik. Pintu itu pun terbuka. Sedangkan besi yang terjulur ke dalam lubang yang menyebabkan pintu terkunci telah ter-surut dengan sendirinya.
Kami masuk ke dalam, dan Saudara H. Busthami Ibrahim bertanya, “Apa yang Saudara baca?"
Saya jawab: “Seperti yang Saudara dengar sendiri, tidak lain dari Basmalah."
Kira-kira pukul lima petang hari, barulah Saudara H. Shalih Su'aidi datang membawa kunci dan minta maaf. Dan H. Shalih Su'aidi memang terkenal seorang kawan yang sangat pelupa.
Sampai sekarang saya masih tetap heran jika memikirkan itu kembali. Dan sering saya coba, berpuluh kali saya ulang-ulang membaca Bismillah hendak membuka pintu yang terkunci, tidaklah pernah lagi dikabulkan Allah.
Kedua, pada tahun 1959 kami menghadiri konferensi Muhammadiyah di Tebing Tinggi (Sumatera Timur). Yang datang dari Jakarta ialah saya dan Saudara Marzuki Yatim, dan Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur ialah Saudara H. Bustahmi Ibrahim pula, yang sudah menyaksikan soal kunci di Malang itu. Di suatu malam, sesudah menghadiri rapat, kami shalat tahajjud, dan setelah itu barulah tidur. Sebelum tidur saya baca sebuah doa yang warid dari Rasulullah ﷺ yang terkenal dan dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, dan saya ambil, dari kitab Riyadhush Shalihin, susunan Imam Nawawi, yaitu
“Ya Allah, aku serahkan diriku kepada Engkau! Aku hadapkan wajahku kepada Engkau, aku serahkan urusanku kepada Engkau, dan aku sandarkan punggungku kepada Engkau, penuh harap dan penuh lakut aku kepada Engkau. Tidak ada tempai berlindung lain dan tidak ada tempat melepaskan diri daripada Engkau, melainkan kepada Engkau. Ya Allah, sesungguhnya aku percaya kepada ‘kitab yang telah Engkau t urunkan dan nab: yang telah Engkau utus." (HR Bukhari dan Muslim)
Saya pun tidur. Sedang mulai akan tidur nyenyak, terasa ada sesuatu yang menjalar-jalar dari punggung sampai ke pinggang saya; geli-geli sehingga saya belum bisa tidur. Saya coba memejamkan mata, terasa lagi menjalar yang geli itu, dari pinggang kembali ke pung-gung. Karena sudah agak lama, tertarik saja hati saya bangun hendak melihat apakah yang menjalar geli-geli itu. Apa? Seekor lipan besar, warna hijau. Saya terpekik, “Sipasan!" (Nama lipan dalam bahasa Minang). Saudara H, Bustahmi Ibrahim yang tidur di sebelah kiri saya dan saudara H. Marzuki Yatim yang tidur di sebelah kanan, terkerambung duduk mendengar saya menyorakkan ada lipan itu, dan kawan-kawan lain pun bangun. Semua bersegera membunuh lipan yang sangat menakutkan karena bisanya itu.
Saudara Marzuki Yatim bertanya pula apa yang saya baca. Terus-terang saya katakan bahwa yang saya baca itu ialah doa yang warid dan Nabi ﷺ, yang beliau menyuruh kita membaca sebelum tidur itu juga. Tentu dia pun pernah membaca hadits itu. Maka Saudara H. Busthami Ibrahim bercerita kembali tentang pengalaman kami kehilangan kunci di Malang itu. Syukurlah, kami yang berkonferensi adalah orang Muhammadiyah, dan konferensi tidak lain dari konferensi Muhammadiyah. Sehingga kawan-kawan yang lain, kira-kira 50 orang banyaknya, tidak ada yang menuduh saya memakai sihir, ataupun salah paham sehingga memandang bahwa saya sudah menjadi wali keramat.
Ketika saya ditahan polisi karena fitnah jahat itu, di Sukabumi, setelah saya diperiksa, ditanya dan disusun berita acara tentang tuduhan yang dituduhkan kepada saya, maka tiga orang dari anggota pemeriksa, datang seorang demi seorang ke kamar tahanan saya dan bertanya sambil berbisik apa bacaan atau doa atau wirid yang saya baca. Mulanya saya sangka mereka main-main atau bersangka jahat kepada saya, sebab sampai saat-saat akhir dari pemeriksaan, boleh dikatakan sikap mereka benar-benar kaku dan seram kepada saya, sebagaimana biasanya polisi menghadapi seorang yang tertuduh atau terduga. Tetapi setelah saya lihat bahwa mereka bersungguh-sungguh, lalu saya salinkan doa Nabi ini, tidak saya kurang-kurangi atau tambah-tambah. Saya tuliskan huruf Arab dan latinnya serta artinya sekalian. Kemudian datang lagi yang lain hendak belajar pula, lalu saya ajarkan. Mereka mengucapkan terima kasih. Tetapi saya ingatkan, “Doa-doa semacam ini hanyalah ekstra saja, ibarat kembang dalam jambangan penghias saja. Kalau saudara-saudara tidak melakukan yang penting, yaitu shalat lima waktu, doa ini tidak ada faedahnya."
Kemudian baru saya tahu dari agen polisi yang menjaga saya bahwa tiga malam sebelum ketiga anggota tim pemeriksa itu datang, agen polisi yang menjaga kamar saya itu melihat dengan mata kepala sendiri bahwa alat listrik untuk menyetrum dan menyiksa orang yang tidak mau mengaku telah dibawa dalam sebuah bungkusan ke dalam kamar saya. Tetapi tidak jadi mereka melakukannya. Saya sendiri tidak tahu maksud yang buruk itu dan tidak tahu pula bahwa isi bungkusan itu ialah alat listrik.
Ketiga, telah berbulan-bulan saya dipindahkan ke Rumah Sakit Persahabatan di Rawamangun dan langsung saya ditahan di sana. Saya dimasukkan ke rumah sakit itu pada 20 Agustus 1964. Sudah masuk bulan September 1965, namun berita bila saya akan dikeluarkan, atau akan dihadapkan ke muka pengadilan, belum juga ada sama sekali. Saya kecewa, duka cita karena ditahan padahal tidak bersalah, tetapi perasaan saya perangilah dengan sabar. Selalu saya baca Al-Qur'an, sampai khatam berpuluh kali (Selama dalam tahanan dua tahun, saya khatam membaca Al-Qur'an, lebih dari 150 kali). Oleh karena sendiri, tidak banyak gangguan, dapatlah saya menyusun pergiliran hari dengan teratur. Selesai Isya saya segera tidur, di antara pukul 02.00 dan pukul 03.00 malam saya boleh dikatakan selalu terbangun sehingga jarang sekali saya ketinggalan shalat tahajjud. Maka pada suatu hari, yaitu pada malam 27 jalan 28 September (persis satu tahun delapan bulan saya dalam tahanan), petang Senin malam Selasa, bertepatan dengan 1 jalan 2 jumadil Akhir 1385, seketika saya tidur sehabis tahajjud, hendak bangun untuk shalat Shubuh, ber-mimpilah saya mendengar jelas suatu suara, “Tujuh belas bulan engkau di sini." Sehabis mendengar suara itu, saya pun tersentak. Dan suara itu